"Bu, sudah! Ini kebanyakan! Bawa apa lagi. Ya Allah!" gerutu Denny yang susah payah membawa dus-dus besar dan karung berisi hasil tani dan kebun. "Ih, sekalian. Nanti mah ibu lupa. Terus nanti pas pertunangan dan pernikahan enggak usah bawa-bawa yang kaya gini." Endah mengangkat keresek hitam besar ke mobil. "Kita fokus seserahan dan lain-lainnya." Lanjut Endah yang langsung duduk disamping Asri. "Iya, juga sih. Pak, dandan mulu! Sudah rapi kok. Yuk, masuk!" ajak Asri yang sudah di dalam mobil Avanza putih bersama Iim dan tiga paman lainnya. "Iya, sebentar. Bapak sudah ganteng, kan? Denny! Lihat dulu sini," panggil Uun yang terus merapikan kemeja batik dan pecinya. "Aduh, sudah ganteng banget kaya Tom Cruise!" cetus Denny yang membuat semua orang tertawa terbahak-bahak. "Oh, ya. Aku ganteng kaya aktor dari barat!" Uun bergaya di cermin kaca dan didorong Denny untuk duduk di kursi depan. Pukul 05.00, di hari Minggu. Mereka sudah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Tania.
"Astaghfirullah aladzim! Diam!" Ujang menahan kedua tangan Rose di belakang punggung. Sampai menyudutkannya ke tembok hingga wanita itu berontak. "Lepas! Lepas tangan kotormu itu!" jerit Rose yang terus menerus mengucapkan sumpah serapahnya. "Ujang! Lepas, pegangnya dari depan saja!" tegur Asep yang membantu memapah Ucup yang sangat syok. "Sayang, enggak apa-apa?" Denny yang menarik Asri kepelukannya yang hampir ditampar Rose. "Oke, siap." Ujang menuruti perintah Asep. Denny yang marah langsung diam dihadapan Rose. "Kalau enggak punya banyak uang. Otaknya dipakai bisa? Bukannya, ikut serta diacara anaknya malah pergi. Sekarang, marah-marah enggak jelas. Kamu gila?" murka Denny yang tidak terima istrinya akan dilukai. "Dia bukan anakku! Iya, aku memang gila! Kenapa?" seru Rose yang langsung menarik tangannya dan maju menantang Denny. "Ibu, cukup! Banyak orang, bikin malu saja!" Gema yang emosi langsung menarik Rose dan masuk ke dapur. "Semuanya, aku minta maaf sekali. K
"Honey, kenapa? Jangan diam di pintu." Asep merangkul Tania yang tersentak sesaat. "Operasinya akan berbahaya, Hottie. Kang Gema bisa sadar lagi, kan? Aku takut. Kenapa ketika aku ingin bahagia. Pasti saja, ada kesedihan seperti ini." Tania langsung memeluk Asep yang merasakan sakit hati. "Bisa, Gema orang yang kuat. Aku pun takut, tapi percayalah. Kita bisa melalui ini semua. Di sini ada aku. Kamu enggak sendirian lagi." Asep mengelus punggung dan menyadari sesuatu. Untung, tangannya sudah bersih dari darah. "Insyaallah, operasi berjalan baik. Taniaku, lupa, yah? Enggak, ganti baju dulu?" Lanjut Asep yang membuat Tania mendongak. "Oh, iya. Aku masih pakai dress. Duh, dingin lagi." Tania kebingungan sampai tas pun tidak dibawa. Hanya membawa ponsel saja. "Wah, obat juga enggak dibawa? Pakai, nanti bilang kalau mulai sesak lagi." Asep langsung memasang jaket kulit hitamnya ke Tania. "Iya, di tas semua. Makasih, Asepku. Aku ingat obat-obatannya, nanti beli di apotik Rumah Sak
Kekacauan yang mengundang pasien dan keluarga pasien di lorong itu. Mereka menyaksikan adegan paling dramatis dalam sebuah keluarga. Mereka ada yang berbisik-bisik dan melirik sinis. Ada juga diantara mereka yang sangat ingin tahu sebabnya. Pihak keamanan pun membubarkan kerumunan itu, Ucup dan Asep pun meminta maaf ke pasien sebelah juga pihak Rumah Sakit. Gema masih sesegukan yang terus dipeluk Tania. Asep pun menghampiri dan menenangkan calon kakak iparnya itu. Ucup, Iim, dan Denny berbicara di ruang tunggu. Gema terus menerus minta maaf ke Asep, calon kakak ipar merasa tidak enak hati ke Asep. Asep memaklumi hal itu. Perawat pun masuk lagi untuk mengecek keadaan dari tensi sampai melihat luka jahitan. Lalu perawat pun menyuntikan antibiotik ke jalur selang di punggung tangan pasien. Dan satu obat lagi penahan sakit ke tabung infusan. Akhirnya, makan malam pun datang. Tania menyuapi bubur sumsum ke Gema yang kembali berbaring karena tidak bisa duduk terlalu lama. "Asep,
"Oh, ya. Aa enggak apa-apa? Senjata Aa masih timbul tuh." Tania yang menunjuk ke bawah. Asep pun tersenyum manis dengan merangkul leher kekasihnya itu. "Sebenarnya, enggak baik-baik juga sih. Mau gimana lagi. Nanti aku keluarin di kontrakan saja." Asep menarik tangan pasangannya untuk berpelukan. "Sendiri? Main sendiri, kan? Awas, saja sama yang lain! Aa aku sunat lagi weh!" gertak Tania dengan wajah menyeramkannya. Asep hanya cekikikan dengan menenangkan wanita itu. Pukul 20.30 WIB, mereka yang sudah puas menghirup udara segar dan bersenang-senang pun pulang. Mereka bergandengan tangan dengan jalan cepat. Namun, perut Tania langsung keroncongan dan ingin membeli martabak telur. Asep pun memutar balik arah, menuju tukang martabak telur langganannya. Mereka harus menyeberang di jalanan besar ke gang dekat kontrakannya. Asep pun memesan cukup banyak martabak telur dan martabak manis untuk orang di rumah. Saat menunggu makanannya datang, mereka berpapasan dengan Ujang dan Iis yang k
"Loh, ada apa? Kok tiba-tiba tadi pergi, Kang? Eh, Teh Tania kenapa matanya merah? Habis nangis?" tanya Ujang yang heran melihat dua sejoli itu langsung termenung di kursi besi. "Ujang, sudah beres, kan? Sini dulu aku mau ngobrol." Asep menarik Ujang yang mengangguk. Asep pun menceritakan inti permasalahannya. Sahabatnya itu syok berat, menatap Tania yang sedang melamun. "Aku curiga, Wawan. Rose bisa nekat seperti itu. Pasti ada yang bantu dan menghasut," terka Asep yang menatap tajam Ujang yang sedang berpikir. "Itu pasti! Pasti dibantu uang lagi. Apa rencana si Abdullah itu? Kalau terus memanfaatkan orang-orang seperti Rose. Abdullah ingin menggerogoti warga setempat!" geram Ujang yang mengepalkan tangan. Asep menghela napas panjang. "Entahlah, yang pasti dia ingin mengancam warga negara kita. Kita harus mengintai pergerakan Rose. Aku punya firasat buruk. Malam ini! Buat empat tim. Dua tim untuk mengintai kontrakan ki
"Sialan! Sialan!" murka Tata yang membanting topinya dan berjongkok menahan jerit. "Aku harus apa lagi! Si Abdullah enggak ada di kandang lagi. Dia bersembunyi di mana sih!" keluh Doni yang meninju pohon. Dan memanggil ketiga orang itu. "Kalian cari informasi terbaru. Cari di mana Abdullah!" seru Doni yang terus meninju pohon hingga tangan terluka. "Jadi, kejadian Sari dan Iis ulah mereka bertiga? Seriusan? Pantas saja aku merasa aneh!" gerutu Tata yang mengecek ponselnya, terus membalas pesan Iis. "Bagus, kan. Kita jadi tahu sarang kedua ada di mana. Komandan sudah menjawab?" tanya Doni yang membalas pesan Tania. "Belum, masih rapat sepertinya. Kita pulang dulu." jelas Tata. "Kalian harus berhati-hati dan kalau sudah selesai. Pulang istirahat," perintah Doni melalui Walkie Talkie. Mereka pun beres-beres dan berangkat pulang. *** Mereka pun mengendap-endap ke kontrakan, membuka kunci sangat pelan. Mereka
"Pasti, Si Tampan dan Si Cantik. Bersanding yang akan membuat orang lain terpesona dan terkesima," puji Ujang yang menarik Iis. Iis merangkul lengan Ujang dan mempraktikkan sambil berjalan seperti Raja dan Ratu yang melambaikan tangan ke rakyatnya. "Ah, kalian ini. Sudah. Ayo, ke mesjid," ajak Asep ke Ujang yang langsung membawa sarung dan sajadah. "Oke, bye-bye, Sweetie. Assalamualaikum!" Ujang berlari mengejar Asep yang sudah duluan. "Waalaikumsalam, hati-hati!" Serempak dua wanita itu menjawab. Jum'atan pun dilakukan dengan husyu dan hikmat. Tania dan Iis menghangatkan makanan lagi. Mereka makan dengan lahap sebelum bertempur membantu memasang tenda dan lainnya. Mereka pun selesai makan dan langsung meluncur ke rumah Tania. Tania berjalan dengan diam, memikirkan bagaimana menghadapi Ucup. Asep menatap lekat Tania yang terlihat sedih. Pria itu merangkul dan menenangkan Tania. Iis pun menggenggam tangan sahabatnya dengan erat. Ucup menyambut
"Haha ... yakin? Yang akan menghancurkan Tania dan Asep. Oh, salah. Tania dan Doni, bukan dari aku saja. Dia jauh lebih kejam dan sadis!" seru Hani yang tertawa lepas dan melengking. Ujang sampai merinding. "Aku peringatkan kalian. Dari hari besok dan seterusnya. Abdullah akan turun tangan langsung untuk mengambil miliknya." Lanjut Hani yang tersenyum sinis. Ujang hanya terdiam dan terus mengetik semua pernyataan Hani. Pria muda itu mendidih mendengar semuanya. Ujang mengembalikan Hani ke dalam sel dan memberikan makanan malamnya. Pria berkulit kuning langsat itu, termenung dan menelepon via Video Call Asep dan Restu. Mereka pun terdiam dengan syok, lantas memutuskan rapat di siang harinya. Tidak lupa mereka berdiskusi untuk langkah selanjutnya, karena sudah 50% barang bukti terkumpulkan. Asep meminta ijin ke Komandan untuk memperketat pengawasan keluarga Tania dan keluarganya. Restu memiliki firasat buruk soal ancaman dari Hani itu dan mengijinkannya.
"Baiklah, hubungi nomor ponsel ini. Kalau terjadi apa-apa. Berikan ponselmu." Restu mengambil ponsel Argha dan memasang alat penyadap. "Terima kasih, kerjasamanya. Tolong, utamakan kewarasanmu," pinta Restu yang mengembalikan benda pipih itu. "Sama-sama, dan terimakasih kembali. Maaf, aku terlambat menyadari kewarasanku," lirih Argha yang bersemangat kembali. Restu hanya tersenyum lebar dan mengangguk saja. Restu dan anak buahnya memasang secara permanen alat-alatnya. Argha merenung sambil berpikir langkah selanjutnya harus bagaimana. Mereka berbincang dengan asik dan bergiliran untuk sarapan. Restu berpamitan untuk mengunjungi tempat kerjanya yang kedua. Dia memerintahkan ke anak buah untuk terus menjaga dan mengawasi satu rumah itu. Argha yang kembali diborgol dan masuk ke sel penjara dengan satu tempat tidur itu. Dia menghela napas berat dan menatap langit-langit. Dia sangat merindukan keluarga kecilnya. Argha sesekali menahan sakit dari chip yang be
"Lepas! Sakit tahu!" jerit Hani dengan terus berontak. "Enggak mau! Biarin rasakan semuanya!" jerit Tania yang masih mencelupkan kepala Hani. "Teteh! Sudah lepasin! Biar aku yang urus orang ini!" teriak Ujang yang menarik tubuh Tania. "Lepas! Dasar penipu kalian!" hina Hani yang memberontak saat dua rekan Ujang menyeret tubuh seksi itu ke arah pintu belakang. "Ah! Ujang, jangan bawa dia pergi! Aku belum puas!" jerit Tania yang sama memberontak dari Ujang. Asep menghampiri dan melepaskan kekasihnya. "Sayang! Sudah, tenangkan dirimu!" mohon Asep dengan suara lembut sambil memeluk erat Tania. "Kang, aku urus dia dulu. Biar penyelidikan kasusnya bisa berlanjut lagi." Ujang menepuk bahu Asep dan berlalu pergi. "Ta-tapi ... dia menghina Aa! Aku enggak terima!" geram Tania yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan itu. "Iya, aku tahu. Terima kasih, sudah mewakilkan Aa." Asep menghapus air mata itu sambil mengecu
"Ke mana orang itu! Pak, terus telusuri jalan setapak ini," perintah Ujang yang kesal karena hanya menemukan gantungan tas berinisial H di tanah. "Tata, kita cuma dapat ini saja. Ada syal motif bunga sama gantungan kunci. Satu yang pasti sosok itu wanita," terang salah satu dari rekan Tata sambil menyodorkan dua benda. "Baiklah, yang lain cari lagi. Aku punya firasat buruk soal ini." Ujang langsung menelepon Asep alias Doni yang masih ada di Cafe. "Siap, tapi kalau ini dugaanku benar. Kapten dalam dilema sekali." Lanjut bapak-bapak tadi dan menatap dalam Tata. "Pasti. Pokoknya kalau kalian lihat orang mencurigakan lagi. Jangan ragu untuk ditangkap! Paham!" perintah Tata alias Ujang yang menunggu kaptennya menjawab telepon. "Baik! Laksanakan!" teriak semua orang yang langsung menyebar dan mencari lagi. Tata yang masih menunggu jawaban dari Doni. Tata dan rekan-rekannya terus menyusuri jalannya hingga menemukan sebuah mobil m
Keesokan harinya, dari semua kejadian-kejadian yang dialami keluarga besar Asep, Tania, dan Iis. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Tania, Ucup, dan Gema jauh lebih bisa berpikir jernih dan tenang. Asep, Ujang, dan Iis yang terus menjaga mereka dengan berbagai macam cara. Walau harus mengorbankan darah dan harga diri, semua selalu dihadapi bersama-sama. Denny dan Asri yang sudah pulih total pun akhirnya ikut di hari terakhir wisata itu. Iis menyewa sebuah pemandian air panas untuk semuanya. Dia memilih wisata yang santai dan merelaksasikan ketegangan otot semua orang. Tania sedang duduk di pinggir kolam dan bermain air panas. Asri menghampiri dengan memeluk erat dari samping. Tania tersenyum dan membalas pelukan hangat itu. "Sudah mendingan, Teh? Maaf." Tania mendusel di pipi Asri. "Sudah, enggak apa-apa. Luka kecil gini. Kamu gimana? Sudah lepas plester, kan?" tanya Asri yang sama-sama mendusel di pipi Tania. "Besok lusa, sekalian cek up
Sesudah mendapatkan keputusan final, mereka pun berbincang-bincang ditemani kopi hangat dan singkong goreng. Mereka pun menunggu Asri dan Denny pulang ke motel. Paman Asep yang satunya lagi sedang mengintip di jendela, dia melihat dua orang yang sedang berjalan menuju lorong itu. Dia pun membuka pintu sambil melambaikan tangan. Denny yang melihat pun langsung menghampiri kamar itu. Dia dan istrinya masuk dan langsung merasa marah melihat Cindy ada di depan. Iim dan Uun langsung memeluk erat kedua orang itu. Suami istri pun menyambut pelukan hangat dari keluarga. Denny terkejut dengan suasana di kamar itu. Dia berbisik menanyakan apa yang terjadi di situ ke Uun dan Iim. "Oh, baguslah. Aku masih belum bisa menerima semuanya. Maaf, Tania," ucap Denny yang membuat Tania mengangguk. "Aku paham, Kang. Maafkan, kami Teh Asri dan Akang." Tania berdiri dan memeluk kakak iparnya yang masih terlihat lesu. "Aku enggak marah ke kamu. Aku marah sama orang yang diam d
Ucup menangis tersedu-sedu, Iim, Aan, dan Uun yang tidak tega menenangkannya. Semua orang yang melihat dan mendengar semua kenyataan pahit itu hanya terdiam. Anak-anak yang tadinya tertawa lepas menjadi termenung dengan melihat kejadian tadi. Awal kesenangan dan kebahagiaan sekejap saja langsung menjadi kelabu. Iim mendorong kursi roda Ucup ke depan menuju taman yang ujungnya tebing itu. Aan menyusul Gema dan Uun menyusul Tania. Iim terus menepuk-nepuk bahu Ucup yang masih gemetar hebat. Iim terus menatap langit malam yang sangat indah, ditemani hiruk-pikuk kendaraan yang melintas di bawah. Sorot lampu dari bawah dan restoran itu menghiasi malam yang sendu. "Hah, aku jadi merasa mual. Kenapa Akang malah bercerita sekarang?" tanya Iim yang duduk di samping kursi roda. "Ini kesempatan bagus, Iim. Di sini ada tempat untuk menyejukkan hati. Kalau di rumah, suasananya jadi enggak terkendali." Ucup menyeka air dan menenangkan diri. "Terlalu nekat lebih tepatn
Perjalanan pulang pun dilalui dengan beristirahat, tetapi sebelum ke motel semua sepakat untuk makan malam di luar. Tempat restoran yang dikelilingi sawah dan kebun teh. Dihiasi lampu malam yang seperti bintang kejora. Satu jam sebelum ke motel, Iis langsung booking dua saung lesehan yang besar. Banyak menu yang dipesan dari Western sampai Nusantara. Gema dan Asep bercerita soal keributan tadi yang membuat dua keluarga itu tercengang dan syok. Asep dan Ujang terus memberi wejangan untuk lebih berhati-hati untuk kedepannya. Bila ada hal yang mencurigakan atau orang misterius terus menganggu, harus cepat-cepat menghubungi mereka. Makan pun dihiasi dengan canda tawa, Tania melihat dan merasakan semua ingin menghiburnya. Asep menerima telepon dari Denny yang sudah berangkat pulang. Semua orang yang tidak tahu kejadian sebelumnya pun, baru menyadari ketidak hadiran Denny dan istrinya. Ujang pun berceritalah sampai menunjukan luka-lukanya. "Ini sudah diluar nalar manusia, Nak."
"Asep! Berhenti! Berhenti!" teriak Gema yang menarik tubuh Asep yang terus melancarkan serangan ke Galuh yang terpojok. "Aa sudah! Sudah, tangan Aa berdarah! Cukup!" jerit Tania yang langsung memeluk erat Asep dari depan. "Lepas, Gema! Lepas! Orang enggak tahu diri harus dikasih pelajaran! Kalau tahu kurang, jangan lepas tanggung jawab dong!" murka Asep yang terus berontak, Tania tetap membujuk. "Kamu ini. Dibayar berapa? Sampai tahu keberadaan kami?" tanya Ujang yang kesal dan marah. Dia berlari dari atas ke bawah menghampiri keributan itu. "Kang, sudah! Sudah!" mohon Iis yang ikut mendorong tubuh Asep. Iis panik saat melihat kekasihnya langsung berlari ke dermaga itu. Iis menyusul Ujang. "Jawab! Suruhan Rose lagi, kan? Ayo, katanya cinta kok mata duitan?" ejek Ujang yang menarik dan mengangkat Galuh seperti anak kucing. Ujang yang marah terus mengangkat ke ujung belakang dermaga. "Lepas! Suka-suka aku dong. Kamu siapa? I