Perjalanan yang panjang itu, membuat tubuh dua kekasih itu kelelahan. Beberapa kali berhenti di restoran atau warung makan. Lalu Asep mengingat janji untuk membawa makanan Pizza Hutter yang diminta Rose. Tania pun memesan ukuran besar dan minumannya. Tania ternyata menyukai salad di tempat itu, jadi Asep memesan dan makan di sana. Tangan Tania menarik tangan Asep untuk ikut makan. Lantas mereka saling menggenggam tangan yang membuat dua sejoli itu tersenyum. Tinggal satu jam lagi pun sampai, Tania banyak membawa bingkisan dari mertua dan Pizza Hutter. Akhirnya, sampai di rumah Tania dengan selamat. Asep memberi salam dan memberikan makanan modern itu ke Rose. Awal yang sinis menjadi senyum sumringah. "Nah, gini. Sering bawa makanan yang banyak. Apa lagi itu?" tanya Rose yang menunjuk dus dan keresek besar itu. "Oh, itu makanan dari orang tuaku. Sama oleh-oleh dari Majalaya, Bu." Asep membuka dus serta keresek. Dan mengeluarkan berondong manis, dodol, dan lain-lai
"Ujang, maaf. Enggak kedengaran lagi ngobrol. Ada apa?" Asep yang menelepon balik Ujang yang melihat puluhan kali panggilan tidak terjawab. "Kang, bantu aku. Iis dalam bahaya! Kita lagi di Residen Gold Villa. Ini cabang sindikat itu. Aku sudah menghubungi komandan. Mereka akan kemari." Ujang yang memeluk Iis di sebelah pohon dekat motor tetangganya. Dia masih bersembunyi dari Jack yang terus mencari Iis. "Apa? Kok bisa? Iis kenapa?" teriak Asep yang membuat semua orang terdiam. Tania yang mendengar nama sabahatnya disebut langsung panik. "Aa, ada apa? Iis kenapa? Dia baik-baik saja, kan?" lirih Tania yang mencengkeram jaket yang sedang dipakaikan ke tubuh Asep. "Sepertinya, baik-baik saja. Aku mau bantu Ujang dulu. Situasinya bahaya! Gema, jangan ke mana-mana tetap di sini," perintah Asep yang langsung dipahami Gema. "Aku ikut! Ikut, ya? Aa!" pinta Tania yang mengekor ke Asep sambil membawa tas ke motornya. "Jangan, Taniaku
"Wah, Pak RT sudah datang nih. Lama tidak berjumpa, ya?" tegur Ujang yang menyalami rekan kerja lain dari Tim Sayap Kiri. "Eh, Si Bujang ini. Lama tidak bertemu nih. Ada satu bulan yang lalu," ujar Pak RT yang bertegur sapa dengan rekan kerja dari Tim Sayap Kanan. "Ayo, semuanya masuk! Sesuai dengan barisan Tim. Aduh, Pak Eko. Jangan duduk di situ!" seru Komandan Restu yang mengatur tamu VVIP dalam rapat. "Oh, Abang Tigor? Wah, makin kekar saja itu badan! Keren!" Asep yang terkagum-kagum melihat otot atletis rekan satu timnya. Abang Tigor langsung menunjukannya seperti binaragawan. Semua orang tertawa terbahak-bahak. "Sudah-sudah, waktunya fokus rapat. Jadi, silakan Pak Restu untuk memulai." Pak Viki selaku pemimpin memerintahkan anak buahnya untuk memulai rapat. Semua orang sudah melakukan presentasi dengan berbagai bukti disertakan. Tim Sayap Kiri mengalami kebuntuan lagi dan lagi. Sedangkan, Tim Sayap Kanan sudah ada celah yang akan membuat yang lainnya syok. Asep yang mem
"Bu, sudah! Ini kebanyakan! Bawa apa lagi. Ya Allah!" gerutu Denny yang susah payah membawa dus-dus besar dan karung berisi hasil tani dan kebun. "Ih, sekalian. Nanti mah ibu lupa. Terus nanti pas pertunangan dan pernikahan enggak usah bawa-bawa yang kaya gini." Endah mengangkat keresek hitam besar ke mobil. "Kita fokus seserahan dan lain-lainnya." Lanjut Endah yang langsung duduk disamping Asri. "Iya, juga sih. Pak, dandan mulu! Sudah rapi kok. Yuk, masuk!" ajak Asri yang sudah di dalam mobil Avanza putih bersama Iim dan tiga paman lainnya. "Iya, sebentar. Bapak sudah ganteng, kan? Denny! Lihat dulu sini," panggil Uun yang terus merapikan kemeja batik dan pecinya. "Aduh, sudah ganteng banget kaya Tom Cruise!" cetus Denny yang membuat semua orang tertawa terbahak-bahak. "Oh, ya. Aku ganteng kaya aktor dari barat!" Uun bergaya di cermin kaca dan didorong Denny untuk duduk di kursi depan. Pukul 05.00, di hari Minggu. Mereka sudah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Tania.
"Astaghfirullah aladzim! Diam!" Ujang menahan kedua tangan Rose di belakang punggung. Sampai menyudutkannya ke tembok hingga wanita itu berontak. "Lepas! Lepas tangan kotormu itu!" jerit Rose yang terus menerus mengucapkan sumpah serapahnya. "Ujang! Lepas, pegangnya dari depan saja!" tegur Asep yang membantu memapah Ucup yang sangat syok. "Sayang, enggak apa-apa?" Denny yang menarik Asri kepelukannya yang hampir ditampar Rose. "Oke, siap." Ujang menuruti perintah Asep. Denny yang marah langsung diam dihadapan Rose. "Kalau enggak punya banyak uang. Otaknya dipakai bisa? Bukannya, ikut serta diacara anaknya malah pergi. Sekarang, marah-marah enggak jelas. Kamu gila?" murka Denny yang tidak terima istrinya akan dilukai. "Dia bukan anakku! Iya, aku memang gila! Kenapa?" seru Rose yang langsung menarik tangannya dan maju menantang Denny. "Ibu, cukup! Banyak orang, bikin malu saja!" Gema yang emosi langsung menarik Rose dan masuk ke dapur. "Semuanya, aku minta maaf sekali. K
"Honey, kenapa? Jangan diam di pintu." Asep merangkul Tania yang tersentak sesaat. "Operasinya akan berbahaya, Hottie. Kang Gema bisa sadar lagi, kan? Aku takut. Kenapa ketika aku ingin bahagia. Pasti saja, ada kesedihan seperti ini." Tania langsung memeluk Asep yang merasakan sakit hati. "Bisa, Gema orang yang kuat. Aku pun takut, tapi percayalah. Kita bisa melalui ini semua. Di sini ada aku. Kamu enggak sendirian lagi." Asep mengelus punggung dan menyadari sesuatu. Untung, tangannya sudah bersih dari darah. "Insyaallah, operasi berjalan baik. Taniaku, lupa, yah? Enggak, ganti baju dulu?" Lanjut Asep yang membuat Tania mendongak. "Oh, iya. Aku masih pakai dress. Duh, dingin lagi." Tania kebingungan sampai tas pun tidak dibawa. Hanya membawa ponsel saja. "Wah, obat juga enggak dibawa? Pakai, nanti bilang kalau mulai sesak lagi." Asep langsung memasang jaket kulit hitamnya ke Tania. "Iya, di tas semua. Makasih, Asepku. Aku ingat obat-obatannya, nanti beli di apotik Rumah Sak
Kekacauan yang mengundang pasien dan keluarga pasien di lorong itu. Mereka menyaksikan adegan paling dramatis dalam sebuah keluarga. Mereka ada yang berbisik-bisik dan melirik sinis. Ada juga diantara mereka yang sangat ingin tahu sebabnya. Pihak keamanan pun membubarkan kerumunan itu, Ucup dan Asep pun meminta maaf ke pasien sebelah juga pihak Rumah Sakit. Gema masih sesegukan yang terus dipeluk Tania. Asep pun menghampiri dan menenangkan calon kakak iparnya itu. Ucup, Iim, dan Denny berbicara di ruang tunggu. Gema terus menerus minta maaf ke Asep, calon kakak ipar merasa tidak enak hati ke Asep. Asep memaklumi hal itu. Perawat pun masuk lagi untuk mengecek keadaan dari tensi sampai melihat luka jahitan. Lalu perawat pun menyuntikan antibiotik ke jalur selang di punggung tangan pasien. Dan satu obat lagi penahan sakit ke tabung infusan. Akhirnya, makan malam pun datang. Tania menyuapi bubur sumsum ke Gema yang kembali berbaring karena tidak bisa duduk terlalu lama. "Asep,
"Oh, ya. Aa enggak apa-apa? Senjata Aa masih timbul tuh." Tania yang menunjuk ke bawah. Asep pun tersenyum manis dengan merangkul leher kekasihnya itu. "Sebenarnya, enggak baik-baik juga sih. Mau gimana lagi. Nanti aku keluarin di kontrakan saja." Asep menarik tangan pasangannya untuk berpelukan. "Sendiri? Main sendiri, kan? Awas, saja sama yang lain! Aa aku sunat lagi weh!" gertak Tania dengan wajah menyeramkannya. Asep hanya cekikikan dengan menenangkan wanita itu. Pukul 20.30 WIB, mereka yang sudah puas menghirup udara segar dan bersenang-senang pun pulang. Mereka bergandengan tangan dengan jalan cepat. Namun, perut Tania langsung keroncongan dan ingin membeli martabak telur. Asep pun memutar balik arah, menuju tukang martabak telur langganannya. Mereka harus menyeberang di jalanan besar ke gang dekat kontrakannya. Asep pun memesan cukup banyak martabak telur dan martabak manis untuk orang di rumah. Saat menunggu makanannya datang, mereka berpapasan dengan Ujang dan Iis yang k