Share

Bab 7 Harapan Tania

Tania terdiam diujung kasur, menatap langit dari jendela kamarnya. Cahaya remang-remang dari bulan menyoroti kasur itu. Tania tersenyum dan berguling-guling di kasur dengan sprei warna merah mudanya. Dia memeluk bantal, lalu cekikikan saat mengingat kejadian tadi. Tangan kanannya meraba kening dan perlahan dielus-elus. Dia tidak menyangka Asep akan melakukan hal itu. Wanita yang masih tersipu malu, merogoh ponsel di sakunya. Ibu jari terus menggeser layar, hingga berhenti di satu foto. Saat Tania dan Asep saling berpelukan. Tania mengigit bantal dan kaki menendang-nendang ke atas.

Kring! Kring! Kring!

"Belum tidur?" sahut Asep bersuara bass dari seberang sana.

"Belum, banyak pikiran. Aa enggak tidur?" tanya Tania yang merasa meleleh saat mendengar suara pria itu dari telepon.

"Belum, sama banyak pikiran juga. Soal yang tadi, aku minta maaf nyentuh sembarangan, Neng."

"Kenapa minta maaf? Neng, malah senang loh! Eh ... ups!" Tania membekap mulutnya.

"Heh! Kita belum sah! Astaghfirullah aladzim. Tania, inget umur udah 27 tahun loh! Malu dong," terang Asep yang menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mereka pun tertawa terbahak-bahak, pembicaraan yang membahas semua hal. Dari masa lalu, masa sekolah, sampai masa sekarang. Mereka larut dalam keseruan tanpa akhir itu. Malam semakin larut, Asep yang tidak ingin menutup teleponnya. Tania pun merasakan hal yang sama. Rasa ini sangat Tania rindukan, dia tidak merasakan kesepian dan kesendirian lagi. Sampai satu kalimat membuat wanita itu terdiam sejenak.

"Aku dengar, dulu kamu batal nikah? Maaf, aku ingin tahu sebabnya kenapa? Masih berkomunikasi sama dia?"

"Sudah tidak. Dia sudah sangat terluka sama ... ibu tiriku. Berbagai hinaan dan ejekan itu,memperburuk hubunganku. Tahu dari mana?"

"Hmm, dari Iis. Sebab lainnya?"

"Aku takut kalau disebut. Nanti Aa malah kabur lagi. Soalnya hal sensitif sih."

"Enggak akan kabur. Tenang. Masalah uang? Mahar?"

"Iya gitulah. Aa punya mantan juga?" Tania mengalihkan pembicaraan.

"Oke, bahas nanti. Mantan cuma lima kok, haha! Kamu juga pasti banyak mantannya, kan?" canda Asep yang membuat lawan bicaranya tertawa.

"Bercanda, kan? Cuma sepuluh kok. Haha. Enggak aneh sih. Kan Aa ganteng."

"Tuh! Yang banyak siapa. Serius, cuma lima. Satu-satu aku akan cerita. Enggak, sekarang. Udah malam. Yuk, tidur. Good night and nice dream. Assalamualaikum, Cantik."

"Eh, kok gitu? Aku udah cerita loh. Baru satu sih. Ya, udah deh. Good night and nice dream too. Waalaikumsalam, Tampan." Sambungan pun terputus. Tania pun memeluk erat guling dan tertidur pulas.

"Nyamuk, terkutuk! Aw! Nyiumnya panas banget di kulit!" gerutu Tata berumur 25 tahun yang diam di balik pohon dekat rumah Tania.

"Makannya pakai obat serangga." Doni sedang melihat ke kamar Tania dengan teropong. Dia sosok serba baju hitam itu sering bersembunyi dan mengintai Tania.

"Semenjak kejadian tadi. Mereka tidak mengintai rumah ini lagi. Aku curiga. Pasti preman-preman itu membuat rencana." Tata melirik Doni yang merenungkan kata-katanya.

"Pasti. Kita harus punya rencana matang juga. Ayo, pergi!"

***

Siang harinya, Tania mondar-mandir yang di tonton Iis. Iis yang cekikikan melihat sabahatnya itu sedang cemas. Tania sudah menceritakan kejadian bersama Asep. Iis sumringah mendengar soal pernikahan itu. Mereka pun berdiskusi perihal syarat pranikahnya. Iis mengetik di laptop Tania. Sedangkan, Tania mendikte dari nomor satu sampai sepuluh. Sesekali diisi dengan candaan yang membuat geli sendiri. Gema yang hanya melihat dari luar pintu pun ikut tertawa, walau dia sangat tidak paham.

"Nah, tinggal dua nomor lagi. Mau apa? Mau anak lima? Atau tiap hari harus melayani lahir dan batin?" goda Iis yang meringis kesakitan dari cubitan maut Tania yang syok mendengar perkataannya.

"Stt! Pelankan suaramu. Orang rumah belum tahu soal ini. Jangan yang aneh-aneh. Otakmu itu ... ih!" ketus Tania yang memukul Iis dengan bantal.

"Ah, nanti kalau udah bulan madu saja. Pasti lupa segalanya! Yakin!"

"Masih jauh! Kita masih mencari dan meyakinkan perasaan masing-masing kok."

"Yakin? Munafik kamu kalau nikah tanpa rasa?" tanya Iis sambil menyenderkan badannya ke bantal yang di tumpuk.

"Enggak, ke munafik juga sih. Aku masih bingung saja. Aku takut untuk berharap lebih Iis. Dulu saja, malah enggak jadi."

"Yah, pacarannya kelamaan. Nih, ada tanpa pacaran dulu langsung tancap gas. Walau ada perjanjian pranikah ini."

"Kenapa harus pakai nikah kontrak, ya?" Tania tiduran dan menatap langit-langit.

"Oh ... tuh, kan. Kamu punya rasa Tania. Mau nikah sirih? Walau nikah kontrak, tapi tetap tercatat agama dan pemerintah, loh."

"Enggak, mau! Oke, lebih baik nikah kontrak saja."

"Nah, jadi jangan ragu sama tindakan Kang Asep. Menurutku, dia orang baik dan tulus, Tania. Yakin dulu saja. Biarkan mengalir seperti air."

"Berisik! Kalian ini. Aku mau tidur siang! Asep-asep mulu yang diomongin. Ganteng sih tapi, kere," hina Cindy yang menggebrak pintu kamar Tania.

"Apaan sih. Kaya yang enggak ngaca. Sendirinya pun mandang fisik doang! Tapi, dapet yang kere, kan?" ejek Iis. Langsung membuat Gema melototi sahabat adik tirinya itu dengan ganas.

"Iis! Jangan ngomong gitu! Maaf, Kang Gema. Maaf," mohon Tania sambil menghampiri dan mendorong Cindy.

"Ada benernya juga sih. Sudahlah, kalian tuh ngomongin apa sampai seru gitu? Jangan ada rahasia, ya?" Gema menatap Tania yang sedang panik.

Cindy yang kesal dengan sindiran Iis, pergi begitu saja sambil menggerutu. Rose yang ada di ruang TV, melirik sinis Tania saja. Namun, dia pun jadi penasaran. Tania terus menyebut nama Asep. Memang, Asep lebih tampan dari anaknya sendiri. Rose bergidik saat mengingat profesi Asep yang hanya jadi Badut. Apa yang bisa diberikan orang yang berpenghasilan kecil? Beban. Rose pun menjadi gelisah, mematikan TV karena sudah tidak berminat lagi. Sebelum masuk ke kamar, melewati ruang tamu dan berkata, "Jangan berbuat hal aneh-aneh. Fokus saja kerja! Kerja! Dan kerja!" Sang ibu tiri pun pergi dengan membanting pintu. Tania terdiam dengan tubuh tersentak, Gema hanya mengelus rambut adiknya itu. Iis pun mengajak Tania ke kamar lagi, sembari meminta maaf ke Gema. Iis dan Tania langsung membahas dengan serius. Mereka berkali-kali membaca ulang semua list nomor yang sudah selesai dibuat. Mereka pun pamit ke warnet, untuk mencetak dan membeli materai. Wanita yang masih cemas akan keputusannya itu, terus memanjatkan do'a dalam setiap solat wajib, Sunnah, dan solat Istiqoroh.

"Ya Allah, semoga keputusanku ini tepat. Bila dia memang jodohku dekatkanlah. Namun, jika bukan pun dia masih mau bersahabat denganku. Amiin."

***

"Bu, kok aku merasa aneh, ya?" tanya Cindy yang sering sekamar dengan ibu mertuanya itu.

"Tania? Aku dengar satu kata saja. Pernikahan? Dengan siapa?" tanya Rose yang merasa gusar juga.

"Bahaya, nanti siapa yang lunasin semuanya? Gema mustahil! Yang cari uang cuma dua orang. Kalau hilang satu, sial banget kita." Lanjut Cindy sambil memukul bantal.

"Kecuali, yang jadi besanku orang kaya. Itu beda hal lagi. Aku langsung setuju!" ucap Rose yang berbaring di samping Cindy.

"Ah! Itu mah harus langsung dinikahin lah, Bu. Apa perlu kita cariin mantu ibu? Biar langsung kaya secara instan? Tuh Pak Asnun, duda kaya di blok D. Atau Pak Oman, pembisnis kripik tempe yang masih perjaka tua?"

"Wah, boleh tuh. Kita cari-cari dulu. Siapa tahu kan bisa jadi penyuntik dana kita. Tania kan masih ting-ting dan cantik. Aki-aki kaya juga pada mau."

Dua wanita itu pun, terbuai oleh angan-angan yang hampa. Niat mereka yang tidak baik hanya akan menjadi delusi sesaat. Tuhan pun akan berpikir dua kali untuk mengabulkan mimpi mereka. Mereka tertawa terbahak-bahak dan berakhir tidur pulas di kasur. Gema dan Ucup mendengar percakapan jahat itu. Gema langsung menghampiri Ucup dan meminta maaf yang sering terulang. Ucup menghela napas panjang, menatap dalam Gema yang penuh makna. Pria berumur 30 tahun itu memeluk Sang ayah tiri dan berbisik, "Tenang, itu tidak akan terjadi. Jika, Tania ingin menikahi orang yang dicintainya. Maka aku akan mendukung dan melindungi hal itu sampai terwujud. Dulu aku salah yang hanya diam saja." Gema yang membulatkan tekad untuk melawan perbuatan yang salah. Walau itu harus membuatnya menjadi anak durhaka dan suami kejam sekali pun.

***

Pada keesokan harinya, pukul 17.30 WIB. Seperti biasa Tania yang sudah pulang bekerja langsung menuju Taman Galaksi. Dia membawa tas kecil dan berjalan dengan jingkrak-jingkrak sepanjang jalan. Dia tersenyum dan berputar-putar yang sudah mengkhayal banyak hal. Tania sangat penuh harapan dengan pernikahan dadakan itu. Paling penting tanpa pacaran. Dia sudah menyesali hal yang harus di jauhinya. Saat sampai di taman khusus bunga mawar, Tania menatap punggung kokoh nan lebar yang tidak memakai kostum badut. Tangan kanannya menepuk lembut bahu pria itu. Ketika pria berkarisma itu menoleh dan melebarkan senyum manisnya. Tania terpesona sampai tidak berkedip sedetik pun. Asep tersipu malu dengan membenarkan baju kemeja yang sangat sopan dan rapi.

"Kok enggak ada pertunjukan? Enggak kerja? Sakit?" tanya Tania yang bingung dengan penampilan Asep saat itu.

"Enggak, istirahat saja. Kan sekarang, kita mau melakukan hal penting. Bajuku enggak kampungan, kan?" jelas Asep yang bergaya seperti model di majalah. Tania pun cekikikan dan menggelengkan kepala.

"Enggak, ini kan udah style Aa. Oh, ya juga. Mau baca list-nya di sana?" Wanita bermata cokelat itu menunjuk satu kursi dari beton. Asep hanya mengangguk setuju. Mereka pun duduk dengan menjaga jarak.

"Silakan baca, ya. Harus teliti! Kalau ada yang kurang jelas tanya saja." Tania menyodorkan kertas yang sudah di tempel materai dengan tanda tangan atas nama Tania dan Asep.

"Oke, kita lihat. Nomor sembilan ... jangan menyentuh tubuh? Tubuh bagian mana? Serius nih?" Asep yang menatap dalam Tania yang menghindari pertanyaan itu.

"Ya-yah ... semua tubuhku! Yakin! Aku belum siap Aa!" Tania menutup wajah yang mulai merona lagi.

"Kan kita nanti pasti bulan madu. Kamu enggak mau? Nanti orang-orang mikirnya gimana? Masa udah nikah enggak sekamar?"

"Iya, juga. Mau sih! Ta-tapi, sudah nikah. Kita masih di rumahku dulu? Terus resepsi di rumahku saja?"

"Iya, sambil aku mencari kontrakan yang layak dari yang sekarang. Kalau aku sih maunya di rumahmu saja. Tapi, ibu dan abah pasti punya keinginan buat pernikahanmu. Kita rundingkan lagi pas orang tuaku ke rumahmu."

"Aku boleh tawar-menawar soal nomor sembilan? Boleh, dong. Kecuali bibir, pipi, dahi sama pelukan?" Mata elang itu mengedip manja yang membuat Tania tertawa.

"Oke-oke! Yang lainnya bertahap, oke? Nah, ini yang nomor sepuluh maksudnya gimana? Jangan pernah curiga soal apa pun?"

"Yah, intinya jangan meragukan semua tindakan dan sikapku. Aku tidak suka itu." Asep menghela napas panjang.

"Satu lagi, walau pun kita masih mencari keyakinan tentang perasaan masing-masing. Yakinlah soal kesetiaanku, ketulusanku, tanggungjawabku, dan kebaikanku. Paham?" Tangan Asep menarik tangan Tania dan digenggam erat-erat.

"Iya, aku pun sama. Seperti nomor lima. Aku tidak suka perselingkuhan dan tidak bertanggungjawab. Ingat itu!" tegas Tania yang mempererat genggaman tangannya.

"Oke, Bu Negara. Siap! Yuk, tanda tangan semuanya. Dan disimpan masing-masing satu. Jangan sampai hilang."

"Ingat juga. Soal kertas kontrak pranikah ini. Hanya kita saja yang tahu." Lanjut Asep mengingatkan hal penting itu.

Mereka pun menandatangani dua kertas putih itu. Mereka merasakan kelegaan yang sangat luar biasa. Mereka pun saling bertatapan dan tersenyum bersama. Mereka menikmati angin yang bertiup kencang, dihiasi awan berwarna jingga. Tania dan Asep berbincang-bincang sangat seru sekali. Asep perlahan menceritakan masa lalu yang cukup trauma untuknya. Terutama mantan terakhirnya, membuat dia sulit untuk membukakan hati. Tania mendengarkan dengan baik, tanpa memotong pembicaraan Asep. Sesekali tubuh tegapnya bergetar, Isak tangis pun menggema. Tania yang baru mendengar setengahnya saja sudah emosi sekali.

"Apa? Aa kenapa sih terlalu baik! Terus sekarang masih komunikasi?" tanya Tania sambil mengelus punggung Asep

"Enggaklah, males banget. Cukup pengkhianat bersama pengkhianat juga. Bayangkan, sudah ditipu, diselingkuhi, merebut suami orang," lirih Asep dengan mengusap air matanya.

"Jadi, selama berhubungan dengan Aa. Dia selingkuh sama suami orang lain? Terus istri dari pria itu, gimana nasibnya?" ucap Tania yang merasa kasian.

"Mereka tentu saja bercerai. Mantan istrinya, mengidap PTSD karena kejadian ini. Tapi, sukses menjadi pembisnis kerudung di Bandung. Aku sangat bersyukur, anak-anaknya aman dan terlindungi." Asep mengelus lembut rambut Tania.

"Maaf, aku enggak tahu. Ceritanya akan sesakit ini. Tenang, aku tidak akan bodoh seperti itu. Yakinlah. Oke," tegas Tania yang menatap dalam Asep.

"Eh, kenapa berpakaian rapi nih? Kita mau nge-date?"

"Yah, nge-date ke rumah kamu. Mau ngobrol sama Abah dan Kang Gema. Boleh?" Asep menarik tangan Tania yang berlari ke arah rumah Tania.

"Tunggu! Aa! Aku belum bilang apa-apa sama mereka, Aa."

Asep pun tertawa lepas, tidak mendengar keluhan Tania. Tania pun akhirnya ikut tertawa dan bergandengan tangan berjalan dengan riang gembira. Mereka pun akhirnya sampai di rumah, memberi salam dan Tania mempersilakan masuk. Gema yang sedang menyuapi Ucup hanya melongo. Ucup pun sampai tersedak, langsung meminum air putih hangat. Cindy dan Rose di ruang TV pun membelalakkan mata. Asep yang tersenyum dan membungkukkan kepalanya. Ucup dan Gema serempak menatap dalam Tania.

"Kang, Abah. Boleh kita berbicara sebentar?" Asep masuk dan mencium tangan Ucup.

"Biar aku yang lanjutkan. Sepertinya Kang Gema bingung dan ingin banyak bertanya ke Tania." Asep mengambil piring, dan melanjutkan menyuapi ayah Tania.

Ucup tersenyum lebar, sepertinya mulai paham. Gema yang melototi Tania yang bersembunyi di balik pintu. Sang kakak butuh penjelasan dari kedatangan pria itu. Asep pun mulai pendekatan dengan Ucup. Mulai berbincang-bincang dan canda tawa. Tania dan Gema mengobrol di dalam kamar sebelah.

"Maksudnya, apa ini? Kalian berpacaran? Aku sudah ingat, kan!" teriak Gema yang tidak habis pikir.

"Ah ... itu ...!" gagap Tania yang bingung harus bicara dari mana.

"Tania!" teriak Gema yang membuat Tania ketakutan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status