Tania terdiam diujung kasur, menatap langit dari jendela kamarnya. Cahaya remang-remang dari bulan menyoroti kasur itu. Tania tersenyum dan berguling-guling di kasur dengan sprei warna merah mudanya. Dia memeluk bantal, lalu cekikikan saat mengingat kejadian tadi. Tangan kanannya meraba kening dan perlahan dielus-elus. Dia tidak menyangka Asep akan melakukan hal itu. Wanita yang masih tersipu malu, merogoh ponsel di sakunya. Ibu jari terus menggeser layar, hingga berhenti di satu foto. Saat Tania dan Asep saling berpelukan. Tania mengigit bantal dan kaki menendang-nendang ke atas.
Kring! Kring! Kring! "Belum tidur?" sahut Asep bersuara bass dari seberang sana. "Belum, banyak pikiran. Aa enggak tidur?" tanya Tania yang merasa meleleh saat mendengar suara pria itu dari telepon. "Belum, sama banyak pikiran juga. Soal yang tadi, aku minta maaf nyentuh sembarangan, Neng." "Kenapa minta maaf? Neng, malah senang loh! Eh ... ups!" Tania membekap mulutnya. "Heh! Kita belum sah! Astaghfirullah aladzim. Tania, inget umur udah 27 tahun loh! Malu dong," terang Asep yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka pun tertawa terbahak-bahak, pembicaraan yang membahas semua hal. Dari masa lalu, masa sekolah, sampai masa sekarang. Mereka larut dalam keseruan tanpa akhir itu. Malam semakin larut, Asep yang tidak ingin menutup teleponnya. Tania pun merasakan hal yang sama. Rasa ini sangat Tania rindukan, dia tidak merasakan kesepian dan kesendirian lagi. Sampai satu kalimat membuat wanita itu terdiam sejenak. "Aku dengar, dulu kamu batal nikah? Maaf, aku ingin tahu sebabnya kenapa? Masih berkomunikasi sama dia?" "Sudah tidak. Dia sudah sangat terluka sama ... ibu tiriku. Berbagai hinaan dan ejekan itu,memperburuk hubunganku. Tahu dari mana?" "Hmm, dari Iis. Sebab lainnya?" "Aku takut kalau disebut. Nanti Aa malah kabur lagi. Soalnya hal sensitif sih." "Enggak akan kabur. Tenang. Masalah uang? Mahar?" "Iya gitulah. Aa punya mantan juga?" Tania mengalihkan pembicaraan. "Oke, bahas nanti. Mantan cuma lima kok, haha! Kamu juga pasti banyak mantannya, kan?" canda Asep yang membuat lawan bicaranya tertawa. "Bercanda, kan? Cuma sepuluh kok. Haha. Enggak aneh sih. Kan Aa ganteng." "Tuh! Yang banyak siapa. Serius, cuma lima. Satu-satu aku akan cerita. Enggak, sekarang. Udah malam. Yuk, tidur. Good night and nice dream. Assalamualaikum, Cantik." "Eh, kok gitu? Aku udah cerita loh. Baru satu sih. Ya, udah deh. Good night and nice dream too. Waalaikumsalam, Tampan." Sambungan pun terputus. Tania pun memeluk erat guling dan tertidur pulas. "Nyamuk, terkutuk! Aw! Nyiumnya panas banget di kulit!" gerutu Tata berumur 25 tahun yang diam di balik pohon dekat rumah Tania. "Makannya pakai obat serangga." Doni sedang melihat ke kamar Tania dengan teropong. Dia sosok serba baju hitam itu sering bersembunyi dan mengintai Tania. "Semenjak kejadian tadi. Mereka tidak mengintai rumah ini lagi. Aku curiga. Pasti preman-preman itu membuat rencana." Tata melirik Doni yang merenungkan kata-katanya. "Pasti. Kita harus punya rencana matang juga. Ayo, pergi!" *** Siang harinya, Tania mondar-mandir yang di tonton Iis. Iis yang cekikikan melihat sabahatnya itu sedang cemas. Tania sudah menceritakan kejadian bersama Asep. Iis sumringah mendengar soal pernikahan itu. Mereka pun berdiskusi perihal syarat pranikahnya. Iis mengetik di laptop Tania. Sedangkan, Tania mendikte dari nomor satu sampai sepuluh. Sesekali diisi dengan candaan yang membuat geli sendiri. Gema yang hanya melihat dari luar pintu pun ikut tertawa, walau dia sangat tidak paham. "Nah, tinggal dua nomor lagi. Mau apa? Mau anak lima? Atau tiap hari harus melayani lahir dan batin?" goda Iis yang meringis kesakitan dari cubitan maut Tania yang syok mendengar perkataannya. "Stt! Pelankan suaramu. Orang rumah belum tahu soal ini. Jangan yang aneh-aneh. Otakmu itu ... ih!" ketus Tania yang memukul Iis dengan bantal. "Ah, nanti kalau udah bulan madu saja. Pasti lupa segalanya! Yakin!" "Masih jauh! Kita masih mencari dan meyakinkan perasaan masing-masing kok." "Yakin? Munafik kamu kalau nikah tanpa rasa?" tanya Iis sambil menyenderkan badannya ke bantal yang di tumpuk. "Enggak, ke munafik juga sih. Aku masih bingung saja. Aku takut untuk berharap lebih Iis. Dulu saja, malah enggak jadi." "Yah, pacarannya kelamaan. Nih, ada tanpa pacaran dulu langsung tancap gas. Walau ada perjanjian pranikah ini." "Kenapa harus pakai nikah kontrak, ya?" Tania tiduran dan menatap langit-langit. "Oh ... tuh, kan. Kamu punya rasa Tania. Mau nikah sirih? Walau nikah kontrak, tapi tetap tercatat agama dan pemerintah, loh." "Enggak, mau! Oke, lebih baik nikah kontrak saja." "Nah, jadi jangan ragu sama tindakan Kang Asep. Menurutku, dia orang baik dan tulus, Tania. Yakin dulu saja. Biarkan mengalir seperti air." "Berisik! Kalian ini. Aku mau tidur siang! Asep-asep mulu yang diomongin. Ganteng sih tapi, kere," hina Cindy yang menggebrak pintu kamar Tania. "Apaan sih. Kaya yang enggak ngaca. Sendirinya pun mandang fisik doang! Tapi, dapet yang kere, kan?" ejek Iis. Langsung membuat Gema melototi sahabat adik tirinya itu dengan ganas. "Iis! Jangan ngomong gitu! Maaf, Kang Gema. Maaf," mohon Tania sambil menghampiri dan mendorong Cindy. "Ada benernya juga sih. Sudahlah, kalian tuh ngomongin apa sampai seru gitu? Jangan ada rahasia, ya?" Gema menatap Tania yang sedang panik. Cindy yang kesal dengan sindiran Iis, pergi begitu saja sambil menggerutu. Rose yang ada di ruang TV, melirik sinis Tania saja. Namun, dia pun jadi penasaran. Tania terus menyebut nama Asep. Memang, Asep lebih tampan dari anaknya sendiri. Rose bergidik saat mengingat profesi Asep yang hanya jadi Badut. Apa yang bisa diberikan orang yang berpenghasilan kecil? Beban. Rose pun menjadi gelisah, mematikan TV karena sudah tidak berminat lagi. Sebelum masuk ke kamar, melewati ruang tamu dan berkata, "Jangan berbuat hal aneh-aneh. Fokus saja kerja! Kerja! Dan kerja!" Sang ibu tiri pun pergi dengan membanting pintu. Tania terdiam dengan tubuh tersentak, Gema hanya mengelus rambut adiknya itu. Iis pun mengajak Tania ke kamar lagi, sembari meminta maaf ke Gema. Iis dan Tania langsung membahas dengan serius. Mereka berkali-kali membaca ulang semua list nomor yang sudah selesai dibuat. Mereka pun pamit ke warnet, untuk mencetak dan membeli materai. Wanita yang masih cemas akan keputusannya itu, terus memanjatkan do'a dalam setiap solat wajib, Sunnah, dan solat Istiqoroh. "Ya Allah, semoga keputusanku ini tepat. Bila dia memang jodohku dekatkanlah. Namun, jika bukan pun dia masih mau bersahabat denganku. Amiin." *** "Bu, kok aku merasa aneh, ya?" tanya Cindy yang sering sekamar dengan ibu mertuanya itu. "Tania? Aku dengar satu kata saja. Pernikahan? Dengan siapa?" tanya Rose yang merasa gusar juga. "Bahaya, nanti siapa yang lunasin semuanya? Gema mustahil! Yang cari uang cuma dua orang. Kalau hilang satu, sial banget kita." Lanjut Cindy sambil memukul bantal. "Kecuali, yang jadi besanku orang kaya. Itu beda hal lagi. Aku langsung setuju!" ucap Rose yang berbaring di samping Cindy. "Ah! Itu mah harus langsung dinikahin lah, Bu. Apa perlu kita cariin mantu ibu? Biar langsung kaya secara instan? Tuh Pak Asnun, duda kaya di blok D. Atau Pak Oman, pembisnis kripik tempe yang masih perjaka tua?" "Wah, boleh tuh. Kita cari-cari dulu. Siapa tahu kan bisa jadi penyuntik dana kita. Tania kan masih ting-ting dan cantik. Aki-aki kaya juga pada mau." Dua wanita itu pun, terbuai oleh angan-angan yang hampa. Niat mereka yang tidak baik hanya akan menjadi delusi sesaat. Tuhan pun akan berpikir dua kali untuk mengabulkan mimpi mereka. Mereka tertawa terbahak-bahak dan berakhir tidur pulas di kasur. Gema dan Ucup mendengar percakapan jahat itu. Gema langsung menghampiri Ucup dan meminta maaf yang sering terulang. Ucup menghela napas panjang, menatap dalam Gema yang penuh makna. Pria berumur 30 tahun itu memeluk Sang ayah tiri dan berbisik, "Tenang, itu tidak akan terjadi. Jika, Tania ingin menikahi orang yang dicintainya. Maka aku akan mendukung dan melindungi hal itu sampai terwujud. Dulu aku salah yang hanya diam saja." Gema yang membulatkan tekad untuk melawan perbuatan yang salah. Walau itu harus membuatnya menjadi anak durhaka dan suami kejam sekali pun. *** Pada keesokan harinya, pukul 17.30 WIB. Seperti biasa Tania yang sudah pulang bekerja langsung menuju Taman Galaksi. Dia membawa tas kecil dan berjalan dengan jingkrak-jingkrak sepanjang jalan. Dia tersenyum dan berputar-putar yang sudah mengkhayal banyak hal. Tania sangat penuh harapan dengan pernikahan dadakan itu. Paling penting tanpa pacaran. Dia sudah menyesali hal yang harus di jauhinya. Saat sampai di taman khusus bunga mawar, Tania menatap punggung kokoh nan lebar yang tidak memakai kostum badut. Tangan kanannya menepuk lembut bahu pria itu. Ketika pria berkarisma itu menoleh dan melebarkan senyum manisnya. Tania terpesona sampai tidak berkedip sedetik pun. Asep tersipu malu dengan membenarkan baju kemeja yang sangat sopan dan rapi. "Kok enggak ada pertunjukan? Enggak kerja? Sakit?" tanya Tania yang bingung dengan penampilan Asep saat itu. "Enggak, istirahat saja. Kan sekarang, kita mau melakukan hal penting. Bajuku enggak kampungan, kan?" jelas Asep yang bergaya seperti model di majalah. Tania pun cekikikan dan menggelengkan kepala. "Enggak, ini kan udah style Aa. Oh, ya juga. Mau baca list-nya di sana?" Wanita bermata cokelat itu menunjuk satu kursi dari beton. Asep hanya mengangguk setuju. Mereka pun duduk dengan menjaga jarak. "Silakan baca, ya. Harus teliti! Kalau ada yang kurang jelas tanya saja." Tania menyodorkan kertas yang sudah di tempel materai dengan tanda tangan atas nama Tania dan Asep. "Oke, kita lihat. Nomor sembilan ... jangan menyentuh tubuh? Tubuh bagian mana? Serius nih?" Asep yang menatap dalam Tania yang menghindari pertanyaan itu. "Ya-yah ... semua tubuhku! Yakin! Aku belum siap Aa!" Tania menutup wajah yang mulai merona lagi. "Kan kita nanti pasti bulan madu. Kamu enggak mau? Nanti orang-orang mikirnya gimana? Masa udah nikah enggak sekamar?" "Iya, juga. Mau sih! Ta-tapi, sudah nikah. Kita masih di rumahku dulu? Terus resepsi di rumahku saja?" "Iya, sambil aku mencari kontrakan yang layak dari yang sekarang. Kalau aku sih maunya di rumahmu saja. Tapi, ibu dan abah pasti punya keinginan buat pernikahanmu. Kita rundingkan lagi pas orang tuaku ke rumahmu." "Aku boleh tawar-menawar soal nomor sembilan? Boleh, dong. Kecuali bibir, pipi, dahi sama pelukan?" Mata elang itu mengedip manja yang membuat Tania tertawa. "Oke-oke! Yang lainnya bertahap, oke? Nah, ini yang nomor sepuluh maksudnya gimana? Jangan pernah curiga soal apa pun?" "Yah, intinya jangan meragukan semua tindakan dan sikapku. Aku tidak suka itu." Asep menghela napas panjang. "Satu lagi, walau pun kita masih mencari keyakinan tentang perasaan masing-masing. Yakinlah soal kesetiaanku, ketulusanku, tanggungjawabku, dan kebaikanku. Paham?" Tangan Asep menarik tangan Tania dan digenggam erat-erat. "Iya, aku pun sama. Seperti nomor lima. Aku tidak suka perselingkuhan dan tidak bertanggungjawab. Ingat itu!" tegas Tania yang mempererat genggaman tangannya. "Oke, Bu Negara. Siap! Yuk, tanda tangan semuanya. Dan disimpan masing-masing satu. Jangan sampai hilang." "Ingat juga. Soal kertas kontrak pranikah ini. Hanya kita saja yang tahu." Lanjut Asep mengingatkan hal penting itu. Mereka pun menandatangani dua kertas putih itu. Mereka merasakan kelegaan yang sangat luar biasa. Mereka pun saling bertatapan dan tersenyum bersama. Mereka menikmati angin yang bertiup kencang, dihiasi awan berwarna jingga. Tania dan Asep berbincang-bincang sangat seru sekali. Asep perlahan menceritakan masa lalu yang cukup trauma untuknya. Terutama mantan terakhirnya, membuat dia sulit untuk membukakan hati. Tania mendengarkan dengan baik, tanpa memotong pembicaraan Asep. Sesekali tubuh tegapnya bergetar, Isak tangis pun menggema. Tania yang baru mendengar setengahnya saja sudah emosi sekali. "Apa? Aa kenapa sih terlalu baik! Terus sekarang masih komunikasi?" tanya Tania sambil mengelus punggung Asep "Enggaklah, males banget. Cukup pengkhianat bersama pengkhianat juga. Bayangkan, sudah ditipu, diselingkuhi, merebut suami orang," lirih Asep dengan mengusap air matanya. "Jadi, selama berhubungan dengan Aa. Dia selingkuh sama suami orang lain? Terus istri dari pria itu, gimana nasibnya?" ucap Tania yang merasa kasian. "Mereka tentu saja bercerai. Mantan istrinya, mengidap PTSD karena kejadian ini. Tapi, sukses menjadi pembisnis kerudung di Bandung. Aku sangat bersyukur, anak-anaknya aman dan terlindungi." Asep mengelus lembut rambut Tania. "Maaf, aku enggak tahu. Ceritanya akan sesakit ini. Tenang, aku tidak akan bodoh seperti itu. Yakinlah. Oke," tegas Tania yang menatap dalam Asep. "Eh, kenapa berpakaian rapi nih? Kita mau nge-date?" "Yah, nge-date ke rumah kamu. Mau ngobrol sama Abah dan Kang Gema. Boleh?" Asep menarik tangan Tania yang berlari ke arah rumah Tania. "Tunggu! Aa! Aku belum bilang apa-apa sama mereka, Aa." Asep pun tertawa lepas, tidak mendengar keluhan Tania. Tania pun akhirnya ikut tertawa dan bergandengan tangan berjalan dengan riang gembira. Mereka pun akhirnya sampai di rumah, memberi salam dan Tania mempersilakan masuk. Gema yang sedang menyuapi Ucup hanya melongo. Ucup pun sampai tersedak, langsung meminum air putih hangat. Cindy dan Rose di ruang TV pun membelalakkan mata. Asep yang tersenyum dan membungkukkan kepalanya. Ucup dan Gema serempak menatap dalam Tania. "Kang, Abah. Boleh kita berbicara sebentar?" Asep masuk dan mencium tangan Ucup. "Biar aku yang lanjutkan. Sepertinya Kang Gema bingung dan ingin banyak bertanya ke Tania." Asep mengambil piring, dan melanjutkan menyuapi ayah Tania. Ucup tersenyum lebar, sepertinya mulai paham. Gema yang melototi Tania yang bersembunyi di balik pintu. Sang kakak butuh penjelasan dari kedatangan pria itu. Asep pun mulai pendekatan dengan Ucup. Mulai berbincang-bincang dan canda tawa. Tania dan Gema mengobrol di dalam kamar sebelah. "Maksudnya, apa ini? Kalian berpacaran? Aku sudah ingat, kan!" teriak Gema yang tidak habis pikir. "Ah ... itu ...!" gagap Tania yang bingung harus bicara dari mana. "Tania!" teriak Gema yang membuat Tania ketakutan."Oke, oke. Maaf, bukan maksud yang aneh-aneh. Enggak, Akang juga tahu kita cuma sahabat dan teman saja. Aku tahu ... tapi," jelas Tania yang menunduk."Kang Gema, enggak mau aku bahagia? Begitu?""Bukan! Kamu harus bahagia, tapi aku takut kejadian yang lalu terulang lagi. Kamu yakin? Ibu pasti marah besar." Gema memegang bahu Tania hingga saling pandang."Yakin! Hatiku berkata seperti itu. Aa Asep pasti bisa menghadapi ibu. Tidak akan terulang lagi, Kang.""Apa karena pekerjaan Aa Asep, Kang? Akang jadi ragu?" tanya Tania yang duduk di pinggir kasur."Iya, tapi aku percaya Asep akan berjuang untukmu. Kamu tahu sendiri. Ibuku yang jadi masalahnya." Gema bersimpuh dan menggenggam tangan sang adik."Itulah yang ingin dibuktikan sama Aa Asep. Bahwa dia mampu dan bisa. Dan aku pun ingin buktikan tanpa pacaran bisa kok menikah.""Oke, aku paham. Ibu pasti nolak atau malah merendahkan Asep. Seperti mantanmu, Galuh. Bagaimana? Asep s
Dua pria itu asik menikmati santap malamnya. Namun, hanya terdengar suara sendok yang menyentuh piring saja. Tidak ada yang memulai percakapan. Asep menatap lekat calon kakak iparnya itu dengan seksama. Dia belum berani memulai, ada rasa segan ke Gema. Walau seumuran Asep merasa Gema jauh lebih dewasa daripada dirinya. Gema menyadari gestur Asep yang penasaran dengan topik pembicaraan. Dia pun menatap lama calon adik iparnya itu. Dia jauh lebih penasaran kehidupan Asep. Sejak kapan Tania dekat, mengapa memilih Tania, dan semua pertanyaan bercampur aduk di kepalanya. Gema menghela napas panjang, lalu meletakkan piring kosong di sampingnya. Dia pun duduk bersila dengan menghisap rokok. "Apa yang membuatmu tertarik dengan adikku? Kamu sudah yakin?" tanya Gema penuh dengan penekanan. "Sudah, banyak hal. Tapi, yang pasti senyumannya, kebaikannya, kesetiannya. Dalam pola pikirnya dan mengambil keputusan." Asep cepat-cepat menelan baksonya. "Tapi, kamu tahu se
"Aa, sudah aku mohon!" lirih Tania yang menangis dengan memalingkan muka. Asep langsung melepaskan bibir seksinya. "Ma-maaf, aku minta maaf!" mohon Asep yang langsung menjauh dan mendekap mulut. "Apa yang aku perbuat? Kenapa? Bodoh! Aku bodoh!" batin Asep yang mengatur napasnya. "Ada apa sama Aa? Kenapa dilanggar sih?" murka Tania yang bangun, rambut yang masih berantakan langsung dirapikan. Warna lipstik yang menyebar ke semua bibirnya dan bibir Asep. "Maaf, enggak tahu kenapa! Tapi, jujur saja aku tidak bisa mengendalikannya." Asep menghapus air mata Tania. Dan Asep menghapus bekas lipstik di bibirnya. "Aku salah! Tampar! Tampar aku!" teriak Asep yang menarik telapak tangan Tania ke arah pipinya yang masih penuh lebam itu. "Enggak, aku enggak tega. Masa aku buat orang sakit makin kesakitan. Aa kenapa? Aa suka sama aku?" cecar Tania yang meletakan telapak tangannya di pipi Asep. Lalu mengelus lembut luka itu. "Iya. Aku suka sama kamu. Dari awal kita bertemu," tegas Asep yang m
"Nanti kamu pulang langsung ke rumah. Jangan minta yang aneh-aneh sama Ujang. Oh, jangan pelukan di motor! Paham?" perintah Asep saat melihat wanita itu siap-siap pulang bersama Ujang. "Oke, Hottie. Cie, cemburu nih?" goda Tania dengan merangkul lengan Ujang. Ujang pun langsung merespon dengan mimik wajah super model. "Lepas, Ujang! Iya, enggak suka." Asep melempar bantal lagi ke arah wajah Ujang. Langsung disambut tertawa jahil dari mereka. Tania bersalaman dan berpelukan sebentar. "Aa makan yang banyak. Istirahat yang cukup. Biar nanti aku bisa ketemu ibu dan ayah Aa." Tania menoleh ke arah gantungan baju. Dia baru berdiri dan sadar ada benda aneh di situ. "Aa itu apa? Ada rompi yang sering dipakai tentara sama polisi gitu deh?" tanya Tania yang membuat panik kedua pria itu. Ujang langsung menutup gantungan yang ada di belakang pintu. "Oh, itu. Dulu kalau tampil di event ulang tahun atau syukuran anak-anak sekolah. Pakai itu." Ase
"Iya, tapi jangan pakai baju seksi. Pakai kaos sama celana pendek selutut. Paham?" cetus Asep yang membuat Tania cekikikan. "Aa juga sama jangan yang ketat dan pendek. Paham?" balas Tania yang membuat Asep tertawa lepas. Mereka pun berangkat lagi dengan hati senang. Di belokan setelah jembatan kuning, Asep masuk ke gang kecil dan masuk lagi melewati gapura. Mereka pun berhenti di sebuah rumah dengan halaman belakang perkebunan dan sawah. Rumah sederhana berwarna biru langit dan putih. Ada dua orang yang sudah menunggu di depan teras duduk di bangku rotan. Wanita dan pria paruh baya dengan uban yang menghiasi rambutnya. Mereka tersenyum manis dan berdiri menyambut sang anak dan calon mantunya. Endah berlinang airmata, langsung memeluk erat Asep. Sang ayah Uun Kurniawan menepuk-nepuk bahu anaknya. Dia menarik lembut Tania dan mereka saling berpelukan hangat. Mereka menangis bahagia dan rindu yang terbayarkan. Asep memang sudah lama tidak pulang kampung. Terakhir ketika lebaran saja
"Teh, mau sayurnya? Tambahin sama oseng tempe, ya." Tania mengambil piring oseng tempe dan mangkuk untuk menuangkan sayur. "Eh, iya. Boleh-boleh. Kamu jam berapa sampai? Pasti perjalanan jauh." Asri menerima piring itu dan mengambil kerupuk. "Jam 12. Soalnya, banyak berhenti pas dari Cibiru. Kan di situ macet parah mau jam makan siang." Tania mengambil gehu dan teh hangat buat Asep. "Duh, pasti cape pisan. Nanti udah makan langsung istirahat." Asri makan dengan lahap. Ibu menyusui jauh lebih banyak makannya. "Iya, teh. Kalau udah makan. Isoma deh." Tania berpamitan untuk ke dalam di susul Asep. *** Mereka shalat berjamaah dengan saudara yang lain. Bibi dari pihak bapak langsung menarik Tania agar bersebelahan dengannya. Ketika shalat selesai mulailah bergosip ria. Asep yang mengerti sorotan mata dari Tania yang meminta tolong untuk keluar dari kerumunan itu. Asep dengan sopan menarik Tan
"Hmm, lihat saja nanti." Tania tertawa terbahak-bahak. Asep berdecak. "Pemandangannya aku suka banget! Kalau ke sini lagi bawa keluarga aku, ya. Boleh?" tanya Tania sambil menyandar di dada Asep. "Boleh, bagus juga buat Abah. Biar enggak kaku banget. Neng, sini!" pinta Asep yang membalikan tubuh Tania hingga saling berhadapan. "Sekarang, kamu latihan pernapasan. Baru terapi air terjun di patung ikan. Terus latihan berenang lagi. Baru kita pulang, oke?" perintah Asep yang membuat Tania merengek seperti anak kecil. "Enggak mau! Capek, Aa. Ih." Tania memalingkan muka dan menepuk-nepuk permukaan air hingga Asep kemasukan air kolam. "Hayo, siapa yang punya asma? Ya, sudah aku tinggalin saja," seru Asep yang langsung naik ke pinggir kolam. Tania pun panik. "Aku! Iya-iya jangan pergi!" bujuk Tania yang menarik kaki yang berbulu tipis itu. "Jangan mengeluh, ya. Janji?" Asep berjongkok dan memberikan jari kelingkingnya. Tania mengangguk dan menautkan jari kelingkingnya ke jari kel
Suara burung yang berkicau diiringi berkokoknnya ayam jantan menghiasi cuaca yang sendu. Langit masih gelap dengan kabut tebal yang masih terlihat jelas, tanah yang masih lembab karena basah. Tania masih terlelap tidur, pasutri pun masih tidur dengan mendengkur. Asep duduk bersila mengumpulkan nyawa dulu. Mata elangnya menatap lekat wanita cantik yang masih tertidur itu. Dia mengelus lembut rambut ikal Tania, menghirup dan mencium rambut hitam dengan perlahan. Dia mengecup pipi dan kening, tubuhnya direnggangkan lalu pergi ke kamar mandi. Tania menoleh dan termenung sambil mengelus bantal pasangannya yang masih terasa hangat. Dia tersenyum-senyum dan tersipu malu. Lalu dia bangun dengan mengucek mata, melirik pasutri yang masih berpelukan. Ingatan malam yang indah itu terbayang lagi, kedua tangannya menutup wajah dengan pipi merah merona. "Honey, cepat mandi. Nanti keburu adzan subuh." Asep masuk dengan tubuh bagian bawah dilingkari handuk. Dan tubuh bagian atas dengan perut sixpack-
"Haha ... yakin? Yang akan menghancurkan Tania dan Asep. Oh, salah. Tania dan Doni, bukan dari aku saja. Dia jauh lebih kejam dan sadis!" seru Hani yang tertawa lepas dan melengking. Ujang sampai merinding. "Aku peringatkan kalian. Dari hari besok dan seterusnya. Abdullah akan turun tangan langsung untuk mengambil miliknya." Lanjut Hani yang tersenyum sinis. Ujang hanya terdiam dan terus mengetik semua pernyataan Hani. Pria muda itu mendidih mendengar semuanya. Ujang mengembalikan Hani ke dalam sel dan memberikan makanan malamnya. Pria berkulit kuning langsat itu, termenung dan menelepon via Video Call Asep dan Restu. Mereka pun terdiam dengan syok, lantas memutuskan rapat di siang harinya. Tidak lupa mereka berdiskusi untuk langkah selanjutnya, karena sudah 50% barang bukti terkumpulkan. Asep meminta ijin ke Komandan untuk memperketat pengawasan keluarga Tania dan keluarganya. Restu memiliki firasat buruk soal ancaman dari Hani itu dan mengijinkannya.
"Baiklah, hubungi nomor ponsel ini. Kalau terjadi apa-apa. Berikan ponselmu." Restu mengambil ponsel Argha dan memasang alat penyadap. "Terima kasih, kerjasamanya. Tolong, utamakan kewarasanmu," pinta Restu yang mengembalikan benda pipih itu. "Sama-sama, dan terimakasih kembali. Maaf, aku terlambat menyadari kewarasanku," lirih Argha yang bersemangat kembali. Restu hanya tersenyum lebar dan mengangguk saja. Restu dan anak buahnya memasang secara permanen alat-alatnya. Argha merenung sambil berpikir langkah selanjutnya harus bagaimana. Mereka berbincang dengan asik dan bergiliran untuk sarapan. Restu berpamitan untuk mengunjungi tempat kerjanya yang kedua. Dia memerintahkan ke anak buah untuk terus menjaga dan mengawasi satu rumah itu. Argha yang kembali diborgol dan masuk ke sel penjara dengan satu tempat tidur itu. Dia menghela napas berat dan menatap langit-langit. Dia sangat merindukan keluarga kecilnya. Argha sesekali menahan sakit dari chip yang be
"Lepas! Sakit tahu!" jerit Hani dengan terus berontak. "Enggak mau! Biarin rasakan semuanya!" jerit Tania yang masih mencelupkan kepala Hani. "Teteh! Sudah lepasin! Biar aku yang urus orang ini!" teriak Ujang yang menarik tubuh Tania. "Lepas! Dasar penipu kalian!" hina Hani yang memberontak saat dua rekan Ujang menyeret tubuh seksi itu ke arah pintu belakang. "Ah! Ujang, jangan bawa dia pergi! Aku belum puas!" jerit Tania yang sama memberontak dari Ujang. Asep menghampiri dan melepaskan kekasihnya. "Sayang! Sudah, tenangkan dirimu!" mohon Asep dengan suara lembut sambil memeluk erat Tania. "Kang, aku urus dia dulu. Biar penyelidikan kasusnya bisa berlanjut lagi." Ujang menepuk bahu Asep dan berlalu pergi. "Ta-tapi ... dia menghina Aa! Aku enggak terima!" geram Tania yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan itu. "Iya, aku tahu. Terima kasih, sudah mewakilkan Aa." Asep menghapus air mata itu sambil mengecu
"Ke mana orang itu! Pak, terus telusuri jalan setapak ini," perintah Ujang yang kesal karena hanya menemukan gantungan tas berinisial H di tanah. "Tata, kita cuma dapat ini saja. Ada syal motif bunga sama gantungan kunci. Satu yang pasti sosok itu wanita," terang salah satu dari rekan Tata sambil menyodorkan dua benda. "Baiklah, yang lain cari lagi. Aku punya firasat buruk soal ini." Ujang langsung menelepon Asep alias Doni yang masih ada di Cafe. "Siap, tapi kalau ini dugaanku benar. Kapten dalam dilema sekali." Lanjut bapak-bapak tadi dan menatap dalam Tata. "Pasti. Pokoknya kalau kalian lihat orang mencurigakan lagi. Jangan ragu untuk ditangkap! Paham!" perintah Tata alias Ujang yang menunggu kaptennya menjawab telepon. "Baik! Laksanakan!" teriak semua orang yang langsung menyebar dan mencari lagi. Tata yang masih menunggu jawaban dari Doni. Tata dan rekan-rekannya terus menyusuri jalannya hingga menemukan sebuah mobil m
Keesokan harinya, dari semua kejadian-kejadian yang dialami keluarga besar Asep, Tania, dan Iis. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Tania, Ucup, dan Gema jauh lebih bisa berpikir jernih dan tenang. Asep, Ujang, dan Iis yang terus menjaga mereka dengan berbagai macam cara. Walau harus mengorbankan darah dan harga diri, semua selalu dihadapi bersama-sama. Denny dan Asri yang sudah pulih total pun akhirnya ikut di hari terakhir wisata itu. Iis menyewa sebuah pemandian air panas untuk semuanya. Dia memilih wisata yang santai dan merelaksasikan ketegangan otot semua orang. Tania sedang duduk di pinggir kolam dan bermain air panas. Asri menghampiri dengan memeluk erat dari samping. Tania tersenyum dan membalas pelukan hangat itu. "Sudah mendingan, Teh? Maaf." Tania mendusel di pipi Asri. "Sudah, enggak apa-apa. Luka kecil gini. Kamu gimana? Sudah lepas plester, kan?" tanya Asri yang sama-sama mendusel di pipi Tania. "Besok lusa, sekalian cek up
Sesudah mendapatkan keputusan final, mereka pun berbincang-bincang ditemani kopi hangat dan singkong goreng. Mereka pun menunggu Asri dan Denny pulang ke motel. Paman Asep yang satunya lagi sedang mengintip di jendela, dia melihat dua orang yang sedang berjalan menuju lorong itu. Dia pun membuka pintu sambil melambaikan tangan. Denny yang melihat pun langsung menghampiri kamar itu. Dia dan istrinya masuk dan langsung merasa marah melihat Cindy ada di depan. Iim dan Uun langsung memeluk erat kedua orang itu. Suami istri pun menyambut pelukan hangat dari keluarga. Denny terkejut dengan suasana di kamar itu. Dia berbisik menanyakan apa yang terjadi di situ ke Uun dan Iim. "Oh, baguslah. Aku masih belum bisa menerima semuanya. Maaf, Tania," ucap Denny yang membuat Tania mengangguk. "Aku paham, Kang. Maafkan, kami Teh Asri dan Akang." Tania berdiri dan memeluk kakak iparnya yang masih terlihat lesu. "Aku enggak marah ke kamu. Aku marah sama orang yang diam d
Ucup menangis tersedu-sedu, Iim, Aan, dan Uun yang tidak tega menenangkannya. Semua orang yang melihat dan mendengar semua kenyataan pahit itu hanya terdiam. Anak-anak yang tadinya tertawa lepas menjadi termenung dengan melihat kejadian tadi. Awal kesenangan dan kebahagiaan sekejap saja langsung menjadi kelabu. Iim mendorong kursi roda Ucup ke depan menuju taman yang ujungnya tebing itu. Aan menyusul Gema dan Uun menyusul Tania. Iim terus menepuk-nepuk bahu Ucup yang masih gemetar hebat. Iim terus menatap langit malam yang sangat indah, ditemani hiruk-pikuk kendaraan yang melintas di bawah. Sorot lampu dari bawah dan restoran itu menghiasi malam yang sendu. "Hah, aku jadi merasa mual. Kenapa Akang malah bercerita sekarang?" tanya Iim yang duduk di samping kursi roda. "Ini kesempatan bagus, Iim. Di sini ada tempat untuk menyejukkan hati. Kalau di rumah, suasananya jadi enggak terkendali." Ucup menyeka air dan menenangkan diri. "Terlalu nekat lebih tepatn
Perjalanan pulang pun dilalui dengan beristirahat, tetapi sebelum ke motel semua sepakat untuk makan malam di luar. Tempat restoran yang dikelilingi sawah dan kebun teh. Dihiasi lampu malam yang seperti bintang kejora. Satu jam sebelum ke motel, Iis langsung booking dua saung lesehan yang besar. Banyak menu yang dipesan dari Western sampai Nusantara. Gema dan Asep bercerita soal keributan tadi yang membuat dua keluarga itu tercengang dan syok. Asep dan Ujang terus memberi wejangan untuk lebih berhati-hati untuk kedepannya. Bila ada hal yang mencurigakan atau orang misterius terus menganggu, harus cepat-cepat menghubungi mereka. Makan pun dihiasi dengan canda tawa, Tania melihat dan merasakan semua ingin menghiburnya. Asep menerima telepon dari Denny yang sudah berangkat pulang. Semua orang yang tidak tahu kejadian sebelumnya pun, baru menyadari ketidak hadiran Denny dan istrinya. Ujang pun berceritalah sampai menunjukan luka-lukanya. "Ini sudah diluar nalar manusia, Nak."
"Asep! Berhenti! Berhenti!" teriak Gema yang menarik tubuh Asep yang terus melancarkan serangan ke Galuh yang terpojok. "Aa sudah! Sudah, tangan Aa berdarah! Cukup!" jerit Tania yang langsung memeluk erat Asep dari depan. "Lepas, Gema! Lepas! Orang enggak tahu diri harus dikasih pelajaran! Kalau tahu kurang, jangan lepas tanggung jawab dong!" murka Asep yang terus berontak, Tania tetap membujuk. "Kamu ini. Dibayar berapa? Sampai tahu keberadaan kami?" tanya Ujang yang kesal dan marah. Dia berlari dari atas ke bawah menghampiri keributan itu. "Kang, sudah! Sudah!" mohon Iis yang ikut mendorong tubuh Asep. Iis panik saat melihat kekasihnya langsung berlari ke dermaga itu. Iis menyusul Ujang. "Jawab! Suruhan Rose lagi, kan? Ayo, katanya cinta kok mata duitan?" ejek Ujang yang menarik dan mengangkat Galuh seperti anak kucing. Ujang yang marah terus mengangkat ke ujung belakang dermaga. "Lepas! Suka-suka aku dong. Kamu siapa? I