"Sayang?!"Kening Shanum sukses berkerut, ketika baru saja keluar gedung perkatoran tempatnya bekerja, langsung menemukan keberadaan Reksa dan senyum lebarnya. Huft ... apa lagi kali ini maunya?Meski tak minat, Shanum tetap menghampiri Reksa. Apalagi pria itu juga sudah memanggil namanya, serta melambaikan tangan."Kamu ngapain ke sini, Mas?" Meski begitu, Shanum tetap tak bisa berpura-pura senang menerima kehadiran pria itu di sana. "Kok, ngapain? Ya jemput kamu lah!" jawab Reksa riang. Berbeda dengan Shanum yang alisnya semakin bertaut dalam. "Jemput?"Reksa mengangguk antusias, tak lupa dengan senyum cemerlangnya."Tumben. Biasanya mau sehebat apa pun huja badai yang aku hadapi saat pulang dan pergi kerja. Kamu nggak perduli tuh."Senyum Reksa langsung luruh menerima jawaban berupa sindiran dari Shanum yang sangat menohok itu. Faktanya memang selama ini, Reksa memang tak pernah bersedia mengantar dan menjemput Shanum, ketika istrinya itu memutuskan untuk kembali bekerja setelah
Tidak ada percakapan yang terjadi dalam perjalanan itu. Mungkin Reksa masih kesal dan merajuk seperti yang sudah-sudah. Biasa, gengs. Ingin ditanya duluan. Sayangnya, Shanum nggak perduli, tuh. Daripada membujuk, mending tidur, kan? Lebih berfaedah untuk kesehatan tubuh dan mentalnya. Tetapi jangan, deh. Dia kan harus selalu waspada."Seingatku, ini bukan jalan ke rumah, deh," ucap Shanum saat menyadari arah yang Reksa ambil bukan ke tujuan awal. "Iya, kita ke rumah sakit dulu. Nengokin Mama. Aku udah chat kamu kan, kalau Mama masuk rumah sakit.""Oh ...."'Oh' hanya itu! Kekesalannya kembali berkobar menerima tanggapan Shanum yang terkesan acuh sekali. Padahal, sudah sangat jelas Reksa mengatakan kalau ibunya masuk rumah sakit. Dan jawaban Shanum cuma ... oh!"Serius kamu cuma jawab itu, Num?" tandas Reksa dengan gigi mengatup menahan kesal. "Maksudnya?""Ya, aku kan udah bilang Mama masuk rumah sakit. Kamu apa nggak khawatir? Nggak pengen tahu keadaannya saat ini? Setidaknya tany
"Kamu nih ya, bener-bener! Masa bawa Shanum ke sini aja nggak bisa!""Bukan nggak bisa, Ma. Tadi Shanum udah naik mobil kok, dan kami juga hampir sampai. Tapi di jalan, dia malah ngajak ribut dan akhirnya ngambek. Terus minta turun, deh. Pake ngancem mau loncat pula kalau nggak diturutin. Jadinya kan, Reksa--""Ah, dasar kamu memang bodoh, Reksa!" raung Mama Rima sambil memukul-mukul lengan anaknya itu dengan gemas. "Aduh! Aduh! Sakit, Mah!" Reksa mencoba melepaskan diri dari pukulan sang ibu yang terlihat marah sekali saat ini. "Ya kamu sih nyebelin! Udah tahu kita lagi sandiwara buat luluhin Shanum. Kenapa kamu malah ngajak dia ribut, sih?" hardik Mama Rima lagi."Bukan Reksa, Ma, yang ngajak ribut. Tapi Shanum!""Ya kan kamu bisa nahan diri, Reksa! Jangan diladenin.""Tapi, Ma--""Bukannya kamu sendiri tadi yang minta, bahkan sambil mohon-mohon sama mama untuk mengalah sementara demi kelancaran rencana kita. Sudah mama setujui, eh sekarang malah kamu sendiri yang nggak bisa nahan
"Pokoknya Mama nggak mau!""Ya terserah. Seperti yang Papa bilang. Ini terakhir kali Papa kasih usulan. Kalau kalian nggak mau terima, Papa angkat tangan." Akhirnya Papa Hendra pun menyerah. Istrinya terlalu bebal. Menguji kesabarannya lama-lama.Papa Hendra berjanji tak akan mau dipusingkan lagi oleh masalah yang ditimbulkan sang istri. Biarkan saja wanita itu mengatasi masalahnya sendiri. Toh, sudah di kasih tahu pun tak mau dengar, kan?"Loh, nggak bisa begitu dong, Pa. Aku kan istrimu. Kamu harus bantu aku!" Mama Rima tak urung protes."Bantu dengan cara apa? Bayar denda yang di tentukan? Maaf, Papa nggak punya uang sebesar itu," sahut Papa Hendra lelah. "Ya kalau pun ada, nggak usah di bayarin juga. Sayang banget uangnya." Mama Rima menyahut konyol."Lantas kalau minta maaf nggak mau, bayar denda pun tak mau. Kamu maunya apa? Memangnya masalah ini bisa selesai gitu aja hanya dengan didiamkan?""Ya kenapa nggak kamu aja sih yang bujuk Shanum. Seperti kata Reksa, kalian kan cukup
Sementara di Rumah Sakit masih terjadi perdebatan panas nan alot. Di Rumah, Shanum sudah nyaman diperaduan, sambil mendengarkan laporan dari orang yang ia tugaskan mengawasi keadaan. "Begitu, ya? Baiklah. Pantau terus mereka. Laporkan segera jika ada hal gawat atau ganjil sekalipun."Klik!Setelah mendengar jawaban 'siap' dari orang di seberang. Shanum pun memutuskan sambungan telepon. Wanita itu menghela nafas panjang sambil menerawang ke depan. Seandainya Reksa benar-benar berselingkuh, semuanya pasti tak akan serumit ini. Jika Reksa benar-benar memiliki hubungan spesial dengan wanita lain. Shanum bisa dengan mudah pergi. Tidak harus langsung poligami, sekedar pacaran atau jajan diluar saja. Pasti Shanum sudah punya alasan untuk pergi. Sayangnya, selama ini Reksa tak benar-benar punya hubungan intim dengan wanita mana pun. Bahkan dengan Ayu sekalipun. Mereka hanya menikmati hubungan intim tanpa adanya status yang jelas. Ah, ralat. Ada sih, statusnya itu adalah sepupu. Hanya saja,
Diam-diam Shanum mengeratkan pegangannya pada tali tas selempang yang tengah ia kenakan. Guna menyalurkan emosi yang tiba-tiba saja muncul agar tak kelepasan mencakar wajah tak tahu malu suaminya saat itu juga. Benar-benar pria satu ini! "Tambahan biaya, Mas?" beo Shanum. Berusaha mengontrol nada suaranya agar tetap terdengar biasa."Iya, Num!" Reksa mengangguk tanpa beban."Yakin kamu minta sama aku, Mas?""Yakinlah! Emang kenapa, sih?" Reksa masih menjawab tanpa dosa sedikit pun. Shanum menghela nafas panjang sejenak. Berusaha meredam segala kesal yang sudah ingin sekali dilampiaskan. "Kok, malah nanya kenapa? Kamu lupa atau bagaimana? Gaji aku kan nggak sebesar kamu, Mas. Uang dari mana coba aku buat bantuin kamu?" ujar Shanum kemudian beralaskan."Loh, tapi kan kamu udah naik jabatan, Num. Pasti gaji juga naik, kan?""Senaik-naiknya paling berapa sih, Mas. Nggak ada 10% nya dari setengah gaji kamu.""Ya, tapi--""Udah gitu, kamu juga lupa atau gimana? Sekarang kan kamu udah ng
"Di transfer semuanya, Mas?""Ya, iyalah semuanya. Orang cuma sedikit juga. Masa kamu tetap perhitungan. Setidaknya kan kamu tetap bantu, Num."Menurut kalian bagaimana?"Oh, okeh!" sahut Shanum lugas tanpa beban. "Tapi setelah ini, urusan makan dan ongkosku sampai akhir bulan kamu yang tanggung ya, Mas.""Eh--""Pagi kamu harus beliin aku sarapan, karena Mama biasanya bikin masakan pedas. Siang, kamu delivery makanan ke kantor aku, karena kalau aku yang harus ke tempat kamu, aku nggak punya ongkos. Malam, kamu juga harus beliin aku makan, alasan sama dengan sarapan pagi. Mama kamu pasti masak makanan yang pedas dan aku nggak bisa makan. Jangan lupa, tiap hari kita juga harus berangkat dan pulang bareng karena aku nggak punya ongkos lagi. Pulsa kuota, skincare dan--""Tunggu! Tunggu! Kenapa aku jadi harus ngelayanin kamu begitu? Yang istri kan kamu Num, harusnya kan--""Loh, aku juga nggak maksud minta di layanin kamu, kok. Biasanya juga aku bisa ngelayanin diri aku sama kamu juga, ka
"Kak Sha apaan sih, kenapa tadi maen tarik aja? Aku tuh belum puas tau ngebales suami Kakak." Shaki ngomel dalam mobil yang sudah berjalan menjauh dari rumah Reksa. "Nanti ribut," jawab Shanum santai."Ya, terus? Masalahnya di mana? Tibang ribut doang, kan? Aku sih nggak bakal kalah. Kakak nggak lupakan kalau aku jago gelud. Meski, aku yakin suami kakak itu paling beraninya adu bacot doang. Soalnya, badannya aja letoy begitu. Nggak kayak aku, gagah begini. Iya, kan?" Shaki masih mengomel dengan di sertai kenarsisan yang memang sudah mendarah daging sejak orok, kayaknya. Maklum gengs, bapaknya juga kan narsis parah. Makanya ya, anaknya begitu. "Aku tahu, Ki. Tapi aku cuma nggak mau ribut aja. Nggak enak nanti malah jadi omongan tetangga.""Hish! Tetangga aja di perduliin. Kek ngasih makan aja." Shaki masih menjawab kesal. "Ya, namanya juga hidup bareng, Ki. Mau nggak mau, suka nggak suka, memang harus belajar menahan diri demi menjaga silaturahmi dan ketenangan lingkungan. Apalagi,
Tubuh Reksa seketika membeku sambil melirik dua kakinya dengan refleks. Pria itu menelan saliva kelat membayangkan jika bagian tubuhnya itu dipatahkan. "Mungkin memang harusnya ku patahkan saja, ya? Ah, kurasa aku memang terlalu baik hari ini," desah Frans dramatis.Mata Reksa melotot horor. Saliva semakin kelat saat ia telan dengan refleks. "Jangan! Jangan! Aku mohon! Jangan patahkan kakiku!" hibanya kemudian. Tak sanggup rasanya jika hidup dengan dua kaki yang cacat. Pikirnya, buat apa tetap hidup jika cacat. Sudahlah sekarang miskin, cacat pula. Lebih baik mati daripada hidup seperti itu."Tapi tadi kau menyalahkan aku karena menculikmu hari ini." Frans berakting seolah tengah bersedih akibat tuduhan Reksa. Reksa pun gelagapan. "Maaf! Maaf! Tolong maafkan aku! Aku ... tidak bermaksud tadi. Aku hanya ... hanya ...." Reksa bingung merangkai alasan. Faktanya, masih ada kekesalan dalam dirinya pada Frans. Sebab ulah pria itu ia gagal mempertahankan rumah tangganya. Bahkan rencana m
Dengan uang yang pas-pasan. Reksa menyetop taksi yang lewat. Padahal sebenarnya di sana banyak tukang ojeg yang pasti lebih murah dan ongkosnya nyaman di kantong. Akan tetapi, karena tak ingin penampilan paripurnanya ternodai debu jalanan dan terik matahari. Reksa memilih menghabiskan sisa uangnya untuk naik taksi.Perkara pulangnya, nanti kan ada Shanum. Setelah rujuk nanti, Reksa bisa meminta uang Shanum seperti yang sudah-sudah. "Pengadilan agama, Bang!" terang Reksa riang sekali."Siap, Pak!" balas si sopir taksi sopan.Tidak ada yang mencurigakan. Taksinya bagus dan nyaman, sopirnya juga ramah. Semua berjalan lancar awalnya. Hingga tiba-tiba di tengah perjalanan, tepatnya di jalanan sepi, taksi yang Reksa tumpangi mendadak berhenti tanpa komando."Loh, Pak. Kenapa berhenti? Ini kan--"Ceklek!Belum sempat Reksa merampungkan kalimatnya. Tiba-tiba pintu samping kemudi dan tempat duduknya terbuka, lalu masuk seseorang yang lumayan Reksa kenal. "Kau--""Hai, long time no see!" sela
Reksa mengecek ponselnya berkali-kali sejak kemarin. Hingga hari ini, sudah terhitung ratusan kali ia mengecek ponselnya, bahkan sampai memantau dengan seksama hingga matanya perih. Seolah mengedip pun tak rela karena tak ingin melewatkan satu detik pun menatap layar ponselnya tersebut. Hal itu bukan karena Reksa sedang jatuh cinta atau menunggu hadiah doorpize dari lotre yang iseng ia beli. Melainkan karena .... "Kenapa belum ada, ya? Padahal besok sudah mulai sidang lagi." Reksa mulai tidak sabaran menunggu notifikasi dari Shanum ataupun Arjuna. Reksa heran sekaligus bingung kenapa dua orang itu belum menghubungi seperti prediksinya? Padahal semua dirasanya sudah sesuai rencana. Apa memang Pak Arjuna atau Shanum sudah tidak perduli dengan jalannya sidang yang alot? Tetapi ... ah, itu tidak mungkin. Pebisnis besar seperti Pak Arjuna biasanya ingin semuanya berjalan cepat, kan? Karena baginya waktu adalah uang. Lalu, kenapa mereka belum menghubungi untuk memberi penawaran? Atau
Melihat akun di web ilegal yang ia buat dan aksi kejam yang Mahesa buat. Otak pintar Ayu berputar cepat membuat sebuah pemikiran. Mahesa dan Shanum punya sebuah hubungan! Akan tetapi hubungan seperti apa? Setahu Ayu, Mahesa bukanlah orang-orang dari lingkaran keluarga Setiawan atau pun sejawatnya. Dia orang baru di dunia bisnis tanah air setelah sebelumnya sukses di luar negeri. Nama belakang Mahesa pun adalah Respati. Bukan Antonio, Anderson, atau Wiese. Nama-nama yang memang bukan rahasia umum lagi punya hubungan kental layaknya keluarga dengan Setiawan.Lalu, kenapa tiba-tiba Mahesa ikut campur begini? Ada apa? Siapa dia sebenarnya?"Jadi ... kamu melakukan ini semua untuk membalas dendam atas nama dia!" tebak Ayu kemudian dengan marah. Ada rasa cemburu yang menelusup hati. Bagaimana tidak? Lagi-lagi pria hebat yang ia incar ternyata punya hubungan dengan Shanum. Entah itu teman sejawat keluarganya atau memang sekedar kenalan. Hal itu membuat Ayu jadi iri. Kenapa? Kenapa gadis
"Lepaskan! Lepaskan! Aku mohon! Lepaskan aku!"Ayu terus meronta. Meminta dilepaskan dari kuncian Mahesa karena tak sanggup melihat semua rekaman dalam layar besar di hadapannya. Meski semua rekaman itu menampilkan dirinya sebagai peran utama. Akan tetapi, justru karena itulah Ayu tak sanggup melihatnya.Ayu mual! Ingin muntah dan tiba-tiba merasa jijik pada dirinya sendiri kala mengingat momen-momen yang ia lewati dalam rekaman tersebut. Bagaimana tidak? Di sana? Di dalam rekaman itu. Terlihat Ayu sedang bergumul dengan seorang pria yang ia kira Mahesa selama ini.Tenyata Ayu salah. Pria itu bukan Mahesa, pria pujaannya. Melainkan orang lain yang tidak Ayu kenali sama sekali. Dan sialnya bukan hanya satu pria. Ada banyak! Bahkan tiap rekaman, prianya pasti berbeda. Namun yang lebih membuat Ayu mual lagi. Tampilan mereka seperti gembel!Iya, gembel! Pakean compang-camping! Wajah kumel, kotor, dan ... hoek! Bahkan untuk mendeskripsikannya saja Ayu tak sanggup. Ia benar-benar mual seka
Sebenarnya, Mahesa sempat sangat marah pas tahu Ayu ternyata masih menampung suami dan mertuanya. Pria itu bahkan ingin memutuskan hubungan mereka. Beruntung Ayu hamil di saat yang tepat. Hingga Mahesa pun tak bisa meninggalkannya begitu saja. Akan tetapi ya ... itu dia, syaratnya Ayu harus segera mengusir suami dan mertuanya dari rumah. Jika tidak, Mahesa tidak akan memperdulikan Ayu lagi meski hamil anaknya. Maka dari itu Ayu pun segera mengusir Reksa dan Rima sebelum Mahesa berubah pikiran lagi. Karena ia tak ingin kehilangan kesempatan menjadi Nyonya Mahesa. Lagipula memang tidak ada gunanya juga terus mempertahankan dua orang itu. Toh, Rima sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi tenaganya. Wanita tua itu makin lemah dan sepertinya sudah sakit-sakitan. Sementara Reksa? Ah, pria itu memang bisanya jadi beban istri saja. Jadi, memang sudah tepat jika Ayu segera mengusir mereka. Anggap aja buang beban."Mbok, malam ini saya tidak pulang. Jadi tidak usah masak makan malam," titah Ayu s
Rahang Reksa menegang keras karena amarah. Sejujurnya egonya sedikit tersentil oleh perbuatan Ayu. Bisa-bisanya wanita itu hamil anak pria lain di saat masih berstatus istrinya.Saat pertama kali Reksa berhubungan badan dengan Ayu, wanita itu memang sudah tak suci sepertinya. Karena gampang sekali bagi Reksa memasuki bagian inti wanita itu. Sungguh berbeda saat melakukannya pertama kali dengan Shanum. Bahkan sampai terakhir kali melakukannya dengan Shanum pun, rasanya tak selonggar itu. Hal itu seolah memberitahunya jika Ayu sebenarnya cukup liar. Reksa saja yang tidak terlalu mengenal Ayu. Itulah kenapa, sejak malam penggerebekan, Reksa memang tak pernah menyentuh Ayu lagi. Buat apa? Tidak ada rasanya.Wajar sebenarnya kalau Ayu akhirnya hamil di luar nikah. Hanya saja, kenapa saat statusnya masih menjadi istri Reksa. Kan, Reksa jadi tersentil ya. Seperti tak bisa memuaskan istri saja, hingga sang istri harus mencari pria lain di luar sana."Menjijikan kau Ayu!" desis Reksa kemudian
Reksa bersiul senang ketika mendengar laporan dari orang suruhannya terkait keputusan hakim hari ini. Semua berjalan sesuai rencananya. Sekarang tinggal tunggu saja Shanum atau orang tuanya menghubungi Reksa untuk memohon-mohon. Haaahhh .... dia akan kembali kaya pokoknya!"Jadi tidak sabar," gumamnya dengan senyum lebar dan mata berbinar terang penuh keyakinan.Ya! Semua yang terjadi memang sudah Reksa rencanakan sedemikian rupa. Dia sengaja membuat sidang alot agar baik Shanum atau orang tuanya kesal. Setelah itu salah satu dari mereka pasti menelepon Reksa dan memintanya tak berulah lagi.Reksa sangat menunggu momen itu, karena akan ia manfaatkan sebaik mungkin. Rencananya ia akan kukuh meminta rujuk. Akan tetapi kalau Shanum tetap tak mau, maka Reksa akan meminta sejumlah uang atau salah satu aset berharga keluarganya.Briliant, bukan? Dengan begitu, Sekalipun Reksa tak bisa mendapatkan Shanum lagi, ia akan tetap untung. Reksa yakin, Pak Arjuna pasti akan menuruti maunya demi pu
"Turutin aja apa kata Ayu, Ma. Daripada nanti di usir. Mama mau? Lagian cuma beresin gudang doang, kan? Apa susahnya?"Tapi, Sa--""Ck, sudahlah, Ma. Jangan ganggu aku lagi. Aku lagi banyak kerjaan!" Rima pun terhenyak dengan hati nanar mendapat perlakuan Reksa yang abai pada keluhannya. Padahal, Rima melakukannya agar mendapatkan pembelaan, serta berharap Reksa mau membantunya membujuk Ayu agar melupakan hukuman untuknya. Dipikir bagaimana pun, Rima benar-benar tak akan sanggup membereskan gudang belakang itu seorang diri. Karenanya, dia pun mencoba menemui Reksa dan meminta bantuan. Akan tetapi siapa sangka? Anak yang sedari dulu selalu menjadi kebanggaannya, diagung-agungkan, dimanja melebihi anak lain. Kini malah abai dan sinis padanya. Bahkan, sejak masuk rumah ini seolah lupa pada ibu yang sudah melahirkannya ke dunia. Padahal tahu ibunya dijadikan pembantu oleh istrinya sendiri. Akan tetapi Reksa tak pernah sekali pun menemui dan bertanya tentang kabarnya di rumah itu? Cap