"Kamu nih ya, bener-bener! Masa bawa Shanum ke sini aja nggak bisa!""Bukan nggak bisa, Ma. Tadi Shanum udah naik mobil kok, dan kami juga hampir sampai. Tapi di jalan, dia malah ngajak ribut dan akhirnya ngambek. Terus minta turun, deh. Pake ngancem mau loncat pula kalau nggak diturutin. Jadinya kan, Reksa--""Ah, dasar kamu memang bodoh, Reksa!" raung Mama Rima sambil memukul-mukul lengan anaknya itu dengan gemas. "Aduh! Aduh! Sakit, Mah!" Reksa mencoba melepaskan diri dari pukulan sang ibu yang terlihat marah sekali saat ini. "Ya kamu sih nyebelin! Udah tahu kita lagi sandiwara buat luluhin Shanum. Kenapa kamu malah ngajak dia ribut, sih?" hardik Mama Rima lagi."Bukan Reksa, Ma, yang ngajak ribut. Tapi Shanum!""Ya kan kamu bisa nahan diri, Reksa! Jangan diladenin.""Tapi, Ma--""Bukannya kamu sendiri tadi yang minta, bahkan sambil mohon-mohon sama mama untuk mengalah sementara demi kelancaran rencana kita. Sudah mama setujui, eh sekarang malah kamu sendiri yang nggak bisa nahan
"Pokoknya Mama nggak mau!""Ya terserah. Seperti yang Papa bilang. Ini terakhir kali Papa kasih usulan. Kalau kalian nggak mau terima, Papa angkat tangan." Akhirnya Papa Hendra pun menyerah. Istrinya terlalu bebal. Menguji kesabarannya lama-lama.Papa Hendra berjanji tak akan mau dipusingkan lagi oleh masalah yang ditimbulkan sang istri. Biarkan saja wanita itu mengatasi masalahnya sendiri. Toh, sudah di kasih tahu pun tak mau dengar, kan?"Loh, nggak bisa begitu dong, Pa. Aku kan istrimu. Kamu harus bantu aku!" Mama Rima tak urung protes."Bantu dengan cara apa? Bayar denda yang di tentukan? Maaf, Papa nggak punya uang sebesar itu," sahut Papa Hendra lelah. "Ya kalau pun ada, nggak usah di bayarin juga. Sayang banget uangnya." Mama Rima menyahut konyol."Lantas kalau minta maaf nggak mau, bayar denda pun tak mau. Kamu maunya apa? Memangnya masalah ini bisa selesai gitu aja hanya dengan didiamkan?""Ya kenapa nggak kamu aja sih yang bujuk Shanum. Seperti kata Reksa, kalian kan cukup
Sementara di Rumah Sakit masih terjadi perdebatan panas nan alot. Di Rumah, Shanum sudah nyaman diperaduan, sambil mendengarkan laporan dari orang yang ia tugaskan mengawasi keadaan. "Begitu, ya? Baiklah. Pantau terus mereka. Laporkan segera jika ada hal gawat atau ganjil sekalipun."Klik!Setelah mendengar jawaban 'siap' dari orang di seberang. Shanum pun memutuskan sambungan telepon. Wanita itu menghela nafas panjang sambil menerawang ke depan. Seandainya Reksa benar-benar berselingkuh, semuanya pasti tak akan serumit ini. Jika Reksa benar-benar memiliki hubungan spesial dengan wanita lain. Shanum bisa dengan mudah pergi. Tidak harus langsung poligami, sekedar pacaran atau jajan diluar saja. Pasti Shanum sudah punya alasan untuk pergi. Sayangnya, selama ini Reksa tak benar-benar punya hubungan intim dengan wanita mana pun. Bahkan dengan Ayu sekalipun. Mereka hanya menikmati hubungan intim tanpa adanya status yang jelas. Ah, ralat. Ada sih, statusnya itu adalah sepupu. Hanya saja,
Diam-diam Shanum mengeratkan pegangannya pada tali tas selempang yang tengah ia kenakan. Guna menyalurkan emosi yang tiba-tiba saja muncul agar tak kelepasan mencakar wajah tak tahu malu suaminya saat itu juga. Benar-benar pria satu ini! "Tambahan biaya, Mas?" beo Shanum. Berusaha mengontrol nada suaranya agar tetap terdengar biasa."Iya, Num!" Reksa mengangguk tanpa beban."Yakin kamu minta sama aku, Mas?""Yakinlah! Emang kenapa, sih?" Reksa masih menjawab tanpa dosa sedikit pun. Shanum menghela nafas panjang sejenak. Berusaha meredam segala kesal yang sudah ingin sekali dilampiaskan. "Kok, malah nanya kenapa? Kamu lupa atau bagaimana? Gaji aku kan nggak sebesar kamu, Mas. Uang dari mana coba aku buat bantuin kamu?" ujar Shanum kemudian beralaskan."Loh, tapi kan kamu udah naik jabatan, Num. Pasti gaji juga naik, kan?""Senaik-naiknya paling berapa sih, Mas. Nggak ada 10% nya dari setengah gaji kamu.""Ya, tapi--""Udah gitu, kamu juga lupa atau gimana? Sekarang kan kamu udah ng
"Di transfer semuanya, Mas?""Ya, iyalah semuanya. Orang cuma sedikit juga. Masa kamu tetap perhitungan. Setidaknya kan kamu tetap bantu, Num."Menurut kalian bagaimana?"Oh, okeh!" sahut Shanum lugas tanpa beban. "Tapi setelah ini, urusan makan dan ongkosku sampai akhir bulan kamu yang tanggung ya, Mas.""Eh--""Pagi kamu harus beliin aku sarapan, karena Mama biasanya bikin masakan pedas. Siang, kamu delivery makanan ke kantor aku, karena kalau aku yang harus ke tempat kamu, aku nggak punya ongkos. Malam, kamu juga harus beliin aku makan, alasan sama dengan sarapan pagi. Mama kamu pasti masak makanan yang pedas dan aku nggak bisa makan. Jangan lupa, tiap hari kita juga harus berangkat dan pulang bareng karena aku nggak punya ongkos lagi. Pulsa kuota, skincare dan--""Tunggu! Tunggu! Kenapa aku jadi harus ngelayanin kamu begitu? Yang istri kan kamu Num, harusnya kan--""Loh, aku juga nggak maksud minta di layanin kamu, kok. Biasanya juga aku bisa ngelayanin diri aku sama kamu juga, ka
"Kak Sha apaan sih, kenapa tadi maen tarik aja? Aku tuh belum puas tau ngebales suami Kakak." Shaki ngomel dalam mobil yang sudah berjalan menjauh dari rumah Reksa. "Nanti ribut," jawab Shanum santai."Ya, terus? Masalahnya di mana? Tibang ribut doang, kan? Aku sih nggak bakal kalah. Kakak nggak lupakan kalau aku jago gelud. Meski, aku yakin suami kakak itu paling beraninya adu bacot doang. Soalnya, badannya aja letoy begitu. Nggak kayak aku, gagah begini. Iya, kan?" Shaki masih mengomel dengan di sertai kenarsisan yang memang sudah mendarah daging sejak orok, kayaknya. Maklum gengs, bapaknya juga kan narsis parah. Makanya ya, anaknya begitu. "Aku tahu, Ki. Tapi aku cuma nggak mau ribut aja. Nggak enak nanti malah jadi omongan tetangga.""Hish! Tetangga aja di perduliin. Kek ngasih makan aja." Shaki masih menjawab kesal. "Ya, namanya juga hidup bareng, Ki. Mau nggak mau, suka nggak suka, memang harus belajar menahan diri demi menjaga silaturahmi dan ketenangan lingkungan. Apalagi,
"Kak? Hei! Ya ... dia malah ngelamun. Ditungguin juga ceritanya." Suara Shaki berhasil mengembalikan kesadaran Shanum yang sempat tertarik ke masa lalu."Kepo deh kamu, Ki." Meski begitu, Shanum memilih menutup mulut dan tak memenuhi maunya Shaki. Biarlah. Biar kisah salah pilih pasangan Shanum nikmati sendiri sementara. Bukan dia tidak percaya pada Shaki. Hanya saja, Reksa masih suaminya dan menutup aib suami adalah tugas istri, iya kan?"Ah, Kak Shan-Shan nggak seru!" cebik Shaki. Shanum memutar matanya jengah mendengar panggilan Shaki. Pria itu memang suka seenaknya memberi panggilan. Kadang Kak Sha, Kak Shanum, Kak Shan, Kak ShaSha, Kak Shan-Shan, Kak Num-Num, Kak Nanum, dan banyak lagi lainnya. Terserah lidahnya saja sedang mau memanggil Shanum bagaimana. Bahkan, kadang Shaki seenaknya memanggil Shanum dengan panggilan Ayang atau calon istri. Namun, untuk dua panggilan tadi Shanum biasanya menegur dengan kesal. Karena tak ingin ada gosip antara mereka. Terlebih kini Shanum su
Satu sudut bibir Shanum naik dengan tipis. "Pesenin makanan, ya?""Iya, pesenin buruan. Ingat! Yang enak-enak dan yang bergizi. Biar saya cepet sembuh."Shanum mengangguk patuh, lalu membalik badan ke arah Reksa. Menyodorkan salah satu tangannya, seperti minta uang. Reksa menautkan alisnya bingung, pun Ayu dan Mama Rima. Setelahnya .... "Maksudnya apa itu?" tanya Mama Rima tak suka. "Mau minta uang sama suami akulah!" sahut Shanum tanpa beban."Eh, kenapa jadi minta uang sama anak saya?" Mama Rima semakin tak terima"Loh, katanya Mama minta dipesenin makanan. Ya, udah, nggak salah dong aku minta uang sama anak mama ini, yang itu adalah suami aku juga." "Tapi kenapa harus pake uang Reksa. Pake uang kamu kan, bisa.""Uangku tinggal cukup buat ongkos sampe akhir bulan.""Nggak--""Mereka bahkan sudah liat sendiri tadi pagi isi saldo bank aku. Jadi, mohon maaf, aku nggak bisa beliin Mama makanan," sela Shanum cepat, membuat Mama Rima makin meradang. "Ya, udah masak aja sana! Mumpung b
Syukurlah Shanum akhirnya bisa melewati masa kritisnya berkat Mr Chen. Dia sudah dipindahkan ke ruang perawatan, tinggal menunggu untuk siuman. Karina pun sudah bertemu Mr Chen dan mengobrol banyak hal. Pria itu menunjukan banyak bukti tentang keterikatan darahnya dengan Shanum. Membuat Karina akhirnya bisa menerima kenyataan jika putrinya memiliki keluarga lain selain mereka. Arjuna sendiri tahu fakta barusan beberapa hari setelah pertemuan di kantornya, yang melahirkan kecurigaan pada sikap Mr Chen terhadap sang putri. Sebagai seorang ayah, dia tentu tak ingin sampai anaknya jadi buruan penjahat birahi. Karenanya, ia segera meminta anak buahnya melakukan penyelidikan di bantu Raid untuk penyelidikan lebih dalam. "Jangan membuatku cemburu dengan melihat putriku seperti itu Mr Chen. Anda tahu, saya ini sangat posesif sebagai kepala keluarga. Saya tak segan mematahkan leher orang jika sudah sangat cemburu," tegur Arjuna dengan nada bercanda. Meski begitu, tetap ada ketegasan dan p
Arjuna langsung meninggalkan ruang rapat setelah mendengar laporan tentang Shanum. Tak perduli rapat sebenarnya masih berlangsung, Arjuna tetap pergi begitu saja. Toh, ada Arsen yang pasti akan menyelesaikan semuanya."Antarkan aku ke Setiawan Healty secepatnya!" titahnya pada sang sopir. Tak menunggu perintah dua kali, sopir tersebut pun langsung tancap gas. Sementara itu Arjuna segera menelepon kepala pelayan di rumahnya dan meminta rekaman cctv di rumah. Ia ingin tahu kenapa Shanum sampai mengalami pendarahan hari ini? Padahal saat kemarin ditinggalkan putrinya itu masih baik-baik saja. Arjuna juga ingat jika sekarang belum HPL kandungan Shanum.Sepanjang perjalanan Arjuna tak bisa tenang sedikit pun. Otaknya terus saja mengingatkan dirinya pada kenangan kelam di masa lalu. Saat Karina kritis dan kehilangan anak pertama mereka. Rasanya dejavu. Kekhawatiran ini. Rasa takut ini semua sama. Arjuna benar-benar tak ingin berada di posisi itu kembali.Setelah melakukan perjalanan yang
"Lebih cepat, Angga! Shanum hampir tak bisa bertahan!" seru Frans kesal pada Angga mana kala merasa mobil yang ditumpangi tak berjalan lancar. "Macet, Bos." Angga menyahut tak kalah gusar. Dia pun bukan ingin sengaja memperlambat perjalanan. Apa mau di kata, jalanan saat ini lumayan macet.Frans mengeram kesal. Melongokkan kepala lewat kaca jendela pintu demi bisa memantau kondisi sekeliling. Sial! Mereka benar-benar terjebak macet. Mana masih jauh pula ke rumah sakit. Salahnya juga yang malah memilih mobil bukan hellypad. Padahal Arjuna sengaja tak menggunakan kendaraan itu kemarin untuk jaga-jaga jika terjadi sesuatu pada Shanum dan kehamilannya. Mau bagaimana lagi, Frans tadi terlalu panik. Otaknya blank dan lupa pada benda terbang itu. Seumur-umur baru kali ini otaknya mendadak macet hanya karena panik."Bertahan, Sha! Jangan tidur dulu." Frans menepuk pipi Shanum yang mulai memucat agar tetap sadar. Setelah itu, Frans pun menghubungi Reyn."Reyn, Shanum akan melahirkan. Tapi k
"Mas, tadi kata Papa kamu dapat hadiah rumah dari Pak Arjuna. Itu maksudnya apa, ya?" Amanda mengeluarkan penasaran yang sedari tadi ditahannya."Bukan apa-apa. Tidak usah dipikirkan," jawab Randy tak ingin jujur. Amanda mengangsur nafas kasar mendengarnya. "Mas, ayolah! Jangan bohong. Kita kan udah janji memulai semuanya lagi dari awal. Tanpa ada yang ditutupi lagi dan selalu saling percaya. Mas lupa?"Randy melipat bibirnya. Sesungguhnya Randy masih ragu untuk berterus terang. Akan tetapi, Amanda benar. Mereka sudah punya kesepakatan tadi. Istimewanya dia sendiri yang mencetuskan hal itu pertama kali. Masa kini ia juga yang mangkir. "Mas? Ayolah! Jujur aja. Aku nggak akan menghakimi kamu apa pun, kok. Aku janji akan mendukung apa pun keputusan yang kamu ambil akan masalah itu." Amanda kembali mendesak. Membuat Randy makin dilema. "Mas, ayo cerita aja. Bukan hanya aku loh yang kepo. Para Reader juga. Kalau nggak percaya, tanya aja gih!" Randy pun mendesah berat mendengarnya. Mung
"Kenapa kamu tidak ambil rumah yang dihadiahkan Pak Arjuna saja, Ran?" tanya Hendra tiba-tiba. Mendengar kalimat barusan, kening Amanda bertaut bingung. Rumah hadiah Pak Arjuna? Itu ayah angkatnya Shanum kan?Maksudnya apa?Memang apa yang sudah Randy lakukan hingga bisa mendapatkan hadiah rumah dari Pak Arjuna? Cerita tentang keterlibatan Randy pada penyelamatan Shanum memang orang-orang tertentu saja yang tahu. Hendra pun tahu sebab tak sengaja melihat Pak Arjuna menemui Randy untuk menyampaikan terima kasihnya. "Nggak, Pa. Randy sungkan," jawab Randy kemudian. Amanda masih memilih menyimak saja meski hati sudah sangat penasaran. Cerita apa yang sudah ia lewatkan hingga Randy tau-tau dapat rumah begitu dari ayahnya Shanum."Kenapa sungkan? Pak Arjuna kan memberikan rumah itu untuk balas budi karena kamu--""Pa?" cegah Randy. "Tidak usah membahas itu lagi. Randy malu. Karena apa yang Randy lakukan tidak ada apa-apanya dengan kebaikan Shanum selama menjadi keluarga kita. Maka da
Randy menulikan diri dan tetap melangkah pergi di sela raungan pilu Rima yang memintanya tetap tinggal. Menggandeng erat lengan Amanda, pria itu melangkah dengan yakin dari tempat tersebut. "Mau kasihan, tapi ya salah sendiri terlalu pilih kasih," celetuk salah satu tetangga yang masih bisa Randy dengar."Iya, ya. Padahal Randy itu orangnya baik dan sopan. Dia juga ramah dan ringan tangan selama tinggal di sini. Sayang, punya keluarga kok toxic semua," sahut lainnya. Tetangga lainnya menyahut kembali, tapi kini tak bisa Randy dengar karena mereka memang sudah jauh melangkah. "Mas, kita mau ke mana?" tanya Amanda meminta keyakinan sambil membenarkan gendongan pada putri kecilnya yang tengah terlelap dalam gendongan kain.Randy terdiam. Tak langsung menjawab tanya Amanda yang sebenarnya ia pun tak tahu akan kemana saat ini. Keputusan pergi menjauh dari Rima diakuinya memang terlalu impulsif. Akan tetapi, semua tercetus begitu saja ketika melihat istrinya di tampar Reksa. 'Mereka tid
"Jangan sentuh aku! Aku sudah muak dengan kalian!" Amanda masih meraung marah. "Sekali lagi aku tanya kamu, Mas. Pilih kami atau mereka!"Nyatanya Amanda sepertinya sudah tidak bisa dibujuk. Apalagi melihat tempramen Reksa yang makin hari makin mengkhawatirkan. Tadi pria itu berani mengacak kamar pribadinya, lalu mengambil dompetnya, dan barusan. Barusan saja berani menampar keras Amanda. Bukan apa-apa, Amanda cuma takut nanti bukan hanya ia yang disakiti, tapi juga anaknya, Nikita. Seburuk-buruknya Amanda, jelas tidak mau sampai anaknya kenapa-napa."Pilih, Mas!" desak Amanda sekali lagi. Randy menyugar rambutnya kasar. Sungguh dia bingung harus memilih yang mana. Di satu sisi ada rasa bersalah dan hutang budi. Sisi lainnya ada anak dan istri yang makin tersakiti. Randy harus pilih yang mana?"Sudahlah!" Salah satu Debkolektor yang dari tadi menyimak akhirnya buka suara. "Kami ke sini tuh buat nagih hutang, bukan malah liat drama kalian. Sekarang, cepat bayar hutang!" inbuhnya kemu
Meskipun berat, sepertinya Amanda memang harus mulai ambil keputusan tegas. Ia tidak mau hidupnya sia-sia bersama sang suami yang terlalu lembek. Selalu di nomor sekian kan dan ... ah, ternyata begini yang Shanum rasakan selama ini. Pantas saja wanita sabar itu akhirnya berontak. Tolong ingatkan Amanda untuk meminta maaf pada Shanum jika nanti bertemu lagi. Meski tidak tahu kapan, tapi semoga saja Tuhan masih sudi mengabulkan doa orang yang berlumuran dosa ini."Man, aku mohon jangan begitu." Randy berucap lirih. Tak sanggup jika harus memilih antara anak istri dan keluarganya. Apalagi, Randy masih punya satu rahasia, yang membuatnya sangat merasa bersalah hingga saat ini pada Reksa dan Mama Rima."Pilih saja, Mas. Aku nggak mau denger alasan apa pun lagi." Nampaknya Manda sudah benar-benar bulat pada keputusannya. Randy terdiam bingung. Sementara tetangga mulai riuh membicarakannya."Kalau saya jadi Amanda juga mending hidup sendirilah daripada sama suami lembek begitu.""Iyalah.
"Bayar tuh' hutangmu!" tandas Amanda hendak berlalu ke dalam kamar. Namun, langsung dicegat Reksa."Man, bayarkan dulu. Aku sedang tidak punya uang." Reksa memerintah seenak udelnya. Seolah Amanda adalah bawahannya. "Ya, gimana bisa punya uang, kalau kerja aja nggak mau?" ketus Amanda.Pria mendengkus tak suka. "Nggak usah bawel. Bayarin dulu sana!" Reksa masih menyuruh dengan tak tahu malu. Malahan kini, pria itu yang seenaknya pergi ke kamar. Pasti akan melanjutkan tidur.Selalu saja begini. Siapa yang berhutang, siapa yang harus membayar. Amanda benar-benar tidak tahan lagi. Ia bukan Randy yang kesabarannya seluas samudera. Ia Amanda Saputri yang sudah terlalu kecewa dengan keluarga suaminya. Cukup sudah! Lihat saja, hari ini akan Amanda beri pelajaran pria mokondo tak tahu diri itu. Dengan langkah pasti Amanda menuju pintu rumah kontrakan reyotnya."Orangnya di dalam. Nggak punya uang katanya buat bayar hutang. Terserah kalian mau apa kan dia. Tuh! Kamarnya di sana!" tunjuk Aman