"Sa! Reksa! Kamu harus tolongin Mama, Sa. Mama nggak mau masuk penjara! Huhuhu ..." Mama Rima terus meracau kalimat itu setelah ia bangun dari pingsannya. Wanita itu sungguh ketakutan mendapatkan fakta, bahwasanya barang mewah yang sering Amanda berikan selama ini adalah hasil gesek dari kartu kredit milik Shanum. Jika sampai aliran dana di selidiki, Mama Rima jelas akan ikut terciduk. Bisa dikatakan, ia sebagai penadah."Mama tenang aja. Reksa pasti lindungin Mama." Rasanya Reksa pun sudah jengah menenangkan."Gimana caranya? Orang ngomong sama Pak Arjuna aja kamu nggak berani, kan?" Sang Papa nyeletuk. Membuat Reksa kesal luar biasa. Bukannya bantu nenangin Mamanya malah nambah tekanan ke Reksa. Papa macam apa itu?"Papa bisa diem, nggak? Nggak usah ikut mojokin," desis Reksa. "Papa cuma ngomong fakta." Pria paruh baya itu mengangkat bahu acuh. Lalu menyandarkan tubuh dengan nyaman pada sofa yang tengah di dudukin."Bener, ya, Sa? Pokoknya kamu harus bisa bujukin Shanum biar ngga
"Sayang?!"Kening Shanum sukses berkerut, ketika baru saja keluar gedung perkatoran tempatnya bekerja, langsung menemukan keberadaan Reksa dan senyum lebarnya. Huft ... apa lagi kali ini maunya?Meski tak minat, Shanum tetap menghampiri Reksa. Apalagi pria itu juga sudah memanggil namanya, serta melambaikan tangan."Kamu ngapain ke sini, Mas?" Meski begitu, Shanum tetap tak bisa berpura-pura senang menerima kehadiran pria itu di sana. "Kok, ngapain? Ya jemput kamu lah!" jawab Reksa riang. Berbeda dengan Shanum yang alisnya semakin bertaut dalam. "Jemput?"Reksa mengangguk antusias, tak lupa dengan senyum cemerlangnya."Tumben. Biasanya mau sehebat apa pun huja badai yang aku hadapi saat pulang dan pergi kerja. Kamu nggak perduli tuh."Senyum Reksa langsung luruh menerima jawaban berupa sindiran dari Shanum yang sangat menohok itu. Faktanya memang selama ini, Reksa memang tak pernah bersedia mengantar dan menjemput Shanum, ketika istrinya itu memutuskan untuk kembali bekerja setelah
Tidak ada percakapan yang terjadi dalam perjalanan itu. Mungkin Reksa masih kesal dan merajuk seperti yang sudah-sudah. Biasa, gengs. Ingin ditanya duluan. Sayangnya, Shanum nggak perduli, tuh. Daripada membujuk, mending tidur, kan? Lebih berfaedah untuk kesehatan tubuh dan mentalnya. Tetapi jangan, deh. Dia kan harus selalu waspada."Seingatku, ini bukan jalan ke rumah, deh," ucap Shanum saat menyadari arah yang Reksa ambil bukan ke tujuan awal. "Iya, kita ke rumah sakit dulu. Nengokin Mama. Aku udah chat kamu kan, kalau Mama masuk rumah sakit.""Oh ...."'Oh' hanya itu! Kekesalannya kembali berkobar menerima tanggapan Shanum yang terkesan acuh sekali. Padahal, sudah sangat jelas Reksa mengatakan kalau ibunya masuk rumah sakit. Dan jawaban Shanum cuma ... oh!"Serius kamu cuma jawab itu, Num?" tandas Reksa dengan gigi mengatup menahan kesal. "Maksudnya?""Ya, aku kan udah bilang Mama masuk rumah sakit. Kamu apa nggak khawatir? Nggak pengen tahu keadaannya saat ini? Setidaknya tany
"Kamu nih ya, bener-bener! Masa bawa Shanum ke sini aja nggak bisa!""Bukan nggak bisa, Ma. Tadi Shanum udah naik mobil kok, dan kami juga hampir sampai. Tapi di jalan, dia malah ngajak ribut dan akhirnya ngambek. Terus minta turun, deh. Pake ngancem mau loncat pula kalau nggak diturutin. Jadinya kan, Reksa--""Ah, dasar kamu memang bodoh, Reksa!" raung Mama Rima sambil memukul-mukul lengan anaknya itu dengan gemas. "Aduh! Aduh! Sakit, Mah!" Reksa mencoba melepaskan diri dari pukulan sang ibu yang terlihat marah sekali saat ini. "Ya kamu sih nyebelin! Udah tahu kita lagi sandiwara buat luluhin Shanum. Kenapa kamu malah ngajak dia ribut, sih?" hardik Mama Rima lagi."Bukan Reksa, Ma, yang ngajak ribut. Tapi Shanum!""Ya kan kamu bisa nahan diri, Reksa! Jangan diladenin.""Tapi, Ma--""Bukannya kamu sendiri tadi yang minta, bahkan sambil mohon-mohon sama mama untuk mengalah sementara demi kelancaran rencana kita. Sudah mama setujui, eh sekarang malah kamu sendiri yang nggak bisa nahan
"Pokoknya Mama nggak mau!""Ya terserah. Seperti yang Papa bilang. Ini terakhir kali Papa kasih usulan. Kalau kalian nggak mau terima, Papa angkat tangan." Akhirnya Papa Hendra pun menyerah. Istrinya terlalu bebal. Menguji kesabarannya lama-lama.Papa Hendra berjanji tak akan mau dipusingkan lagi oleh masalah yang ditimbulkan sang istri. Biarkan saja wanita itu mengatasi masalahnya sendiri. Toh, sudah di kasih tahu pun tak mau dengar, kan?"Loh, nggak bisa begitu dong, Pa. Aku kan istrimu. Kamu harus bantu aku!" Mama Rima tak urung protes."Bantu dengan cara apa? Bayar denda yang di tentukan? Maaf, Papa nggak punya uang sebesar itu," sahut Papa Hendra lelah. "Ya kalau pun ada, nggak usah di bayarin juga. Sayang banget uangnya." Mama Rima menyahut konyol."Lantas kalau minta maaf nggak mau, bayar denda pun tak mau. Kamu maunya apa? Memangnya masalah ini bisa selesai gitu aja hanya dengan didiamkan?""Ya kenapa nggak kamu aja sih yang bujuk Shanum. Seperti kata Reksa, kalian kan cukup
Sementara di Rumah Sakit masih terjadi perdebatan panas nan alot. Di Rumah, Shanum sudah nyaman diperaduan, sambil mendengarkan laporan dari orang yang ia tugaskan mengawasi keadaan. "Begitu, ya? Baiklah. Pantau terus mereka. Laporkan segera jika ada hal gawat atau ganjil sekalipun."Klik!Setelah mendengar jawaban 'siap' dari orang di seberang. Shanum pun memutuskan sambungan telepon. Wanita itu menghela nafas panjang sambil menerawang ke depan. Seandainya Reksa benar-benar berselingkuh, semuanya pasti tak akan serumit ini. Jika Reksa benar-benar memiliki hubungan spesial dengan wanita lain. Shanum bisa dengan mudah pergi. Tidak harus langsung poligami, sekedar pacaran atau jajan diluar saja. Pasti Shanum sudah punya alasan untuk pergi. Sayangnya, selama ini Reksa tak benar-benar punya hubungan intim dengan wanita mana pun. Bahkan dengan Ayu sekalipun. Mereka hanya menikmati hubungan intim tanpa adanya status yang jelas. Ah, ralat. Ada sih, statusnya itu adalah sepupu. Hanya saja,
Diam-diam Shanum mengeratkan pegangannya pada tali tas selempang yang tengah ia kenakan. Guna menyalurkan emosi yang tiba-tiba saja muncul agar tak kelepasan mencakar wajah tak tahu malu suaminya saat itu juga. Benar-benar pria satu ini! "Tambahan biaya, Mas?" beo Shanum. Berusaha mengontrol nada suaranya agar tetap terdengar biasa."Iya, Num!" Reksa mengangguk tanpa beban."Yakin kamu minta sama aku, Mas?""Yakinlah! Emang kenapa, sih?" Reksa masih menjawab tanpa dosa sedikit pun. Shanum menghela nafas panjang sejenak. Berusaha meredam segala kesal yang sudah ingin sekali dilampiaskan. "Kok, malah nanya kenapa? Kamu lupa atau bagaimana? Gaji aku kan nggak sebesar kamu, Mas. Uang dari mana coba aku buat bantuin kamu?" ujar Shanum kemudian beralaskan."Loh, tapi kan kamu udah naik jabatan, Num. Pasti gaji juga naik, kan?""Senaik-naiknya paling berapa sih, Mas. Nggak ada 10% nya dari setengah gaji kamu.""Ya, tapi--""Udah gitu, kamu juga lupa atau gimana? Sekarang kan kamu udah ng
"Di transfer semuanya, Mas?""Ya, iyalah semuanya. Orang cuma sedikit juga. Masa kamu tetap perhitungan. Setidaknya kan kamu tetap bantu, Num."Menurut kalian bagaimana?"Oh, okeh!" sahut Shanum lugas tanpa beban. "Tapi setelah ini, urusan makan dan ongkosku sampai akhir bulan kamu yang tanggung ya, Mas.""Eh--""Pagi kamu harus beliin aku sarapan, karena Mama biasanya bikin masakan pedas. Siang, kamu delivery makanan ke kantor aku, karena kalau aku yang harus ke tempat kamu, aku nggak punya ongkos. Malam, kamu juga harus beliin aku makan, alasan sama dengan sarapan pagi. Mama kamu pasti masak makanan yang pedas dan aku nggak bisa makan. Jangan lupa, tiap hari kita juga harus berangkat dan pulang bareng karena aku nggak punya ongkos lagi. Pulsa kuota, skincare dan--""Tunggu! Tunggu! Kenapa aku jadi harus ngelayanin kamu begitu? Yang istri kan kamu Num, harusnya kan--""Loh, aku juga nggak maksud minta di layanin kamu, kok. Biasanya juga aku bisa ngelayanin diri aku sama kamu juga, ka
"Mungkin dia hanya butuh suasana berbeda malam ini." Safran akhirnya buka suara demi menenangkan Shanum.Shanum menghela napas pasrah akhirnya. "Baiklah, kalau begitu … ayo ke kamar tamu sebelum dia bangun dan menangis lagi."Dengan langkah santai, Safran mengikuti Shanum menuju kamar tamu, masih dengan Baby Nata yang tidur nyenyak di dadanya.***Pagi harinya, Shanum bangun lebih awal dari biasanya. Setelah membersihkan diri dengan cara paling cepat yang ia bisa dan sholat subuh, wanita itu pun langsung menuju kamar tamu dengan harapan bisa membawa Baby Nata kembali ke kamarnya sebelum bocah terbangun.Sayangnya, begitu ia membuka pintu, Shanum justru langsung terkesiap ketika melihat Safran tengah menjalankan dua rakaat paginya dengan Baby Nata dalam gendongan sebelah tangannya. Astaga, Anak ini!Shanum sebenarnya ingin segera mengambil alih Baby Nata. Namun, ia takut akan mengganggu ibadah Safran. Terpaksa ia pun hanya bisa menunggu pria itu menyelesaikan ibadahnya. Sambil menung
Mr. Chen terdiam, menelan setiap kata Frans dengan perasaan campur aduk. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa ia yang paling tahu apa yang terbaik untuk Shanum, hanya karena dialah yang paling punya hubungan darah. Tetapi kenyataannya? Ia sudah berkali-kali salah langkah, berkali-kali mengambil keputusan yang justru malah menjauhkan dirinya dari keponakannya sendiri.Sorot mata Frans yang tajam membuatnya tak nyaman. Sebagai orang yang selama ini cukup berkuasa di lingkungannya, Mr. Chen tidak terbiasa ditegur seperti ini—terlebih oleh seseorang yang hanya seorang asisten. Namun, kali ini, ia tahu dirinya tak punya hak untuk membantah.Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan."Kau benar," gumamnya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. "Aku terlalu banyak ikut campur dalam hidup Shanum... Aku pikir aku sedang melindunginya, tapi nyatanya aku hanya memperkeruh keadaan."Frans tidak segera menjawab, tetapi ia mengamati peru
Mr. Chen duduk di balik mejanya yang besar, kedua tangannya mencengkeram lengan kursinya dengan erat. Ruang kantornya yang biasanya menjadi tempat ia mengendalikan banyak hal, kini terasa seperti jebakan. Udara terasa lebih berat sejak seorang pria berjas hitam masuk ke dalam ruangan, diantar oleh asistennya yang wajahnya pucat ketakutan.Utusan itu berjalan dengan langkah santai, seolah-olah ia adalah pemilik ruangan. Tanpa menunggu dipersilakan, ia duduk di kursi di depan meja Mr. Chen, menyilangkan kaki, lalu menatapnya dengan senyum tipis yang sama sekali tidak membawa kehangatan."Mr. Chen," pria itu berbicara dengan nada tenang, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat bulu kuduk berdiri. "Tuan ingin menyampaikan sesuatu.""A-apa itu?" Mr Chen sebenarnya ingin terdengar biasa saja, tapi ternyata sulit. Tanpa ucapan, pria itu lantas menyodorkan sebuah map coklat pada Mr Chen. Dan memberikan kode lewat mata agar pria itu membukanya. Tangan Mr Chen terulur ragu. Dengan gera
Leon terus meronta saat Frans menyeretnya keluar, tetapi tidak ada satu pun yang peduli. Bahkan Mr. Chen yang biasanya membela pun hanya menatap dengan tatapan kecewa, tak berniat menolongnya."Jangan khawatir, Leon," suara Frans dingin. "Aku akan mengantarmu keluar dengan baik-baik. Tapi setelah itu, jangan pernah muncul di hadapan Bos lagi, kecuali kau ingin hidupmu benar-benar berakhir.""Frans! Aku benar-benar tidak bersalah!" Leon masih berusaha membela diri, tetapi Frans hanya mendecih."Kau bisa menyuarakan kebohonganmu sebanyak yang kau mau. Tapi tidak ada satu pun orang di rumah ini yang akan percaya." Frans mencengkeram bahu Leon lebih erat. "Dan satu hal yang harus kau ingat, Tuan Leon. Tidak ada yang bisa menyentuh Nyonya Karina tanpa hukuman. Kau harusnya bersyukur, Bos masih memberimu kesempatan untuk keluar dari sini hidup-hidup."Leon menatap Frans dengan penuh kebencian. Ia tidak percaya hidupnya bisa berantakan secepat ini hanya karena satu kesalahan. Padahal niatnya
Begitu mendengar tuduhan Frans, ruangan itu langsung dipenuhi keheningan yang mencekam. Semua orang membeku, terutama Arjuna. Matanya langsung berubah tajam dan penuh amarah. Arjuna langsung menuju kamarnya demi memastikan keadaan sang istri. Sementara Shanum menatap Leon dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Antara marah, kecewa, jijik dan ... mungkin kasihan. Leon pasti tidak sadar jika telah berbuat kesalahan fatal, yang bisa menghancurkan hidupnya sendiri sampai ke dasar. Bunda Karina adalah kelemahan Daddy Arjuna. Daddy bisa melakukan apa saja jika bundanya tersakiti. Bahkan, melenyapkan orang pun, tak akan segan."Habislah kau!" desis Shanum penuh amarah. Shanum lalu mengikuti langkah sang Daddy mengecek keadaan Bunda. Namun, hatinya langsung ikut teriris ketika sampai, langsung di sambut penampakan Bunda Karina yang histeris dan meronta menolak sentuhan Daddy. Pasti perbuatan Leon barusan membuat trauma Bunda kembali muncul. Daddy pernah cerita jika Bunda Karina dulu se
Beberapa hari kemudian, saat Shanum tengah me time dengan membaca buku di teras samping, Mr. Chen kembali menemui. Kali ini, pria itu tampak lebih bersemangat, matanya berbinar dan senyumnya lebar sekali. Seolah tengah bersuka cita."Xiao Shan," panggilnya riang, menarik perhatian Shanum yang tengah fokus membaca.Shanum mendongak. Tetapi melihat senyum lebar sang paman, alis Shanum refleks terangkat sebelah. "Ya, Paman?"Shanum yang sudah cukup mengenalnya tentu saja merasa curiga. Apa lagi kali ini yang akan di lakukan pamannya ini?"Ada sesuatu yang ingin Paman tunjukkan padamu." "Apa itu?""Tapi kamu harus mengatur nafasmu terlebih dahulu. Karena apa yang akan paman sampaikan pasti membuatmu syok." Senyum masih belum luntur. Malah semakin lebarShanum semakin curiga. "Paman tenang saja, aku orangnya cukup sabar, kok.""Janji tidak langsung marah, ya?""Langsung saja, paman. Tidak usah banyak basa basi."Dengan gerakan tenang akhirnya, Mr. Chen mengeluarkan sebuah amplop cokelat
Arjuna menghela napas panjang, berusaha menenangkan istrinya yang sudah benar-benar marah. Ia kemudian menatap Mr. Chen dengan tajam, senyumannya menghilang."Chen, kau dengar sendiri, kan?" Arjuna berkata dengan suara rendah namun penuh ketegasan. "Aku sudah cukup sabar membiarkanmu ikut campur dalam hidup Shanum. Tapi kalau sampai kau membuatnya tertekan, aku tidak akan tinggal diam.""Arjuna, aku hanya ingin yang terbaik untuknya," Mr. Chen masih berusaha mempertahankan pendapatnya."Terbaik menurut siapa?" Arjuna mendengus. "Menurutmu? Maaf, tapi kau tidak berhak menentukan itu."Mr. Chen mengepalkan tangannya. "Aku pamannya!""Dan aku ayahnya," Arjuna balas dengan nada yang lebih dingin. "Aku yang membesarkannya, aku yang mendukung setiap keputusannya, dan aku tahu persis apa yang membuatnya bahagia atau tidak. Kau? Kau baru muncul setahun terakhir dan sudah berani bertindak seolah lebih tahu dari kami?"Karina menambahkan dengan nada penuh kekesalan. "Kalau kau benar-benar pedul
Saat Shanum kembali ke dalam rumah, menyusul mereka semua. Mr. Chen menatap Shanum tajam, ekspresinya masih penuh ketidakpuasan. "Xiao Shan, aku tidak ingin kau terlalu dekat dengan Safran."Shanum yang sudah menduga akan ada teguran seperti ini hanya bisa menarik napas dalam. "Paman, sudahlah. Jangan terlalu mempersalahkan hal itu.""Tapi paman tidak suka melihatnya, Xiao Shan.""Atas dasar apa?""Xiao Shan, Paman tidak ingin kau gampang percaya pada orang baru."Shanum mendesah lelah. "Paman, asal paman tahu saja, aku bahkan sudah mengenal Safran sejak kecil. Daddy dan Bunda juga mengenalnya dengan baik. Jadi, dia bukan orang baru dalam hidupku. Kenapa Paman tiba-tiba mempermasalahkannya?"Mr. Chen mengetukkan jarinya ke meja, tampak berpikir. "Justru karena kalian sudah lama mengenalnya, aku semakin ragu. Hubungan lama seperti itu bisa membuatmu lengah, mengira bahwa kau benar-benar mengenal seseorang, padahal bisa jadi tidak."Daddy Arjuna yang sejak tadi diam, akhirnya terkekeh.
Daddy Arjuna menoleh ke arah Shanum dengan ekspresi penuh arti."Sejak kapan Baby Nata lebih dekat dengan Safran? Apa kamu sering ke sini tanpa sepengetahuan saya, Saf?" tanyanya dengan nada menggoda.Safran menggeleng. "Tidak pernah, Paman. Saya hanya beberapa kali saja bertemu Baby Nata. Saya juga tidak tahu kenapa Baby Nata jadi seperti ini sama saya?"Plok!Bunda Karina tiba-tiba bertepuk tangan. "Ah, iya aku ingat! Saat pertama kali bertemu pun, di pesta penyambutan itu, Baby Nata langsung mendatangi Safran dan terlihat nyaman dengan Safran," beritahu Karina tentang ingatan saat di pesta.Daddy Arjuna melirik Safran lagi. "Begitukah? Lalu setelah dari sana, kalian ada bertemu lagi?" Arjuna seperti menyelidiki sesuatu.Safran mengangguk dengan jujur. "Bertemu di Mall.""Tidak sengaja!" Shanum menambahkan. Agar kesalahpahaman tidak semakin dalam."Dan Baby Nata langsung memanggil 'Pipi'." Nyatanya Safran malah menambah kecurigaan orang-orang di sana. "Benarkah?" tanya Bunda Karina