Di tengah dinginnya kota Buford, terlihat seorang anak berbaju lusuh tengah bersimpuh di atas gundukan salju. Beberapa anak datang mengenakan pakaian mewah dan mulai mengerumuninya.
"Kau yang merusak sepedaku! Cepat akui kesalahanmu!" ujar salah satu anak yang bernama Ryan.
Anak itu menggelengkan kepalanya. Ia masih terus pada pendiriannya. Hal itu membuat mereka menjadi geram. Salah satu dari mereka mulai melayangkan tendangan ke arah perut si anak berbaju lusuh itu hingga ia tersungkur. Anak-anak lainnya ikut berpartisipasi dengan mendaratkan pukulan dan tendangan kepada anak berbaju lusuh tersebut.
"Kau hanya orang miskin. Tugasmu hanyalah bersujud dan memohon!" ujar Ryan.
Anak berbaju lusuh itu lagi-lagi menggeleng. Bahkan ia melemparkan salju ke arah Ryan. Mendapat perlakuan seperti itu, Ryan segera mengambil sebatang kayu lalu menghantamkannya ke tubuh anak tersebut.
"Mati kau, Jason!" Teriak Ryan.
"Haaaah ...."
Helaan nafas lolos begitu saja saat ingatan masa lalu nya tiba-tiba muncul. Ia menghentikan BMW i8 Roadsternya saat melihat seorang anak tengah dipukuli dengan teman-temannya. Jason menatap anak itu dari dalam mobilnya. Tak ada niatan untuk membantu, hanya sekedar melihat sekilas karena waktu sudah cukup larut malam. Tubuhnya juga sudah sangat lelah. Jason pun kembali melajukan mobilnya menuju rumah.
~~~
Keesokan harinya saat Jason hendak pergi bekerja, ia memilih jalan yang sama seperti kemarin. Ia mengurangi kecepatan mobilnya saat melihat sosok yang tidak asing. Lagi dan lagi ia melihat anak itu dalam keadaan yang sama. Ia menghentikan mobilnya lalu keluar. Anak itu menatap Jason dengan mata yang mulai membengkak. Darah segar perlahan mengalir dari hidungnya.
Bugh!
Anak itu terbatuk saat sebuah pukulan keras mendarat di perutnya. Tanpa disadari sudut bibirnya tertarik hingga membentuk senyuman.
"Tunggu aku," gumam Jason pelan sambil tersenyum ke arah anak itu.
Jason segera menghampiri mobilnya dan bergegas menuju tempat kerjanya. Sejak berusia 9 tahun, Jason meninggalkan Buford dan mulai menetap di Chicago bersama orang tuanya. Jason juga mendapatkan pekerjaan sebagai dosen di universitas milik ibunya.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di tempat kerjanya dengan mengendarai BMW kesayangannya tersebut. Kini ia sudah tiba di University of Chicago. Ia keluar dari mobilnya dan disambut hamparan rumput hijau yang tertata rapi.
"Selamat pagi, Mr.Niko."
Begitu banyak sapaan dari mahasiswa dan mahasiswi disana. Jason hanya menanggapi nya dengan senyuman. Sejak menjejakan kaki nya di Chicago, ia resmi mengubah namanya menjadi Niko Alexander karena suatu hal. Jason memasuki gedung luas tersebut, lalu melangkahkan kakinya menuju ruangan ibunya.
"Nik."
Jason menolehkan kepalanya saat mendengar seruan tersebut. Ia melihat wanita cantik dengan keriput di wajahnya itu sedang tersenyum. Dia adalah ibu Jason yang bernama Eliza. Jason tersenyum dan menghampiri ibu nya.
"Aku baru saja ingin ke ruanganmu, Mom," ujar Jason.
Eliza tersenyum dan memberikan setumpuk kertas yang sudah ia siapkan.
"Jangan pulang sebelum tugasmu selesai," ujar Eliza.
Jason menyambar tumpukan kertas itu dengan malas dan melangkahkan kakinya entah menuju kemana.
~~~
Jason tak bisa berhenti tersenyum di dalam mobilnya. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata.
"Semoga kau belum mati," gumam Jason.
Tak lama, ia sudah berada di tempat tujuannya. Ia melihat anak yang dipukuli itu sudah terkapar lemah seorang diri. Jason nampak kecewa karena tidak menemukan anak lainnya.
"Dimana teman-temanmu?" Tanya Jason.
"Me—mereka, di—sana ...," jawab anak itu dengan terbata-bata dengan tangan yang menunjuk ke seberang jalan.
Jason duduk di samping anak itu. "Apa mereka akan kembali?"
Anak itu mengangguk, lalu Jason tersenyum.
Tak lama kemudian, datang 3 anak dengan membawa balok ditangannya. Jason tersenyum lebar dan menghampiri mereka.
"Berbaikanlah. Aku tidak suka ada keributan," ujar Jason.
Cuih!
Salah satu dari anak itu meludahi sneakersnya yang berharga 362 juta. Jason hanya tertawa melihat kelakuan anak tersebut.
"Ini sebabnya aku menyukai anak kecil," gumam Jason.
Jason menarik anak tersebut ke sebuah jalan yang sepi. Kemudian anak-anak lainnya mulai mengikuti mereka, terkecuali anak yang terluka parah. Setibanya mereka di jalan yang sepi, Jason memamerkan senyumannya kepada 3 anak tersebut.
"Berhenti ikut campur, Paman. Bersikaplah seperti orang dewasa," ujar anak yang meludahi sepatunya.
Jason terdiam, senyuman sirna dari wajahnya. Tergantikan dengan ekspresi datar dan tatapan mata yang menusuk. Jason menggulung tangan kemejanya yang berwarna putih. Terlihat sebuah perbedaan di sekitar sikunya.
"Aku sangat menyukai anak-anak pemberani. Kalian mengingatkanku pada teman-temanku," ujar Jason.
Anak-anak tersebut nampak tidak mengerti ucapan Jason. Mereka menatap Jason dengan mata berapi api. Hingga salah satu dari mereka mulai berlari menerjangnya dengan penuh semangat. Anak itu melayangkan baloknya ke arah Jason. Namun karena gerakannya begitu lambat, Jason dapat menghindarinya dengan mudah. Sebenarnya tanpa menghindar pun Jason tidak akan terluka hanya karena serangan lemah tersebut.
"Hei, kalian tidak adil. Aku sendiri dan kalian bertiga, dan lagi kalian membawa senjata. Sangat tidak fair play," ujar Jason.
Mereka nampaknya mengerti ucapan Jason dan melempar balok yang berada di tangan mereka. Jason terkekeh pelan melihat anak-anak sok kuat yang ada di hadapannya. Jason mulai bergerak mendekati anak yang menyerangnya. Kemudian ia meraih tangan kanan anak tersebut.
"Kau pernah kidal?" Tanya Jason tiba-tiba.
Anak itu masih terdiam dan tidak mengerti ucapan Jason.
"Jika tangan kanan tidak berfungsi, maka kau harus menggunakan tangan kiri bukan? Kau bisa memukulku dengan tangan kanan, tapi bagaimana jika tangan kanan mu tidak ada?" Lanjut Jason masih terus membingungkan anak tersebut.
Krakk!
"Aaarggh!!!" Jerit anak itu sangat keras saat pergelangan tangannya ditekuk ke arah berlawanan.
Jason segera meraih batu berukuran sedang yang berada cukup dekat dengan kakinya. Lalu ia menyumpalkan batu ke mulut anak tersebut untuk menghentikan teriakannya.
"Katanya, kau tidak akan bisa menulis jika salah satu jarimu patah. Aku masih penasaran tentang kebenaran hal itu," gumam Jason.
Anak itu terdiam menahan sakit di pergelangan tangannya. Ia sudah tidak mendengarkan racauan Jason. Akhirnya Jason kembali melanjutkan aktivitasnya untuk membuktikan kebenaran. Jason menekuk jari tengah anak itu hingga patah. Anak itu hendak berteriak, tapi berkat batu yang ada di mulutnya, ia pun hanya bisa menjerit di dalam hati. Jason tak bisa menahan lengkungan di bibirnya. Ia sangat menikmati saat saat korbannya merasakan sakit. Ia mengalihkan pandangannya ke arah 2 anak lainnya. Mereka sedang sibuk menggeser layar ponselnya untuk meminta bantuan. Jason berjalan mendekati mereka, lalu ikut bergabung menatap ponsel seolah tidak terjadi apapun.
"Kalian tau bagaimana menghubungi polisi?" Tanya Jason.
Kedua anak itu menoleh ke arah Jason. Mereka nampak bingung menjawab pertanyaan Jason.
"Hey, kalian ini tidak sekolah? Menghubungi polisi saja tidak bisa. Telepon 911," ujar Jason.
Jason segera menyambar ponsel tersebut dan mengetikan nomor 911 dimenu telepon. Kedua anak itu merasa lega karena Jason akan menyerahkan dirinya ke polisi. Namun diluar dugaan, Jason melempar ponsel tersebut tepat ke wajah anak yang meludahi sneakers mahalnya. Darah segar pun mengalir di hidungnya. Jason terkekeh melihat anak tersebut tidak bisa menahan tangisannya.
"Aku sangat menyukai anak manis seperti kalian. Mau ikut pulang bersama ku? Kebetulan hewan peliharaanku baru saja mati," ujar Jason.
Ketiga anak itu menggeleng, namun itu hanya seperti anggukan di mata Jason. Lalu ia menyeret ketiga anak itu menuju mobilnya yang terletak di sisi jalan.
"Aku tidak sabar ingin membuat kostum baru untuk kalian."
To be continue..
"Paket untuk Mr. Jason!" Jason membuka pintu dengan cepat. Ia sangat antusias menunggu paketnya yang datang agak lambat. Ia segera menandatangani paket tersebut dan menutup pintu. Tak peduli pada kurir yang masih berada di luar. "Pak, anda belum membayar." Jason menghentikan langkahnya lalu berbalik menuju pintu. Alih-alih membuka pintu, Jason memberikan dompetnya melalui celah di bawah pintunya. "Untuk mu, Pak," ujar Jason. Tak terdengar sahutan dari luar sana, sudah bisa dipastikan sang kurir sudah pergi. Jason membuka paketnya yang berukuran cukup besar tersebut. Terdapat beberapa kostum beruang lucu di dalamnya. Jason bergegas menuju ke sebuah ruangan yang dilengkapi scan sidik jari. Jason menempelkan ibu jarinya pada alat pendeteksi tersebut. Lalu bau amis mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Ia sangat menyukai bau tersebut, menurutnya itu adalah bau yang paling indah. Jason mulai melangkahkan kakinya
Jason tiba di rumah saat matahari sudah terbenam. Hal itu disebabkan karena dokter tidak memperbolehkannya pulang sebelum mengisi data dengan benar. Kartu identitasnya juga harus ditahan di rumah sakit tersebut. Ia baru akan mengambilnya saat Han diizinkan pulang. Jason menepikan mobil di halaman rumahnya. Sudah ada mobil yang serupa dengan miliknya sedang terparkir dengan indah. Ia sudah bisa menebak siapa yang datang ke rumahnya. Ia langsung masuk ke dalam, keadaan sudah sangat rapih. Tidak seperti biasanya, saat ia memasuki rumah tersebut sudah tidak tercium bau amis. "Mom?" Panggil Jason. Tidak ada sahutan dari siapa pun. Ia hanya menemukan ruang rahasianya terbuka. Ia memasuki ruangan tersebut dan menemukan sosok yang sudah lama tidak ia jumpai. Sosok itu sudah sangat tua setelah sudah lebih dari 10 tahun tak bertemu. "Lama tidak berjumpa, Jason," ujar sosok itu. Jason memandang lurus sosok di hadapannya tersebut. "Jangan mengunjungi ku l
Seminggu setelah terakhir kali Jason mengunjungi Han, kini bocah itu sudah diperbolehkan pulang. Jason hendak menjemput anak tersebut dan membawanya ke rumah. Ia sebenarnya tidak ingin menambah orang menjadi keluarga. Ia sudah terbiasa hidup seorang diri. Walaupun ada keluarga, mereka bahkan enggan menoleh ke arah Jason.Jason memasuki mobilnya yang terparkir indah di halaman rumah. Kemudian ia melajukan BMW kesayangannya tersebut membelah kota Chicago. Banyak pemandangan yang ia lihat di sepanjang jalan. Jason kembali melihat sekumpulan anak remaja tengah beradu pukul di sebuah gang sepi. Ia ingin bermain sebentar, namun waktu sudah menunjukan pukul 12 siang. Han pasti sudah menunggu nya disana."Tunggu aku anak anak manis." Gumam Jason.Jason sedikit menaikan kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Tak perlu waktu lama, ia sudah berada di parkiran yang cukup luas. Bangunan berwarna coklat yang menjulang tinggi sudah ada di depan matanya. Jason sege
"Selamat datang di rumah, Xenovia!"Seorang wanita muda berdiri di depan pintu rumah Jason. Eliza dan Jason menyambut wanita tersebut dengan wajah gembira. Hanya Eliza, tidak dengan Jason yang menekuk wajahnya. Di belakang mereka berdiri Han yang tidak mendapat tempat untuk berbaris. Xenovia menatap keluarga tiri nya sambil tersenyum. Sudah lebih dari lima tahun mereka tidak bertemu, karena Xenovia harus menjalani kehidupan gandanya di Washington DC. Xenovia memasuki rumah yang cukup luas tersebut."Huh, bau nya tidak berubah." Ujar Xenovia sambil menutup hidungnya.Jason berjalan mendahului kakak tirinya lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Apartemen mu berbau seperti bangkai.""Aku memang senang menyimpan bangkai." Ujar Xenovia."Siapa anak itu, Nik?" Tanya Xenovia sambil menunjuk ke arah Han yang masih berdiri di depan pintu.Jason menghampiri Han lalu menggiringnya ke depan Xenovia. Wanita itu meneliti Han dari ujung kepala hingga ujung kaki. H
Pagi ini kondisi Chicago Lakeshore Hospital dipadati oleh mobil polisi karena kejadian semalam. Lusiana masih tak bisa membuka mulutnya, bibirnya sangat sulit terbuka untuk menceritakan apa yang terjadi semalam. Franco mengantar Lusiana pulang agar ia bisa menenangkan dirinya. Selama di perjalanan, Lusiana tidak mengatakan apapun. Matanya terus menatap ke arah jalan dengan wajah ketakutan. Franco yang merasa khawatir pada Lusiana pun memutuskan untuk berbicara pada Holland mengenai Lusiana yang tidak perlu ikut dalam misi kali ini.Setiba nya mereka di depan rumah Lusiana, wanita itu menghambur masuk tanpa berkata apapun. Lusiana hanya menganggukan kepalanya entah bermaksud apa. Franco mengemudikan Mercedes-Benz ya menuju Departemen Kepolisian Chicago. Ia sedikit menambah kecepatannya saat waktu hampir menunjukan waktu patroli pertama nya di Chicago.Tak perlu waktu lama, ia sudah tiba di depan bangunan tersebut. Ia melihat Holland di luar gedung bersama Tim SWAT. Franco
Lusiana membuka mata nya, namun ia hanya mendapati kegelapan. Ia juga kesulitan bernafas karena oksigen yang terbatas. Ia menyadari bahwa tubuhnya terikat dalam posisi duduk dan kepalanya berada di dalam plastik berwarna hitam. Ia dapat mencium bau cokelat dari plastik tersebut. Lusiana mencoba untuk membuka ikatan di tangannya. Namun ia mendengar suara langkah yang makin mendekat."Sudah ku bilang, anak itu bodoh."Lusiana dapat mendengar suara wanita yang terdengar sedang menelepon seseorang karena tak terdengar suara siapapun selain dirinya."Tidak, ayah pasti akan membunuhku jika ia tau aku menculik seorang dokter."Wanita tersebut tertawa, entah menertawakan apa bersama orang di seberang sana."Aku menculik dokter Lusiana. Wajahnya sangat manis, apakah darahnya juga manis seperti cokelat?"Lusiana menelan saliva nya dengan susah payah. Keringat dingin mulai mengalir dari dahi nya. Lusiana merasakan sosok itu mulai mendekati nya. Ia pun memeja
Hari telah berganti, namun Jason masih tetap berada diruang bawah tanah memandangi wajah teman lamanya, Ryan. Temannya itu mengalami hipotermia karena penghangat di dalam ruangan tersebut rusak. Lampu diruangan tersebut juga tiba tiba padam membuat suhu ruangan menjadi sangat dingin. Jason sudah memindahkan teman lamanya tersebut ke sebuah ruangan yang biasa di gunakan untuk mengeksekusi korbannya. Di ruangan itu, Jason merendam tubuh Ryan di air hangat. Namun bukannya membaik, tubuh Ryan yang terbalut kostum naga tersebut mulai membengkak. Wajahnya semakin membiru, pada menit selanjutnya Jason tak bisa lagi merasakan denyut nadi dan detak jantung temannya tersebut.Jason tersenyum memandangi tubuh tak bernyawa di hadapannya itu. Jason pun mengangkat mayat temannya itu dan membaringkannya di meja operasi yang biasa ia gunakan untuk melakukan operasi pada semua korbannya. Jason menguliti wajah Ryan yang sudah tak bernyawa tersebut. Ia tak bisa henti hentinya tertawa, namun tanp
Matahari sudah berganti dengan bulan. Jason merasakan perutnya mulai sakit karena lebih dari 24 jam tidak makan apapun. Jason pun memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut. Ia juga ingat bahwa Han tidak bisa memesan makanan sendiri. Bocah itu pasti kelaparan sekarang. Jason menaiki tangga menuju ruang tamu."Han.." panggilnya.Suasana rumahnya sangat sunyi, tak ada suara teriakan Han yang biasa menyambutnya. Jason merasa ada sesuatu yang aneh disini. Jason pun mengelilingi rumahnya untuk mencari anak asuhnya tersebut."Han! Aku tidak ingin bermain! Aku lapar!" teriak Jason.Namun lagi lagi tak ada sahutan dari Han. Jason mengira bocah itu sedang keluar rumah. Ia pun memesan makanan terlebih dahulu kareba perutnya sudah tak bisa di ajak berkompromi.Setelah memesan makanan, ia pun keluar dari rumah untuk melihat kemungkinan ada Han disana.Lagi-lagi nihil.Tak ada apapun selain mobil mewahnya yang terparkir indah di halaman. Tapi matanya