Setelah mendengar kalimatku, Diana memilih meringkuk di kepala ranjang. Gemetar di seluruh badan. Jika dibandingkan diriku dulu, gadis ini jauh lebih rapuh dan tak berdaya. Mungkin dia tak memiliki kisah sedih sebelum bertemu Axel. Sialnya, perawakan yang mirip dengan rupaku membuat Diana harus menderita.
"Jangan takut," ujarku. Duduk di samping gadis itu di ranjang.
"Makan dulu, kau butuh kekuatan." Aku mengedik, memberitahunya piring di atas meja kayu yang tadi ditinggalkan Axel.
Diana menggeleng lemah. "Kau ... tidak takut?" tanyanya pelan.
"Tidak! Untuk apa? Hidup tak selalu indah, mati pun bukan pilihan buruk. Selama aku tidak mati konyol saja. Makanlah jika kau tidak ingin mati konyol."
Jemariku terulur ke arah sang gadis. Si gadis ragu-ragu, menerima uluranku. Aku menariknya ke kursi dan mendudukkannya di hadapan makanan. Daging panggang beserta salad membuat perut kami bergemu
Netraku memanas bersama menggenangnya air mata di sklera. Suara basah mendominasi heningnya kamar ini. Aku bergeming, terpaku tak percaya.Diana yang pertama kali menyadari kehadiranku. Mata gadis itu memancarkan kebahagiaan, sendu, menikmati adegan yang sedang mereka lakukan.Saat Axel ingin memisahkan diri, gadis itu menarik wajah si tampan, kembali menanamkan ciuman panas. Kini, tangannya berlabuh membuka kancing kemeja Axel satu per satu."Apa yang kalian lakukan?" Tak tahan lagi, aku bersuara pada akhirnya.Axel terkesiap, memisahkan diri terburu-buru dari Diana. Ia berbalik dan menatapku masih dengan mata nanar, bibir berlapis likuid lengket di antara mereka. Sungguh, menjijikkan.Aku mendengkus menahan sakit hati. "Tidak bisakah kalian menungguku keluar dulu sebelum bercinta. Apa nafsu sudah sampai di ubun-ubun?" Kertakan gigiku terdengar jelas menahan amarah.Dia d
Panas menjalar seketika membuatku tak berkutik. Rasa ini, rasa yang pernah ada. Bibirnya, napasnya, dan juga bau feromon Axel.Ketika seharusnya aku menolak dan mendorong pria itu menjauh, kenyataannya bagai boneka, tubuhku membiarkan tangan berkulit putih Axel menjelajahinya.Ia menyentuh, menanamkan ciuman di setiap lekuk tubuh. Tergesa-gesa jemarinya menarik bajuku ke atas untuk menjamah kenikmatan terlarang.Lagi-lagi bibir kami bertemu dalam tautan nafsu. Mataku terpejam, hanya ingin merasakan presensinya. Kerinduan membuncah yang selalu tertahan amarah akhirnya meluap. Gerakan kasar sang pemilik tubuh menyadarkanku saat jemarinya mulai menyentuh inti tubuhku.Aku terkesiap. Bangun dari mimpi indah dalam kenyataan pahit."Hentikan."Namun, kekasih jiwaku tak berhenti. Melucuti helai demi helai pakaian yang menganggu penyatuan kami. Matanya merah, penuh derita, dan kem
Sosoknya bergeming, berlutut di tanah dengan buku jari masih mengucurkan darah segar. Betapa menyedihkannya keadaan sekitar pria itu. Batang pohon menjadi sasaran kemarahan Axel.Retakan ranting renyah di bawah kakiku membuat Axel mengangkat kepala. Matanya masih merah, nyalang menantang, berisi kesintingan dan air mata."El?""Apa yang kau lakukan di sini?"Ia menunduk, mengabaikan kontak mata denganku. "Aku melukaimu.""Akhirnya kau sadar juga, kau tahu apa yang kau lakukan pagi tadi?"Ia mengusap wajah, kulihat lututnya memerah dan terluka. Sungguh, hatiku berdenyut nyeri."Maaf," bisiknya halus."Maaf? Kau kira maaf bisa mengembalikan semua, kau kira maaf bisa menyembuhkan lukaku? Maaf katamu!" teriakku berang."Aku--aku ...." Ia menjambak rambut sendiri, tampak sangat menderita."Apa hakmu, jika aku t
Seminggu berlalu bagai kedipan mata saja. Semua latihan kami berjalan lancar, tidak terlalu lancar bagi Diana tentunya. Gadis ini memiliki luka jauh lebih banyak daripadaku dulu. Simple-nya, dia tak memiliki sedikit pun kemampuan beladiri. Madam Ghie sering sekali uring-uringan ketika selesai mengajari gadis itu dan Diana biasanya meringkuk di pojokan kamar sambil menangis sesenggukan. Lalu dia akan meminta pelukan kasih sayang dari Axel. Memanggil dengan manis, "Xi, Xi, tolong aku." Yang membuatku hampir muntah. Aku menatap jendela di kamar lantai dua. Membiarkan Madam Ghie mendandani kami malam ini. Gaun pendek berwarna hitam dihiasi kerlap-kerlip manik-manik kecil dan sepatu boot tinggi, juga sarung tangan lace yang membuat penampilanku malah terlihat gothic. Madam Ghie menyebutnya sihir malam pemikat lelaki. Apalah itu. Berbeda denganku, Diana didandani sangat girly. Semua berwarn
Aku berlutut, menempatkan bibir di antara kakinya, lalu menanamkan gigi pada benda lunak itu. Seketika Alex menjerit jeri. Mendorong kepalaku menjauh sambil mengumpat keras."Kau, wanita jalang, berani-beraninya menggigit pusakaku." Alex memegang benda berharganya yang kini menitikkan darah segar.Aku tertawa geli, meludahkan sejumput rambut keriting ke lantai. "Rasamu sangat tidak enak.""Kau! Siapa kau sebenarnya?" Ia mulai mundur, tapi bisa kulihat matanya berlabuh pada nakas di samping tempat tidur, di mana ponselnya tergeletak.Tanpa peringatan, ia berlari ke sana, berusaha menggapai ponselnya. Namun terlambat, dalam sekali lompatan, aku menyarangkan tendangan berputar ke sisi kepalanya. Pria itu tersungkur, tubuhnya menabrak tempat tidur."Aku, malaikat maut yang dikirim untuk menghabisimu." Senyum miringku membuatnya ngeri setengah mati.Pria itu merangkak mundur, m
Pria itu terlalu kaget untuk bereaksi, aku mendorongnya masuk ke dalam kamar sambil mengerling ke sekeliling ruangan. Tak ada Diana, kasur terlihat acak-acakan.Mendapat serangan mendadak membuat Ed akhirnya berani bereaksi. Ia memegang bagian belakang kepalaku sambil mendorong pintu menutup dengan sebelah tangan lagi. Lidah pria berengsek itu memaksa masuk.Kenapa orang bisa suka memasukkan benda lunak ini untuk berkoalisi cairan. Apakah aku yang aneh? Terlalu lelah menghadapi kejadian penuh nafsu yang menjadikanku korban sehingga akhirnya berujung jijik.Entahlah? Bagiku, tak ada kesenangan dalam sex setelah sekian lama berkutat bersama pria mesum atau yang menyakitkan hati.Aku mengatupkan gigi erat-erat, tak membiarkannya menjelajahi rongga mulutku. Ed menarikku menjauh. Napas kami terengah-engah.Sial, sial, sial. Ciumannya membuatku semakin tak tahan. Fokus, Eli, fokus.
Lift berdenting dan terbuka. Eve membimbing kami ke kamar yang mereka sewa.Wanita itu menyerahkan kartu kunci ke tangan Owen. "Kami menunggu di sini. Gunakan waktumu."Owen kebingungan, balik menatap wajahku. "Cepatlah," ujarku kesal.Hampir saja kartu kunci terjatuh saking paniknya remaja ini. Ia akhirnya berhasil membawaku masuk ke dalam kamar."Bawa aku ke kamar mandi," perintahku.Owen membopongku ke kamar mandi.Segera saja aku melepas semua pakaian yang menempel pada tubuh, juga sepatu. Lalu menghidupkan shower membasahi tubuh ini. Owen terkesiap, berdiri bengong melihat ketelanjanganku."Air membantu lebih cepat calm down," ujarku. "Apa yang kau tunggu?"Ia mengedip lamat-lamat. "Hah?""Bantu aku, lebih cepat lebih baik. Buka bajumu."Barulah anak ingusan ini mengerti. "D
Karena tak punya sepeser pun uang pada tubuhku, mau tidak mau aku harus memasang gaya seksi dan menyetop mobil di jalan. Sungguh apes.Pria baik hati berkacamata tebal memberiku tumpangan dengan imbalan nomor telepon untuk dihubungi, well ... aku memberikan nomor Eve padanya. Siapa tahu wanita itu bisa menemukan jodoh lewat comblangan ini.Dia mengantarku sampai ke rumah Axel. Aku tak tahu jalan pulang ke Rumah Kayu, hanya ini alternatifnya.Jalanan malam hari yang lenggang menenangkan pikiran kacau, otakku mulai mensimulasi alibi agar aku tak dicurigai.Apa aku harus menunggu di luar? Apa Diana menyampaikan pesanku ke mereka?Bisa jadi gadis itu lupa akibat syok sesudah kejadian mengerikan malam ini.Pikiran buruk silih berganti menghampiri persepsiku. Ragu, tanganku memutar handel pintu. Di luar dugaan, ternyata tidak terkunci. Saking kagetnya aku malah mematung