Beranda / Pernikahan / Seuntai Janji / Bab 02 - Hancur

Share

Bab 02 - Hancur

Penulis: Olivia Yoyet
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-27 15:16:37

02

Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat 4 hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. 

Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. 

"Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya.

"Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. 

"Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit."

"Aku ...." 

Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut saling beradu pandang sebelum Zayan mengguncangkan bahu Arya sambil berkata, "Kamu harus makan, berjiwa kuat dan bertahan hidup demi ketiga anakmu. Ingat, Ar, itu pesan Erni sebelum dia wafat. Kamu nggak boleh kayak gini terus." 

"Tapi aku ...." 

"Mas masih bisa berkunjung lagi besok, lusa, bahkan tiap hari pun boleh," sela Ivana yang sejak tadi memerhatikan perdebatan kedua pria tersebut. "Sekarang, tolong jangan egois, isi perut biar bertenaga karena selama tiga hari nanti Mas bakal sibuk dengan acara takziah, setelah itu harus ngurus anak-anak," sambungnya. 

Dengan gerakan pelan Ivana memegangi lengan kiri Arya dan mengarahkan pria itu jalan menjauh. Berliana turut memegangi lengan kanan Arya dan membantu Ivana menggusur pria tersebut.

"Memang harus perempuan yang merayu, baru luluh dia," tutur Malik, direktur utama cabang Hatim Grup, sekaligus sahabat Arya dan Zayan.

"Karena laki-laki nggak bisa selembut itu, dan Mas Arya bakal sungkan nolak Teteh sama Berliana," timpal Ferdi, Adik ipar Zayan.

"Yok, kita juga nyusul. Aku takut Arya pingsan lagi kayak tadi pagi," ajak Zayan.

Kelompok tersebut bergerak menuju tempat parkir dan memasuki mobil-mobil yang berada di tempat itu. Beberapa menit berikutnya tiga mobil MPV mewah beranjak menjauhi area pemakaman, tepat pada saat langit memuntahkan air dalam jumlah banyak. 

Arya menyandarkan tubuh ke pintu sambil memejamkan mata. Kenangan bersama sang istri kembali berputar dalam otak. Pria berkumis tipis berusaha keras untuk menahan tangis karena teringat pesan Erni yang mengatakan agar Arya jangan menangisinya, dan menginginkan pria itu ikhlas melepasnya pergi. 

Ivana dan Berliana yang duduk bersebelahan di kursi tengah, saling beradu pandang sesaat, sebelum sama-sama menunduk dan menyeka sudut mata mereka yang berair dengan tisu. 

Zayan yang bertugas menyetir pun tidak sanggup berkata-kata dan hanya bisa melirik sahabatnya di kursi samping kiri yang tengah terpuruk. Pria bercambang tipis memahami jika saat itu hati Arya tengah hancur.

Kala deretan mobil tiba di depan rumah, Zayan mematikan mesin dan turun terlebih dahulu. Dia membukakan pintu untuk Arya. Kemudian pria bercambang memegangi pundak sahabatnya saat mereka jalan menuju rumah yang masih dipenuhi para pelayat. 

Arya memaksakan senyuman ketika Aldo dan Aldi, kedua putra kembarnya, berseru sambil lari menghambur ke arahnya. Pria berambut lebat merunduk untuk menggendong kedua anaknya secara bersamaan. 

Arya terus melangkah menuju ruang makan. Kemudian menurunkan kedua lelaki kecil, sebelum dia duduk di salah satu kursi dekat meja panjang besar di tengah-tengah ruangan.

"Kamu harus makan banyak, setelah itu istirahat," ujar Jamilah, ibunya Arya sembari menuangkan nasi dan lauk pauk ke piring. Lalu memberikannya pada sang putra. "Kalian juga makan, ya, temani Arya, ibu mau meladeni tamu dulu," lanjutnya sambil memandangi teman-teman sang putra.

"Iya, Bu," jawab Zayan mewakili yang lainnya. 

"Alfian di mana, Bu?" tanya Arya sebelum menyuapkan makanannya. 

"Lagi diboboin Ayu, dari tadi Alfi nangis terus." Jamilah menghela napas panjang sebelum berbalik dan menjauh. 

Sementara itu di kamar anak-anak yang berada di lantai dua, Dahayu mengamati wajah mungil Alfian yang merupakan hasil perpaduan wajah Papa dan mamanya. Perempuan berkulit kuning langsat menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya sedikit demi sedikit, berharap hal itu bisa menenangkan hatinya yang sangat sedih. 

Dahayu tahu, kesedihan yang dirasakannya mungkin tidak ada separuh daripada yang dirasakan Arya saat itu. Aldo dan Aldi masih belum terlalu paham bila Mama mereka telah pergi dan tidak akan pernah kembali, tetapi hati Arya pasti benar-benar patah, hancur berkeping-keping ditinggalkan belahan jiwa. 

"Ibu, diminta turun. Rombongan sudah sampai," cakap Intan, pengasuh Alfian yang baru saja memasuki ruangan. 

Tanpa menjawab Dahayu beringsut ke pinggir tempat tidur dan berdiri. Perempuan bertubuh langsing berpindah ke depan cermin untuk merapikan jilbab hijau muda dan tunik berwarna senada, sebelum beranjak ke luar dan menuruni tangga. 

Sudut bibir Dahayu terangkat membentuk senyuman ketika melihat Ivana yang berdiri untuk menyambutnya. Kedua perempuan tersebut berpelukan erat, kemudian Dahayu mundur dan mengusap perut Ivana yang membuncit. 

"Apa kabar anakku? Sudah bisa bersilat di dalam?" tanya Dahayu. 

"Alhamdulillah, dia sehat dan mulai sering menendang ulu hati," sahut Ivana seraya tersenyum. "Duduk sini, Mbak, kita makan sama-sama," ajaknya. 

"Aku udah makan tadi, kalian lanjutkan aja, aku mau ngecek kondisi Bu Aminah." 

"Nggak mau lepas kangen sama aku?" seloroh Zayan yang langsung didelik tajam Dahayu. 

"Males kangen sama Mas. Makin ge er nanti," tolak Dahayu sembari berpindah untuk menyalami Malik dan yang lainnya. 

"Masih judes aja," keluh Zayan. 

"Sama Mas itu nggak boleh manis-manis, pasti ngelunjak! Ya, kan, Na?" Dahayu tersenyum ketika Ivana membalas dengan anggukan. Sementara Zayan menggeleng pelan karena lagi-lagi kalah berdebat dengan mantan istrinya tersebut. 

Dahayu pernah menikah dengan Zayan selama enam tahun lebih. Sebab rahim Dahayu diangkat karena kanker yang telah menyebar, menjadikan keduanya tidak bisa memiliki keturunan. 

Atas desakan keluarga Zayan yang menginginkan penerus keluarga, Dahayu mengalah. Dia mencari sosok perempuan yang paling tepat untuk menjadi pengantin kedua buat suaminya. 

Pertemuan Dahayu dengan Ivana di suatu tempat, membuat perempuan bermata besar tertarik untuk menyelidiki salah satu karyawan hotel milik keluarga Zayan di Kota Bandung. 

Setelah yakin dengan pilihannya, Dahayu menyampaikan hal itu pada Firman Hatim, Ayah Zayan yang ternyata telah lama mengenal Ayah Ivana. Firman menyetujui perempuan pilihan Dahayu dan langsung melamar Ivana. 

Setelah menikah hampir setahun, Ivana hamil. Dahayu memutuskan untuk mundur dan bercerai dengan Zayan. Meski ikut senang dengan kehamilan madunya, tetap saja hati kecil Dahayu menjerit. 

Dahayu merasa yakin jika Ivana-lah yang paling pantas menjadi satu-satunya istri Zayan. Keputusan Dahayu untuk bercerai, sebetulnya ditentang Ivana yang juga hendak mundur dari pernikahan poligami tersebut. 

Akan tetapi, Dahayu bersikeras bercerai. Kemudian dia pindah ke Kota Malang untuk menenangkan diri, sekaligus mengelola cabang butiknya yang cukup terkenal di kota tersebut. 

Hubungan Dahayu, Zayan dan Ivana masih berlangsung baik. Mereka tetap bersahabat, bahkan Dahayu cukup akrab dengan kedua putra pasangan tersebut yang memanggilnya dengan nama Ibu Ayu, seperti halnya anak-anak Arya yang juga dekat dengan Dahayu. 

Dahayu beranjak menuju kamar tamu untuk mengecek kondisi Aminah. Perempuan paruh baya langsung duduk dan mengusap wajahnya yang basah dengan ujung jilbab. Tanpa banyak bicara, Dahayu duduk di pinggir tempat tidur dan memeluk perempuan yang lebih tua, yang kembali menangis. 

Bab terkait

  • Seuntai Janji    Bab 03 - Kangen

    03Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak. Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk. Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing. Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar. Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa p

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Seuntai Janji    Bab 04 - Undangan dari Mantan

    04"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang. "Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya. "Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?" "Kabar baik. Mas sendiri gimana?" "Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta." "Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja." "Ngaco!" Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Daha

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Seuntai Janji    Bab 05 - Pegangan

    05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Seuntai Janji    Bab 6 - Lebih Dari Sekadar Teman

    06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Seuntai Janji    Bab 7 - Berdesir

    07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Seuntai Janji    Bab 01 - Janji

    01Seunit mobil Range Rover putih meluncur membelah kepadatan jalan raya Kota Surabaya. Sang pengemudi menekan pedal gas dalam-dalam agar bisa segera tiba di rumah sakit terdekat. Sekali-sekali dia melirik ke belakang di mana istrinya tengah meringis kesakitan sambil menyandar pada sang ibu. Arya Himawan, sang pengemudi mobil mengumpat beberapa kali karena kendaraan di depan sejak tadi tidak mau menyingkir. Padahal dia sudah menyalakan lampu darurat dan menekan klakson berulang kali. Arya mengeluh dalam hati sebab makin kurangnya empati masyarakat yang kerap kali terjadi.Sesampainya di depan Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, Arya menarik tuas rem tangan sebelum membuka pintu dan turun. Pria berkaus putih lari menuju ruangan tersebut dan kembali beberapa saat kemudian bersama dengan dua orang perawat laki-laki yang mendorong brankar. Arya membuka pintu bagian tengah dan membantu istrinya keluar serta membaringkan perempuan yang kian lemah ke brankar, yang segera didor

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27

Bab terbaru

  • Seuntai Janji    Bab 7 - Berdesir

    07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men

  • Seuntai Janji    Bab 6 - Lebih Dari Sekadar Teman

    06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l

  • Seuntai Janji    Bab 05 - Pegangan

    05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg

  • Seuntai Janji    Bab 04 - Undangan dari Mantan

    04"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang. "Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya. "Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?" "Kabar baik. Mas sendiri gimana?" "Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta." "Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja." "Ngaco!" Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Daha

  • Seuntai Janji    Bab 03 - Kangen

    03Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak. Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk. Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing. Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar. Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa p

  • Seuntai Janji    Bab 02 - Hancur

    02Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat 4 hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. "Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya."Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. "Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit.""Aku ...." Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut

  • Seuntai Janji    Bab 01 - Janji

    01Seunit mobil Range Rover putih meluncur membelah kepadatan jalan raya Kota Surabaya. Sang pengemudi menekan pedal gas dalam-dalam agar bisa segera tiba di rumah sakit terdekat. Sekali-sekali dia melirik ke belakang di mana istrinya tengah meringis kesakitan sambil menyandar pada sang ibu. Arya Himawan, sang pengemudi mobil mengumpat beberapa kali karena kendaraan di depan sejak tadi tidak mau menyingkir. Padahal dia sudah menyalakan lampu darurat dan menekan klakson berulang kali. Arya mengeluh dalam hati sebab makin kurangnya empati masyarakat yang kerap kali terjadi.Sesampainya di depan Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, Arya menarik tuas rem tangan sebelum membuka pintu dan turun. Pria berkaus putih lari menuju ruangan tersebut dan kembali beberapa saat kemudian bersama dengan dua orang perawat laki-laki yang mendorong brankar. Arya membuka pintu bagian tengah dan membantu istrinya keluar serta membaringkan perempuan yang kian lemah ke brankar, yang segera didor

DMCA.com Protection Status