05
Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja.
Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas.
Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah.
"Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut.
"Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran.
"Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?"
"Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Nggak lama, kok, cuma sepuluh menit lalu aku nyampe sini."
Dahayu manggut-manggut sembari jalan terlebih dahulu dan menghampiri asisten keduanya setelah Westi untuk membicarakan sesuatu. Tidak berselang lama lama Dahayu menoleh pada Imran dan menggerakkan kepala untuk memberi isyarat.
"Mau langsung pulang atau ke mana dulu?" tanya Imran, sesaat setelah mereka menduduki kursi masing-masing di mobilnya.
"Aku pengen beli sesuatu. Bisa antarin?" Dahayu balik bertanya sambil memasang sabuk pengaman.
"Boleh, mau dianterin sampai ke bulan pun, aku siap."
"Ngapain di bulan?"
"Main congklak. Kan, bolong-bolong itu permukaannya, pas buat biji congklak."
Dahayu terkekeh sambil menutupi mulutnya dengan tangan kanan. Imran turut mengulaskan senyuman. Pria itu merasa senang mendengar suara tawa Dahayu yang tidak terlalu sering dilakukan perempuan tersebut.
Mobil HRV putih melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya Kota Jakarta yang padat di penghujung senja. Saat mendengar suara azan magrib, Imran membelokkan kendaraan di depan masjid terdekat dan mengajak Dahayu untuk menunaikan ibadah.
Belasan menit terlewati, Dahayu yang baru selesai melipat mukena, segera mencari-cari ponselnya yang berdering di tas. Perempuan itu tanpa sadar tersenyum ketika melihat nama pemanggil.
Dahayu berdiri dan menekan tanda hijau pada layar sebelum menempelkan ponsel ke telinga kanan yang tertutup jilbab sambil jalan ke luar.
"Waalaikumsalam, Mas Aldi dan Aldo, sudah salat?" Suara lembut yang sangat berbeda spontan Dahayu keluarkan bila tengah berbicara dengan kedua anak Arya.
"Udah, Bu," jawab Aldi mewakili saudaranya. Hubungan yang sudah sangat akrab membuat kedua anak itu menyematkan panggilan Ibu pada Dahayu. "Ibu udah salat?" tanyanya.
"Udah, ini baru beres. Ehm, papanya ada? Ibu mau bicara sebentar."
Suara teriakan khas anak kecil dari seberang telepon membuat Dahayu menjauhkan ponsel sambil tersenyum lebar. Saat mendengar sapaan salam Arya, barulah Dahayu mendekatkan ponsel kembali ke telinga dan berbincang dengan santai.
Imran yang memerhatikan Dahayu sejak tadi, bertanya-tanya dalam hati tentang siapa orang yang tengah berbincang dengan perempuan tersebut. Imran menunggu Dahayu selesai mengobrol, kemudian mengajak perempuan tersebut kembali ke mobil untuk meneruskan perjalanan.
"Tadi yang nelepon itu siapa?" tanya Imran.
"Aldi, anaknya Mas Arya. Dia tiap hari memang nelepon aku walaupun cuma sekadar nanya aku udah makan atau belum," terang Dahayu.
"Bukan yang pertama, tapi yang kedua."
"Oh, itu Mas Arya."
"Apanya kamu?"
"Sobatku dari SMU. Dia usianya satu tahun di atasku, tapi mainnya sama teman-teman sekelasku, jadi kayak teman seangkatan."
Imran manggut-manggut, kemudian berucap, "Pantesan, tadi kalian ngobrolnya akrab banget. Kalau nggak tahu dia udah nikah, mungkin orang lain yang dengar akan berpikir kalian itu pasangan."
"Masa, sih?"
"Iya, habisnya kamu detail banget ngejelasin seharian ini ngapain aja, bertemu dengan siapa dan sekarang ada di mana, dengan siapa serta tengah melakukan apa."
"Kok, kayak lagu?"
"Kirain kamu nggak tahu kalau aku nyomot lirik lagu."
Dahayu terkekeh dan memancing Imran untuk melakukan hal serupa. Sepanjang perjalanan menuju pusat perbelanjaan Imran beberapa kali melirik Dahayu yang sibuk dengan ponselnya.
Tiba-tiba Imran mengulurkan tangan kiri dan menyambar ponselnya Dahayu serta memasukkan benda itu ke saku jas hitamnya. Perempuan bertunik ungu muda spontan membulatkan mata dan hendak mengajukan protes, tetapi kemudian diurungkan ketika melihat Imran mengangkat tangan kiri dan mengembangkannya, seakan-akan meminta Dahayu untuk tetap diam.
*** Suasana ramai yang melingkupi restoran yang dikunjungi, membuat Dahayu sedikit tidak nyaman. Obrolan orang-orang di sekitar yang bernada tinggi membuatnya beberapa kali menggeleng.Imran yang melihat hal tersebut mempercepat gerakan hingga makanannya habis dan mengajak Dahayu keluar. Berteman sejak lama membuatnya mengetahui bila Dahayu adalah pribadi yang sedikit tertutup dengan orang asing.
Kedua orang tersebut jalan bersisian, tetapi tetap memberikan jarak agar tubuh mereka tidak menempel. Tiba-tiba dari arah depan tampak tiga orang anak kecil berlari mendekat sambil tertawa-tawa. Menuruti intuisi, Imran berpindah ke depan Dahayu dan menangkap salah seorang anak yang hendak menabrak.
"Hati-hati, Dek. Jangan sampai nabrak orang," tukas Imran yang seketika membuat bocah itu menengadah dan mengerjap-ngerjapkan mata.
Dahayu tanpa sadar memegangi lengan kiri Imran sambil mengusap bagian tengah tubuhnya sendiri. Dia mengucap syukur dalam hati karena bisa terhindar dari peristiwa tabrakan tersebut.
Dari kejauhan terlihat dua orang perempuan menghampiri dengan tergesa-gesa. Setelah meminta maaf pada Imran dan Dahayu, kedua perempuan itu menjauh sambil mengomeli ketiga bocah tersebut.
Imran melirik Dahayu yang masih berlindung di sampingnya. Pria berkemeja putih mengulaskan senyuman karena Dahayu masih memeganginya. Hal itu membuatnya senang karena telah berhasil menjadi pahlawan buat perempuan pujaan.
"Yuk, lanjut belanja," ajak Imran yang menyadarkan Dahayu dari lamunan.
"Ehm, iya." Dahayu melepaskan pegangan, tetapi dia kembali terkejut kala Imran menarik tangannya dan mengarahkan untuk memegangi lengan pria tersebut.
"Digeser aja pegangannya, jangan dilepas," ungkap Imran.
"Enggak, ahh," tolak Dahayu sembari hendak menarik tangan, tetapi Imran menahannya dan menggeleng pelan.
"Pegangan, Yu. Biar aku bisa terus ngelindungin kamu."
"Tapi ...."
"Udah, nurut aja!"
Dahayu menyipitkan mata sambil merengut. Sekali lagi dia tidak bisa membantah perkataan pria tersebut dan akhirnya terpaksa mengikuti langkah Imran menyusuri selasar hingga tiba di pusat perbelanjaan.
Seperti pasangan pada umumnya, Imran mendorong troli dan Dahayu yang memilih barang-barang yang hendak dibeli. Sekali-sekali mereka akan berbincang bila Dahayu meminta urun saran. Selebihnya mereka akan kembali diam.
Hampir enam puluh menit berlalu, mereka sudah kembali berada di mobil. Dahayu yang mulai mengantuk akhirnya menyandar ke pintu. Imran sekali-sekali menoleh untuk memastikan kondisi penumpangnya.
Setibanya di tempat tujuan, Imran membangunkan Dahayu yang mengerjap-ngerjapkan mata dan tampak linglung. Imran turun terlebih dahulu sambil mengangkat tas belanja.
Imran menunggu Dahayu turun baru kemudian jalan bersisian menuju lobi utama gedung apartemen yang disewa Dahayu dari Westi, setelah sahabatnya itu menikah dan pindah ke rumah suaminya.
"Sampai sini aja, Mas. Makasih," tutur Dahayu saat Imran turut menunggui lift.
"Aku antar sampai unitmu. Nggak bisa kamu dibiarkan jalan sendirian kayak gitu. Mana sempoyongan lagi," sanggah Imran. "Liftnya udah kebuka, ayo," ajak pria tersebut tanpa mengindahkan ringisan Dahayu.
06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l
07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men
08"Semuanya terserah kamu, Yu. Kalau memang ada rasa suka, jelaskan semuanya pada Imran biar dia nggak kaget nanti. Jujur dari awal akan lebih baik biar ke depannya nggak ada batu sandungan," tutur Arya, sesaat setelah Dahayu menceritakan tentang permintaan Imran yang mengajaknya menjalin hubungan serius. "Iya, Mas. Walaupun ragu-ragu, tapi aku memang berencana buat ungkapin semuanya ke dia," sahut Dahayu. "Sebenarnya ada satu kendala lagi, Mas. Dia belum punya anak laki-laki. Walaupun Kakak laki-lakinya punya penerus buat keluarga mereka, tapi aku pikir Mas Imran mungkin ingin memiliki penerus sendiri, bukan keponakan," sambungnya. "Sekarang bisa angkat anak, ikat pakai hukum, jadi ,deh, penerus keluarga." Dahayu menggeleng. "Takutnya dia nggak mau kayak gitu dan pengen punya anak kandung. Bisa-bisa aku dipoligami lagi. Kapok. Walaupun Ivana itu aku yang milih, tapi saat tahu Mas Zayan jatuh cinta sama dia, tetap aja aku cemburu. Harusnya dari dia belum nikahin Ivana itu aku udah
09Sambil menggendong dan mengayun Alfian, Arya memerhatikan gerakan Dahayu yang lincah melayani para pembeli. Dengan sabar perempuan bergamis hijau tua mendengarkan konsep pakaian pesta, yang akan dipesan oleh rombongan ibu-ibu dari sebuah bank terkemuka di Indonesia. "Masyallah, lucunya," puji seorang perempuan berjilbab putih sambil menyentuh tangan Alfian yang balas memandanginya penuh minat. "Usianya berapa, Pak?" tanyanya sembari menatap Arya. "Dua bulan, Bu," jawab Arya. "Dan ibunya masih sibuk bisnis, luar biasa. Hebat!" Perempuan tersebut mengacungkan jempol pada Dahayu yang sempat terkejut sesaat, sebelum memaksakan senyuman agar para tamunya tidak curiga. "Lebih mirip ke bapaknya, ya, daripada ke Ibu," timpal seorang perempuan berjilbab kuning yang ikut memegangi pipi Alfian. "Pipinya gemesin buat diemut," selorohnya yang disambut tawa rekan-rekannya. "Saya juga sering ngemut pipinya kalau lagi tidur. Empuk," tutur Dahayu seraya tersenyum lebar. "Iya, apalagi nanti ka
10"Assalamualaikum," ucap Arya. "Waalaikumsalam. Ehm ... maaf, Dahayunya ada?" Imran mengerutkan dahi karena tidak mengenali suara yang menjawab teleponnya, tetapi dia bisa menebak bila itu adalah Arya, sebab tadi Imran sempat bertukar pesan dengan Dahayu yang menceritakan bila ada Arya di ruang kerjanya."Lagi ke toilet," jawab Arya. "Oh, ya, perkenalkan. Aku, Arya Himawan, sahabatnya Dahayu," ungkapnya. "Salam kenal, Mas. Saya, Imran Maulana Nataprawira." "Aku banyak mendengar kisahmu dari Ayu." "Sama, Mas. Ayu juga sering cerita tentang Mas dan anak-anak. Dan akhirnya kita bisa ngobrol juga." "Kata Ayu, kamu mau ke sini nanti?" "Iya, untuk mendengarkan keputusannya tentang hubungan kami. Apa dia ada cerita soal itu?" "Ya, tapi aku nggak mau ikut campur. Itu urusan pribadi Ayu." Arya terdiam sejenak, kemudian bertutur, "Aku dan Ayu sangat dekat. Jadi, kuharap kedekatan kami nggak jadi masalah buatmu." "Tentu saja nggak, Mas. Kalian sudah bersahabat sejak dulu. Mana mungkin
11Setibanya di kamar yang berada di lantai lima gedung tersebut, pegawai pria segera berpamitan. Arya meletakkan kunci mobil ke meja rias sebelum meneruskan langkah dan membuka pintu kaca balkon. Pria berkumis tipis memandangi langit cerah sejenak, lalu mengarahkan pandangan ke bawah. Tiga kolam berbeda ukuran tampak sangat indah dipandang dari atas. Taman di sekitar kolam kian menambah keelokan tempat itu. "Yu," panggil Arya tanpa menoleh. "Ya?" jawab Dahayu sembari memindahkan pakaiannya ke lemari. "Besok pagi aku mau ngajak anak-anak berenang ke sini. Boleh?" "Boleh, dong. Mau nginap juga bisa. Aku tinggal ngomong ke Mas Malik atau Ferdi.""Kenapa nggak ke si berewok?" "Males. Nanti aku diminta biaya nginap." Arya terkekeh sambil membalikkan badan. Dahayu tersenyum lebar sembari melirik sahabatnya yang tengah berdiri menyandar ke tembok pembatas balkon. Cahaya matahari yang menyorot dari belakang Arya seakan-akan menciptakan sinar berpendar di sekitar tubuhnya. Dahayu terk
12Acara makan malam di restoran favorit anak-anak, berlangsung riuh karena bocah-bocah yang berlarian ke sana kemari. Wahyuni berulang kali mengejar Aldi dan Aldo yang bergerak lincah menggunakan berbagai alat permainan. Intan menggantikan posisi temannya beberapa belas menit, agar Wahyuni bisa menyelesaikan bersantap.Dahayu berulang kali mengecek kereta bayi sambil mengipasi Alfian. Bukan karena takut bayi itu kegerahan, tetapi Dahayu tidak mau ada nyamuk yang akan mengganggu Alfian yang telah pulas. Arya yang baru selesai makan, menarik kereta agar lebih dekat dengan tempat duduknya."Kok, ditarik?" tanya Dahayu sembari mengerutkan dahi. "Kamu belum beres makannya. Lanjutin aja," sahut Arya sambil memandangi Alfian yang kian montok. "Aku bisa makan sambil ngasuh." "Iya, tapi kemaren-kemaren kamu sudah sering ngasuh Alfi, akibatnya acara makanmu kacau." "Enggak apa-apa, aku ikhlas. Latihan kalau ketemu sama anaknya Mas Imran." "Usia berapa anaknya?" "Kalau nggak salah, 3 ta
13Seorang pria berjaket hitam menerobos orang-orang yang memenuhi area bandara. Dia mempercepat langkah ketika mendengar suara panggilan dari pengeras suara, agar para penumpang yang akan menuju Indonesia segera memasuki pesawat. Imran berlari seusai melewati tempat pemeriksaan terakhir hingga tiba di ruang tunggu, di mana puluhan orang tengah antre untuk memasuki pesawat. Imran menghela napas lega dan melepaskannya perlahan, merasa tenang dirinya tiba tepat waktu. Hanya berselang beberapa menit setelah dia duduk di kursi penumpang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran menyandarkan kepala dan mengamati langit pagi menjelang siang yang menyelimuti Kota Melbourne. Sudut bibirnya terangkat merekahkan senyuman ketika membayangkan ekspresi Dahayu saat dirinya tiba di Indonesia. Pria berlesung pipi sengaja merahasiakan kepulangannya untuk memberi kejutan pada Dahayu. Kelelahan yang mendera setelah lari ratusan meter membuat Imran memutuskan untuk tidur. Perjalanan selama kurang l
63Ruang pertemuan di hotel Janitra, Minggu siang itu tampak ramai. Para tamu undangan berulang kali tertawa akibat drama yang ditampilkan para bos PG. Telah menjadi peraturan tidak tertulis. Jika yang menikah adalah anggota PC, maka tim PG dan PBK yang menjadi pengisi acara. Begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, karena saat resepsi di Yogyakarta minggu lalu tidak banyak bos PG yang hadir, akhirnya tim 7 PC dan tim PBK yang mengisi acara pertunjukannya. Dahayu mengusap sudut matanya, ketika menyaksikan tingkah para komedian yang tengah berlakon sebagai tokoh wayang. Kisah perang Bharatayuda yang seharusnya menegangkan, berubah menjadi drama lucu. "Kakanda Yudhistira, biarkan aku yang maju untuk memenggal kepala Duryodana!" seru Hadrian yang berperan sebagai Arjuna. "Kemarin saja kamu kalah adu layangan dengan dia. Jangan sok-sokan mau membunuhnya," ledek Dante yang berlakon sebagai Nakula. "Kakanda Nakula benar," imbuh Calvin yang menjadi Sadewa. "Sesama saudara, jangan saling m
62Setelah 2 hari menginap di rumah Dartomo, Dahayu mengajak suami dan anak-anaknya menginap di rumah Bagja. Kedatangan mereka disambut kedua orang tua Dahayu dengan sangat hangat. Bahkan Bagja dan Jamilah memaksa agar Aldi, Aldo serta Alfian tidur di kamar utama. Selama 2 hari di rumah mertuanya, Arya banyak berdiskusi dengan Bagja. Pria tua berkumis memberikan wejangan tentang bisnis dan tips menjalani kehidupan. Tibalah hari kepindahan keluarga Arya ke Jakarta. Kedua orang tuanya dan keluarga Dahayu turut berangkat ke Jakarta, untuk mengantarkan keluarga baru tersebut. Sesampainya di bandara Cengkareng, Arya terkejut saat didatangi petugas bandara, yang menyampaikan pesan dari Alvaro. Seusai memastikan semua barang tersusun rapi di troli, Arya mendorong kereta Alfian yang tengah terlelap sejak masih dalam pesawat. Arya bergegas ke pintu keluar terminal kedatangan penerbangan domestik. Dia celingukan, sebelum mendatangi beberapa orang berseragam safari hitam, yang telah menung
61Jeritan para bocah mengagetkan Arya pagi itu. Dia belum sempat mengubah posisi badan, ketika Aldi dan Aldo melompat ke kasur. Alfian berusaha memanjat tempat tidur, sebelum akhirnya diangkat Arya dan didudukkan di dekat kedua kakaknya. Arya meringis kala ketiganya meloncat-loncat, kemudian dia meminta para bocah untuk berhenti melakukan itu dan duduk bersila di dekatnya. Dahayu muncul sambil mendorong troli penuh makanan. Dia berhenti di dekat meja, lalu memanggil ketiga anak sambungnya yang segera mendatangi sang ibu. Dahayu meminra ketiga lelaki kecil untuk duduk di sofa. Kemudian dia membagikan potongan kue pada mereka. Dahayu berdiri dan beralih membuat minuman untuk dirinya serta Arya. Pria berkumis tipis bangkit dari kasur. Alih-alih menuju kamar mandi, Arya justru bergabung dengan anak-anaknya, sambil memerhatikan Dahayu yang rambutnya masih lembap. Arya mengulum senyuman. Malam pertama mereka berlangsung penuh kehangatan. Sama-sama lama sendirian, menjadikan Dahayu dan
60 Malam itu, Arya mengecek kondisi ketiga putranya di family room lantai tiga. Sisi kanan lantai itu menjadi area khusus keluarga Arya dan Dahayu. Sementara sisi kiri ditempati para bos PG dan PC serta petinggi PBK. Semua pengawal muda dan tim butik ditempatkan di lantai 4. Sedangkan Zayan dan keluarganya menginap di lantai 5 yang sisi kirinya merupakan tempat khusus keluarga Hatim, bila tengah berkunjung ke Yogyakarta. Setelah memastikan Aldi, Aldo dan Alfian terlelap, Arya berpamitan pada Wahyuni, Intan dan Resna yang turut menemani ketiga bocah tersebut. Tidak berselang lama, Arya sudah berada di koridor panjang yang dalam kondisi lengang. Dia memasuki lift untuk menuju kamar pengantin di lantai 7, yang merupakan area tertinggi di gedung itu. Zayan sengaja menempatkan Arya dan Dahayu di president suite yang baru dibangun 6 bulan silam. Selain supaya pasangan pengantin memiliki privasi, Zayan ingin menunaikan janjinya pada Dahayu, yakni melaksanakan pernikahan mantan istrinya
59 "Silakan dimulai, Engkoh Wew Wiw Ya, Abang Z, dan Kang H," tukas Fikri yang bertugas sebagai MC, bersama Khairani. "Pasukan owe belum semuanya datang," jawab Wirya dengan dialek khas orang Chinese. "Dipanggil aja, Koh," usul Khairani. "Biaya memanggilnya itu mahal," cetus Wirya. "Enggak apa-apa. Nanti tagihannya dibebankan ke PBK," papar Fikri. "Jangan cari masalah. Dirutnya garang," seloroh Zein. "Bukan garang lagi, tapi bengis bin sadis," imbuh Hendri. "Pokoknya jangan disenggol. Tanduknya akan muncul di kepala." "Taringnya pun keluar. Panjangnya 50cm." "Kalau lagi kumat sisi buruknya, musuh akan dikunyah." "Enggak dimasak dulu?" "Sudah dipanggang pakai jurus 3." "Stop!" sela Wirya. "Ngomongin dia itu nggak akan ada habisnya. Apalagi dia adalah anak kesayangan Emak OY yang pasti muncul di semua buku baru," lanjutnya. "Tidak terbantahkan emang," timpal Zein. "Apalah kita, nih. Hanya jadi pendukung yang jarang muncul," keluh Hendri. "Akang masih mending. Buku hororn
58 Ruang pertemuan besar di hotel milik Hatim Grup, Sabtu siang itu terlihat ramai. Perhelatan akbar pernikahan Arya dan Dahayu berlangsung meriah. Pasangan pengantin terlihat semringah. Mereka menyambut ucapan selamat dari semua tamu, dengan sangat ramah.Arya yang memang murah senyum, nyaris tidak berhenti mengukir senyumannya. Demikian pula dengan Dahayu yang tampil sangat cantik dan anggun. Gaun pengantin sage bertabur permata asli buatannya, menjadikan Dahayu benar-benar memesona. Ditambah dengan riasan wajah hasil penata rias ternama, menjadikan tampilan wajahnya terlihat makin menawan. Arya yang mengenakan setelan jas sage yang serupa dengan gaun Dahayu, terlihat berulang kali menatap pengantinnya dengan sorot mata memuja. Hal itu ternyata tertangkap jelas oleh rekan-rekan Arya yang berada di tempat VIP sisi kiri pelaminan. Mereka memvideokan tingkah sang pengantin pria, kemudian mengirimkannya ke grup PC dan PG utama. Tepat pukul 2, semua lampu utama diredupkan. Beberapa
57Sepanjang acara siraman, Dahayu nyaris tidak berhenti menangis. Dia teringat tingkahnya di masa lalu yang menyebabkan kedua orang tuanya kecewa. Begitu pula saat Bayu dan Nana menyiraminya dengan pelan, Dahayu memegangi pinggang sang kakak sambil sesenggukan. Bayu turut memeluk adiknya tanpa peduli jika bajunya akan basah. Pria bertubuh montok terbayang masa kecil hingga remaja dirinya dan Dahayu, yang nyaris selalu bersama. Mereka baru mulai memiliki kehidupan masing-masing, setelah Bayu kuliah. Putra sulung Bagja mengurai dekapan, kemudian dia merunduk untuk mengecup dahi adiknya yang masih terisak-isak. "Semoga pernikahan ini menjadi yang terakhir buatmu, Yu," tutur Bayu sambil mengusap jilbab putih adiknya yang basah. "Ya, Mas. Aamin," jawab Dahayu. "Jangan terlalu keras kepala. Sekali-sekali mengalah dan nurut sama suami. Walaupun Arya itu penyabar, tapi kalau kamu ngeyel terus, lama-lama dia bosan buat ngalah." "Inggih." "Kamu akan jadi Ibu dari 3 anak. Kurangi jam ke
56Sore itu, Arya dan keluarganya mengunjungi makam Erni. Aminah, Ningtyas dan yang lainnya, turut bergabung untuk membacakan doa buat almarhumah Erni. Arya bermonolog dalam hati, untuk meminta izin pada Erni, karena sebentar lagi dia akan menikahi Dahayu. Pria berkaus krem memejamkan mata sambil membayangkan sosok Erni, yang masih memiliki tempat spesial di hatinya. Puluhan menit terlewati, kelompok tersebut telah berada di dua mobil MPV. Ajudan Arya yang bernama Amir, mengemudikan mobil bosnya sembari menghafalkan jalan. Sementara di mobil Nazriel, pria tersebut tengah melatih ajudannya, Syamil, agar bisa lebih lancar menyetir. Sementara Aminah, Ningtyas dan Farid, suami Ningtyas, berbincang di kursi tengah. Dua perempuan di belakang yang merupakan perawat dan ajudan Aminah, memerhatikan sekeliling sambil mengobrol. Tika dan Resna, bisa langsung akrab sejak pertama kali bertemu di kediaman Aminah di Kediri. Setibanya di tempat tujuan, Gunawan dan Tami menyambut kelompok tersebu
55Malam itu, Arya, Alfian dan Intan telah berada di gerbong eksekutif kereta menuju Surabaya. Selain mereka, delapan perwakilan dari PC dan lima bos PG juga turut serta. Belasan pengusaha muda itu akan melakukan tugas mengecek proyek masing-masing dan juga proyek bersama, selama beberapa hari ke depan. Arya duduk berdampingan dengan Yoga. Mereka bergantian memangku Alfian, yang akhirnya terlelap dalam gendongan sang papa.Pria berjaket hijau berdiri dan memindahkan putranya ke bangku belakang, yang posisinya telah diubah oleh Intan. Arya meletakkan Alfian dengan hati-hati, kemudian Intan menyelimuti anak asuhnya. Tiba-tiba para lelaki di barisan depan tergelak dan menimbulkan tanda tanya orang-orang di belakang. "Apaan, Dit?" tanya Yoga pada asistennya yang berada di kursi terdepan bersama Listu, ajudan Ivan."Bos Sipitih kena skak sama Mas Yon," jawab Aditya sambil menoleh ke belakang. "Di grup mana?" "Pengawas luar negeri." "Yang Eropa?" "Yups." "Bentar, ku-cek dulu." Yog