04
"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang."Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya.
"Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?"
"Kabar baik. Mas sendiri gimana?"
"Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."
Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta."
"Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja."
"Ngaco!"
Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Dahayu. "Ini, dipelajari dulu. Dijawab nanti setelah makan, karena sekarang aku lapar banget."
"Ehm, Mas mau pesan apa? Tadi aku cuma pesan makanan buatku doang."
"Apa aja yang penting cepat."
"Waduh, lapar berat kayaknya." Dahayu melambaikan tangan untuk memanggil pegawai restoran, kemudian berkata, "Pesan cake dulu, ya, buat ganjal sampai makanan utama tiba."
"Oke, aku mau ...."
"Tiramisu," potong Dahayu.
"Masih ingat rupanya kesukaanku." Pria berbibir penuh mengulaskan senyuman lebar, merasa senang karena Dahayu ternyata masih mengingat hal-hal kecil tentang dirinya.
"Gimana nggak ingat, tiap ketemu dulu pasti mesannya itu." Dahayu mengalihkan pandangan pada pegawai restoran dan menyebutkan pesanan tambahan untuk pria tersebut.
"Yu, kenapa kamu nggak pernah ikutan ngobrol di grup kalau aku muncul?" tanya Imran Maulana Nataprawira, sesaat setelah pegawai restoran pergi.
"Karena kalau aku nimpalin, maka Westi dan yang lainnya bakal ngeledekin," terang Dahayu.
Imran tertawa dan berhasil memancing Dahayu untuk melakukan hal serupa. Kedua orang tersebut meneruskan obrolan hingga pesanan mereka diantarkan oleh pegawai restoran.
"Aku dengar, mantan suamimu sudah punya dua anak. Dan sekarang istrinya tengah hamil anak ketiga," tukas pria berambut belah tengah di sela-sela mengunyah.
"Hmm, Mas kayaknya pengamat dunia gosip," timpal Dahayu.
"Karena aku baru sadar, kalau selama satu tahun terakhir menjalin kerjasama dengan perusahaan dia."
"Loh, kok, aku nggak tau?"
"Memangnya harus tau?"
"Aku ... masih punya saham di perusahaan inti. Mas Zayan maksa, padahal udah kuminta buat dialihkan ke anak-anak, tapi dia tolak."
"Komisaris?"
"Pemegang saham doang. Semuanya di bawah kendali Mas Zay dan Ferdi, serta Mas Malik."
"Oh, begitu. Aku kerjasama dengan Pak Malik dan Bu Novi."
"Perusahaan cabang berarti."
"Memangnya berapa banyak perusahaan di Grup Hatim itu?"
"Nanti kucek lagi di laporan. Lupa, saking banyaknya."
"Pantesan dulu kamu kesengsem berat sama dia, sampai-sampai nggak noleh ke aku yang gagah rupawan ini."
Dahayu spontan melemparkan gumpalan tisu karena kesal digodai teman semasa kuliah dulu. Imran adalah salah satu lelaki yang cukup dekat dengan Dahayu dan ketiga sahabatnya. Namun, pria berkumis tipis langsung menjauh saat mengetahui bila Dahayu tengah menjalin hubungan serius dengan Zayan.
Dahayu sempat bingung karena Imran bersikap seperti itu tanpa sebab yang jelas. Namun, dia tidak punya kesempatan untuk bertanya, karena terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Terutama karena tengah dilanda asmara pada Zayan.
Seusai wisuda, Imran langsung pindah ke Melbourne karena ditugaskan di sana oleh perusahaan tempatnya bekerja. Di kota itulah Imran bertemu dengan Dianita Damayanti yang akhirnya menjadi istrinya. Namun, sayangnya pernikahan mereka hanya bertahan tiga tahun. Setelah berpisah, Imran kembali ke Indonesia bersama putrinya, Nadia yang saat itu baru berusia satu tahun lebih.
Perusahaan tempat Imran bekerja menjalin kerjasama dengan perusahaan jasa keamanan milik Bayu, kakaknya Dahayu. Hal itulah yang membuatnya bisa kembali dekat dengan Dahayu dan teman-teman se-almamater sejak beberapa bulan silam.
*** Semua karyawan di butik pusat milik Dahayu tampak semringah, menyambut bos mereka yang sudah beberapa bulan tidak berkunjung, karena kesibukan Dahayu dalam mempersiapkan pembukaan cabang baru di Banjarmasin.Seusai berbincang beberapa menit dengan semua pegawainya, Dahayu menaiki tangga dengan hati-hati. Setibanya di lantai dua, Dahayu berhenti melangkah dan berdiri di pinggir tembok pembatas.
Perempuan bergaun abu-abu tua memandangi ruangan di lantai satu dengan tatapan penuh kebanggaan. Usaha yang ditekuninya selama sepuluh tahun akhirnya membuahkan hasil yang membahagiakan.
Tak berselang lama Dahayu sudah berada di kursi dekat meja kerjanya. Perempuan berjilbab putih memelototi layar laptop untuk mengecek laporan dari setiap cabang. Selain kantor pusat di Jakarta, cabang butiknya tersebar di beberapa kota besar.
"Permisi, Bu," ujar seorang pegawai berjilbab hitam yang baru saja membuka pintu.
"Ya? Ada apa, Mira?" tanya Dahayu.
"Ada tamu di depan. Mau ketemu sama Ibu."
"Oke, persilakan masuk."
Saat pegawai itu berbalik, Dahayu berpindah ke depan cermin untuk merapikan jilbab dan gaun. Pintu yang didorong dari luar membuat Dahayu spontan membalikkan badan dan seketika tertegun.
"Assalamualaikum," sapa kedua tamu itu nyaris bersamaan.
"Waalaikumsalam. Silakan masuk," jawab Dahayu seraya memaksakan senyuman. "Ayo, duduk dulu," ajaknya yang segera dikerjakan kedua tamu. "Apa kabar, Mas dan Jeehan?" tanya Dahayu sembari memandangi kedua tamu dengan lekat.
"Kabarku baik, demikian pula dengan Jeehan." Sang pria yang tak lain adalah Elang, mantan kekasih Dahayu, mengamati perempuan di hadapan dengan saksama, dan merasa senang karena hatinya tidak lagi bergetar saat pandangan mereka bertemu. "Kamu, sehat?" tanyanya.
"Iya, Mas. Alhamdulillah, aku sehat." Dahayu terdiam sejenak, lalu dia bertanya, "Ada angin apa, nih, kalian ke sini?"
"Kami mau mengantarkan ini." Jeehan membuka tas hitamnya dan mengeluarkan selembar kartu undangan yang diberikannya pada Dahayu. "Kalau bisa, datang, ya, Yu. Kami akan senang sekali kalau kamu bisa hadir," lanjutnya.
Dahayu tertegun sebelum mengambil kartu undangan hijau muda dan membaca nama pasangan yang akan menikah. Sedapat mungkin Dahayu menetralkan hati sebelum menengadah dan mengulaskan senyuman. Walaupun dia tidak menyangka bila kedua orang tersebut akhirnya akan menikah, tetapi Dahayu ikut senang mengetahui hal itu.
"Selamat, Mas dan Jeehan. Aku usahakan akan datang," tutur Dahayu. "Kalau boleh tahu, sejak kapan kalian memiliki hubungan khusus? Maaf, kalau aku sedikit lancang, tetapi aku benar-benar penasaran," sambungnya.
"Sebetulnya kami baru membicarakan hal ini dua bulan terakhir, Yu. Karena kemaren-kemaren kami sama sekali nggak ada pendekatan, hanya saja anak-anak, kan, sering mengunjungi Nandira di rumahnya dan sering ketemu Jeehan, jadi sepertinya anak-anak yang telah mendekatkan kami," terang Elang sambil melirik perempuan di samping kiri yang membalas dengan senyuman.
"Alhamdulillah. Aku ikut senang, dan semoga semuanya dimudahkan," sahut Dahayu seraya menyunggingkan senyuman.
"Makasih, Yu," tukas Elang. "Dan maaf, kami nggak bisa lama-lama di sini, karena harus mengantarkan undangan secara pribadi ke orang-orang penting," sambungnya sembari berdiri dan mengatupkan kedua tangan di depan dada yang dibalas Dahayu dengan hal serupa.
"Kami pamit, Yu. Dan jangan nggak datang nanti. Aku bakal ngambek," pungkas Jeehan sambil menyalami dan beradu pipi dengan Dahayu.
"Insyaallah," timpal Dahayu. "Mari, kuanterin sampai bawah," lanjutnya.
"Nggak usah, Yu. Kamu pasti lagi sibuk. Lanjutkan aja," tolak Elang.
"Ehm, oke, deh. Hati-hati di jalan." Dahayu melambaikan tangan dari depan pintu ruangannya. Saat pasangan tersebut menjauh, Dahayu menutup pintu dan menyandar pada benda besar itu.
Kendatipun Dahayu dan Jeehan sering bertemu di berbagai kesempatan, tetapi mereka memang tidak akrab dan hanya berteman biasa. Hingga Dahayu betul-betul tidak mengetahui hubungan perempuan berparas manis tersebut dengan Elang.
05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg
06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l
07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men
01Seunit mobil Range Rover putih meluncur membelah kepadatan jalan raya Kota Surabaya. Sang pengemudi menekan pedal gas dalam-dalam agar bisa segera tiba di rumah sakit terdekat. Sekali-sekali dia melirik ke belakang di mana istrinya tengah meringis kesakitan sambil menyandar pada sang ibu. Arya Himawan, sang pengemudi mobil mengumpat beberapa kali karena kendaraan di depan sejak tadi tidak mau menyingkir. Padahal dia sudah menyalakan lampu darurat dan menekan klakson berulang kali. Arya mengeluh dalam hati sebab makin kurangnya empati masyarakat yang kerap kali terjadi.Sesampainya di depan Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, Arya menarik tuas rem tangan sebelum membuka pintu dan turun. Pria berkaus putih lari menuju ruangan tersebut dan kembali beberapa saat kemudian bersama dengan dua orang perawat laki-laki yang mendorong brankar. Arya membuka pintu bagian tengah dan membantu istrinya keluar serta membaringkan perempuan yang kian lemah ke brankar, yang segera didor
02Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat 4 hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. "Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya."Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. "Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit.""Aku ...." Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut
03Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak. Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk. Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing. Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar. Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa p
07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men
06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l
05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg
04"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang. "Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya. "Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?" "Kabar baik. Mas sendiri gimana?" "Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta." "Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja." "Ngaco!" Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Daha
03Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak. Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk. Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing. Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar. Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa p
02Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat 4 hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. "Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya."Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. "Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit.""Aku ...." Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut
01Seunit mobil Range Rover putih meluncur membelah kepadatan jalan raya Kota Surabaya. Sang pengemudi menekan pedal gas dalam-dalam agar bisa segera tiba di rumah sakit terdekat. Sekali-sekali dia melirik ke belakang di mana istrinya tengah meringis kesakitan sambil menyandar pada sang ibu. Arya Himawan, sang pengemudi mobil mengumpat beberapa kali karena kendaraan di depan sejak tadi tidak mau menyingkir. Padahal dia sudah menyalakan lampu darurat dan menekan klakson berulang kali. Arya mengeluh dalam hati sebab makin kurangnya empati masyarakat yang kerap kali terjadi.Sesampainya di depan Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, Arya menarik tuas rem tangan sebelum membuka pintu dan turun. Pria berkaus putih lari menuju ruangan tersebut dan kembali beberapa saat kemudian bersama dengan dua orang perawat laki-laki yang mendorong brankar. Arya membuka pintu bagian tengah dan membantu istrinya keluar serta membaringkan perempuan yang kian lemah ke brankar, yang segera didor