07
Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil.
Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa.
Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut.
"Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis.
"Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.
Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur.
Seusai menghabiskan makanan, Imran berdiri dan meminta izin pada penumpang di sebelah agar dia bisa keluar. Imran meneruskan langkah menuju toilet untuk menuntaskan panggilan alam, lalu mengambil wudu.
Beberapa menit berlalu, Imran sudah selesai menunaikan ibadah salat Zuhur dan Asar yang disatukan. Meskipun dalam kondisi duduk dan ruang geraknya sempit, tetapi Imran tetap menuntaskan salat. Pria tersebut mengambil tas kerja dan meraih sebuah buku cerita horor karya penulis kesayangannya.
Selama hampir dua jam berikutnya, Imran asyik membaca. Hingga matanya memberat dan pria tersebut memutuskan untuk kembali beristirahat, karena perjalanan masih harus ditempuh selama beberapa jam lagi.
***
Arya baru saja duduk di kursinya di ruang kerja, ketika sekretaris dan asisten pribadinya memasuki ruangan. Keduanya membawa setumpuk berkas di tangan masing-masing. Arya mendelik tajam pada pasangan suami istri tersebut yang seolah-olah tidak terintimidasi sikap sang bos.
"Silakan dinikmati hidangannya," seloroh Gunawan, sang asisten yang sudah lama mengabdi pada Arya.
"Kamu, tuh, Gun. Harusnya yang dihidangkan itu kopi dan kue. Bukan kertas!" sungut Arya.
"Itu udah mainstream, Mas. Sekali ini nyoba menu yang berbeda, mungkin bisa doyan," balas Gunawan sembari berpindah ke dekat jendela untuk membuka gordennya lebar-lebar.
"Apalagi ini, Tami? Kalian bersekongkol mau bikin aku kena serangan jantung?" protes Arya pada sang sekretaris yang justru menarik kursi di seberang meja dan duduk dengan santai.
"Sstt! Jangan bernada tinggi ngomongnya. Anak kita nanti kaget-kagetan," kelakar Tami sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit.
"Hmm, kapan jadwal kontrolnya?" tanya Arya.
"Lusa, Mas bisa nganter? Ayahnya nggak tahu ke mana."
"Bisa. Sekalian habis itu kita kencan, aku sudah lama nggak nonton di bioskop."
"Oke, tapi pulangnya ke apartemen Mas, ya. Aku lagi pengen dikelonin."
"Siap, mau sampai besok pun, hayoklah."
"Aku dengar, ya, rencana kalian mau berselingkuh!" Gunawan berbalik dan berpura-pura mengomel. "Mas sepertinya harus segera dicarikan istri baru agar istriku nggak digodain terus," candanya sembari menghampiri sang istri dan melingkarkan tangan kanan di pundak Tami.
"Jangan aneh-aneh, Gun. Baru juga lewat dua bulan. Aku masih cinta sama Erni, belum kepikiran cari penggantinya," tolak Arya.
"Anak-anak butuh Ibu sambung, Mas. Walaupun ada kedua Nenek yang bergantian jaga, tetap aja beda kalau sama Ibu, walaupun cuma Ibu sambung," terang Gunawan sambil menatap bosnya dengan lekat. "Apa perlu kucarikan?" usulnya seraya tersenyum lebar.
"Nggak perlu, aku masih pengen sendiri. Nanti kalau sudah butuh pendamping, aku akan minta Ibu buat cariin," jelas Arya.
"Kenapa nggak cari sendiri, Mas?" desak Tami.
Arya menggeleng, lalu menjawab, "Aku percaya dengan perempuan pilihan Ibu. Mau dari Ibu mertua ataupun Ibu kandung, akan kunikahi kedua calonnya." Arya terkekeh ketika Tami spontan melemparkan gumpalan tisu ke arahnya, sementara Gunawan ikut terbahak bersama sang bos.
Ketiga orang tersebut masih bersenda gurau selama beberapa belas menit kemudian, sebelum Gunawan dan Tami berpamitan untuk melanjutkan pekerjaan di ruang kerja masing-masing.
Arya menatap tumpukan berkas di mejanya sambil menggeleng. Pria berparas manis akhirnya mengambil berkas teratas dan mulai membaca isi dokumen. Arya tahu bila percuma saja dia mengeluh, karena pada nantinya dia tetap harus menyelesaikan pekerjaan.
Langit siang yang panas mulai meredup. Lembayung senja nan indah menghiasi langit. Suasana di luar gedung kantor sembilan lantai tersebut kian lengang seiring dengan jam pulang kerja.
Arya menumpangkan tangan kanan ke meja dan memijat dahinya yang berdenyut. Pria berkulit kuning langsat merasa lelah untuk melanjutkan pekerjaan dan akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Arya menengadah dan memandangi langit, sebelum akhirnya tersadar bila dirinya belum menunaikan salat asar.
Pria berkemeja krem motif garis-garis memanjang, bergegas berdiri dan jalan memasuki bilik termenung di ujung kiri ruangan. Tak berselang lama dia sudah keluar dan menghamparkan sajadah sesuai kiblat.
Arya melakukan ibadah empat rakaat dengan khusyuk. Kala berdoa, pria tersebut menitikkan air mata ketika mengingat sosok Erni.
Arya menunduk dan membiarkan wajahnya basah oleh bulir bening. Betapa dia sangat merindukan perempuan yang selalu menyambutnya dengan senyuman bila baru pulang kerja. Kenangan indah berkelebatan silih berganti dan tak sanggup dibendungnya.
Arya tidak tahu berapa lama dia merengek sambil sesenggukan, sebelum akhirnya menengadah untuk memandangi langit yang kian gelap. Arya mengelap wajahnya dengan ujung lengan kemeja, sebelum berdiri dan melipat sajadah serta mengembalikan benda biru itu ke tempat semula.
Arya berdiri di dekat jendela. Dia mengamati langit yang sama gelapnya dengan suasana hati. Sang duda membayangkan wajah Erni, lalu mengucapkan kerinduan sembari menahan diri untuk tidak kembali menangis.
Bayangan wajah Erni terbentuk di langit. Arya tertegun sesaat, lalu bertutur, "Papa kangen, Ma. Kangen banget."
Belasan menit berlalu, Arya sudah berada di dalam mobil dan ikut berjibaku dengan pengendara lain agar bisa segera tiba di tempat tujuan. Pria tersebut baru saja menghentikan kendaraan di depan garasi, ketika mendengar suara teriakan kedua anak kembarnya dari teras.
Arya menyambar tas kerja dari kursi samping kiri sebelum membuka pintu dan keluar. Arya menutup pintu mobil dan mengunci kendaraan, lalu menghampiri Aldi dan Aldo yang berebutan menyalaminya dengan takzim.
Langkah Arya terhenti di depan pintu ketika melihat Dahayu tengah duduk di sofa sambil menggendong Alfian. Arya terpaku di tempat kala perempuan berjilbab putih tersebut berdiri dan menghampirinya. Dahayu mengulurkan tangan yang dijabat Arya dengan perasaan aneh.
Kedua orang tersebut saling menatap sesaat, sebelum Dahayu menarik tangannya sambil berkata, "Yuk, Mas. Langsung ke ruang makan. Aku bawa makanan kesukaan Mas langsung dari restorannya di Jakarta."
Arya tidak langsung menjawab. Dia hanya memerhatikan saat Dahayu berbalik dan melenggang memasuki ruangan dalam. Arya merasa senang bisa bertemu Dahayu meskipun sedikit bingung karena hatinya tiba-tiba berdesir.
01Seunit mobil Range Rover putih meluncur membelah kepadatan jalan raya Kota Surabaya. Sang pengemudi menekan pedal gas dalam-dalam agar bisa segera tiba di rumah sakit terdekat. Sekali-sekali dia melirik ke belakang di mana istrinya tengah meringis kesakitan sambil menyandar pada sang ibu. Arya Himawan, sang pengemudi mobil mengumpat beberapa kali karena kendaraan di depan sejak tadi tidak mau menyingkir. Padahal dia sudah menyalakan lampu darurat dan menekan klakson berulang kali. Arya mengeluh dalam hati sebab makin kurangnya empati masyarakat yang kerap kali terjadi.Sesampainya di depan Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, Arya menarik tuas rem tangan sebelum membuka pintu dan turun. Pria berkaus putih lari menuju ruangan tersebut dan kembali beberapa saat kemudian bersama dengan dua orang perawat laki-laki yang mendorong brankar. Arya membuka pintu bagian tengah dan membantu istrinya keluar serta membaringkan perempuan yang kian lemah ke brankar, yang segera didor
02Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat 4 hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. "Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya."Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. "Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit.""Aku ...." Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut
03Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak. Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk. Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing. Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar. Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa p
04"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang. "Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya. "Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?" "Kabar baik. Mas sendiri gimana?" "Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta." "Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja." "Ngaco!" Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Daha
05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg
06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l
07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men
06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l
05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg
04"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang. "Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya. "Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?" "Kabar baik. Mas sendiri gimana?" "Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta." "Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja." "Ngaco!" Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Daha
03Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak. Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk. Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing. Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar. Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa p
02Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat 4 hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. "Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya."Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. "Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit.""Aku ...." Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut
01Seunit mobil Range Rover putih meluncur membelah kepadatan jalan raya Kota Surabaya. Sang pengemudi menekan pedal gas dalam-dalam agar bisa segera tiba di rumah sakit terdekat. Sekali-sekali dia melirik ke belakang di mana istrinya tengah meringis kesakitan sambil menyandar pada sang ibu. Arya Himawan, sang pengemudi mobil mengumpat beberapa kali karena kendaraan di depan sejak tadi tidak mau menyingkir. Padahal dia sudah menyalakan lampu darurat dan menekan klakson berulang kali. Arya mengeluh dalam hati sebab makin kurangnya empati masyarakat yang kerap kali terjadi.Sesampainya di depan Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, Arya menarik tuas rem tangan sebelum membuka pintu dan turun. Pria berkaus putih lari menuju ruangan tersebut dan kembali beberapa saat kemudian bersama dengan dua orang perawat laki-laki yang mendorong brankar. Arya membuka pintu bagian tengah dan membantu istrinya keluar serta membaringkan perempuan yang kian lemah ke brankar, yang segera didor