06
Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol.
"Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi.
"Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran.
Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor.
"Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar.
"Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran.
"Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding.
Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan langkah menuju tengah ruangan dan menunjuk ke pintu di samping kiri pada Imran. Sang tamu langsung mengerti dan bergerak ke kamar mandi.
Kala Imran keluar beberapa menit kemudian, Dahayu tengah menyusun buah-buahan dan kue di lemari pendingin. Pria itu memindai sekitar sambil menunggu Dahayu selesai.
"Yu, ada sesuatu yang mau aku omongin ke kamu," ungkap Imran.
"Tentang apa?" tanya Dahayu sembari berpindah ke sofa dan duduk di kursi tunggal.
Imran bergerak menuju sofa di seberang Dahayu dan mendudukkan diri, kemudian dia berkata, "Tentang perasaanku ke kamu."
Dahayu tertegun sejenak, lalu bertanya, "Maksudnya gimana?"
"Aku ... menyukaimu lebih dari sekadar teman."
Dahayu mengerjap-ngerjapkan mata. Dalam hati dia mengeluh, karena ternyata tebakan Westi tempo hari itu benar. Perempuan berbibir penuh, berpikir selama beberapa saat, untuk memberikan jawaban yang tidak akan menyinggung egonya Ilham.
"Aku tahu, mungkin menurutmu aku mengada-ada dan terlalu terburu-buru. Satu hal yang pasti, aku sudah menyukaimu sejak kita kuliah dulu, tapi aku nggak berani mengungkapkan itu karena kamu telanjur bertemu mantan suami dan langsung terpesona padanya," terang Imran.
"Aku sadar diri sudah jelas kalah dari hal materi, karena itu aku menyingkir dari kehidupanmu dan mencoba mencari cinta di tempat lain. Karena terlalu terburu-buru, aku dan Dian menikah hanya dalam hitungan bulan setelah kami diperkenalkan teman. Dan ternyata pondasi rumah tangga kami nggak kuat. Hanya dalam waktu hampir dua tahun, dia meminta diceraikan karena lebih mencintai pria lain dibanding aku."
Dahayu yang memang belum mengetahui perihal itu, spontan terkesiap. Dia pernah mendengar gosip tentang sosok mantan istri Imran dari teman-temannya, tetapi Dahayu tidak berusaha mencari tahu tentang hal tersebut lebih lanjut, karena merasa bila itu bukan urusannya.
"Waktu aku baru pulang ke sini, teman-teman yang tahu kalau aku dulu pernah menyukaimu, langsung mengabarkan berita bila kamu sudah berpisah dari suami. Tapi, aku belum berani mendekatimu karena ingin memantau situasi dulu, baru kemudian memberanikan diri untuk lebih akrab," ungkap Imran.
"Memantau situasi? Tolong jelaskan, Mas. Aku nggak paham," pinta Dahayu.
"Itu artinya aku ngecek siapa-siapa aja yang berada dalam lingkaran terdekat denganmu. Dan ... nama Arya tidak terpantau olehku, karena aku memang belum bertemu dengannya sama sekali," jelas Imran. "Jadi, gimana, Yu?" tanyanya.
"Gimana apanya?"
"Aku udah ngungkapin hal tadi, lalu, tanggapanmu gimana?"
Dahayu kembali terdiam. Dia menunduk sambil memikirkan jawaban terbaik. Sedangkan Imran terus mengamati Dahayu dengan sedikit tidak sabar, hingga dia melakukan tindakan nekat, yaitu berpindah ke samping kanan Dahayu dan memegangi pundak perempuan itu. Kemudian mengarahkannya hingga mereka saling berhadapan.
"Yu, tolong dijawab. Aku nggak suka digantung terlalu lama. Kalau kamu nggak punya rasa yang sama, katakan saja dan aku akan memahaminya," papar Imran. "Kita sudah sangat dewasa, dan aku akan segera balik badan kalau kamu nolak, karena aku nggak mau buang-buang waktu untuk menunggu sesuatu yang belum pasti," imbuhnya.
"Aku ... saat ini aku masih belum bisa ngasih jawaban karena ini benar-benar di luar dugaanku, Mas. Kalau Mas mau nunggu beberapa hari lagi, aku bisa memikirkan hal ini lebih lanjut. Tapi kalau Mas nggak bisa nunggu, silakan berganti haluan agar waktu Mas nggak terbuang cuma-cuma," cetus Dahayu sambil menengadah.
Imran terdiam, meskipun sedikit kecewa karena Dahayu tidak langsung menerimanya, tetapi Imran juga tidak bisa mengabaikan perasaan sukanya yang telanjur membesar.
Sang duda beranak satu mengamati Dahayu yang kembali menunduk, dia merasa ada sesuatu hal yang mungkin menjadi penyebab sikap Dahayu seperti itu.
"Oke, aku hanya bisa ngasih waktu satu minggu, Yu. Nggak lebih," tutur Imran. "Aku besok mau berangkat ke Melbourne dan baru pulang minggu depan. Jadi aku harap setelah pulang nanti, kamu sudah punya keputusan. Bisa?" desaknya.
Dahayu menengadah dan berucap, "Tapi aku lusa berangkat ke Surabaya, Mas. Beberapa hari di sana, baru pulang ke Malang."
"Ehm, gimana kalau kamu di Surabaya-nya sedikit lebih lama? Jadi dari Melbourne aku langsung ke Surabaya aja, kita ketemu di sana. Karena aku nggak mau dengar keputusanmu melalui telepon."
Dahayu memandangi pria berparas manis yang sudah lama menjadi temannya itu dengan intens. Entah kenapa Dahayu merasa mulai nyaman bersama Imran.
Kendatipun hatinya hanya bergetar sedikit, tetapi ketenangan bersama Imran membuatnya mengangguk menyetujui permintaan pria tersebut. Imran seketika menciptakan senyuman di wajahnya yang dibalas Dahayu dengan hal serupa.
***
Seorang perempuan bergaun panjang salem, turun dari mobil taksi online. Setelah menutup pintu kendaraan, perempuan tersebut merapikan jilbab merah muda sambil mengayunkan tungkai menuju bangunan butik di hadapannya.
Beberapa orang pegawai menyapanya dengan sopan dan dia membalas dengan ramah seraya tersenyum. Setibanya di ruang kerja, Dahayu mematikan lampu kecil di dinding terlebih dahulu sebelum menyalakan mesin penyejuk udara. Kemudian dia berpindah ke dekat jendela untuk membuka gordennya lebar-lebar.
Perempuan berjilbab merah muda memandangi luar kaca besar yang menampilkan jalan raya yang padat. Secarik senyuman tercipta di wajahnya yang cantik kala mengingat pembicaraan dengan Imran kemarin malam. Hati Dahayu menghangat saat menyadari bila perhatian Imran membuatnya senang, dan rasa suka lebih dari sekadar teman itu mulai muncul.
Dahayu masih ingin memantapkan hati sebelum memberikan keputusan pada Imran. Selain itu Dahayu juga ingin mengungkapkan rahasia terdalamnya pada pria berambut tebal tersebut. Dia tidak mau menyembunyikan hal paling penting agar Imran tidak kecewa bila mereka telanjur berhubungan serius.
Sementara itu di tempat berbeda, Imran tengah memelototi layar tabletnya. Sekali-sekali pria tersebut akan mengetik sesuatu sebelum kembali terdiam. Merasa lelah tidak berhasil menyelesaikan pekerjaan, akhirnya Imran mematikan tablet dan memasukkan benda itu ke tas kerja.
Pria berkemeja biru muda menyandar ke belakang sambil melipat tangan di depan dada. Tatapan diarahkannya pada orang-orang yang berada di deretan kursi lain, di ruang tunggu terminal keberangkatan luar negeri Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Kala melihat sepasang manusia yang tengah mengasuh dua anak kecil berbeda gender yang bergerak lincah, tanpa sadar Imran mengulum senyum. Dia membayangkan bila bisa menikah dengan Dahayu, mungkin nantinya mereka akan kerepotan seperti itu pula.
Imran berencana untuk mengajak Dahayu bertemu dengan sang putri di rumah orang tuanya di Bekasi, bila perempuan tersebut sudah memberikan jawaban atas permintaannya yang menginginkan menjalin kasih dengan Dahayu.
Panggilan dari petugas bandara agar para penumpang segera memasuki pesawat, memutuskan lamunan Imran. Pria beralis tebal segera berdiri dan spontan merapikan kemeja. Kemudian dia menyelempangkan tali tas kerja, lalu mengangkat tas hitam berukuran sedang dengan tangan kanan.
Sesaat setelah tiba di deretan kursi bagian ujung pesawat, Imran mengeluarkan jaket tebal dari tas sebelum memasukkan benda itu ke bagasi kabin. Imran memandangi seorang perempuan berambut ikal yang tengah duduk di kursi dekat jendela, yang seharusnya menjadi tempatnya.
"Maaf, tapi itu kursi saya," tutur Imran yang membuat perempuan tersebut menengadah dan tampak terkejut.
"Oh, maaf," jawab perempuan bermata besar yang segera berdiri dan berpindah ke lorong.
Imran menggeser tubuh hingga bisa duduk di tempatnya, kemudian dia melepaskan tali tas kerja dan meletakkan benda berbahan kulit hitam itu ke dekat kaki kanan. Imran mengenakan jaket dan merapikan posisi sebelum memasang sabuk pengaman.
Bunyi notifikasi ponsel membuat Imran tersadar bila dia belum mematikan benda itu. Terdorong rasa penasaran Imran mengambil ponsel dari tas kerja, dan mengecek pesan yang masuk.
Sudut bibirnya melengkungkan senyuman ketika membaca pesan dari Dahayu. Imran mengetikkan pesan dan mengirimkannya pada perempuan tersebut sebelum mematikan ponsel.
07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men
01Seunit mobil Range Rover putih meluncur membelah kepadatan jalan raya Kota Surabaya. Sang pengemudi menekan pedal gas dalam-dalam agar bisa segera tiba di rumah sakit terdekat. Sekali-sekali dia melirik ke belakang di mana istrinya tengah meringis kesakitan sambil menyandar pada sang ibu. Arya Himawan, sang pengemudi mobil mengumpat beberapa kali karena kendaraan di depan sejak tadi tidak mau menyingkir. Padahal dia sudah menyalakan lampu darurat dan menekan klakson berulang kali. Arya mengeluh dalam hati sebab makin kurangnya empati masyarakat yang kerap kali terjadi.Sesampainya di depan Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, Arya menarik tuas rem tangan sebelum membuka pintu dan turun. Pria berkaus putih lari menuju ruangan tersebut dan kembali beberapa saat kemudian bersama dengan dua orang perawat laki-laki yang mendorong brankar. Arya membuka pintu bagian tengah dan membantu istrinya keluar serta membaringkan perempuan yang kian lemah ke brankar, yang segera didor
02Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat 4 hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. "Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya."Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. "Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit.""Aku ...." Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut
03Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak. Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk. Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing. Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar. Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa p
04"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang. "Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya. "Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?" "Kabar baik. Mas sendiri gimana?" "Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta." "Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja." "Ngaco!" Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Daha
05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg
07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men
06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l
05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg
04"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang. "Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya. "Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?" "Kabar baik. Mas sendiri gimana?" "Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta." "Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja." "Ngaco!" Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Daha
03Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak. Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk. Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing. Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar. Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa p
02Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat 4 hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. "Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya."Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. "Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit.""Aku ...." Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut
01Seunit mobil Range Rover putih meluncur membelah kepadatan jalan raya Kota Surabaya. Sang pengemudi menekan pedal gas dalam-dalam agar bisa segera tiba di rumah sakit terdekat. Sekali-sekali dia melirik ke belakang di mana istrinya tengah meringis kesakitan sambil menyandar pada sang ibu. Arya Himawan, sang pengemudi mobil mengumpat beberapa kali karena kendaraan di depan sejak tadi tidak mau menyingkir. Padahal dia sudah menyalakan lampu darurat dan menekan klakson berulang kali. Arya mengeluh dalam hati sebab makin kurangnya empati masyarakat yang kerap kali terjadi.Sesampainya di depan Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, Arya menarik tuas rem tangan sebelum membuka pintu dan turun. Pria berkaus putih lari menuju ruangan tersebut dan kembali beberapa saat kemudian bersama dengan dua orang perawat laki-laki yang mendorong brankar. Arya membuka pintu bagian tengah dan membantu istrinya keluar serta membaringkan perempuan yang kian lemah ke brankar, yang segera didor