Home / Pernikahan / Seuntai Janji / Bab 03 - Kangen

Share

Bab 03 - Kangen

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2024-11-27 15:17:31

03

Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak. 

Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk. 

Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing. 

Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar. 

Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa perancang senior kenamaan Indonesia. 

Dahayu tertegun ketika salah satu perancang terkenal mendatanginya dan memberikan pita biru yang disematkan di dekat dada kanan. Dahayu mengulaskan senyuman lebar, karena itu merupakan tanda bila hasil karyanya disukai sang senior. 

Dahayu menyalami perempuan tua berkonde dengan takzim. Mereka berpelukan sebentar, sebelum sang senior memundurkan badan sambil memberikan ucapan selamat buat perempuan bermata besar, yang membalas dengan berterima kasih berulang kali. 

Sekian menit berlalu, Dahayu tengah mengobrol dengan Westi, sahabat sekaligus asistennya, ketika ponselnya bergetar. Dahayu meraih benda itu dari tas kecil dan mengecek nama pemanggil,  sebelum menekan tanda hijau, lalu menempelkan ponsel ke telinga kanan. 

"Assalamualaikum," sapa Dahayu. 

"Waalaikumsalam. Acaranya udah selesai?" tanya orang di seberang telepon. 

"Sudah, baru aja." 

"Good, aku tunggu di tempat parkir. Mobil putih butut." 

Telepon diputus secara sepihak oleh orang tersebut. Dahayu mengulum senyum dan menggeleng perlahan, kemudian memasukkan ponsel kembali ke tas dan memberi kode pada Westi yang langsung mengangguk paham. 

Kedua perempuan berbeda tampilan berpamitan pada rekan-rekan mereka. Keduanya melangkah bersisian menuju pintu sambil bergandengan tangan. 

"Kayaknya Mas Imran mau pedekate ke kamu, Yu," tukas Westi, sahabat Dahayu, sesaat setelah mereka berada di koridor. 

"Enggaklah, dia tahu aku udah nyaman sendiri," jawab Dahayu sembari mengusap dahi dengan tisu. 

"Feelingku nggak pernah salah. Dari zaman Mas Zay, Mas Elang, dan sekarang dia." 

"Kamu itu kayak Maya dan Rini, sibuk ngejodohin aku, padahal aku nggak kepikiran buat nikah lagi." 

"Jangan gitu, Yu, kamu masih muda, baru tiga puluh tiga tahun. Jalanmu masih panjang." 

"Wes, stop, deh. Biarin aku kayak gini, dan tetap doakan yang terbaik buatku. Kalau di depan sana ternyata aku memang masih punya jodoh, doakan juga biar semuanya dilancarkan." 

"Dari dulu doaku juga cuma itu. Tapi sekarang ditambah dengan semoga saat ada yang serius melamar, kamunya nggak kabur lagi kayak dulu." 

"Duh, diingetin lagi." 

"Habisnya kesel, Mas Elang itu kurang apa coba? Wajah manis, badan tinggi walaupun agak gemuk sedikit. Dia juga baik, Ayah penyayang.  Pokoknya high quality duda, susah tau nyari yang model gitu." 

"Ya, udah, kamu aja yang ngedeketin dia." 

"Terus Mas Hendra di ke manain?" 

"Entah." 

Westi merengut, sementara Dahayu mengulaskan senyuman lebar. Langkah mereka terhenti ketika tiba di tempat parkir dan seorang pria melambai dari bagian tengah. 

"Nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Imran, teman kuliah Westi dan Dahayu. 

"Ada, hatinya Dahayu," jawab Westi yang seketika dicubit orang yang dimaksud, sementara Imran tersenyum lebar. 

"Yok, kita berangkat. Yang lainnya sudah nunggu." Imran membukakan pintu bagian depan, Dahayu beradu pandang dengan Westi sekilas sebelum merunduk dan memasuki kendaraan. Sementara Westi menempati kursi tengah. 

Tak berselang lama HRV putih sudah meluncur di jalan raya. Menembus kepadatan yang sudah lumrah di Ibu Kota yang tidak pernah tidur. Obrolan ringan dilakukan ketiga orang tersebut hingga Imran menghentikan mobilnya di tempat parkir, di depan sebuah restoran milik Ivana, di kawasan Tebet.

"Nia masih di kantor nggak, ya?" tanya Dahayu sesaat setelah keluar dari kendaraan. Nia adalah manajer restoran itu.

"Kayaknya udah pulang, ini udah lewat jam 8," sahut Westi sembari merapikan gaun abu-abu yang dikenakan. "Aduh, perutku makin buncit," keluhnya. 

"Namanya juga ada bayi, Wes. Pasti begitu," sela Imran. "Dahayu juga pasti gitu kalau hamil," sambungnya tanpa menyadari bila wajah Dahayu dan Westi langsung berubah. "Yuk, masuk," ajaknya sembari melangkah terlebih dahulu memasuki tempat tersebut. 

"Sabar, Yu," bisik Westi sambil mengusap punggung sahabatnya.

Dahayu memaksakan senyuman, kemudian mengangguk. "Enggak apa-apa, dia, kan, nggak tau kondisiku. Dan nggak perlu tau juga karena dia cuma teman." 

Westi hendak menjawab, tetapi tangannya sudah ditarik Dahayu dan akhirnya terpaksa melangkah untuk mengikuti perempuan berjilbab tersebut. Kehadiran mereka disambut pelukan hangat dari teman-teman perempuan, sementara para lelaki hanya menyalami sambil tersenyum.

Sementara itu di tempat berbeda, Arya menggendong Alfian yang sejak tadi merengek tanpa diketahui sebabnya. Bayi yang baru berusia hampir 4 minggu, menolak untuk menyusu. 

Alfian juga tidak mau dipindahkan ke kedua neneknya ataupun pada pengasuh. Arya sudah lelah sekaligus mengantuk karena belakangan hari jam istirahatnya kacau dan tidak pernah bisa tidur nyenyak. 

Tiba-tiba rengekan Alfian berhenti ketika suara Dahayu terdengar dari video yang tengah diputar Aldi di tablet milik papanya. Arya terdiam, begitu juga dengan Jamilah dan Aminah. Ketiga orang tersebut saling beradu pandang, sebelum tangisan Alfian kembali terdengar saat suara Dahayu menghilang. 

"Diputar lagi, Kak," pinta Jamilah yang langsung dikerjakan Aldi, dan rengekan Alfian langsung berhenti. "Kayaknya dia kangen sama Ayu, telepon, gih, Mas," pintanya pada sang putra. 

"Ehm, takutnya ganggu, Bu," jawab Arya sambil memelankan suara karena takut putranya kembali menangis. 

"Dicoba dulu, sekalian direkam, kali Alfi bisa tenang dengar suara Ayu." 

Arya menghela napas, kemudian mengerjakan permintaan ibunya. Detik demi detik menunggu panggilan diangkat membuatnya gundah, tetapi rasa itu langsung menghilang setelah mendengar suara sapaan salam Dahayu. 

"Yu, maaf ganggu, tapi Alfi nangis terus," terang Arya. 

"Kenapa? Lagi sakit?" tanya Dahayu. 

"Enggak, sih, cuma ... dia kayaknya kangen sama kamu. Nangisnya berhenti setelah mendengar suaramu dari video yang lagi diputar Aldi." 

Di seberang telepon, Dahayu terkesiap, kemudian berdiri dan jalan menjauh dari meja yang dipenuhi teman-temannya. Dia berhenti di luar ruang VIP dan memikirkan sesuatu sebelum berkata, "Aku rekam video, ya, Mas. Nanti putarin terus biar Alfi dengar." 

"Ya. Makasih sebelumnya. Dan ... sorry, aku ngerepotin terus," ungkap Arya. 

"Enggak apa-apa. Aku juga lagi nyantai." 

"Hmm, sekali lagi, makasih." 

"Kembali kasih." 

Telepon diputus Dahayu, kemudian dia merapikan penampilan sebelum membuat video dan mengucapkan kata-kata lembut buat Alfian. Terakhir dia bersalawat, hal yang selalu dilakukannya kala ikut mengasuh bayi tersebut selama satu minggu di rumah Arya.

Related chapters

  • Seuntai Janji    Bab 04 - Undangan dari Mantan

    04"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang. "Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya. "Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?" "Kabar baik. Mas sendiri gimana?" "Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta." "Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja." "Ngaco!" Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Daha

    Last Updated : 2024-11-27
  • Seuntai Janji    Bab 05 - Pegangan

    05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg

    Last Updated : 2024-11-27
  • Seuntai Janji    Bab 6 - Lebih Dari Sekadar Teman

    06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l

    Last Updated : 2024-12-12
  • Seuntai Janji    Bab 7 - Berdesir

    07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men

    Last Updated : 2024-12-12
  • Seuntai Janji    Bab 01 - Janji

    01Seunit mobil Range Rover putih meluncur membelah kepadatan jalan raya Kota Surabaya. Sang pengemudi menekan pedal gas dalam-dalam agar bisa segera tiba di rumah sakit terdekat. Sekali-sekali dia melirik ke belakang di mana istrinya tengah meringis kesakitan sambil menyandar pada sang ibu. Arya Himawan, sang pengemudi mobil mengumpat beberapa kali karena kendaraan di depan sejak tadi tidak mau menyingkir. Padahal dia sudah menyalakan lampu darurat dan menekan klakson berulang kali. Arya mengeluh dalam hati sebab makin kurangnya empati masyarakat yang kerap kali terjadi.Sesampainya di depan Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, Arya menarik tuas rem tangan sebelum membuka pintu dan turun. Pria berkaus putih lari menuju ruangan tersebut dan kembali beberapa saat kemudian bersama dengan dua orang perawat laki-laki yang mendorong brankar. Arya membuka pintu bagian tengah dan membantu istrinya keluar serta membaringkan perempuan yang kian lemah ke brankar, yang segera didor

    Last Updated : 2024-11-27
  • Seuntai Janji    Bab 02 - Hancur

    02Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat 4 hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. "Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya."Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. "Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit.""Aku ...." Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut

    Last Updated : 2024-11-27

Latest chapter

  • Seuntai Janji    Bab 7 - Berdesir

    07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men

  • Seuntai Janji    Bab 6 - Lebih Dari Sekadar Teman

    06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l

  • Seuntai Janji    Bab 05 - Pegangan

    05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg

  • Seuntai Janji    Bab 04 - Undangan dari Mantan

    04"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang. "Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya. "Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?" "Kabar baik. Mas sendiri gimana?" "Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta." "Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja." "Ngaco!" Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Daha

  • Seuntai Janji    Bab 03 - Kangen

    03Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak. Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk. Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing. Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar. Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa p

  • Seuntai Janji    Bab 02 - Hancur

    02Rintik hujan siang itu mewarnai acara pemakaman Erni, tepat 4 hari setelah dia melahirkan. Perjuangan panjang Erni untuk bertahan hidup telah usai dan kini dia kembali pada Sang Pencipta, dengan meninggalkan Arya sendirian untuk merawat ketiga buah hati mereka. Satu per satu pelayat berpamitan pada Arya dan keluarga, hingga tersisa segelintir orang yang merupakan sahabat-sahabat pria tersebut. Termasuk pasangan Zayan dan Ivana yang datang bersama dengan Ferdi, Berliana dan Malik. Dzaki dan Raid, kedua saudara Ivana juga turut hadir untuk berbelasungkawa, demikian pula dengan rekan-rekan kerja Arya. "Ar, ayo kita pulang, anak-anak pasti nungguin kamu," tukas Zayan sambil memegangi lengan kanan sahabatnya."Aku mau di sini sebentar lagi," jawab Arya. Tatapan sendunya mengarah lurus ke makam yang dipenuhi taburan bunga beraneka warna. "Kamu belum makan dari semalam, nanti sakit.""Aku ...." Tiba-tiba Arya merasa tubuhnya ditarik dan mau tidak mau harus berdiri. Kedua pria tersebut

  • Seuntai Janji    Bab 01 - Janji

    01Seunit mobil Range Rover putih meluncur membelah kepadatan jalan raya Kota Surabaya. Sang pengemudi menekan pedal gas dalam-dalam agar bisa segera tiba di rumah sakit terdekat. Sekali-sekali dia melirik ke belakang di mana istrinya tengah meringis kesakitan sambil menyandar pada sang ibu. Arya Himawan, sang pengemudi mobil mengumpat beberapa kali karena kendaraan di depan sejak tadi tidak mau menyingkir. Padahal dia sudah menyalakan lampu darurat dan menekan klakson berulang kali. Arya mengeluh dalam hati sebab makin kurangnya empati masyarakat yang kerap kali terjadi.Sesampainya di depan Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit terdekat, Arya menarik tuas rem tangan sebelum membuka pintu dan turun. Pria berkaus putih lari menuju ruangan tersebut dan kembali beberapa saat kemudian bersama dengan dua orang perawat laki-laki yang mendorong brankar. Arya membuka pintu bagian tengah dan membantu istrinya keluar serta membaringkan perempuan yang kian lemah ke brankar, yang segera didor

DMCA.com Protection Status