03
Gegap gempita suasana dekat panggung peragaan busana, malam itu terdengar hingga ke luar ruangan. Penonton membludak, karena masing-masing peserta membawa tim pendukung yang banyak.Para fotografer dan kameramen bergerak cepat mengabadikan suasana. Panitia penyelenggara hilir mudik sembari sekali-sekali berhenti untuk menonton para peragawan dan peragawati, yang tengah berlenggak-lenggok di catwalk.
Setelah semua pakaian dipamerkan, pemandu acara memanggil semua perancang busana, untuk menaiki pentas, dengan didampingi 2 model masing-masing.
Dahayu berdiri berderet dengan kedelapan rekan sesama desainer sambil memegangi buket bunga. Mereka berulang kali merunduk untuk memberi penghormatan pada penonton yang masih bertepuk tangan. Meskipun lelah, tetapi kesembilan perancang busana tersebut merasa senang dan lega karena acara itu sukses serta berjalan lancar.
Masing-masing wakil dari butik peserta memberikan buket bunga pada desainer masing-masing. Demikian pula dengan beberapa perancang senior kenamaan Indonesia.
Dahayu tertegun ketika salah satu perancang terkenal mendatanginya dan memberikan pita biru yang disematkan di dekat dada kanan. Dahayu mengulaskan senyuman lebar, karena itu merupakan tanda bila hasil karyanya disukai sang senior.
Dahayu menyalami perempuan tua berkonde dengan takzim. Mereka berpelukan sebentar, sebelum sang senior memundurkan badan sambil memberikan ucapan selamat buat perempuan bermata besar, yang membalas dengan berterima kasih berulang kali.
Sekian menit berlalu, Dahayu tengah mengobrol dengan Westi, sahabat sekaligus asistennya, ketika ponselnya bergetar. Dahayu meraih benda itu dari tas kecil dan mengecek nama pemanggil, sebelum menekan tanda hijau, lalu menempelkan ponsel ke telinga kanan.
"Assalamualaikum," sapa Dahayu.
"Waalaikumsalam. Acaranya udah selesai?" tanya orang di seberang telepon.
"Sudah, baru aja."
"Good, aku tunggu di tempat parkir. Mobil putih butut."
Telepon diputus secara sepihak oleh orang tersebut. Dahayu mengulum senyum dan menggeleng perlahan, kemudian memasukkan ponsel kembali ke tas dan memberi kode pada Westi yang langsung mengangguk paham.
Kedua perempuan berbeda tampilan berpamitan pada rekan-rekan mereka. Keduanya melangkah bersisian menuju pintu sambil bergandengan tangan.
"Kayaknya Mas Imran mau pedekate ke kamu, Yu," tukas Westi, sahabat Dahayu, sesaat setelah mereka berada di koridor.
"Enggaklah, dia tahu aku udah nyaman sendiri," jawab Dahayu sembari mengusap dahi dengan tisu.
"Feelingku nggak pernah salah. Dari zaman Mas Zay, Mas Elang, dan sekarang dia."
"Kamu itu kayak Maya dan Rini, sibuk ngejodohin aku, padahal aku nggak kepikiran buat nikah lagi."
"Jangan gitu, Yu, kamu masih muda, baru tiga puluh tiga tahun. Jalanmu masih panjang."
"Wes, stop, deh. Biarin aku kayak gini, dan tetap doakan yang terbaik buatku. Kalau di depan sana ternyata aku memang masih punya jodoh, doakan juga biar semuanya dilancarkan."
"Dari dulu doaku juga cuma itu. Tapi sekarang ditambah dengan semoga saat ada yang serius melamar, kamunya nggak kabur lagi kayak dulu."
"Duh, diingetin lagi."
"Habisnya kesel, Mas Elang itu kurang apa coba? Wajah manis, badan tinggi walaupun agak gemuk sedikit. Dia juga baik, Ayah penyayang. Pokoknya high quality duda, susah tau nyari yang model gitu."
"Ya, udah, kamu aja yang ngedeketin dia."
"Terus Mas Hendra di ke manain?"
"Entah."
Westi merengut, sementara Dahayu mengulaskan senyuman lebar. Langkah mereka terhenti ketika tiba di tempat parkir dan seorang pria melambai dari bagian tengah.
"Nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Imran, teman kuliah Westi dan Dahayu.
"Ada, hatinya Dahayu," jawab Westi yang seketika dicubit orang yang dimaksud, sementara Imran tersenyum lebar.
"Yok, kita berangkat. Yang lainnya sudah nunggu." Imran membukakan pintu bagian depan, Dahayu beradu pandang dengan Westi sekilas sebelum merunduk dan memasuki kendaraan. Sementara Westi menempati kursi tengah.
Tak berselang lama HRV putih sudah meluncur di jalan raya. Menembus kepadatan yang sudah lumrah di Ibu Kota yang tidak pernah tidur. Obrolan ringan dilakukan ketiga orang tersebut hingga Imran menghentikan mobilnya di tempat parkir, di depan sebuah restoran milik Ivana, di kawasan Tebet.
"Nia masih di kantor nggak, ya?" tanya Dahayu sesaat setelah keluar dari kendaraan. Nia adalah manajer restoran itu.
"Kayaknya udah pulang, ini udah lewat jam 8," sahut Westi sembari merapikan gaun abu-abu yang dikenakan. "Aduh, perutku makin buncit," keluhnya.
"Namanya juga ada bayi, Wes. Pasti begitu," sela Imran. "Dahayu juga pasti gitu kalau hamil," sambungnya tanpa menyadari bila wajah Dahayu dan Westi langsung berubah. "Yuk, masuk," ajaknya sembari melangkah terlebih dahulu memasuki tempat tersebut.
"Sabar, Yu," bisik Westi sambil mengusap punggung sahabatnya.
Dahayu memaksakan senyuman, kemudian mengangguk. "Enggak apa-apa, dia, kan, nggak tau kondisiku. Dan nggak perlu tau juga karena dia cuma teman."
Westi hendak menjawab, tetapi tangannya sudah ditarik Dahayu dan akhirnya terpaksa melangkah untuk mengikuti perempuan berjilbab tersebut. Kehadiran mereka disambut pelukan hangat dari teman-teman perempuan, sementara para lelaki hanya menyalami sambil tersenyum.
Sementara itu di tempat berbeda, Arya menggendong Alfian yang sejak tadi merengek tanpa diketahui sebabnya. Bayi yang baru berusia hampir 4 minggu, menolak untuk menyusu.
Alfian juga tidak mau dipindahkan ke kedua neneknya ataupun pada pengasuh. Arya sudah lelah sekaligus mengantuk karena belakangan hari jam istirahatnya kacau dan tidak pernah bisa tidur nyenyak.
Tiba-tiba rengekan Alfian berhenti ketika suara Dahayu terdengar dari video yang tengah diputar Aldi di tablet milik papanya. Arya terdiam, begitu juga dengan Jamilah dan Aminah. Ketiga orang tersebut saling beradu pandang, sebelum tangisan Alfian kembali terdengar saat suara Dahayu menghilang.
"Diputar lagi, Kak," pinta Jamilah yang langsung dikerjakan Aldi, dan rengekan Alfian langsung berhenti. "Kayaknya dia kangen sama Ayu, telepon, gih, Mas," pintanya pada sang putra.
"Ehm, takutnya ganggu, Bu," jawab Arya sambil memelankan suara karena takut putranya kembali menangis.
"Dicoba dulu, sekalian direkam, kali Alfi bisa tenang dengar suara Ayu."
Arya menghela napas, kemudian mengerjakan permintaan ibunya. Detik demi detik menunggu panggilan diangkat membuatnya gundah, tetapi rasa itu langsung menghilang setelah mendengar suara sapaan salam Dahayu.
"Yu, maaf ganggu, tapi Alfi nangis terus," terang Arya.
"Kenapa? Lagi sakit?" tanya Dahayu.
"Enggak, sih, cuma ... dia kayaknya kangen sama kamu. Nangisnya berhenti setelah mendengar suaramu dari video yang lagi diputar Aldi."
Di seberang telepon, Dahayu terkesiap, kemudian berdiri dan jalan menjauh dari meja yang dipenuhi teman-temannya. Dia berhenti di luar ruang VIP dan memikirkan sesuatu sebelum berkata, "Aku rekam video, ya, Mas. Nanti putarin terus biar Alfi dengar."
"Ya. Makasih sebelumnya. Dan ... sorry, aku ngerepotin terus," ungkap Arya.
"Enggak apa-apa. Aku juga lagi nyantai."
"Hmm, sekali lagi, makasih."
"Kembali kasih."
Telepon diputus Dahayu, kemudian dia merapikan penampilan sebelum membuat video dan mengucapkan kata-kata lembut buat Alfian. Terakhir dia bersalawat, hal yang selalu dilakukannya kala ikut mengasuh bayi tersebut selama satu minggu di rumah Arya.
04"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang. "Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya. "Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?" "Kabar baik. Mas sendiri gimana?" "Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta." "Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja." "Ngaco!" Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Daha
05Langit siang yang cerah telah berubah menggelap pertanda senja telah tiba. Dahayu menggeliat sambil merentangkan tangan. Perempuan berkulit kuning langsat mengerjap-ngerjapkan mata yang lelah, sebelum merapikan meja kerja dan berdiri sembari menyambar tas dari meja. Dahayu mematikan mesin penyejuk udara dan lampu besar. Dia hanya meninggalkan satu lampu kecil di dekat pintu yang masih menyala. Perempuan berjilbab ungu muda, berbalik dan menyusuri koridor hingga tiba di anak tangga teratas. Dahayu menuruni anak tangga sambil berpegangan pada besi penahan. Tinggal beberapa langkah lagi tiba di tempat tujuan, Dahayu berhenti sembari menatap seorang pria yang tengah berdiri di dekat anak tangga terbawah. "Mas, kok, bisa ada di sini?" tanya Dahayu setelah sampai di dekat pria tersebut. "Kebetulan lewat, terus aku nanya pegawaimu, katanya kamu masih belum pulang," jawab Imran. "Kenapa nggak langsung masuk ke ruangan?" "Aku pikir kamu lagi sibuk, jadinya kuputuskan buat nunggu. Ngg
06Perempuan bergaun ungu muda menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. Sebelum memasuki ruangan sempit itu dan berdiri di pojok kanan, sementara Imran berdiri di dekat tombol. "Lantai berapa, Yu?" tanya Imran, karena dia memang belum pernah berkunjung ke unit itu sebelumnya dan hanya pernah mengantarkan Dahayu sampai depan lobi. "Sembilan," sahut Dahayu tanpa berniat menatap Imran. Elevator bergerak cepat dan tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Imran membiarkan Dahayu jalan terlebih dahulu, kemudian dia mengekori perempuan tersebut hingga tiba di unit yang berada di ujung kanan koridor. "Makasih sudah ditemenin dan dianter sampai sini, Mas," cakap Dahayu, sesaat setelah membuka kunci pintu dan mendorong benda besar itu lebih lebar. "Kembali kasih. Tapi, aku mau numpang ke toilet dulu, boleh?" tanya Imran. "Ehm, boleh." Dahayu melangkah memasuki ruangan gelap sambil meraba dinding. Tidak berselang lama ruangan itu telah berubah menjadi terang. Dahayu meneruskan l
07Beberapa menit berselang, pesawat bersiap-siap tinggal landas. Imran membaca doa dalam hati sambil memandangi kaca kecil. Badan pesawat terangkat dan mulai menanjak. Bentuk-bentuk bangunan perlahan mengecil, hingga akhirnya hanya ada awan berarak mengiringi burung besi mengangkasa. Imran memejamkan mata dan berhasil terlelap. Hampir satu jam kemudian, dia merasakan sentuhan di lengan kiri yang memaksanya untuk membuka mata. Perempuan berambut ikal menunjuk ke meja kecil di depan Imran, di mana sudah ada makanan dan minuman buat pria tersebut. "Makasih," ucap Imran seraya mengulaskan senyuman tipis."Sama-sama," jawab perempuan berjaket krem, kemudian dia mengalihkan pandangan ke buku yang tengah dibacanya.Imran mengambil gelas terlebih dahulu dan meneguk airnya beberapa kali. Kemudian dia membuka kotak makanan dan mulai bersantap sambil mengamati luar kaca. Pria berkumis tipis melirik pergelangan tangan kanan dan baru menyadari bila saat itu sudah masuk waktu zuhur. Seusai men
08"Semuanya terserah kamu, Yu. Kalau memang ada rasa suka, jelaskan semuanya pada Imran biar dia nggak kaget nanti. Jujur dari awal akan lebih baik biar ke depannya nggak ada batu sandungan," tutur Arya, sesaat setelah Dahayu menceritakan tentang permintaan Imran yang mengajaknya menjalin hubungan serius. "Iya, Mas. Walaupun ragu-ragu, tapi aku memang berencana buat ungkapin semuanya ke dia," sahut Dahayu. "Sebenarnya ada satu kendala lagi, Mas. Dia belum punya anak laki-laki. Walaupun Kakak laki-lakinya punya penerus buat keluarga mereka, tapi aku pikir Mas Imran mungkin ingin memiliki penerus sendiri, bukan keponakan," sambungnya. "Sekarang bisa angkat anak, ikat pakai hukum, jadi ,deh, penerus keluarga." Dahayu menggeleng. "Takutnya dia nggak mau kayak gitu dan pengen punya anak kandung. Bisa-bisa aku dipoligami lagi. Kapok. Walaupun Ivana itu aku yang milih, tapi saat tahu Mas Zayan jatuh cinta sama dia, tetap aja aku cemburu. Harusnya dari dia belum nikahin Ivana itu aku udah
09Sambil menggendong dan mengayun Alfian, Arya memerhatikan gerakan Dahayu yang lincah melayani para pembeli. Dengan sabar perempuan bergamis hijau tua mendengarkan konsep pakaian pesta, yang akan dipesan oleh rombongan ibu-ibu dari sebuah bank terkemuka di Indonesia. "Masyallah, lucunya," puji seorang perempuan berjilbab putih sambil menyentuh tangan Alfian yang balas memandanginya penuh minat. "Usianya berapa, Pak?" tanyanya sembari menatap Arya. "Dua bulan, Bu," jawab Arya. "Dan ibunya masih sibuk bisnis, luar biasa. Hebat!" Perempuan tersebut mengacungkan jempol pada Dahayu yang sempat terkejut sesaat, sebelum memaksakan senyuman agar para tamunya tidak curiga. "Lebih mirip ke bapaknya, ya, daripada ke Ibu," timpal seorang perempuan berjilbab kuning yang ikut memegangi pipi Alfian. "Pipinya gemesin buat diemut," selorohnya yang disambut tawa rekan-rekannya. "Saya juga sering ngemut pipinya kalau lagi tidur. Empuk," tutur Dahayu seraya tersenyum lebar. "Iya, apalagi nanti ka
10"Assalamualaikum," ucap Arya. "Waalaikumsalam. Ehm ... maaf, Dahayunya ada?" Imran mengerutkan dahi karena tidak mengenali suara yang menjawab teleponnya, tetapi dia bisa menebak bila itu adalah Arya, sebab tadi Imran sempat bertukar pesan dengan Dahayu yang menceritakan bila ada Arya di ruang kerjanya."Lagi ke toilet," jawab Arya. "Oh, ya, perkenalkan. Aku, Arya Himawan, sahabatnya Dahayu," ungkapnya. "Salam kenal, Mas. Saya, Imran Maulana Nataprawira." "Aku banyak mendengar kisahmu dari Ayu." "Sama, Mas. Ayu juga sering cerita tentang Mas dan anak-anak. Dan akhirnya kita bisa ngobrol juga." "Kata Ayu, kamu mau ke sini nanti?" "Iya, untuk mendengarkan keputusannya tentang hubungan kami. Apa dia ada cerita soal itu?" "Ya, tapi aku nggak mau ikut campur. Itu urusan pribadi Ayu." Arya terdiam sejenak, kemudian bertutur, "Aku dan Ayu sangat dekat. Jadi, kuharap kedekatan kami nggak jadi masalah buatmu." "Tentu saja nggak, Mas. Kalian sudah bersahabat sejak dulu. Mana mungkin
11Setibanya di kamar yang berada di lantai lima gedung tersebut, pegawai pria segera berpamitan. Arya meletakkan kunci mobil ke meja rias sebelum meneruskan langkah dan membuka pintu kaca balkon. Pria berkumis tipis memandangi langit cerah sejenak, lalu mengarahkan pandangan ke bawah. Tiga kolam berbeda ukuran tampak sangat indah dipandang dari atas. Taman di sekitar kolam kian menambah keelokan tempat itu. "Yu," panggil Arya tanpa menoleh. "Ya?" jawab Dahayu sembari memindahkan pakaiannya ke lemari. "Besok pagi aku mau ngajak anak-anak berenang ke sini. Boleh?" "Boleh, dong. Mau nginap juga bisa. Aku tinggal ngomong ke Mas Malik atau Ferdi.""Kenapa nggak ke si berewok?" "Males. Nanti aku diminta biaya nginap." Arya terkekeh sambil membalikkan badan. Dahayu tersenyum lebar sembari melirik sahabatnya yang tengah berdiri menyandar ke tembok pembatas balkon. Cahaya matahari yang menyorot dari belakang Arya seakan-akan menciptakan sinar berpendar di sekitar tubuhnya. Dahayu terk
63Ruang pertemuan di hotel Janitra, Minggu siang itu tampak ramai. Para tamu undangan berulang kali tertawa akibat drama yang ditampilkan para bos PG. Telah menjadi peraturan tidak tertulis. Jika yang menikah adalah anggota PC, maka tim PG dan PBK yang menjadi pengisi acara. Begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, karena saat resepsi di Yogyakarta minggu lalu tidak banyak bos PG yang hadir, akhirnya tim 7 PC dan tim PBK yang mengisi acara pertunjukannya. Dahayu mengusap sudut matanya, ketika menyaksikan tingkah para komedian yang tengah berlakon sebagai tokoh wayang. Kisah perang Bharatayuda yang seharusnya menegangkan, berubah menjadi drama lucu. "Kakanda Yudhistira, biarkan aku yang maju untuk memenggal kepala Duryodana!" seru Hadrian yang berperan sebagai Arjuna. "Kemarin saja kamu kalah adu layangan dengan dia. Jangan sok-sokan mau membunuhnya," ledek Dante yang berlakon sebagai Nakula. "Kakanda Nakula benar," imbuh Calvin yang menjadi Sadewa. "Sesama saudara, jangan saling m
62Setelah 2 hari menginap di rumah Dartomo, Dahayu mengajak suami dan anak-anaknya menginap di rumah Bagja. Kedatangan mereka disambut kedua orang tua Dahayu dengan sangat hangat. Bahkan Bagja dan Jamilah memaksa agar Aldi, Aldo serta Alfian tidur di kamar utama. Selama 2 hari di rumah mertuanya, Arya banyak berdiskusi dengan Bagja. Pria tua berkumis memberikan wejangan tentang bisnis dan tips menjalani kehidupan. Tibalah hari kepindahan keluarga Arya ke Jakarta. Kedua orang tuanya dan keluarga Dahayu turut berangkat ke Jakarta, untuk mengantarkan keluarga baru tersebut. Sesampainya di bandara Cengkareng, Arya terkejut saat didatangi petugas bandara, yang menyampaikan pesan dari Alvaro. Seusai memastikan semua barang tersusun rapi di troli, Arya mendorong kereta Alfian yang tengah terlelap sejak masih dalam pesawat. Arya bergegas ke pintu keluar terminal kedatangan penerbangan domestik. Dia celingukan, sebelum mendatangi beberapa orang berseragam safari hitam, yang telah menung
61Jeritan para bocah mengagetkan Arya pagi itu. Dia belum sempat mengubah posisi badan, ketika Aldi dan Aldo melompat ke kasur. Alfian berusaha memanjat tempat tidur, sebelum akhirnya diangkat Arya dan didudukkan di dekat kedua kakaknya. Arya meringis kala ketiganya meloncat-loncat, kemudian dia meminta para bocah untuk berhenti melakukan itu dan duduk bersila di dekatnya. Dahayu muncul sambil mendorong troli penuh makanan. Dia berhenti di dekat meja, lalu memanggil ketiga anak sambungnya yang segera mendatangi sang ibu. Dahayu meminra ketiga lelaki kecil untuk duduk di sofa. Kemudian dia membagikan potongan kue pada mereka. Dahayu berdiri dan beralih membuat minuman untuk dirinya serta Arya. Pria berkumis tipis bangkit dari kasur. Alih-alih menuju kamar mandi, Arya justru bergabung dengan anak-anaknya, sambil memerhatikan Dahayu yang rambutnya masih lembap. Arya mengulum senyuman. Malam pertama mereka berlangsung penuh kehangatan. Sama-sama lama sendirian, menjadikan Dahayu dan
60 Malam itu, Arya mengecek kondisi ketiga putranya di family room lantai tiga. Sisi kanan lantai itu menjadi area khusus keluarga Arya dan Dahayu. Sementara sisi kiri ditempati para bos PG dan PC serta petinggi PBK. Semua pengawal muda dan tim butik ditempatkan di lantai 4. Sedangkan Zayan dan keluarganya menginap di lantai 5 yang sisi kirinya merupakan tempat khusus keluarga Hatim, bila tengah berkunjung ke Yogyakarta. Setelah memastikan Aldi, Aldo dan Alfian terlelap, Arya berpamitan pada Wahyuni, Intan dan Resna yang turut menemani ketiga bocah tersebut. Tidak berselang lama, Arya sudah berada di koridor panjang yang dalam kondisi lengang. Dia memasuki lift untuk menuju kamar pengantin di lantai 7, yang merupakan area tertinggi di gedung itu. Zayan sengaja menempatkan Arya dan Dahayu di president suite yang baru dibangun 6 bulan silam. Selain supaya pasangan pengantin memiliki privasi, Zayan ingin menunaikan janjinya pada Dahayu, yakni melaksanakan pernikahan mantan istrinya
59 "Silakan dimulai, Engkoh Wew Wiw Ya, Abang Z, dan Kang H," tukas Fikri yang bertugas sebagai MC, bersama Khairani. "Pasukan owe belum semuanya datang," jawab Wirya dengan dialek khas orang Chinese. "Dipanggil aja, Koh," usul Khairani. "Biaya memanggilnya itu mahal," cetus Wirya. "Enggak apa-apa. Nanti tagihannya dibebankan ke PBK," papar Fikri. "Jangan cari masalah. Dirutnya garang," seloroh Zein. "Bukan garang lagi, tapi bengis bin sadis," imbuh Hendri. "Pokoknya jangan disenggol. Tanduknya akan muncul di kepala." "Taringnya pun keluar. Panjangnya 50cm." "Kalau lagi kumat sisi buruknya, musuh akan dikunyah." "Enggak dimasak dulu?" "Sudah dipanggang pakai jurus 3." "Stop!" sela Wirya. "Ngomongin dia itu nggak akan ada habisnya. Apalagi dia adalah anak kesayangan Emak OY yang pasti muncul di semua buku baru," lanjutnya. "Tidak terbantahkan emang," timpal Zein. "Apalah kita, nih. Hanya jadi pendukung yang jarang muncul," keluh Hendri. "Akang masih mending. Buku hororn
58 Ruang pertemuan besar di hotel milik Hatim Grup, Sabtu siang itu terlihat ramai. Perhelatan akbar pernikahan Arya dan Dahayu berlangsung meriah. Pasangan pengantin terlihat semringah. Mereka menyambut ucapan selamat dari semua tamu, dengan sangat ramah.Arya yang memang murah senyum, nyaris tidak berhenti mengukir senyumannya. Demikian pula dengan Dahayu yang tampil sangat cantik dan anggun. Gaun pengantin sage bertabur permata asli buatannya, menjadikan Dahayu benar-benar memesona. Ditambah dengan riasan wajah hasil penata rias ternama, menjadikan tampilan wajahnya terlihat makin menawan. Arya yang mengenakan setelan jas sage yang serupa dengan gaun Dahayu, terlihat berulang kali menatap pengantinnya dengan sorot mata memuja. Hal itu ternyata tertangkap jelas oleh rekan-rekan Arya yang berada di tempat VIP sisi kiri pelaminan. Mereka memvideokan tingkah sang pengantin pria, kemudian mengirimkannya ke grup PC dan PG utama. Tepat pukul 2, semua lampu utama diredupkan. Beberapa
57Sepanjang acara siraman, Dahayu nyaris tidak berhenti menangis. Dia teringat tingkahnya di masa lalu yang menyebabkan kedua orang tuanya kecewa. Begitu pula saat Bayu dan Nana menyiraminya dengan pelan, Dahayu memegangi pinggang sang kakak sambil sesenggukan. Bayu turut memeluk adiknya tanpa peduli jika bajunya akan basah. Pria bertubuh montok terbayang masa kecil hingga remaja dirinya dan Dahayu, yang nyaris selalu bersama. Mereka baru mulai memiliki kehidupan masing-masing, setelah Bayu kuliah. Putra sulung Bagja mengurai dekapan, kemudian dia merunduk untuk mengecup dahi adiknya yang masih terisak-isak. "Semoga pernikahan ini menjadi yang terakhir buatmu, Yu," tutur Bayu sambil mengusap jilbab putih adiknya yang basah. "Ya, Mas. Aamin," jawab Dahayu. "Jangan terlalu keras kepala. Sekali-sekali mengalah dan nurut sama suami. Walaupun Arya itu penyabar, tapi kalau kamu ngeyel terus, lama-lama dia bosan buat ngalah." "Inggih." "Kamu akan jadi Ibu dari 3 anak. Kurangi jam ke
56Sore itu, Arya dan keluarganya mengunjungi makam Erni. Aminah, Ningtyas dan yang lainnya, turut bergabung untuk membacakan doa buat almarhumah Erni. Arya bermonolog dalam hati, untuk meminta izin pada Erni, karena sebentar lagi dia akan menikahi Dahayu. Pria berkaus krem memejamkan mata sambil membayangkan sosok Erni, yang masih memiliki tempat spesial di hatinya. Puluhan menit terlewati, kelompok tersebut telah berada di dua mobil MPV. Ajudan Arya yang bernama Amir, mengemudikan mobil bosnya sembari menghafalkan jalan. Sementara di mobil Nazriel, pria tersebut tengah melatih ajudannya, Syamil, agar bisa lebih lancar menyetir. Sementara Aminah, Ningtyas dan Farid, suami Ningtyas, berbincang di kursi tengah. Dua perempuan di belakang yang merupakan perawat dan ajudan Aminah, memerhatikan sekeliling sambil mengobrol. Tika dan Resna, bisa langsung akrab sejak pertama kali bertemu di kediaman Aminah di Kediri. Setibanya di tempat tujuan, Gunawan dan Tami menyambut kelompok tersebu
55Malam itu, Arya, Alfian dan Intan telah berada di gerbong eksekutif kereta menuju Surabaya. Selain mereka, delapan perwakilan dari PC dan lima bos PG juga turut serta. Belasan pengusaha muda itu akan melakukan tugas mengecek proyek masing-masing dan juga proyek bersama, selama beberapa hari ke depan. Arya duduk berdampingan dengan Yoga. Mereka bergantian memangku Alfian, yang akhirnya terlelap dalam gendongan sang papa.Pria berjaket hijau berdiri dan memindahkan putranya ke bangku belakang, yang posisinya telah diubah oleh Intan. Arya meletakkan Alfian dengan hati-hati, kemudian Intan menyelimuti anak asuhnya. Tiba-tiba para lelaki di barisan depan tergelak dan menimbulkan tanda tanya orang-orang di belakang. "Apaan, Dit?" tanya Yoga pada asistennya yang berada di kursi terdepan bersama Listu, ajudan Ivan."Bos Sipitih kena skak sama Mas Yon," jawab Aditya sambil menoleh ke belakang. "Di grup mana?" "Pengawas luar negeri." "Yang Eropa?" "Yups." "Bentar, ku-cek dulu." Yog