Lio semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Lia, mendaratkan sebuah kecupan di bibir ranum milik istrinya, lalu menikmatinya dengan gejolak hasrat yang semakin membara, ia sangat bersemangat dan agresif meski tanpa mendapatkan balasan dari Lia.Lio kemudian mengarahkan Lia ke ranjang, menghempaskan tubuh istrinya di sana. Sesaat Lio memandangi Lia yang hanya terdiam tak bergeming, ekspresinya datar, istrinya itu tak memberikan perlawanan. Namun tak juga tampak menikmati apa yang tengah mereka lakukan.Sejenak terbesit keraguan dalam hati kecilnya untuk melanjutkan aktifitasnya ke arah yang lebih intim. Namun, gejolak birahi yang semakin membuncah membuatnya tak dapat berpikir jernih. Ia hanya menjadikan ikatan pernikahan sebagai alasan yang dapat membenarkan keputusannya.Tanpa meminta persetujuan Lia, kini Lio mulai membuka busana yang dikenakan istrinya, menikmati setiap inci dari kemolekan tubuh istrinya yang jauh lebih menggairahkan di matanya di banding melihat wanita-wanita sexy y
Mario segera melajukan kembali mobilnya saat kedua wanita kesayangan keluarga Mahendra itu telah duduk dengan aman di jok belakang.Tampak Arumi masih berusaha menenangkan Lia yang terus sesenggukan dalam pelukannya."Lia, kamu tenang ya, Nak," ucapnya menenangkan Lia, tergambar raut khawatir di wajahnya."Mario, tolong kamu ambilkan handuk di laci itu," titahnya pada Mario, ia memang selalu meneyediakan alat mandi di mobil untuk persiapan saat di perjalanan. Dengan cekatan Mario mengambil sebuah handuk sesuai arahan istri atasannya.Arumi segera membekap tubuh Lia yang basah kuyup dengan sebuah handuk dengan harapan hal itu dapat membuatnya merasa hangat."Ya Allah, Lia. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Arumi yang tak mendapatkan jawaban dari Lia. Menantu yang berada dalam dekapannya itu kini tampak lebih tenang, tak terdengar lagi isakan tangisnya.Arumi segera mengecek kondisi Lia."Lia? Lia?" panggilnya sembari menepuk
"Lio ...." Lio menggantung kalimatnya, merasa ragu hendak menjelaskan yang sebenarnya pada sang Ayah.Sedang dr. Mahendra masih menunggu dengan tatapan mengintimidasi."Sepertinya Lio dijebak, Yah," akhirnya kalimat tersebut terlontar dari mulut Lio."Dijebak? Apa kamu ingin bilang kalau Lia menjebakmu? Begitu?" cerca dr. Mahendra."Bukan, Yah. Bukan seperti itu maksudnya, Lio dijebak, tapi bukan oleh Lia. Lio dijebak oleh orang lain," jawab Lio cepat tak ingin Ayahnya menjadi salah paham."Ayah gak paham maksud kamu, Lio. Kamu bilang kamu dijebak, tapi kenapa bisa Lia yang jadi korban? Ini ... sebenarnya apa yang terjadi, sih?" tanya dr. Mahendra semakin tak mengerti, sedang Lio semakin kebingungan bagaimana ia harus menjelaskan. Kejadian barusan begitu rumit untuk sekedar ia cerna, apalagi untuk ia jelaskan. Lio memijat pelipisnya pening."Kenapa kamu malah diam, Lio?" desak dr. Mahendra.
"Lia memang tak salah apa-apa, dia juga tak memiliki suatu kekurangan apapun yang menghalangi Lio untuk menerima dan mencintainya. Tapi di sini yang salah adalah Ayah!" ucap Lio pelan namun terasa begitu menohok relung hati Ayahnya."Ayah salah telah memutuskan untuk menikahkan kami, Ayah salah meminta Lio menjaga Lia dengan menikahinya. Ayah salah telah membuat seorang anak harus menyakiti hati Nundanya karena keputusan Ayah," lanjut Lio berapi-api.dr. Mahendra mengernyitkan keningnya, "Kamu ngomong apa sih, Lio?"Lio tertawa sumbang."Mendiang ibu Maharani, dia mantan kekasih Ayah, kan?" ucap Lio pelan dengan pandangan tajam ke arah Ayahnya, membuat dr. Mahendra terkejut seketika, kedua matanya membulat, tak menyangka putranya itu mengetahui hal yang selama ini dirahasiakannya."Lalu apakah Ayah memikirkan bagaimana perasaan Bunda saat Ayah memutuskan untuk meminta Lio menikahi putri mantan kekasih Ayah itu? Apa Ayah kira Bunda tidak terluka dengan keputusan Ayah?" Lio menyerbu per
Ada banyak foto Lia yang dipajang di sana, dari mulai gambar Lia masih bayi berjajar urut hingga gambar Lia saat dewasa."Lia sangat menggemaskan," gumam Arumi saat melihat foto Lia di hari kartini, tampak di sana tertulis TK. Kasih Bunda, pertanda itu foto Lia saat masih TK.Pandangan Arumi terus menjelajahi satu per satu foto Lia, sampai disebuah pigura berisi foto Lia sedang memeluk hangat Ibunya, di dalam foto itu Lia mengenakan pakaian toga, Arumi menebak gambar itu diambil saat Lia sedang wisuda sarjana.Pandangan Arumi beralih ke gambar Maharani, wanita yang sempat ia anggap sebagai duri dalam rumah tangganya bersama Mahendra. Wajah wanita yang kerap suaminya sapa dengan sebutan Rani itu tampak pucat, walau ia berusaha membalutnya dengan senyuman bahagia, namun kondisi kesehatannya yang tidak baik-baik saja tak dapat ia tutupi dengan apapun.Lama Arumi memandangi foto Maharani dan Lia bergantian,"Wajah mereka sangat mirip, Cantik," gumamnya pelan.'Sebenarnya wanita seperti apa
Halo, Bun?]terdengar suara Lio dari seberang sana saat Arumi menekan tombol hijau di layar benda pipihnya.Arumi melirik Lia sekilas sebelum menjawab panggilan Lio, ia lalu mengaktifkan fitur loudspeakernya,[Halo, Lio. Ada apa, Nak?]jawab Arumi membuat Lia mendongakkan kepalanya saat mendengar nama suaminya disebut.[ Halo, Bunda. Apa benar Bunda sedang bersama Lia?][ Iya, Bunda lagi sama Lia ini, kenapa? ][ Alhamdulillah, Lio mengkhawatirkan kondisi Lia, Bunda. Apa dia baik-baik saja? Dari tadi Lio coba hubungi Lia tapi nmornya tidak aktif. ][ Lia baik-baik saja, hanya tadi sempat pingsan dan kedinginan. Tapi sekarang insyaAllah sudah aman, kamu gak perlu khawatir. ][ Alhamdulillah, Bunda posisi di mana ini? Lio kesana sekarang, ya? Lio perlu bicara dengan Lia, Bun.][Lio, dengerin Bunda ya, Nak. Bunda memang nggak tahu apa yang tengah terjadi di antara kalian berdua. Tapi saran Bunda, sebaiknya sekarang kamu beri Lia ruang dulu. Biarkan dia menenangkan dirinya.Begitu pun kam
Bunda?" sapanya dengan suara serak khas bangun tidur."Eh, kamu bangun, Lia? Maaf, ya, Bunda jadi ganggu istirahat kamu," sesal Arumi."Nggak papa, Bunda. Sudah hampir shubuh juga," sahut Lia saat mendengar suara-suara speaker dari masjid sekitar saling bersahutan melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an, sebuah tradisi yang sudah lama diterapkan setiap menjelang shubuh."Bunda butuh sesuatu?" tanya Lia sembari membenarkan posisinya dan melepas mukenah yang dikenakannya.Arumi tersenyum, "nggak ada, Bunda hanya ingin mengecek kondisi Lia saja. Apa sudah membaik?" tanyanya halus."Lia baik-baik aja, Bunda," jawab Lia menutupi kesedihannya dengan senyuman. Tak berselang lama, terdengar suara Adzan dikumandangkan."Sudah shubuh, sebaiknya Lia ke kamar mandi dulu, setelah itu kita sholat shubuh berjamaah, gimana?" tawar Arumi."Boleh, Bun. Lia ke kamar mandi dulu, ya," pamit Lia yang dijawab anggukan oleh Arumi.Sedang di tempat lain, Lio gelisah tak dapat memejamkan matanya. Pikirannya terus
"Bunda.""Ya, Nak?""Lia minta maaf, ya, Bun. Selama ini Lia tak tahu apa-apa. Lia benar-benar baru mengetahuinya saat membaca buku ini beberapa menit lalu. Seandainya saja Lia tahu sejak awal jika Ibu dan Ayah dulu pernah menjalin hubungan spesial, mungkin Lia nggak akan mau menerima perjodohan ini. Mungkin Bunda tak akan merasa terluka karena harus bebebesar hati menerima Lia di dalam kehidupan Bunda. Maafkan Lia, Bunda ... maaf," ucap Lia tertunduk.Arumi mengangkat kepala Lia, menangjup pipi menantunya itu dengan kedua telapak tangannya, "Sssttt, kamu nggak boleh bicara seperti itu ya, Lia. Kamu nggak salah, sama sekali nggak salah apa-apa, Nak. Apa yang terjadi saat ini merupakan bagian dari takdir kita yang sudah Allah tuliskan," ucap Arumi menenangkan Lia, membuat gadis berusia 25 tahun itu tak dapat menahan air mata harunya."Terima kasih, ya, Bunda. Bunda sudah sangat baik pada Lia," ucap Lia sembari kembali berhambur ke pelukan mertuanya