Bunda?" sapanya dengan suara serak khas bangun tidur."Eh, kamu bangun, Lia? Maaf, ya, Bunda jadi ganggu istirahat kamu," sesal Arumi."Nggak papa, Bunda. Sudah hampir shubuh juga," sahut Lia saat mendengar suara-suara speaker dari masjid sekitar saling bersahutan melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an, sebuah tradisi yang sudah lama diterapkan setiap menjelang shubuh."Bunda butuh sesuatu?" tanya Lia sembari membenarkan posisinya dan melepas mukenah yang dikenakannya.Arumi tersenyum, "nggak ada, Bunda hanya ingin mengecek kondisi Lia saja. Apa sudah membaik?" tanyanya halus."Lia baik-baik aja, Bunda," jawab Lia menutupi kesedihannya dengan senyuman. Tak berselang lama, terdengar suara Adzan dikumandangkan."Sudah shubuh, sebaiknya Lia ke kamar mandi dulu, setelah itu kita sholat shubuh berjamaah, gimana?" tawar Arumi."Boleh, Bun. Lia ke kamar mandi dulu, ya," pamit Lia yang dijawab anggukan oleh Arumi.Sedang di tempat lain, Lio gelisah tak dapat memejamkan matanya. Pikirannya terus
"Bunda.""Ya, Nak?""Lia minta maaf, ya, Bun. Selama ini Lia tak tahu apa-apa. Lia benar-benar baru mengetahuinya saat membaca buku ini beberapa menit lalu. Seandainya saja Lia tahu sejak awal jika Ibu dan Ayah dulu pernah menjalin hubungan spesial, mungkin Lia nggak akan mau menerima perjodohan ini. Mungkin Bunda tak akan merasa terluka karena harus bebebesar hati menerima Lia di dalam kehidupan Bunda. Maafkan Lia, Bunda ... maaf," ucap Lia tertunduk.Arumi mengangkat kepala Lia, menangjup pipi menantunya itu dengan kedua telapak tangannya, "Sssttt, kamu nggak boleh bicara seperti itu ya, Lia. Kamu nggak salah, sama sekali nggak salah apa-apa, Nak. Apa yang terjadi saat ini merupakan bagian dari takdir kita yang sudah Allah tuliskan," ucap Arumi menenangkan Lia, membuat gadis berusia 25 tahun itu tak dapat menahan air mata harunya."Terima kasih, ya, Bunda. Bunda sudah sangat baik pada Lia," ucap Lia sembari kembali berhambur ke pelukan mertuanya
"Ya, Lio tahu akan hal itu, Lia," jawab Arumi.Deg!"Jadi benar begitu? Lalu mengapa mas Lio bersedia menerima perjodohan kami, Bun?" tanya Lia merasa heran."Lia, suami kamu memang tahu sepenggal dari kisah masala lalu Ibu kamu dengan Ayah. Tapi, dia baru mengetahuinya setelah kalian menikah. Itu pun karena tak sengaja mendengarkan percakapan antara Ayah dan Bunda di malam itu.Lia, Bunda minta maaf, ya. Mungkin karena itu Lio jadi bersikap dingin pada Lia. Bunda juga tak tahu kalau malam itu Lio mendengar semua percakapan atara Ayah dan Bunda. Tolong Lia maafkan sikap anak Bunda, ya? Maaf kalau sikapnya banyak menyakiti Lia selama ini," jelas Arumi penuh sesal.Mendengar penjelasan Arumi, Lia mengusap wajahnya kasar. Dipijatnya kening yang tiba-tiba terasa pening.Astaghfirullah," desisnya pelan, merasakan lika liku kehidupannya yang begitu curam.****Mobil milik dr. Mahendra berjalan membelah keramaian.
Lio melangkahkan kaki perlahan, sembari kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Lia. Hingga akhirnya kedua matanya menangkap objek yang sedang dicarinya. Ya, ia menemukan istrinya, Lia, tengah berbincang dengan seseorang yang tak asing lagi baginya, di sebuah meja yang terletak di ujung kantin.Melihat itu, tangan Lio terkepal kuat, prrtanda emosi mulai menghampirinya, 'Sehari semalam kamu mengabaikan panggilan dan chat saya, Lia. Dengan alasan butuh ruang dan waktu untuk menenangkan diri. Dan saya rela menahan diri untuk menemui kamu. Tapi sore ini, saya justru sedang melihat kamu tengah bercengkrama dengan lelaki lain, bahkan kalian terlihat begitu dekat dan akrab. Apa memang seperti ini caramu menenangkan diri?' batin Lio geram.Ia berjalan cepat ke arah meja yang ditempati Lia dan Vino, berniat segera menghentikan aktifitas mereka, namun langkahnya terhenti saat mendengar pembahasan yang sedang dibicarakan oleh kedua orang yang menjadi objek
Lio berjalan cepat menuju parkiran dengan menggandeng tangan Lia yang ada di belakangnya, ia bahkan mengabaikan beberapa karyawannya yang menyapa.Setelah sampai di parkiran, Lio segera memakai helmnya, kemudian menyerahkan helm lainnya kepada Lia dan memintanya untuk memakainya."Nih, pakai!""Kamu kenapa sih, Mas?""Pakai helmnya, Adelia!""Lia mau kerja, Mas.""Saya nggak izinkan kamu kerja hari, ini. Cepat pakai kemudian naik!" titah Lio sembari menaiki motor.Tak dapat membantah lagi, akhirnya Lia memilih untuk menurut. Setelah menggunakan helmnya, Lia segera naik ke atas motor. Setelah itu, Lio segera melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata"Pegangan, Lia!" titah Lio pada Lia yang sedari tadi hanya diam dan terkesan menjaga jaraknya dengan Lio."Udah," balas Lia singkat. Tanpa banyak bicara, Lio segera meraih tangan kiri Lia dan mengarahkannya untuk berpegangan di perutnya,
"Kamu ngomong apa sih, Mas?" ucap Lia tak suka."Berkali-kali saya mengajak kamu pulang, kamu menolak. Tapi sekalinya Vino yang minta kamu pulang, kamu langsung menurut. Jadi sebenarnya yang suami kamu itu saya atau Vino?" kali ini Lio semakin tak dapat menyembunyikan kecemburuannya."Cukup, ya, Mas!" balas Lia sedikit membentak. Ucapan Lio berhasil menyulut emosi Lia."Lia!" bentak Lio tertahan."Apa, Mas?" tanya Lia sedikit menantang."Saya ajak kamu bicara baik-baik, tapi kenapa respon kamu seperti ini?""Lalu menurut kamu aku harus bagaimana, Mas? Hem? Bagaimana seorang istri harus bersikap kepada suaminya yang telah banyak menorehkan luka di hatinya? Bagaimana seorang istri harus bersikap pada suaminya yang banyak mengabaikan hak-haknya? Bagaimana seorang istri harus bersikap kepada suaminya yang bahkan membencinya?Apa menurut kamu Lia harus terus tersenyum, bersikap hangat dan penuh kasih sayang di hadapan kamu de
Mobil Lio berjalan membelah jalanan malam. Suasana di dalam mobil begitu sunyi. Baik Lio maupun Lia, semua sibuk dengan pikiran masing-masing.Sejak tadi Lia hanya memandang ke arah luar jendela, sama sekali tak melirik suami di sisinya, tapi walau begitu, tak dapat dipungkiri, bahwa pikirannya dipenuhi oleh lelaki yang bergelar suami itu."Dulu, dua hal yang selalu aku harapkan dari pernikahan ini adalah ungkapan cinta dari mas Lio dan penyatuan jiwa raga kami dalam sebuah pergulatan yang indah. Dan kini, sebenarnya dua hal itu telah aku dapatkan, tapi mengapa rasanya begitu menyakitkan? Mengapa harus dengan cara seperti ini aku mendapatkannya?Dua hal yang seharusnya menjadi hal yang sangat membahagiakan bagjku, kini justru menjadi momok yang selalu menghantuiku.Ya Allah, apa nungkin aku bisa melalui hari-hari selanjuynya bersama mas Lio dengan baik? Setelah apa yang terjadi di antara kami.Apakah hati ini masih bisa ditumbuhi ole
Namun, Lio justru menahan tangan Lia di genggamannya. Ditariknya tangan itu mendekat ke arah bibirnya, kemudian mengecupnya pelan, lalu ia menarik kepala Lia untuk mendekat ke arahnya, kemudian mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening istrinya.Perlakuan Lio yang begitu manis sejenak membuat Lia menegang, merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya. Sesaat situasi di antara keduanya menjadi canggung, "kamu jaga diri baik-baik, ya, kalau butuh sesuatu kamu hubungi Mas saja," ucap Lio memecah keheningan.Lia hanya mengangguk mengiyakan."Oiya, besok jadwal kamu shift pagi atau malam?" tanya Lio lagi."Pagi, Mas," jawab Lia singkat."Ya sudah, besok pagi Mas jemput kamu, kita berangkat bersama, ya," ucap Lio dengan senyuman mengembang, yang lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan oleh Lia."Kalau gitu, Lia turun dulu, ya, Mas," ucap Lia lagi."Sebentar," ucap Lio menahan Lia, kemudian meraih makanan yang