“Ma kakek itu cabul! Dia menunjukkan p3n1snya padaku! Aku takut Ma!” cerita Rea sambil menangis ketakutan. Tangannya bergetar. Gadis kecil-kecil itu sangat ketakutan, shock.“Rea nggak diapa-apakan? Dia nyentuh Rea nggak? ” tanya Lira dengan raut panic. Takut anaknya diapa-apakan oleh laki-laki tua itu.“Dia Cuma mencengkram rahangku Ma. Tangannya kasar dia menyuruh Rea diam!” jelas Rea dengan sesenggukan.“Sayang, jelasin ke Papa kalau dia benar-benar nggak lecehin kamu Nak!” tanya Refans yang sangat takut anaknya dilecehkan.“Kakek itu marah ketika Rea panggil dia Kakek. Lalu mencengkram rahangku dengan sangat kuat, Pa!” ujarnya lagi. “Dia menunjukkan p3nisnya aku mau muntah!”Lira memeluk anaknya. Lalu ikut menangis. Kenapa laki-laki yang berouluh tahun dia anggap ayah. Namun, hari ini dia membuat anaknya ketakutan.Refans mengenggam tangannya. “Aku akan memecahkan kepalanya!”Mahra dan beberapa ustazah masih di sana. Mereka merasa sangat kasihan terhadap Rea. Gadis itu tentu saja
“Anak-anak udah pergi kan?” tanya Angga begitu keluar dari kamar mandi. Dia hanya membersihkan wajah di sana. Memperbaiki bajunya yang sudah acak-acak. Memang agak panas, adegan mereka walau hanya beberapa saa.“Udah Mas. Astaghfirullah kita hampir kecolongan sama anak-anak!” Mahra sejenak berhenti dari memakai riasan tipisnya lagi. Lipstiknya memang hilang total. Meskipun seorang istri konglomerat. Mahra selalu memakai liptik murah agar mudah dihapus waktu wudu.“Mas kok seperti belum siap anak-anak mergokin kita!” sahut Angga membenarkan celananya. “Pada tadi mau satu ronde aja!”“Sepertinya kita harus lebih berhati-hati lagi! Siang bukan waktu yang tepat untuk bercinta!” Mahra mengambil tas kecilnya. “Apalagi anak-anak kita sekritis itu Mas!”“Siap Nyonya Angga!” laki-laki anak empat itu menabik Mahra seperti Pembina upacara. “Tapi, kalau Mas nggak bisa nahan kalau kamu secantik ini!” tiba-tiba dia kembali mendekati istrinya. Cup. Sebuah kecupan mendarat di bibir Mahra. Bibir san
Mereka masih duduk di taman sambil melihat Alifa dan Alesya bermain kejar-kejaran. Sesekali mereka mencari semut yang bersembunyi di balik rumput.“Jadi kalian sekarang netap dimana?” tanya Angga, Entah kenapa, hatinya kini begitu ringan. Saat dia memulai membuka diri menjelma menjadi hangat pada Refans.“Iya, kami netap di Bandung. Aku baru mulai buka penginapan yang sudah terbengkalai! Lira juga bisa mudah ngontrol kosannya!” jelas Refans. Dia sangat senang, ternyata Angga memang bukan tipe pendendam sama seperti Mahra.“Jadi kamu Fans memang nggak balik lagi ke Swiss?” tanya Angga lagi.Refans menggeleng. “Begitu dapat kabar dari Renald kalau Mama dan Kak Lala keluar penjara dan Mama mengalami sakit keras. Aku langsung mengundurkan diri dari sana. Dan juga aku merasa sudah saatnya merawat Mama dan memulai hidup baru. Tabunganku juga sudah cukup untuk memulai sesuatu di negeri ini lagi!” ujar sambil tersenyum. Dia memang sangat bahagia dengan kehidupan sekarang.“Hemmmm syukurlah. S
“Aku heran kenapa Tuan Muda ngizinin perempuan gila tu ke sini lagi?” bisik para pelayan setelah mempersilahkan Lira dan Refans duduk di ruang tamu.“Iya, aku semacam kurang percaya meskipun perempuan itu sudah berjilbab!” sahut yang lain.“Barangkali dia pakek hijab supaya tuan sreg gitu sama dia!” mereka mengoceh bukan main di belakang. Memang sejak tadi sudah terang-terangan ingin mengusir Lira dari sana.“Eh nggak ada malu ya mereka lagi anaknya dititip di yayasan pula!” seru Rohmah.“Btw, itu suaminy?” tanya yang lain.“Iya, itu juga mantan suami Bu Mahra!” sahut Rohmah.“Ah biar betul kamu Mbak?”“Lho masak aku bohong. Sebelas tahun yang lalu. Viral seindonesia. Mbak Lira fitnah Bu Mahra rebut Tuan Muda darinya. Padahal kebalikan. Mereka yang selingkuh!” jelas Rohmah.“Memang ndak tahu malu mereka ya!” ujar yang lain. “Kalau kita mana berani muncul di sini lagi!”“Tapi kayak drama jodoh tertukar!” lalu mereka tertawa bersama.“Kalau Non Alifa dan Eca tahu mesti ditanya-tanya sam
Waktu terus berlalu. Kini tahun ajaran telah selesai. Anak-anak kembali libur sekolah. Angga berniat membawa anak-anaknya liburan ke Bandung. Apalagi baby Attar sudah setahun. Tidak perlu dikhawatirkan untuk bepergian jauh. Angga dan Mahra memang tidak pernah liburan jauh-jauh semenjak ayahnya sakit-sakitan.Dan juga Angga ingin menziarahi makam ibunya. Sekaligus membawa ayahnya. Keadaannya semakin lemah. Barangkali laki-laki itu merindukan rumah lamanya, pikir Angga, Ternyata laki-laki itu mengiyakan dengan sempurna wajahnya berseri saat Angga mengatakan itu.Angga membawa tiga pelayan untuk pulang ke Bandung.“Asyik kita pulang Bandung!” ujar Alesya.“Nanti kita sekalian ziarah ke makam Eyang Putri!” seru Angga.“Gimana Kak Alif Bang Alif sudah hafal doa ziarah kubur dan doa menyiram air di atas kubur?” tanya Mahra. Mereka sedang menunggu untuk segera ke pesawat.“Udah dong Ma!” sahut mereka serempak. Meskipun mereka kembar sejak kecil Mahra tidak pernah membeli pakaian sekayak kemb
Ferdi pulang setelah isya. Rencananya mau dugem dengan teman-temannya sekitar jam dua belas malam nanti. Dia ingin mengganti pakaian yang lebih santai. Sejak tadi dia setelah pulang kantor menghabiskan waktu bersama seorang wanita yang baru dia pacarin di kantor. Hampir beberapa jam dia menghabiskan waktu bersama dikosan wanita bernama Risti itu.Rumah itu terlihat sepi, hanya para pembantu yang terlihat cekikikan di ruangannya. Seperti biasa mereka menonton tv. Dia melenggang langkah ke lantai dua. Sebelumnya kamarnya ada di depan kamar Angga. Tapi, sejak beberapa tahun Angga tidak pulang. Dia dengan beraninya mengambil kamar itu sebagai kamarnya.Ferdi sesekali bersiul saat menaiki tangga. Begitu memutar knop pintu kamar. Dia terpana dengan wanita cantik yang duduk di tepi ranjang sambil menyusui anaknya. Perempuan bak bidadari, dengan rambut hitam legam sebahu. Daster maron yang digunakan sangat kontras dengan kulitnya putih bersih. Matanya semakin membola melihat sus*nya yang inda
Di ruang tengah, Pak Muhar duduk di kursi roda dengan lemah. Angga dan Mahra duduk di sofa. Di hadapan mereka duduk Samsudin dan Rini dengan wajah ketakutan.“Din coba kamu jawab dengan jujur kenapa gaji pelayan Cuma 2.500.000 kemana uang yang lain selama lima tahun terakhir?” tanya Pak Muhar dengan tegas. Matanya tersorot tajam.“Semua gaji mereka terbayar Mas!” cemplung Rini.“Saya tanya ke suamimu? Setiap bulan manager Angga mengirim uang gaji pelayan ke rekening Din!” sembur Pak Muhar meskipun dia terlihat lemah di atas kursi roda.Rini segera mengatup mulut, tertunduk malu. Apalagi Samsudin sudah menyenggol tangannya agar diam.Laki-laki lima puluh tahun itu menggemgam tangannya yang sudah berkeringat. Tentu dia tahu kemana uang tersebut. Selama Pak Muhar mempercayakan gaji pelayan padanya. Setiap masuk gaji, Rini mengambilnya untuk foya-foya bersama anak gadisnya. Setiap bulan mereka selalu menyisihkan dua puluh lima juta untuk bersenang-senang. Sisa itulah yang diberikan kepada
Ani berdiri mematung di depan rumah kecil nan sederhana itu. Sebenarnya masih sangat layak di tempatkan. Apalagi rumah itu punya tiga kamar, ruang ramu, lengkap dengan kamar mandi dan dapur. Tapi, sangat terasa kecil untuk mereka yang selama ini tinggal di kediaman mewah bak istana.“Apalagi kamu tercegak di sana!” teriak Samsudin.“AKu nggak mau tinggal di sini! Aku malu sama teman-temanku!” teriak Ani.“Lalu mau tinggal di mana kamu? Sana cari rumah mewah kalau bisa!” Samsudin sangat berang dengan anaknya itu. Dia sudah malu berkali-kali dengan Pak Muhar dan ANgga. Masih syukur dikasih tempat tinggal gratis dan tidak dipecat dari kerjanya.“Ayah jahat dan bodoh! Mau aja diusir dari sana!” teriak Ani.SEbuah tamparan mendarat di pipi Ani. Samsudin menampar anaknya dnegan keras.“Mas, ini anakmu lho!” teriak Rini.“Ini semua gara-gara kamu memanjakan dia. Mengatakan pada mereka kalau itu rumah kita. Padahal sejak awal kamu tidak mengajarkan dia belaku seperti orang kaya. Tidak akan se