Waktu terus berlalu. Kini tahun ajaran telah selesai. Anak-anak kembali libur sekolah. Angga berniat membawa anak-anaknya liburan ke Bandung. Apalagi baby Attar sudah setahun. Tidak perlu dikhawatirkan untuk bepergian jauh. Angga dan Mahra memang tidak pernah liburan jauh-jauh semenjak ayahnya sakit-sakitan.Dan juga Angga ingin menziarahi makam ibunya. Sekaligus membawa ayahnya. Keadaannya semakin lemah. Barangkali laki-laki itu merindukan rumah lamanya, pikir Angga, Ternyata laki-laki itu mengiyakan dengan sempurna wajahnya berseri saat Angga mengatakan itu.Angga membawa tiga pelayan untuk pulang ke Bandung.“Asyik kita pulang Bandung!” ujar Alesya.“Nanti kita sekalian ziarah ke makam Eyang Putri!” seru Angga.“Gimana Kak Alif Bang Alif sudah hafal doa ziarah kubur dan doa menyiram air di atas kubur?” tanya Mahra. Mereka sedang menunggu untuk segera ke pesawat.“Udah dong Ma!” sahut mereka serempak. Meskipun mereka kembar sejak kecil Mahra tidak pernah membeli pakaian sekayak kemb
Ferdi pulang setelah isya. Rencananya mau dugem dengan teman-temannya sekitar jam dua belas malam nanti. Dia ingin mengganti pakaian yang lebih santai. Sejak tadi dia setelah pulang kantor menghabiskan waktu bersama seorang wanita yang baru dia pacarin di kantor. Hampir beberapa jam dia menghabiskan waktu bersama dikosan wanita bernama Risti itu.Rumah itu terlihat sepi, hanya para pembantu yang terlihat cekikikan di ruangannya. Seperti biasa mereka menonton tv. Dia melenggang langkah ke lantai dua. Sebelumnya kamarnya ada di depan kamar Angga. Tapi, sejak beberapa tahun Angga tidak pulang. Dia dengan beraninya mengambil kamar itu sebagai kamarnya.Ferdi sesekali bersiul saat menaiki tangga. Begitu memutar knop pintu kamar. Dia terpana dengan wanita cantik yang duduk di tepi ranjang sambil menyusui anaknya. Perempuan bak bidadari, dengan rambut hitam legam sebahu. Daster maron yang digunakan sangat kontras dengan kulitnya putih bersih. Matanya semakin membola melihat sus*nya yang inda
Di ruang tengah, Pak Muhar duduk di kursi roda dengan lemah. Angga dan Mahra duduk di sofa. Di hadapan mereka duduk Samsudin dan Rini dengan wajah ketakutan.“Din coba kamu jawab dengan jujur kenapa gaji pelayan Cuma 2.500.000 kemana uang yang lain selama lima tahun terakhir?” tanya Pak Muhar dengan tegas. Matanya tersorot tajam.“Semua gaji mereka terbayar Mas!” cemplung Rini.“Saya tanya ke suamimu? Setiap bulan manager Angga mengirim uang gaji pelayan ke rekening Din!” sembur Pak Muhar meskipun dia terlihat lemah di atas kursi roda.Rini segera mengatup mulut, tertunduk malu. Apalagi Samsudin sudah menyenggol tangannya agar diam.Laki-laki lima puluh tahun itu menggemgam tangannya yang sudah berkeringat. Tentu dia tahu kemana uang tersebut. Selama Pak Muhar mempercayakan gaji pelayan padanya. Setiap masuk gaji, Rini mengambilnya untuk foya-foya bersama anak gadisnya. Setiap bulan mereka selalu menyisihkan dua puluh lima juta untuk bersenang-senang. Sisa itulah yang diberikan kepada
Ani berdiri mematung di depan rumah kecil nan sederhana itu. Sebenarnya masih sangat layak di tempatkan. Apalagi rumah itu punya tiga kamar, ruang ramu, lengkap dengan kamar mandi dan dapur. Tapi, sangat terasa kecil untuk mereka yang selama ini tinggal di kediaman mewah bak istana.“Apalagi kamu tercegak di sana!” teriak Samsudin.“AKu nggak mau tinggal di sini! Aku malu sama teman-temanku!” teriak Ani.“Lalu mau tinggal di mana kamu? Sana cari rumah mewah kalau bisa!” Samsudin sangat berang dengan anaknya itu. Dia sudah malu berkali-kali dengan Pak Muhar dan ANgga. Masih syukur dikasih tempat tinggal gratis dan tidak dipecat dari kerjanya.“Ayah jahat dan bodoh! Mau aja diusir dari sana!” teriak Ani.SEbuah tamparan mendarat di pipi Ani. Samsudin menampar anaknya dnegan keras.“Mas, ini anakmu lho!” teriak Rini.“Ini semua gara-gara kamu memanjakan dia. Mengatakan pada mereka kalau itu rumah kita. Padahal sejak awal kamu tidak mengajarkan dia belaku seperti orang kaya. Tidak akan se
“Sudah siap semua?” tanya Angga.“Sudah Mas!” Mahra menggendong baby Attar. Mereka semua sudah ready dengan pakaian serba hitam. Mereka akan berziara ke makam ibunya.“Mama Papa!” panggil Alesya.“Iya, sayang, sudah siap?” tanya Angga.“Sudah, kami juga siapkan bunga-bunga untuk ditabur di makam Eyang putri!” celoteh gadis kecil itu.“Air sembahyang sudah ada?” tanya Mahra pada putrinya.“Udah dong, Ma!” sahut Alesya. Mereka turun ke lantai dua semua sudah siap.Angga mendorong kursi roda ayahnya. Masuk ke dalam mobil lalu diikuti oleh anak-anaknya.“Tuan kami tidak perlu ikut?” tanya Mbak Surti.“Nggak usah, Mbak!” sahut Angga. Mahra duduk di depan bersama Angga sambil menggendong baby Attar. Sedangkan Pak Muhar di belakang kemudi. Di sampingnya duduk kedua cucu kembarnya. Di bagian paling belakang ada Alesya yang asyik dengan bonekanya. Anak kecil itu sangat suka berdiri duduk di jok paling belakang kalau naik mobil.Pak Muhar melempar pandangannya keluar. Banyak sekali yang beruba
Di pemakaman Darlina Binti Teuku Abdullah. Pak Muhar tidak bisa membendung air matanya. Terharu melihat anak cucunya sibuk membaca yasin untuknya. Demikina dirinya yang memandukan. Bahkan cucunya yang paling kecil tetap adem di pangkuan sang ibu. Mereka membaca yasin dengan semangat, mempersembahkan bacaan terbaik untuk sang Eyang putri.“Na, kamu lihatkan cucu kita ramai, anak menantu kita hidup bahagia. Mereka semua sangat menyayangiku, Na. Abang yakin, kamu juga sangat bahagia di sana!” ucapnya pelan setelah membaca doa penutup. Air matanya tumpah.Semua terdiam mendengarnya. Seakan bisa merasakan kerinduan yang dipendam Pak Muhar.“Na, cita-cita kita memiliki menantu yang saleha, cucu yang ramai sudah terwujud. Lihat Angga anak kita sudah punya empat pasukan. Dia takkan kesepian di hari tuanya!” imbuhnya lagi.“Pa, memangnya Eyang dengar kalau kita ngomong?” tanya Alesya.“Iya, sayang! Sebenarnya orang yang sudah meninggal selalu menjenguk kita, tapi kita yang tidak melihatnya!”
“Ayah kenapa ayah kasih tahu alamat kita di sini! Mau tarok dimana muka Ani gara-gara ayah!” teriak Ani yang tiba muncul lewat pintu belakang.Samsudin melongo melihat anak istrinya muncul. “Kalian kemana aja? Capek dipanggilin!”“Ayah denger nggak apa yang Ani ngomong tadi!” teriak gadis tujuh belas tahun itu lagi.“Ani kamu bicara dengan siapa? Teriak-teriak kayak gitu!” Ferdi muncul di sana. Sambil memolototkan mata pada adiknya.Ani terdiam. Kesal, karena dia selalu merasa kalah dengan sikap Masnya itu.“Kamu itu makin hari makin kurang hajar sama orang tua!” sembur Ferdi lagi.“Bu lihat tuh Mas, tiba-tiba datang marahin Ani!” Dia menatap geram dengan kakaknya.“Fer jangan gitu sama adikmu!” bela Rini.“Ibu, kalau biarkan Ani seperti orang tidak sekolah. Nanti dia bisa naik ke atas kepala!” sahut Samsudin. “Dengerin Masmu! Jangan malu-maluin!”“Habisnya Ayah kenapa ajak masok orang jesica ke rumah kita! Bisa-bisa aku nggak punya teman lagi di sekolah!” Ani beralasan.“Lho nggak m
Ferdi segera berdiri menyambut kedatangan Angga.“Mas!” sapa Ferdi.“Mana ibumu?” tanya Angga tanpa basa-basi.“Ada Mas, masuk dulu Mas!” ujar Ferdi merasa senang sepupunya mau datang ke tempat tinggal mereka.“Tidak perlu, panggil ibumu ke sini segera!” Angga menatap ke dalam rumah dengan tajam.Samsudin muncul ke depan. “Angga ada apa?” dia bisa melihat keponakannya sedang menahan amarah.“Mana istrimu Paklik!” seru Angga. “Suruh dia keluar ke sini!”Samsudin memanggil istrinya. Dan Rini muncul di sana. Wajahnya seketika pucat melihat Angga.“Mana berlian yang kamu kreditkan?” tanya Angga.“Berlian yang mana maksudnya Ngga?” Rini tergagap.“Berlian yang bulik beli dengan menggadaikan stnk mobil Papa!” tegas Angga lagi.Samsudin dan Ferdi tercengang mendengarnya. Ternyata masih ada rahasia Rini yang belum mereka tahu.“Nggak ada lagi, kan sudah bulik serahkan ke Angga semua kemarin!” jelas Rini.“Itu semua perhiasan yang sudah cash! Bulik tidak perlu menipu! Baru saja aku melunaskan