“Wah cantiknya!” ujar Alifa sembari mendongak ke luar mobil. Nampak pemandangan stroberi dan sayuran yang cukup luas.“Iya, cantik banget! Abang mau buat vlog ah!” Alif mengeluarkan ponselnya.“Kak Eca mau petik Pa!” Alesya pun ikut mengintik di jendela.“Pah berenti dong kita mau metik stroberi langsung!” ujar Alifa lagi.“Ini kebun orang, anak-anak. Nanti ya di kebu Bulik kalian bisa metik sepuasnya!” ujar Angga sambil terkekeh.“Nanti di sana kalian mau bawa segoni juga dibolehin tuh sama bulik!” tambah Pak Muhar.“Wah asyik! Eyang kenapa nggak bilang kalau punya keluarga yang punya kebun stroberi!” tanya Alif.“Surprise dong!” Pak Muhar membelai pucuk kepala cucu laki-lakinya itu.Pak Muhar tersenyum sumringah, lama sekali dia tidak ke kampung saudara istrinya itu.Mahra juga menunjukkan pemandangan yang indah pada anak bungsunya Attar.Kehadiran mereka di sambut oleh Rehan dan orang tuanya. Orang tua Rehan nampak sudah menua. Rehan juga sudah tumbuh tegap nan gagah. Dia sedang m
“Akhirnya aku akan melihat Kurniawan Hallding terguling dan Angga akan jatuh miskin!” ucap laki-laki berambut klimis itu sambil terbahak-bahak. “Dan aku akan tidak sabar menyekap istrinya yang molek itu!”“Aduh Rey! Please deh, aku dukung kamu sepenuhnya menjatuhkan Kurniawan Hallding! Tapi untuk memburu istri Angga please deh! Dia itu sudah beranak empat! Masa kamu doyan sama emak yang badannya sudah melorot!” protes Grace.Reymond tak menanggapi temannya itu. Dia bahkan sedang membayang bagaimana dia sedang berada di atas Mahra.“Aku di sini untuk apa? Bahkan aku bersedia menjadi budak nafsumu! Kurang apa aku ini di bandingkan perempuan itu!” tambah Grace lagi.“Grace Grace, kamu dengan istri Angga jauh kemana-mana dia! Seandainya kamu menarik dari dulu sudah aku bawa ke ranjang kan!” Raymond menatapnya smabil mengejek. Grace memang sangat mencintainya bahkan bukan sekali dia menyerahkan dirinya pada Raymond. Namun, justru membuatnya semakin jijik.“Kamu nggak akan dapat perempuan s
Di ruang makan yang senyap, Yuni duduk menatap makanan seorang diri. Tiba-tiba, Faisal datang dengan sumeringah. Karena melihat istrinya masih seperti dulu menunggunya makan, menyiapkan baju kerjanya. Membawakan dia kopi saat lama di ruang kerja. Yuni, Masih seperti dulu, meskipun semarah-marahnya Yuni padanya. Perempuan yang sudah mendampinginya hampir tiga puluh tahun itu. Masih berusaha mengerjakan kewajibannya. Bahkan, untuk hubungan ranjangpun dia tidak bisa menolak. Dan tetap memberikan pelayanan yang sama.Faisal, jika diberi pilihan untuk memilih wanita lain. Maka pilihannya tetap Yuni. Perempuan yang lembut dan setia. Tidak pernah mengeluh dan meminta. Apalagi menuntut banyak hal. Dia hanya meminta kasih sayang. Dan alasan terbesar seorang Faisal dulu bekerja keras adalah untuk membahagiakan Yuni, istrinya. Mereka menikah berdasarkan suka sama suka.Lelaki yang cukup disegani banyak orang itu, terbayang saat-saat dulu mereka bertemu di sebuah job fair di Jakarta. Mereka sama-
Mahra tiba di sebuah taman yang cukup sepi, bahkan nyaris tidak melintas orang satupun. Hatinya mulai gundah. Namun, dia beranikan diri keluar dari mobil mencari petunjuk yang telah dikirim orang tidak dikenal itu. Rupanya taman itu ada kolam yang cukup cantik. Nampak seorang laki-laki gagah berdiri menatap kolam. Laki-laki itu melipat tangannya di dada. Dia menggenakan jeans dan kemeja putih yang dilipat hingga ke siku. Menggunakan sneaker yang senada. Sekelas dia terlihat gagah.“Assalamualaikum!” sapa Mahra.Raymond seraya membalik badan. Tidak sabar menatap wanita pujaannya datang. Sedetik hingga waktu berjalan dia tidak bisa berkata, lidahnya kelu. Dia terpana. Matanya tak mampu berkedip. Wanita di depannya sangat smepurna. Selama ini dia hanya menatap gambar. Hari ini, hanya lima langkah dia sudah bisa membawanya dalam pelukan. “Sialan, Angga memang selalu lebih dalam hidupnya. Nggak Cuma bisnis, istrinya juga sangat cantik!” kutuknya dalam hati.“Permisi?” panggil Mahra membua
“Secantik apa sih perempuan itu? Sampai Raymond begitu tergila-gila padanya!” gumam Grace seorang diri. Dia masih duduk di ruang tamu dengan perasaan dongkol.“Apasih kurangnya aku ini Rey?” gumamnya lagi. “Sesayang ini aku sama kamu! Tapi, kamu selalu mengabaikanku!” Tidak terasa air matanya jatuh. Grace sudah menghabiskan setengah umurnya demi mendapatkan hatinya Raymond. Tapi, percuma dia tidak mendapatkan apa-apa selain simpati Raymond sebagai teman.“Aku sangat menyayangimu Grace. Aku tidak ingin ada yang menyakitimu.Tapi hanya sebatas sahabatku, Grace. Tidak lebih!” pernyataan itu masih tergiang-ngiang di telinga Grace. Sejak masih mereka belia. Hingga sekarang kalimatnya masih sama. Hanya sebatas sahabat.“Tapi, aku takut, Raymond kenapa-napa kalau dia tetap kekeh menyekap istri orang. Bisa-bisa dia hancur diguling oleh Angga!” gumamnya lagi. “Aku harus melakukan sesuatu!”Grace mengambil ponsel, membuka google menulis di kolom searching Istri Angga Kurniawan Hallding. Dibaca s
Raymond menghubungi Grace.“Dimana kamu lonte?” teriak Raymond dengan beringas.“Astaga, Rey. Tega kamu ya. Kerasukan setan apa kamu?” ungkap Grace dengan penuh rasa kecewa.“Kamu dimana?” teriak laki-laki itu lagi.“Aku ada di rumah orang tuamu. Kenapa?” Grace sangat menyesal sudah sebaik itu sama laki-laki yang tidak pernah menghargainya itu.Raymond bergegas menuju ke kediaman orang tuanya. “Grace pasti ingin memberitahu Mama dan Papa kalau aku menyekap Mahra! Dasar perempuan tidak tahu diri!”Raymond mengomel sepanjang jalan.Begitu masuk ke kediaman orang tuanya. Dia berjalan dengan langkah besar. Grace sedang duduk bersama kedua orang tuanya memilih-milih beberapa kain batik.“Sayang, tumben pulang? Kangen masakan mama?” Yuni menyambut putra semata wayangnya dengan gembira.“Kamu ini Ma, anak pulang kok ditanya-tanya!” sambung Faisal/Namun, dia justru menatap Grace dengan tajam.“Dimana Mahra?” tanya Raymond.“Mahra? Siapa Mahra?” tanya Yuni.“Kamu yang sekap dia kenapa tanya sa
Raymond dan Lala masuk ke dalam rumah yang terbilang mewah. Meskipun bersih tapi, nampak tidak berpenghuni. Mereka masuk lewat pintu samping. Lala menunjukkan kunci serep yang katanya dia curi saat di kediaman Angga. Raymond tersenyum pada Lala. Karena perempuan di depannya sangat effort membantu misi yang sedang dia perjuangkan. Rasanya tidak sabar membawa Mahra ke dalam hidupnya. Sekalipun nanti Mahra hanya menjadi peliharaannya di kamar.Lala menunjukkan kamar tempat Mahra bersembunyi. Laki-laki itu mendorong pintu kamar perlahan yang tidak dikunci. Dia bisa melihat Mahra tertidur pulas di atas ranjang. Wajahnya yang teduh, lembut dan pembawaan tenang.“Laki-laki mana yang tidak akan jatuh cinta pada perempuan secantik kamu Mahra!” gumam Raymond dalam hati. Bahkan dia belum pernah merasakan secinta ini pada perempuan.Dia berjalan perlahan. Memastikan itu Mahra. Yang memang itu Mahra. Perempuan pujaannya.“Bagaimana Bos?” tanya Lala. Setelah laki-laki itu menutup kembali pintu ka
Faisal datang dengan tergopoh bersama sang istri. Dia melihat banyak lak-laki dengan jas hitam di sana. Badannya kekar nampak seperti bodyguard. Setidaknya dari plat mobil dia sudah tahu, kalau mereka adalah bodyguarnya Angga. Seorang laki-laki klimis menyuruh Faisal dan istrinya masuk.“Selamat datang Tuan dan Nyonya!” sapa Panji.“Apa ini Panji?” tanya Faisal saat melihat Raymond diikat di kursi dan mulutnya di lem.“Ya Allah anakku!” Yuni mendekati anaknya dengan perasaan marah dan sedih. Kemana anaknya yang gagah. Kenapa bisa seperti maling di pasar saja.“Oh duduk dulu Tuan Nyonya!” ujar Panji sembari mempersilahkan kedua orang yang terkenal sebagai konglomerat itu duduk di sofa yang tersedia. Sedangkan Raymond hanya duduk dengan tatapan dingin.Faisal segera duduk.“Panji…”“Om tenang dulu. Justru aku sangat mempertimbangkan Om dan Tante dalam hal ini!” Panji langsung memotong.“Bagaimana kami bisa tenang, melihat Raymon kamu perlakukan seperti ini!” Yuni berseru penuh amarah.
Sudah dua jam, Mahra duduk di depan laptop. Menulis sebuah artikel. Selama beberapa tahun terakhir, dia membangun sebuah blogger parenting. Cukup berpenghasilan dan maju. Mahra sudah lama tidak menulis buku, karena anak-anaknya masih balita. Dia tidak ingin anak-anaknya kekurangan kasih sayangnya. Membangun blogger tidak begitu sulit dan menguras waktunya. Setidaknya dia masih menulis setiap 3 atau 2 kali seminggu.Dia menyisihkan sedikit waktu ketika putranya tidur atau bermain dengan orang lain. Seperti malam ini karena putra bungsunya sedang asyik bermain dengan Angga. Angga nampak piawai bermain dengan si bungsu yang baru bisa berdiri, bahkan sesekali sudah bisa mengangkat langkah dengan gemetar. Sedangkan ketiga anaknya lagi sedang belajar mengaji di mushalla rumahnya. Angga sengaja memanggil orang ke rumah. Ketiga anak itu punya guru yang berbeda. Berdasarkan tingkatan mereka belajar.Si kembar sudah belajar kitab kuning dan fasahah alquran. Sedangkan Alesya masih di iqra’. Sese
Proses lamaran Yatim berlangsung sempurna. Keesokannya, juga dilangsung lamaran abangnya. Mahra sangat senang menjadi bagian menyukseskan acara tersebut. Angga sudah memastikan tidak sesi foto bersama mereka. Karena takut tersebar di sosial media. Karena sosok istrinya cukup popular untuk masyarakat di aceh Besar dan Banda Aceh. Sangat sering, tiba-tiba Mahra diajak berfoto di tempat keramaian.“Nggak terasa Mas, kita sudah tua!” ujar Mahra saat pulang dari acara tersebut. Pikirannya melayang, saat menerima kedua anak yatim piatu tersebut. Kini mereka menjelma laki-laki yang gagah melamar gadis pujaan mereka. Keadaan ekonomi mereka terbilang sukses. Mereka punya usaha kelontong, dan air isi ulang di depan yayasan. Selain itu mereka juga mendapatkan pekerjaan di yayasan sebagai dewan guru.“Kira-kira apa hadiah yang cocok untuk mereka?” tanya Angga sembari menggemgam tangan sang istri.“Mahra mereka sudah cukup Mas, usaha juga sudah punya!” sambung Mahra.“Bagaimana kalau kita hadiahka
“Siapa sih baik banget mau bakar rumah itu?” tanya Randi setelah mereka di dalam mobil.“Entahlah, aku juga bingung!” Bian merebahkan tubuhnya. Randi terus membanting setir dengan cepat. Harap-harap segera bisa membawa Bian jauh dari Meri dan Rena. Bisa saja kedua perempuan itu kembali meminta Randi menikah dengan anak mereka yang gila.“Kita kemana bos?” tanya Randi.“Ke Bandung!” sahut Bian.“Bandung?” Randi menoleh sejenak.“Istri dan anakku sekarang di Bandung. Aku akan meminta pada Riana untuk bersembunyi di sana sebentar,” jelas Bian.“Oh oke bos.”Bian rasanya tidak sabar untuk sampai ke sana bertemu anak istri. Memeluk dan mencium mereka. Padahal baru tadi pagi mereka berpisah.Sedangkan di kediaman Meri. Semua orang kocar-kacir, tim pemadam kebaran sudah tiba. Polisinya juga sudah tiba. Tidak ada korban, tapi, Meri rugi jutaan rupiah. Banyak perabotannya yang rusak. Dia perlu uang renovasi sekitar dua ratus juga demi kembali merehap rumahnya.“Astaga Ren, aku nggak habis pik
Angga memastikan kalau bertamu adalah Yatim dan Yatam. Kedua laki-laki adik beradik itu duduk dengan sopan di depan istrinya. Bukan mudah masuk ke dalam rumah putih megah itu sekarang. Bahkan sekalipun orang-orang terdekat, mereka akan diperiksa dengan detail. Itu semua dilakukan Angga demi keselamatan anak istrinya. Laki-laki itu bernapas lega setelah melihat mereka.Begitu melihat Angga, mereka seraya bangun dan menyalami suami dari bunda mereka itu.“Sudah lama?” tanya Angga basa-basi setelah duduk berhadapan mereka.“Belum Mas. Tuh minum aja belum tiba!” jelas Mahra. Dia tidak sabar ingin mengatakan kedatangan mereka. “Mas lihat anakku yang tertua sudah mau nikah aja!”Angga menaikkan alisnya, seulas senyum kaget tercipta di sana.“Masha Allah, maaf ya Yatim Yatam. Selama ini, saya benar-benar sibuk sampai tidak sempat mampir-mampir ke tempat kalian. Dan juga maaf banget, sesusah itu sekarang kalian masuk ke sini bertemu bunda kalian ini!” jelas Angga.“Iya, Pak. Nggak apa-apa. K
Kepergian sang ayah, membuat Angga merasa ada ruang dihatinya yang kosong. Tidak ada lagi tempat dia bercerita tentang keluh kesahnya dalam mengelola perusahaanya yang besar. Mahra sering melihat suaminya berlama-lama di kamar ayahnya hingga tertidur. Dia pun mengalami kenyataan pahit, kehilangan mertua yang sangat mencintainya.Mahra masih terngiang. Tepat beberapa hari yang lalu saat Mahra menyuapkan makan siang untuk sang mertua.“Mahra!” panggil Pak Muhar dengan lemas.“Terima kasih!” tambahnya detik kemudian.Mahra menautkan alisnya.“Kenapa ayah?” tanya Mahra bingung.“Terima kasih sudah hadir dalam hidup ayah. Memberikan ayah cucu! Dan teman hidup untuk angga!” jelasnya lagi suaranya sudah sangat lemas.“Mahra yang bersyukur ayah. Mahra beruntung memiliki Mas Angga!” ucapnya setelah memotong telur rebus untuk disuap.“Mahra, sebelum menikah Angga hanya punya ayah seorang keluarga intinya. Sekarang ayah bisa melihat kebahagiaanya!” tambah Pak Muhar.Mahra tersenyum. “Semoga Mah
Masih seperti dua puluh tahun yang lalu. Sesibuk apapun Angga, dia selalu menyempatkan mengurus ayahnya. Meskipun sekarang anak istrinya membantu. Namun, setiap dua kali sekali selalu memastikan ayahnya baik-baik saja.Pagi hari efektif, penghuni rumah mewah itu sangat sibuk dengan agenda masing-masing. Mahra yang sibuk membereskan keperluan anaknya yang hendak berangkat sekolah. Mahra tidak membiarkan hal-hal kecil seperti memastikan buku-buku dan keperluan anaknya ke sekolah dilewatkan anaknya. Padahal ada banyak pelayan di rumah itu. Pagi hari seperti ibu pada umumnya. Dia memastikan anak-anak bangun cepat. Salat subuh berjamaah, baca alquran bersama lalu olahraga. Semua itu selalu tidak terlewatkan oleh anak-anak Mahra. Bahkan anak-anak ini terkesan seperti tinggal di asrama.Begitu azan berkumandang, di yayasan. Mahra sigap membangunkan anak-anak dan suami.“Anak-anak bangun kita salat subuh!” begitu terdengar Mahra di subuh hari.Angga selalu mengimani anak istrinya salat subu
Bian terbangun saat suara ponsel sang istri mengganggunya. Dia tidak melirik ke sana. Justru memandang sang istri dengan tenang.“Boleh, saya bicarakan sesuatu?” tanya Riana setelah berdiri di samping Bian.“Apa?” sahut Bian dengan ketus, wajahnya sama sekali tidak berpaling dari buku yang dia baca.“Ini tentang ibu dan adik-adikku,” ujar Riana sambil meremas ujung piyamanya.“Duduk,” perintah Bian.Riana duduk di ujung tempat tidur.“Katakan!” tanya Bian sambil menutup bukunya.“Mila dan Dewi sudah lama berhenti sekolah, kontrakan di sana juga sudah habis. Kalau …..” ucapan Riana langsung terpotong.“Aku akan mendaftarkan Mila di pesantren terpadu, Ibu dan Dewi bisa tinggal di salah satu ruko kosong milikku,” sambung Bian.“Benarkah?” tanya Naina kegirangan.“Aku tidak pernah berbohong,” ujar Bian sambil memandang Riana dengan tatapan tajam. “Aku sudah janji akan memberikan kehidupan yang layak untukmu dan keluargamu.”Riana tertunduk dalam, dia ketakutan melihat Bian yang menatapnya
Mahra mengadakan rapat bulanan di yayasannya. Untuk mendengar permasalahan demi permasalahan di yayasan Mata Hati tersebut. Para dewan guru, para pengasuh, tenaga kebersihan dan tenaga keamanan menyampaikan segala hal mengenai kejadian di lapangan.Yayasan tersebut memiliki pengeluaran rutin setiap bulan 300.000.000. Gaji pegawai biaya makan kebersihan, listrik dan semua tata kelolanya. Uang tersebut diambil dari pendapatan properti dan rumah makan serta hasil sewa ruko-ruko yang disewakan.Angga dan Mahra memiliki 3 rumah makan, dua penginapan serta dua belas ruko yang disewakan. Semua hasil pendapatan dari properti tersebut diperuntukkan untuk yayasan. Makanya yayasan tersebut tidak pernah minus anggaran. Apalagi ada sejumlah investor yang menyumbang tidak sedikit. Maka tidak dapat dipungkiri yayasan anak yatim piatu itu menjelma menjadi yayasan pendidikan yang bergengsi. Gedungnya megah, tenaga guru-gurunya berkualitas bahkan siswanya sangat cerdas-cerdas.Meskipun harga saham peru
Setelah Sembilan bulan dari acara ulang tahun Abda Nasution yang sangat mengheboh jagad dumai. Bian mendapat kabar kalau buku biografi ayahnya sudah terjual banyak. Dan sudah dibuka pre-order lagi untuk cetakan ketiga, sudah dipesan ribuan orang. Buru-buru Bian menghampiri Riana yang sedang memasak di dapur. Dengan tawa sumringah, Bian berujar.“Buku Ayah sudah dipesan ribuan orang.”“Keren sekali,” sahut Riana dengan ceria.“Semua ini karena kamu. Thanks, ya,” tambah Bian .Riana mengangguk pelan, sambil memamerkan tawa sumringahnya.“Sudah masak?” tanya Bian sambil mengelus perutnya sendiri.“Belum, sebentar lagi ya,” sahut Riana.“Oke, aku siap-siap dulu kalau gitu,” ucap Lian sambil beranjak meninggalkan istrinya.Bian kembali ke kamarnya. dia sangat bangga kepada istrinya itu. Tidak sia-sia dia memperistrikan Riana. Meskipun ada satu yang masih membuat dia tertahan untuk menyentuh sang istri, memberikan napakah lahir batin.Di perpustakaan mini yang membatasi kamar Bian melihat h