“Taraaaa! Welcome home sayang!” ujar Lira dengan semangat setelah membuka pintu.“Makasih Ma!” ujar Rea lalu masuk ke dalam rumah tersebut. Dia memperhatikan sekeliling. Rumah yang begitu rapi. Dan lumayan mewah. Ada banyak fotonya di sana. Lira sudah mencetak beberapa foto waktu dia kecil. “Ma itu aku waktu kecil?” tanya Rea menunjukkan foto bayi yang dipajang di dinding.“Iya dong. Mama nggak punya anak selain kamu!” ujarnya sambil memeluk putrinya.Rea tersenyum.“Ayo lihat kamar Rea!” ajak Lira. Kamar mereka berselang dengan dapur. Losmen Lira meskipun tidak begitu luas namun cukup mewah. Terdiri dari dua kamar dapur, ruang tamu. Dilengkapi dengan kamar mandi di masing-masing kamar. Serta dilengkapi dengan AC. Di ruang tamu ada tv yang besar berserta set sofa. Demikian juga dengan kedua kamar sudah lengkap dengan tempat tidur, lemari, meja belajar dan meja hias.Rea berdecak takjub. Akhirnya dia punya kamar sendiri. Di atas tempat tidur ada beberapa boneka yang lucu-lucu.“Ma kam
Begitu tiba di Bandung, Lira mengajak Rea ke ayah ibunya. Memang itu tujuannya ke kota tersebut. Mereka memakai baju hitam berserta hijab yang anggun menutupi kepala ibu beranak itu. Tidak lupa juga mereka buku yasin yang sengaja dibeli oleh Rea di toko buku.Begitu tiba di sana. Rea melihat nama yang tertera di pusara kakek neneknya. Meninggal tahun 1997. Itu artinya mereka meninggal hampir sebaya dengan ibunya. Berarti ibunya memang yatim piatu sejak kecil.Mereka yasin berbarengan.“Ma, Pa, ini Rea anakku. Satu-satunya keluarga yang aku punya saat ini!” ujarnya dengan raut sendu terpancar dari manik matanya. “Mama Papa datanglah walau dalam mimpi kami satupun tidak mengenal wajah kalian!”Rea menepuk pelan pundak sang ibu. Dulu saat di panti dia pernah berpikir. Jika orang tuanya sudah meninggal. Dimana makam mereka, begitulah yang timbul dalam benak Rea kecil. Namun, kata-kata ibunya Jeni membuat dia kehilangan semangat. Bahwa ibunya hanya seorang pelac*r. Kata pelac*r selalu mem
Sepanjang perjalanan pulang, suasana di dalam mobil begitu hening. Lira sibuk dengan pikirannya sedangkan Rea tertidur pulas.“Apakah dia serius ngajak aku nikah?” Lira membatin. Bayang-bayang Refans muncul di benaknya. “Apa dia sudah move on dari Mahra?”Lira terbayang obrolan mereka tempo hari.“Aku juga sedang memulai hidup baru, Ra. Percuma terlalu lama aku mengharapkan Mahra. Semakin ke sini. Semakin tidak mungkin dia kembali padaku!” ucap Refans. “Ya, aku sadar siapa aku. Dan Siapa Angga. Bukan Cuma karena hartanya. Angga jauh lebih baik dariku! Barangkali Tuhan ingin menghukumku agar bisa menghargai siapapun yang hadir dalam hidupku!”“Iya, Fan. Aku pun demikian. Aku akan memulai hidup baru dnegan anakku. Setidaknya aku punya dia. Meskipun orang menganggap dia anak haram. Tapi, dia satu-satunya alasan aku hidup dan berubah. Karena aku ingin jadi ibu yang baik untuknya!” sahut Lira.Refans menatap Lira lebih intens. Tidak ada lagi keangkuhan percikan keangkuhan di dalam sana. Ba
Di kediaman Refans. Lira dan Refans melangsungkan akad nikah. Tidak ada keluarga yang bisa dia ajak selain Si Mbok dan Rea. Keputusan dia menikah dengan Refans sudah mantap. Ketika putrinya menyetujui.“Mama butuh teman yang menjaga Mama! Karena aku masih harus menyelesaiakan pendidikan di Aceh!” jelas putri kecilnya.Dan baru kali ini pula. Ada laki-laki yang terlihat begitu serius mengajak menikah. Seumur-umur Lira belum mendapatkan cinta laki-laki yang tulus mencintainya.“Fans, kamu tahu selama aku hidup. Belum ada satupun laki-laki yang mencintaiku dengan tulus!” ucapnya dengan mata berembun. Saat itu Refans baru saja mengungkapkan perasaaannya.Refans terdiam.“Dulu aku pikir Papa adalah orang yang mencintaiku. Karena aku anak perempuan satu-satunya. Rupanya salah Papa hanya orang yang memanfaatkan keyatimanku. Lalu Mas Angga, orang yang menikahiku secara terpaksa. Bahkan dia tidak pernah menyentuhku!”Matanya berembun.“Aku kini akan mencintaimu setulus hati, Ra. Percayalah!” uc
Akikah baby Attar siap digelar. Rumah mewah Angga sudah dihias sedemikian rupa. Papan bunga berjejer di sepanjang jalan. Tenda-tenda besar dipasang di halaman luas itu. Ada banyak meja dan makanan terhidang di sana. Ada dua pentas besar yang akan menampilkan group-group zikir di sana. Angga sengaja mengundang orang dayah-dayah besar untuk membaca zikir berzanji di akikah anak ke empatnya.Undangan disebar luas tanpa batas. Jamal dan Akmal termasuk orang paling berperan di sana. Setiap kali ada akikah keponakan mereka. Kedua kakak beradik itu selalu menjadi coordinator acara yang paling dipercaya.“Bang semoga Mahra tidak lagi melahirkan ketika kita sudah berusia lima puluhntahun nanti! Nggak sanggup lagi aku Bang menghandle acara sebesar ini!” keluh Akmal saat mereka harus mencari sepuluh ekor sapi.“Lho abang memang sudah mendekati lima puluh ni!” Jamal membawa mobil sambil cekikikan.“Ah kita cuma beda tiga tahun lho!” gelak Akmal. Wajah tampan mereka mulai menua perlahan menuju ke
“Rea belajar yang rajin ya. Papa dan Mama janji akan sering jenguk Rea di sini!” ujar Refans sembari memegang kedua tangan sang putri. Iya, putri. Meskipun tidak secara syariat. Tapi, dia adalah ayah biologisnya Rea. Karena berdasarkan tes DNA . Sembilan puluh Sembilan persen Rea anaknya Refans. Terserah orang menganggap itu anak haram. Seperti halnya Lira. Baginya Rea adalah harta yang paling berharga.“Iya, Pa. Aku janji akan lebih giat lagi belajar!” sahut Rea sambil tersenyum. Refans memeluk putrinya.Kini bergantian dengan Lira yang melakukan hal yang sama. Setelah menikmati hidangan di rumah Angga. Meskipun mereka tidak benar-benar menikmati. Refans dan Lira ingin segera balik ke Bandung.Mereka segera menaiki taksi online. Dan kini Rea berdiri dengan Alika di pintu gerbang menatap taksi yang membawa orang tua Rea lenyap di hadapan mereka.“Dek kamu sekarang enak banget. Sudah tahu pulang kemana?” imbuh Alika perempuan enam belas tahun itu.“Aku tidak menyangka, akan memiliki me
“Mas rasanya cepet banget ya sikembar kita!” seru Mahra sembari mengintip keseruan anak-anaknya di halaman rumah bermain meja.“Iya, sayang. Mereka sudah menginjak remaja!” sahut Angga yang sedang menggendong baby Attar.“Aku kok kek nggak rela ya Mas mereka dewasa!” Mahra masih menatap kea rah anak-anaknya yang begitu seru bermain tenis meja. Tubuh mereka sudah tinggi. Sisi cantik dan tampan sudah terlihat.Angga tersenyum melihat kegelisahan istrinya. “Itulah kenapa kita harus menghabiskan banyak waktu dengan mereka. Agar waktuu dewasa nanti. Mereka akan ingat kita di rumah!” seru Angga.“Iya, Mas. Aku ingin anak-anak tetap pulang membawa keluh kesahnya padaku!” seru Mahra lagi. “Bentar lagi mereka masuk Mtsn Mas!”“Sudah diajarinkan tentang-tentang anunya!” tanya Angga.Mahra mengerutkan keningnya.“Itu lho sayang. Dulu kan pernah bilang akan ajarin si abang tentang bagian-bagian tubuh perempuan!” tambah Angga.“Oh, ya. Sudah Mas. Tahu nggak Mas. Belum sempat aku cerita. Sudah nimb
“Kamu yakin Mas mau nerror keluarga mereka?” tanya Maria pada Yatma.“Yakinlah, kita bisa menculik anak-anak Angga lalu kita minta uang yang banyak. Dia tidak akan berpikir panjang demi kesalamatan anak-anak mereka!” jelas Yatma.“Tapi, Mas. Kita bisa kerja yang lain untuk cari uang. Resikonya terlalu besar untuk menculik anak-anak Angga!” Maria khawatir. Tentu dia sangat paham bagaimana kekuatan Angga setiap kali bermasalahnya.“Terus kontrakan ini mau bayar pakek apa?” teriak Yatma. “Mengandalkan gajimu jadi juru parkir sampai kiamat takkan cukup!” Padahal selama ini dia hidup dari kerja banting pulang sang istri.Mereka sudah berkelana jauh, menjadi kuli serabutan. Bekerja apa saja demi bertahan hidup. Lebih tepatnya Maria yang bekerja. Sedangkan Yatma hanya di rumah menunggu. Kalau tidak ada uang marah-marah. Padahal dulu Yatma paling takut pada Maria istrinya.Maria sudah sangat lelah dengan keadaan. Sehingga membuat dia kini sadar. Semua yang dirasakan adalah karma. Namun, berbe