“Mas rasanya cepet banget ya sikembar kita!” seru Mahra sembari mengintip keseruan anak-anaknya di halaman rumah bermain meja.“Iya, sayang. Mereka sudah menginjak remaja!” sahut Angga yang sedang menggendong baby Attar.“Aku kok kek nggak rela ya Mas mereka dewasa!” Mahra masih menatap kea rah anak-anaknya yang begitu seru bermain tenis meja. Tubuh mereka sudah tinggi. Sisi cantik dan tampan sudah terlihat.Angga tersenyum melihat kegelisahan istrinya. “Itulah kenapa kita harus menghabiskan banyak waktu dengan mereka. Agar waktuu dewasa nanti. Mereka akan ingat kita di rumah!” seru Angga.“Iya, Mas. Aku ingin anak-anak tetap pulang membawa keluh kesahnya padaku!” seru Mahra lagi. “Bentar lagi mereka masuk Mtsn Mas!”“Sudah diajarinkan tentang-tentang anunya!” tanya Angga.Mahra mengerutkan keningnya.“Itu lho sayang. Dulu kan pernah bilang akan ajarin si abang tentang bagian-bagian tubuh perempuan!” tambah Angga.“Oh, ya. Sudah Mas. Tahu nggak Mas. Belum sempat aku cerita. Sudah nimb
“Kamu yakin Mas mau nerror keluarga mereka?” tanya Maria pada Yatma.“Yakinlah, kita bisa menculik anak-anak Angga lalu kita minta uang yang banyak. Dia tidak akan berpikir panjang demi kesalamatan anak-anak mereka!” jelas Yatma.“Tapi, Mas. Kita bisa kerja yang lain untuk cari uang. Resikonya terlalu besar untuk menculik anak-anak Angga!” Maria khawatir. Tentu dia sangat paham bagaimana kekuatan Angga setiap kali bermasalahnya.“Terus kontrakan ini mau bayar pakek apa?” teriak Yatma. “Mengandalkan gajimu jadi juru parkir sampai kiamat takkan cukup!” Padahal selama ini dia hidup dari kerja banting pulang sang istri.Mereka sudah berkelana jauh, menjadi kuli serabutan. Bekerja apa saja demi bertahan hidup. Lebih tepatnya Maria yang bekerja. Sedangkan Yatma hanya di rumah menunggu. Kalau tidak ada uang marah-marah. Padahal dulu Yatma paling takut pada Maria istrinya.Maria sudah sangat lelah dengan keadaan. Sehingga membuat dia kini sadar. Semua yang dirasakan adalah karma. Namun, berbe
Akhir-akhir ini, Lira sering merasa pusing. Dia ingin tidur sepanjang hari.“Kenapa aku malas banget sekarang ya?” Lira melirik jam bekernya. Sudah pukul sebelas. Sebentar lagi Refans pulang dari penginapan mereka.“Ya ampun aku sudah tidur sejak subuh? Mas Refans pasti nggak sarapan. Dia bergegas bangkit dari tempat tidur. Untuk beranjak ke dapur. Dilihat dapur sudah rapi. Ada roti yang sudah terpanggang di sana. JUga secangkir sereal energen. Tidak biasanya dia tidur setelah subuh. Dia juga melihat rumah sudah rapi.Dengan rasa malas yang menenggelamkannya. Dia coba kumpulkan tenaga. Di potong sayur yang ada dikulkas, digoreng ikan lalu dibuat sambal terasa. Sudah itu saja menunya. Dari pada Refans pulang tidak ada makanan. Hanya setengah jam dia berkutik di dapur. Dia kembali tidur di sofa ruang tamu. Refans juga bingung dengan sikap istrinya. Padahal sebelumnya Lira sangat rapi. Tapi, sekarang kadang rumah tidak begitu terurus. Makanan juga terhidang seadanya. Pagi ini menurutny
Rea terkejut saat terbangun, di sisinya sangat gelap. Bahkan dia tidak bisa melihat apapun. Ingin dia berjalan. Tapi kakinya diikat, tangannya diikat ke belakang. “Halo siapapun di sana tolong!Tolonggggggg!” teriak Rea dengan kencang. Dia sangat ketakutan. Namun, dia berusaha teriak sebisa mungkin agar ada yang menolongnya.“Mama tolong Rea!” teriaknya lagi. Dia kembali mengingat. Jam sepuluh malam setelah selesai pengajian dan ingin tidur. Dia ke toilet sendirian, karena tidak tega membangunkan Alika atau teman lain di kamarnya. Saat hendak keluar dari kamar mandi ada seseorang memukulnya dari belakang. Orang itu memakai topeng.“Jangan-jangan aku diculik orang jahat?” dia membatin. “Aku harus lolos dari sini!”Tiba-tiba terdengar langkah mendekatinya. Pintu di muka, lalu menerangi ruangan yang cukup sempit itu. Laki-laki itu sudah tua. Tapi, wajahnya sangar.“Tolong lepasin saya Kek!” rengek Rea.“Heh diam kau. Kau pikir mudah buat culik kamu!” teriaknya kesal. Dia menghidupkan pon
“Ma kakek itu cabul! Dia menunjukkan p3n1snya padaku! Aku takut Ma!” cerita Rea sambil menangis ketakutan. Tangannya bergetar. Gadis kecil-kecil itu sangat ketakutan, shock.“Rea nggak diapa-apakan? Dia nyentuh Rea nggak? ” tanya Lira dengan raut panic. Takut anaknya diapa-apakan oleh laki-laki tua itu.“Dia Cuma mencengkram rahangku Ma. Tangannya kasar dia menyuruh Rea diam!” jelas Rea dengan sesenggukan.“Sayang, jelasin ke Papa kalau dia benar-benar nggak lecehin kamu Nak!” tanya Refans yang sangat takut anaknya dilecehkan.“Kakek itu marah ketika Rea panggil dia Kakek. Lalu mencengkram rahangku dengan sangat kuat, Pa!” ujarnya lagi. “Dia menunjukkan p3nisnya aku mau muntah!”Lira memeluk anaknya. Lalu ikut menangis. Kenapa laki-laki yang berouluh tahun dia anggap ayah. Namun, hari ini dia membuat anaknya ketakutan.Refans mengenggam tangannya. “Aku akan memecahkan kepalanya!”Mahra dan beberapa ustazah masih di sana. Mereka merasa sangat kasihan terhadap Rea. Gadis itu tentu saja
“Anak-anak udah pergi kan?” tanya Angga begitu keluar dari kamar mandi. Dia hanya membersihkan wajah di sana. Memperbaiki bajunya yang sudah acak-acak. Memang agak panas, adegan mereka walau hanya beberapa saa.“Udah Mas. Astaghfirullah kita hampir kecolongan sama anak-anak!” Mahra sejenak berhenti dari memakai riasan tipisnya lagi. Lipstiknya memang hilang total. Meskipun seorang istri konglomerat. Mahra selalu memakai liptik murah agar mudah dihapus waktu wudu.“Mas kok seperti belum siap anak-anak mergokin kita!” sahut Angga membenarkan celananya. “Pada tadi mau satu ronde aja!”“Sepertinya kita harus lebih berhati-hati lagi! Siang bukan waktu yang tepat untuk bercinta!” Mahra mengambil tas kecilnya. “Apalagi anak-anak kita sekritis itu Mas!”“Siap Nyonya Angga!” laki-laki anak empat itu menabik Mahra seperti Pembina upacara. “Tapi, kalau Mas nggak bisa nahan kalau kamu secantik ini!” tiba-tiba dia kembali mendekati istrinya. Cup. Sebuah kecupan mendarat di bibir Mahra. Bibir san
Mereka masih duduk di taman sambil melihat Alifa dan Alesya bermain kejar-kejaran. Sesekali mereka mencari semut yang bersembunyi di balik rumput.“Jadi kalian sekarang netap dimana?” tanya Angga, Entah kenapa, hatinya kini begitu ringan. Saat dia memulai membuka diri menjelma menjadi hangat pada Refans.“Iya, kami netap di Bandung. Aku baru mulai buka penginapan yang sudah terbengkalai! Lira juga bisa mudah ngontrol kosannya!” jelas Refans. Dia sangat senang, ternyata Angga memang bukan tipe pendendam sama seperti Mahra.“Jadi kamu Fans memang nggak balik lagi ke Swiss?” tanya Angga lagi.Refans menggeleng. “Begitu dapat kabar dari Renald kalau Mama dan Kak Lala keluar penjara dan Mama mengalami sakit keras. Aku langsung mengundurkan diri dari sana. Dan juga aku merasa sudah saatnya merawat Mama dan memulai hidup baru. Tabunganku juga sudah cukup untuk memulai sesuatu di negeri ini lagi!” ujar sambil tersenyum. Dia memang sangat bahagia dengan kehidupan sekarang.“Hemmmm syukurlah. S
“Aku heran kenapa Tuan Muda ngizinin perempuan gila tu ke sini lagi?” bisik para pelayan setelah mempersilahkan Lira dan Refans duduk di ruang tamu.“Iya, aku semacam kurang percaya meskipun perempuan itu sudah berjilbab!” sahut yang lain.“Barangkali dia pakek hijab supaya tuan sreg gitu sama dia!” mereka mengoceh bukan main di belakang. Memang sejak tadi sudah terang-terangan ingin mengusir Lira dari sana.“Eh nggak ada malu ya mereka lagi anaknya dititip di yayasan pula!” seru Rohmah.“Btw, itu suaminy?” tanya yang lain.“Iya, itu juga mantan suami Bu Mahra!” sahut Rohmah.“Ah biar betul kamu Mbak?”“Lho masak aku bohong. Sebelas tahun yang lalu. Viral seindonesia. Mbak Lira fitnah Bu Mahra rebut Tuan Muda darinya. Padahal kebalikan. Mereka yang selingkuh!” jelas Rohmah.“Memang ndak tahu malu mereka ya!” ujar yang lain. “Kalau kita mana berani muncul di sini lagi!”“Tapi kayak drama jodoh tertukar!” lalu mereka tertawa bersama.“Kalau Non Alifa dan Eca tahu mesti ditanya-tanya sam
Sudah dua jam, Mahra duduk di depan laptop. Menulis sebuah artikel. Selama beberapa tahun terakhir, dia membangun sebuah blogger parenting. Cukup berpenghasilan dan maju. Mahra sudah lama tidak menulis buku, karena anak-anaknya masih balita. Dia tidak ingin anak-anaknya kekurangan kasih sayangnya. Membangun blogger tidak begitu sulit dan menguras waktunya. Setidaknya dia masih menulis setiap 3 atau 2 kali seminggu.Dia menyisihkan sedikit waktu ketika putranya tidur atau bermain dengan orang lain. Seperti malam ini karena putra bungsunya sedang asyik bermain dengan Angga. Angga nampak piawai bermain dengan si bungsu yang baru bisa berdiri, bahkan sesekali sudah bisa mengangkat langkah dengan gemetar. Sedangkan ketiga anaknya lagi sedang belajar mengaji di mushalla rumahnya. Angga sengaja memanggil orang ke rumah. Ketiga anak itu punya guru yang berbeda. Berdasarkan tingkatan mereka belajar.Si kembar sudah belajar kitab kuning dan fasahah alquran. Sedangkan Alesya masih di iqra’. Sese
Proses lamaran Yatim berlangsung sempurna. Keesokannya, juga dilangsung lamaran abangnya. Mahra sangat senang menjadi bagian menyukseskan acara tersebut. Angga sudah memastikan tidak sesi foto bersama mereka. Karena takut tersebar di sosial media. Karena sosok istrinya cukup popular untuk masyarakat di aceh Besar dan Banda Aceh. Sangat sering, tiba-tiba Mahra diajak berfoto di tempat keramaian.“Nggak terasa Mas, kita sudah tua!” ujar Mahra saat pulang dari acara tersebut. Pikirannya melayang, saat menerima kedua anak yatim piatu tersebut. Kini mereka menjelma laki-laki yang gagah melamar gadis pujaan mereka. Keadaan ekonomi mereka terbilang sukses. Mereka punya usaha kelontong, dan air isi ulang di depan yayasan. Selain itu mereka juga mendapatkan pekerjaan di yayasan sebagai dewan guru.“Kira-kira apa hadiah yang cocok untuk mereka?” tanya Angga sembari menggemgam tangan sang istri.“Mahra mereka sudah cukup Mas, usaha juga sudah punya!” sambung Mahra.“Bagaimana kalau kita hadiahka
“Siapa sih baik banget mau bakar rumah itu?” tanya Randi setelah mereka di dalam mobil.“Entahlah, aku juga bingung!” Bian merebahkan tubuhnya. Randi terus membanting setir dengan cepat. Harap-harap segera bisa membawa Bian jauh dari Meri dan Rena. Bisa saja kedua perempuan itu kembali meminta Randi menikah dengan anak mereka yang gila.“Kita kemana bos?” tanya Randi.“Ke Bandung!” sahut Bian.“Bandung?” Randi menoleh sejenak.“Istri dan anakku sekarang di Bandung. Aku akan meminta pada Riana untuk bersembunyi di sana sebentar,” jelas Bian.“Oh oke bos.”Bian rasanya tidak sabar untuk sampai ke sana bertemu anak istri. Memeluk dan mencium mereka. Padahal baru tadi pagi mereka berpisah.Sedangkan di kediaman Meri. Semua orang kocar-kacir, tim pemadam kebaran sudah tiba. Polisinya juga sudah tiba. Tidak ada korban, tapi, Meri rugi jutaan rupiah. Banyak perabotannya yang rusak. Dia perlu uang renovasi sekitar dua ratus juga demi kembali merehap rumahnya.“Astaga Ren, aku nggak habis pik
Angga memastikan kalau bertamu adalah Yatim dan Yatam. Kedua laki-laki adik beradik itu duduk dengan sopan di depan istrinya. Bukan mudah masuk ke dalam rumah putih megah itu sekarang. Bahkan sekalipun orang-orang terdekat, mereka akan diperiksa dengan detail. Itu semua dilakukan Angga demi keselamatan anak istrinya. Laki-laki itu bernapas lega setelah melihat mereka.Begitu melihat Angga, mereka seraya bangun dan menyalami suami dari bunda mereka itu.“Sudah lama?” tanya Angga basa-basi setelah duduk berhadapan mereka.“Belum Mas. Tuh minum aja belum tiba!” jelas Mahra. Dia tidak sabar ingin mengatakan kedatangan mereka. “Mas lihat anakku yang tertua sudah mau nikah aja!”Angga menaikkan alisnya, seulas senyum kaget tercipta di sana.“Masha Allah, maaf ya Yatim Yatam. Selama ini, saya benar-benar sibuk sampai tidak sempat mampir-mampir ke tempat kalian. Dan juga maaf banget, sesusah itu sekarang kalian masuk ke sini bertemu bunda kalian ini!” jelas Angga.“Iya, Pak. Nggak apa-apa. K
Kepergian sang ayah, membuat Angga merasa ada ruang dihatinya yang kosong. Tidak ada lagi tempat dia bercerita tentang keluh kesahnya dalam mengelola perusahaanya yang besar. Mahra sering melihat suaminya berlama-lama di kamar ayahnya hingga tertidur. Dia pun mengalami kenyataan pahit, kehilangan mertua yang sangat mencintainya.Mahra masih terngiang. Tepat beberapa hari yang lalu saat Mahra menyuapkan makan siang untuk sang mertua.“Mahra!” panggil Pak Muhar dengan lemas.“Terima kasih!” tambahnya detik kemudian.Mahra menautkan alisnya.“Kenapa ayah?” tanya Mahra bingung.“Terima kasih sudah hadir dalam hidup ayah. Memberikan ayah cucu! Dan teman hidup untuk angga!” jelasnya lagi suaranya sudah sangat lemas.“Mahra yang bersyukur ayah. Mahra beruntung memiliki Mas Angga!” ucapnya setelah memotong telur rebus untuk disuap.“Mahra, sebelum menikah Angga hanya punya ayah seorang keluarga intinya. Sekarang ayah bisa melihat kebahagiaanya!” tambah Pak Muhar.Mahra tersenyum. “Semoga Mah
Masih seperti dua puluh tahun yang lalu. Sesibuk apapun Angga, dia selalu menyempatkan mengurus ayahnya. Meskipun sekarang anak istrinya membantu. Namun, setiap dua kali sekali selalu memastikan ayahnya baik-baik saja.Pagi hari efektif, penghuni rumah mewah itu sangat sibuk dengan agenda masing-masing. Mahra yang sibuk membereskan keperluan anaknya yang hendak berangkat sekolah. Mahra tidak membiarkan hal-hal kecil seperti memastikan buku-buku dan keperluan anaknya ke sekolah dilewatkan anaknya. Padahal ada banyak pelayan di rumah itu. Pagi hari seperti ibu pada umumnya. Dia memastikan anak-anak bangun cepat. Salat subuh berjamaah, baca alquran bersama lalu olahraga. Semua itu selalu tidak terlewatkan oleh anak-anak Mahra. Bahkan anak-anak ini terkesan seperti tinggal di asrama.Begitu azan berkumandang, di yayasan. Mahra sigap membangunkan anak-anak dan suami.“Anak-anak bangun kita salat subuh!” begitu terdengar Mahra di subuh hari.Angga selalu mengimani anak istrinya salat subu
Bian terbangun saat suara ponsel sang istri mengganggunya. Dia tidak melirik ke sana. Justru memandang sang istri dengan tenang.“Boleh, saya bicarakan sesuatu?” tanya Riana setelah berdiri di samping Bian.“Apa?” sahut Bian dengan ketus, wajahnya sama sekali tidak berpaling dari buku yang dia baca.“Ini tentang ibu dan adik-adikku,” ujar Riana sambil meremas ujung piyamanya.“Duduk,” perintah Bian.Riana duduk di ujung tempat tidur.“Katakan!” tanya Bian sambil menutup bukunya.“Mila dan Dewi sudah lama berhenti sekolah, kontrakan di sana juga sudah habis. Kalau …..” ucapan Riana langsung terpotong.“Aku akan mendaftarkan Mila di pesantren terpadu, Ibu dan Dewi bisa tinggal di salah satu ruko kosong milikku,” sambung Bian.“Benarkah?” tanya Naina kegirangan.“Aku tidak pernah berbohong,” ujar Bian sambil memandang Riana dengan tatapan tajam. “Aku sudah janji akan memberikan kehidupan yang layak untukmu dan keluargamu.”Riana tertunduk dalam, dia ketakutan melihat Bian yang menatapnya
Mahra mengadakan rapat bulanan di yayasannya. Untuk mendengar permasalahan demi permasalahan di yayasan Mata Hati tersebut. Para dewan guru, para pengasuh, tenaga kebersihan dan tenaga keamanan menyampaikan segala hal mengenai kejadian di lapangan.Yayasan tersebut memiliki pengeluaran rutin setiap bulan 300.000.000. Gaji pegawai biaya makan kebersihan, listrik dan semua tata kelolanya. Uang tersebut diambil dari pendapatan properti dan rumah makan serta hasil sewa ruko-ruko yang disewakan.Angga dan Mahra memiliki 3 rumah makan, dua penginapan serta dua belas ruko yang disewakan. Semua hasil pendapatan dari properti tersebut diperuntukkan untuk yayasan. Makanya yayasan tersebut tidak pernah minus anggaran. Apalagi ada sejumlah investor yang menyumbang tidak sedikit. Maka tidak dapat dipungkiri yayasan anak yatim piatu itu menjelma menjadi yayasan pendidikan yang bergengsi. Gedungnya megah, tenaga guru-gurunya berkualitas bahkan siswanya sangat cerdas-cerdas.Meskipun harga saham peru
Setelah Sembilan bulan dari acara ulang tahun Abda Nasution yang sangat mengheboh jagad dumai. Bian mendapat kabar kalau buku biografi ayahnya sudah terjual banyak. Dan sudah dibuka pre-order lagi untuk cetakan ketiga, sudah dipesan ribuan orang. Buru-buru Bian menghampiri Riana yang sedang memasak di dapur. Dengan tawa sumringah, Bian berujar.“Buku Ayah sudah dipesan ribuan orang.”“Keren sekali,” sahut Riana dengan ceria.“Semua ini karena kamu. Thanks, ya,” tambah Bian .Riana mengangguk pelan, sambil memamerkan tawa sumringahnya.“Sudah masak?” tanya Bian sambil mengelus perutnya sendiri.“Belum, sebentar lagi ya,” sahut Riana.“Oke, aku siap-siap dulu kalau gitu,” ucap Lian sambil beranjak meninggalkan istrinya.Bian kembali ke kamarnya. dia sangat bangga kepada istrinya itu. Tidak sia-sia dia memperistrikan Riana. Meskipun ada satu yang masih membuat dia tertahan untuk menyentuh sang istri, memberikan napakah lahir batin.Di perpustakaan mini yang membatasi kamar Bian melihat h