Bagian 21 Kawanan Kera “Kamu kenapa?” Maya menoleh ke belakang, setiap sebentar Andra berhenti dan memegang dadanya di sebelah kiri. “Nggak apa-apa. Jalan aja terus. Hari udah siang. Setengah perjalanan aja belum kita lewati.” Pemuda itu berjalan dengan memejamkan mata setiap sebentar. Nyeri itu semakin menjadi saja ketika purnama hampir sempurna nanti malam. Biasanya ia hanya mengurung diri di kamar, meringkuk di karpet bulu sampai pagi datang dan nyerinya reda sendiri, begitu terus setiap bulannya. “Jauh banget, ya, ampun, hampir putus kakiku kalau gini terus. Mana perut lapar lagi,” gerutu Maya sendirian. Andra hanya menggeleng saja. Perempuan siluman di depannya terus-menerus lapar padahal baru saja menelan beberapa ekor ikan lebih banyak dari dirinya. Andra menahan nyeri dengan mencoba berjalan lebih cepat. Mungkin ketika sampai di puncak ia bisa meminta bantuan sang penguasa agar ia tak selalu kesakitan setiap bulannya. Namun, benarkah Damar bisa menolong, mengingat harimau
Bagian 22 Puncak Bukit Buas Maya masih menyemburkan sisa-sisa racun di mulutnya. Beberapa anak kera yang terkena bisa beracun tersebut kulitnya langsung melepuh dan perlahan-lahan mati.“Ayo cepat lari.” Bergantian Maya menarik tangan Andra untuk naik. Hari sudah sore, sedangkan puncak bukit masih belum terlihat. “Kalau begini caranya kapan kita sampai. Duh, ya ampun aku nggak mau jadi ular seumur hidup.” Maya memperhatikan sisiknya yang semakin banyak. Kini sudah sampai di pipinya meski belum penuh. Andra berpikir sejenak, secara logika memang mereka tak akan pernah sampai di puncak walau berjalan tanpa henti. Ia pun tak bisa mengharapkan bantuan ayahnya, sebab tabir gaib yang dibuat Damar telah ia rasakan. Putra semata wayang Ana itu hanya bisa mengandalkan diri sendiri saja. Dahan-dahan pohon itu begitu kokoh dan tua, ia yakin sangat kuat untuk dipijak. “Ayo, kita harus bergerak cepat. Nanti malam kalau jantungku udah sakit, kita nggak bisa ke mana-mana lagi.” Andra mengulurk
Bagian 23 Darah Yang Tumpah Maya dan Andra saling melihat satu sama lain. Ada banyak harimau berkumpul di sana, tapi tidak ada yang berani duduk di singgasana yang terbuat dari kayu hutan dan ada ukiran harimau berlapis emas. Semuanya terlihat menunggu dengan tenang. Dua makhluk setengah siluman itu tak berani mengganggu. Mereka hanya melihat saja. Tak luput mata unik Maya melihat dua ekor ikan dengan tubuh manusia di dalamnya. Pola melingkar seperti ular ada di sana. Bau anyir darah pun tercium dengan jelas. “Kenapa aku ngerasa ikan-ikan ini butuh darah, ya?” bisik Maya di telinga Andra. “Ya sama, makanya kita seperti antar nyawa ke sini.” Usai mengucapkan kata itu. Anak manusia harimau tersebut langsung memegang jantungnya. Debarnya terasa sakit dan nyeri bukan main. Ia tak menjerit hanya menahannya saja, lalu duduk di dekat pola melingkar. Semakin beringas dua ekor ikan peliharaan Damar. Ia sudah lapar dan menantikan darah separuh siluman yang akan tumpah dan menjadi makanan un
Bagian 24 CerewetDebu yang berpendar di udara itu terus turun dari puncak bukit. Mengikuti arah angin, menembus pepohonan, melewati beberapa kawanan binatang, sungai, danau dan beberapa sarang hantu, hingga debu tersebut sampai ke hutan bambu. Candra telah menanti di sana, mata tujuh warnanya bersinar terang. Debu itu kemudian masuk ke dalam tubuh yang telah dibungkus akar bambu selama tiga hari. Ular tujuh warna itu kemudian mengubah wujudnya menjadi seorang perempuan cantik. “Bangunlah.” Candra menyentuh tubuh Kanaya yang telah menyatu kembali. Saat itu juga Nay sadar, matanya mengerjap dengan cepat melihat perempuan cantik di depannya. Ia tahu itu siapa, sedikit pun kejadian selama tiga hari tak ia lupakan. Semuanya ia ingat termasuk siapa Andra. “Kau beruntung masih diberi ampunan oleh tuanku. Sayangnya, kau sekarang telah berbeda.” Candra mengulurkan tangannya, ia membantu Nay berdiri. Dua perempuan itu sama tingginya. Ada beberapa perubahan pada diri Nay yang tak gadis itu s
Bagian 25 Pertemuan Ana dan Bagus masih mengenakan selimut yang sama. Mereka baru saja melewati dinginnya cuaca di bukit dengan berbagi kehangatan dan peluh bersama. Ya, dua insan yang terpisah sekian lama rasanya tak pernah puas membuat ranjang kapuk itu berderit berkali-kali. Meski baru saja dirapikan, harus robek lagi karena keganasan keduanya yang sama saja liar. Manusia harimau itu duduk termenung. Ia memikirkan rencana kepergiannya berdua bersama Ana. Ia tahu ancaman harimau putih tak main-main padanya. Sedangkan putranya belum juga kembali. Setidaknya ia bisa bertemu walau sebentar saja. Memang sulit, tapi pilihan harus diambil. Bagus hanya berharap putranya mengerti akan keputusan yang harus diambil. “Melamun aja. Aku masak dulu, ya. Tiga hari udah lewat, mungkin Andra bakalan kembali sama Maya dari puncak bukit. Tadi malam bulan purnama, semoga dia nggak terlalu sakit,” ujar Ana sembari membuyarkan lamunan lelaki di sebelahnya. “Sakit apa?” tanya Bagus padanya. “Katanya
Bagian 26 Dengki Damar memperhatikan keluarga yang sedang berkumpul bersama itu dan sedang menceritakan tentang dirinya masing-masing. Ia merasa peringatannya untuk segera meninggalkan Bukit Buas diabaikan. Ia tak terima, lebih tepatnya, iri. Tak banyak wanita yang tahan hidup dengannya sebab terlalu buas, ganas dan tanpa ampun. Hanya Candra yang setia menemani Damar. Namun, siluman ular itu hanyalah bawahannya yang berdarah panas saja, tidak pernah lebih. Sejak dulu, sejak menjadi manusia biasa, Candra sudah menaruh hati padanya. Sayangnya, tidak ada jalan yang tepat bagi Candra untuk menjadi manusia harimau betina. Kebanyakan mati karena tak tahan dengan panas darah yang sering menggelegak. “Menarik juga, wanita itu mati, lalu manusia harimau itu juga mati. Permainan yang sangat mengagumkan.” Damar hengkang dari singgasana kayu berlapis emasnya. Ia turun ke bawah bukit, tapi tidak terburu-buru, selangkah demi selangkah dengan empat kakinya. Memberi waktu pada keluarga siluman itu
Bagian 27 Keputusan Damar memandang dari hutan bambu bagaimana Bagus membujuk Ana agar pergi dari wilayah itu. Namun, wanita tersebut menolak bahkan berkeras hati untuk tak berpisah dengan Andra. Tersenyum Damar dengan penolakan Ana. Saatnya bagi manusia harimau putih itu untuk mempermainkan dua pasangan tersebut. Ia menghilang dari hutan bambu dengan cepat. Lalu tiba di depan Ana hingga wanita itu terkejut dan nyaris berhenti jantungnya. Damar goreskan kukunya yang runcing di leher Ana lalu menghilang, meninggalkan Bagus seorang diri yang tengah memegang lukanya juga. “Ana,” panggil Bagus sembari menutupi luka di lehernya. Ia menoleh ke sana kemari. Orang-orang sedang ramai, lelaki itu tak boleh dikuasai amarah lalu asal berubah menjadi harimau. Ia menarik tangan salah seorang pejalan kaki yang mencoba merekam kejadian itu. “Katakan rumah sakit di mana!” Bagus menatap mata orang itu dengan mata kuningnya, sekaligus mempengaruhi pikirannya agar tak merekam kejadian apa pun. “Jawa
Bagian 28 Darah Panas Andra hidup menyendiri di desa itu, tak ada yang menemani, lalu ia hanya menyapa warga ketika berjumpa saja, selebihnya ia benar-benar habiskan waktu dengan menjelajahi isi hutan, membawa pulang kucing-kucing yang butuh pertolongan. Melempar pemburu yang mencoba mengusik wilayah tempatnya tinggal. Alasan mengapa Damar menawan Andra di sana ialah karena pemuda itu tanpa diminta pun suka membersihkan wilayahnya dari kekacauan. Bahkan tanpa menjadi manusia harimau sejati sekali pun. Kepedulian pemuda itu memang cukup tinggi dibandingkan yang lainnya. Sore itu ia berenang di dalam kolam ikan, bersama ratusan ikan yang sudah mulai ia isi kembali. Ia tangkap hanya dengan kedua tangannya. Ia bersihkan dan bagikan mentah-mentah pada semua piaraannya. Dirinya sendiri sedang mencoba membakar ikan, mencoba rasa baru seperti yang pernah dilakukan Nay. Kebun bunga milik Ana, jangan tanya lagi, rumput-rumput sudah mulai tumbuh. Begitu cepat tinggi, padahal mereka baru sebu
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi