#Sepupu _dari_Kampung
Bab 4Anak gadismuHari menjelang malam. Pakde dan Budhe barusan pergi. Sebuah mobil menjemput mereka. Entah pergi kemana, Riri tidak tahu. Biasanya, Pakde akan berpamitan padanya kalau pergi. Tapi, tadi sepertinya Pakde tergesa.Riri menaiki tangga ke lantai atas. Dia mau ke kamar Neni, menyampaikan pesanan Ega tadi. Pelan, Riri mengetuk pintu kamar Neni. Gadis itu seharian tak keluar kamar. Mungkin Neni lagi sakit ... Atau hamil? Eh!Karena tak ada jawaban, Riri memberanikan diri masuk. Suara air dari kran kamar mandi terdengar. Pantas saja dia nggak denger saat diketuk pintunya. Riri berdiri di ujung dipan, menunggu Neni keluar. Sesaat kemudian, suara air kran mati.HuweeeeekHuweeeeekSuara seperti orang muntah, seketika Riri terdiam. "Apakah benar Neni hamil?" Pikiran Riri jadi kemana-mana. Apalagi dengan testpack yang dia pegang ini. Semakin membuat Riri curiga.Ceklek!Pintu kamar mandi terbuka. Wajah Neni menyembulkan dari dalam. Seketika Neni kaget melihat Riri ada di kamarnya."Ngapain kamu di sini?!" Bentak Neni sambil melotot. Riri tersenyum takut."Ini ada titipan dari Mas Ega ..." Tangan Riri menyodorkan plastik kecil berisi testpack. Bergerak maju, Neni dengan cepat merebut plastik dari tangan Riri."Permisi, Mbak," Riri berbalik badan."Tunggu!" Tangan Neni menahan lengan Riri dengan mencengkeramnya erat. Wajah Riri kesakitan."Tutup mulut! Ngerti?!""Iya, Mbak."**Duduk berhadapan di ruang tamu yang megah ini, Purwanto dan Sania tampak tegang. Pak dan Bu Hendri yang duduk di depan mereka, mengawasi seperti pesakitan."Maaf, Pak ... Kiranya ada keperluan apa, saya dipanggil ke sini?" Purwanto akhirnya bertanya."Bagaimana dengan kewajibanmu melunasi kewajiban? Tanggungan utang, maksudnya."Purwanto dan Sania terdiam. Terutama Purwanto yang menyadari bahwa seluruh hartanya tidak akan mampu melunasi hutangnya."S_saya minta waktu, Pak," Purwanto memohon. Setidaknya dengan minta tempo, dia bisa mencari uang dulu. Ada beberapa proyek kecil yang bisa dia kerjakan."Berapa lama?""Satu tahun, Pak ... Saya janji akan melunasi semuanya."Hhh! Pak Hendri membuang nafas kasar. Ditatapnya Purwanto yang menunduk."Satu tahun terlalu lama. Kuberi waktu satu bulan.""Tolong, Pak, saya tidak mampu kalau secepat itu ..." Purwanto mengatupkan kedua telapak tangannya, memohon.Pak Hendri bergeming. Sebagai businessman, dia memang harus tega dalam menjalankan aturan. Itu lah kunci, kenapa dia bisa jadi pengusaha sukses. Jujur dan disiplin itu kuncinya."Tidak ada pengecualian untukmu, Pur! Tapi, mungkin kau bisa berbicara dengan istriku untuk mencari solusi." Pak Hendri melirik istrinya yang sedari tadi menyimak pembicaraan."Bu Anya, tolong saya ..." Pinta Purwanto pada Anya, istri Pak Hendri. Perempuan cantik itu tersenyum separo."Menolong itu, ada syaratnya. Tidak gratis, apa kamu mau?""Katakan saja, Bu. Saya akan berusaha memenuhi syaratnya." Tanpa pikir panjang, Purwanto mengangguk. Anya kembali tersenyum. Kali ini, senyum kemenangan. Dia berhasil menguasai Purwanto."Kudengar kau punya anak perempuan, Pak Pur?""I_iya, Bu. Anak saya dua perempuan semua." Purwanto dan Sania saling melirik. Berusaha menebak arah pembicaraan Anya."Ceritakan tentang anakmu!" Anya menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Pak Hendri sibuk dengan ponselnya.Melalui isyarat mata, Purwanto menyuruh istrinya untuk menjawab pertanyaan Anya."A_anu Bu, anak saya yang pertama namanya Neni Kusumawati. Usianya dua puluh tahun, masih kuliah, sebentar lagi selesai. Yang kedua, Rani Sulistyowati, masih kelas dua SMA." Dengan tergagap, Sania menceritakan tentang kedua anaknya. Anya mengangguk-angguk."Lihat fotonya!""Ada, Bu, sebentar ..."Sania mengeluarkan ponsel. Masuk ke galeri, Sania mencari foto Neni dan Rani yang sedang berduaan. Setelah ketemu, dia berikan ponsel kepada Anya."Ini, Bu, anak saya cantik semua," ucap Sania tersenyum malu-malu. Anya mengambil ponsel itu dan melihat foto kedua anak Sania."Ini, Mas?"Anya bergeser mendekati Suaminya. Pak Hendri mengalihkan pandangan pada ponsel di tangan istrinya. Sejenak keduanya menatap foto itu."Yang ini?" Anya menunjuk."Terserah kamu saja," jawab Pak Hendri. Pur dan istrinya semakin bingung, melihat Bossnya saling berbisik sembari melihat foto anak mereka. Anya mengembalikan Ponsel pada Sania."Baik lah, langsung saja. Saya akan meminta anak gadismu yang besar untuk menikah dengan Zian!"Menikah dengan Zian? Purwanto tertegun. Tanpa sadar, kepalanya menggeleng."Kenapa, kau menolak?!" Pak Hendri menatap tajam."B_bukan, Pak ... Tapi, biarkan saya berbicara dulu dengan anak saya. Biar dia yang memutuskan," jawab Purwanto gugup. Raut wajah Sania pun berubah tegang."Aku tidak memberimu tawaran! Aku meminta anak gadismu, sebagai pengganti utangmu!" Anya menunjuk muka Purwanto. Pak Hendri mengangguk, membenarkan omongan istrinya.Purwanto dan istrinya tak berkutik. Pilihan yang sulit. Memiliki hutang memang membuat seseorang menjadi tak punya harga diri.Zian adalah anak lelaki satu-satunya Pak Hendri. Dia bukan sosok pria baik-baik. Anaknya bengal. Beberapa kali terlibat urusan dengan polisi. Usianya sudah dua puluh empat, tapi masih kekanakan, kurang bertanggung jawab. Bahkan Zian juga belum dipercaya Pak Hendri untuk memegang perusahaan, meskipun hanya anak perusahaan.Terakhir, Zian ditangkap polisi karena terkena razia narkoba. Ditemukan dua butir pil psikotropika di mobilnya. Meski Zian menyangkal itu miliknya, tapi polisi tetap menahannya. Dulu juga pernah, ditangkap polisi karena kasus pengeroyokan. Pokoknya Zian itu, kelakuannya nggak bagus. Mana ada orang tua yang merelakan anak gadisnya menikah dengan pria seperti itu, meskipun dia kaya. Takut disakiti, di KDRT, di sia-sia, atau bahkan diduakan."K_kenapa tidak dijodohkan saja dengan perempuan lain. Maksud saya, teman wanita Zian kan banyak, Bu?" Sania bertanya dengan takut-takut."Aku ingin, Zian menikah dengan perempuan baik-baik. Pengaruh lingkungannya yang membuat Zian bertabiat buruk. Wanita di sekitar Zian, sama saja dengannya, biang dugem." Jawab Anya. Sebagai Ibu, Anya yakin anaknya tidak seburuk sangkaan orang. Zian hanya salah bergaul. Setelah peristiwa terakhir, Anya dan Hendri memutuskan untuk mengeluarkan Zian dari lingkungan teman-temannya yang membawa pengaruh buruk.Menurut Anya dan Hendri, menyadarkan Zian adalah dengan memberinya tanggung jawab. Siapa tahu, dengan menikah, Zian akan menjadi lelaki yang bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya kelak. Banyak kasus, lelaki bertobat setelah memiliki anak. Harapan Anya dan Hendri pun begitu. Kebetulan, Anya dan Hendri tahu, Purwanto memiliki anak gadis. Gadis baik-baik, gadis rumahan dan berpendidikan. Cocok buat Zian."Bilang pada anakmu, bulan depan, pernikahan dilaksanakan!"Bersambung#Sepupu _dari_KampungBab 5Dijodohkan"Sumpah, Ma ... Itu barang bukan punya Zian!"Hendri dan Anya duduk dan diam. Mendengarkan cerita anaknya yang beru saja bebas, setelah menjalani hukuman di pusat rehabilitasi selama beberapa bulan. "Lalu, kenapa urine-mu positif?" Hendri menatap anaknya. Zian jadi blingsatan, tak bisa menjawab. "Jadi gini, Pah ... Zian ini cuma pemakai. Bukan pecandu, pengedar, apalagi bandar." Zian berusaha mencari celah untuk membela diri. Selama ini, bila Zian terkena kasus, Mama dan Papanya biasa saja, tak pernah semarah ini. Hanya saja, setelah Zian tersandung kasus narkoba, Mama dan Papanya menjadi sangat marah. "Kali ini, Mama sama Papa nggak akan mengampuni kamu lagi, Zian!" Anya mendelik pada anak lelaki satu-satunya itu. Kesal sudah hatinya dengan kelakuan Zian. "Slow, Mah ..." Zian melirik sambil tersenyum pada Mamanya. Zian tahu kelemahan Mamanya. Tinggal menampilkan wajah manis dan senyum saja, Mamanya pasti luluh. "Nggak ada slow! Bila perlu,
#Sepupu _dari_KampungBab 6PositifNeni memejamkan matanya. Dadanya berdebar-debar. Di tangannya ada sebuah testpack yang sudah terpakai. Neni sangat tegang untuk mengetahui hasilnya. Sengaja dia dan pacarnya, Ega, menyewa kamar hotel hanya untuk melakukan tes kehamilan ini. Neni merasa bingung harus melakukan tes di mana. Kalau di rumah, takut ketahuan Ibunya. Kalau di tempat kontrakan Ega, banyak temannya, karena Ega mengontrak rumah patungan dengan beberapa teman kampusnya.Pelan, Neni membuka mata. Sorotnya langsung tertuju pada benda putih yang dia pegang. Nafas Neni memburu, tubuhnya bergetar menatap garis dua terpampang di benda putih itu. "Dua garis ... Positif ..."Lemas badan Neni. Huhuhu gadis itu menangis sesenggukan. Kebingungan menguasai pikiran gadis belia itu. Bagaimana dia harus bilang pada orang tuanya? "Pasti Mama sama Papa marah! Aduh gimana ini?" Neni menggigit bibirnya. "Ega!" Keluar dari toilet, Neni memanggil kekasihnya yang sedang rebahan dan menonton te
#Sepupu _dari_KampungBab 7Fatal"Ini kah tempatnya?""Iya,""Kau yakin?" "Tentu saja, aku sudah bertanya pada temanku." Ega memberhentikan sepeda motornya tidak jauh dari sebuah rumah berpagar besi tinggi. Jendela rumah itu, tertutup korden semua. Halamannya tak terawat. Rumput liar tampak memanjang. Sepintas seperti bukan rumah tinggal. Beberapa sepeda motor terparkir di garasi rumah itu. Ega membuka kancing helm, kemudian mengajak Neni turun. "Ayo!" Ajak Ega pada kekasihnya. Neni tak segera mengikuti Ega. Gadis itu ragu. "Aku takut, Ga!" Wajah Neni menegang. Ega menghampiri gadis cantik berkulit putih itu. "Nggak usah takut, ada aku." Tangan Ega, menarik Neni. Neni pun mengangguk. Dia berusaha menepis rasa takutnya. Fokus pada niatnya kemari, itu saja. Berjalan lurus memasuki garasi itu, mereka melewati sebuah taman. Setelah itu ada pintu ke samping. Ega membukanya. Wow! Ternyata, di dalam ruangan ada beberapa orang yang duduk-duduk di kursi. Menilik dari deretan kursi yan
#Sepupu _dari_KampungBab 8Runyam"Neni belum pulang?" Sania bertanya kepada Rani saat mereka berada di meja makan. Keluarga Purwanto sedang bersiap untuk menikmati santap malam bersama. "Belum, Ma." Gadis abege itu menjawab sembari menggelengkan kepalanya. "Apa nggak telepon kamu?" Purwanto, sang Papa menoleh padanya. Rani menggeleng lagi. "Tumben belum pulang, ya. Sudah setengah tujuh juga," Sania menarik kursi dan duduk di samping Suaminya. "Ya sudah, kita makan duluan saja." Sania menyendok nasi dan diberikan pada piring Suaminya. Tak biasanya Neni pulang terlambat. Biasanya sore hari dia sudah sampai di rumah. Keluarga ini biasa makan malam bersama. Sania dan Purwanto sangat yakin, kedua putrinya adalah anak yang baik. Neni dan Rani rajin ke sekolah. Mereka selalu mendapat ranking dari SD. Pulang sekolah langsung ke rumah. Tidak pernah membolos, berulah negatif, atau mengikuti kebiasaan jelek temannya. Terutama Neni. Purwanto sangat bangga dengan sulungnya itu. Sebentar l
#Sepupu _dari_KampungBab 95000Malam itu, di keluarga Hendri Susilo sedang makan malam. Hendri, istrinya Anya dan putra tunggalnya Zian."Gimana tadi kamu meninjau proyek dengan Pak Anwar, Zi?" Hendri bertanya pada Zian yang sedari tadi diam. Biasanya anak itu cerewet menggoda Mamanya. Semenjak akan dinikahkan, Zian jadi rada pendiam. Mungkin dia tak suka."Bagus."jawab Zian singkat."Bagus gimana, ngerti nggak, kamu?" Kembali Hendri bertanya."Proyeknya lancar, nggak ada kendala. Kualitas bangunan juga bagus," tangan Zian mengambil paha ayam goreng lalu menggigitnya. Anya melirik."Mengerti kan kamu?""Kecik lah, Zian ini Sarjana Tehnik Sipil, Pah. Harusnya langsung jadi Direktur." Zian tertawa. Hendri tersenyum kecil. Biar pun bengal, Zian ini berhasil meraih gelar sarjananya. Hanya saja, sampai saat ini belum pernah mengamalkan ilmunya."Sudah, Pah, kita lihat hasilnya saja nanti." Anya berdiri, dan berjalan ke dapur."Kalau kamu sudah menikah nanti, Papa akan kasih kamu proyek.
#Sepupu _dari_KampungBab 10Masih ada anakDua hari dirawat di rumah sakit, Purwanto sudah diperbolehkan pulang. Dia hanya terkena serangan ringan. Tapi, Neni masih harus tinggal di rumah sakit. "Pah, kita harus segera menikahkan Neni dengan pacarnya itu, kalau tidak, dia nanti kabur!" Sania berbicara dengan emosi. Perempuan paruh baya itu masih syok dengan kenyataan yang menimpa anaknya. "Iya, Ma ... Kemaren, anak itu sudah menelepon orang tuanya di depanku. Mereka akan segera datang ke Jakarta untuk menikahkan anaknya dengan Neni.""Kita kecolongan, Pah!" Wajah Sania ditekuk. Sungguh dia sangat kecewa dengan Neni yang sudah membuat aib keluarga. "Sudah lah, Mah, mau bagaimana lagi? Yang penting, pihak lelaki mau bertanggung jawab. Papa malah kepikiran yang lain ...""Apa itu, Pah?""Tentang perjodohan Neni dengan Zian. Seperti yang diminta Bu Anya." Purwanto menarik nafas panjang. Sania membisu. Kehamilan Neni yang di luar nikah, seperti tamparan baginya. Anak yang dia banggakan
#Sepupu _dari_KampungBab 11Calon pengganti"Siapa, Pah?" Sania masih belum mengerti siapa yang dimaksud Suaminya sebagai 'anak' lain. Jelas saja, selama ini kan Sania tidak pernah menganggap Riri sebagai anaknya. Meskipun dia tahu, Riri adalah gadis yatim piatu. Bahkan, Sania tidak memperlakukan Riri sebagai keponakan. Sehari-hari, Riri dijadikan pembantu, demi menghemat pengeluaran. Kalau ada Riri, kenapa harus ada pembantu? Begitu prinsip Sania. Hendri dan Anya menatap Purwanto tak berkedip. Permainan apa lagi yang akan digelar Purwanto, begitu yang ada dalam benak kedua orang itu. Setahu Anya dan Hendri, anaknya Purwanto itu ya cuma dua. Sekarang dia halu mengatakan masih memiliki satu buah hati lagi. "Apa maksudmu, Pur?" Pak Hendri angkat bicara. Dia tipe orang yang tidak suka bertele-tele. Kalau sampai Purwanto mempermainkan dia, akan dia sita rumahnya saat ini juga. Pun Anya, perempuan cantik ini bergeming, seolah sedang menunggu kalimat berikutnya dari mulut Purwanto."R
#Sepupu _dari_KampungBab 12Balas budi"B_balas budi bagaimana, Budhe?" Riri berdiri mematung. Dadanya berdegup lebih cepat. Maksud Budhe Sania apa, Riri tidak tahu. Riri hanya takut diusir. Perasaan Riri bilang dia tidak pernah membuat kesalahan. "Duduk!" Titah Sania. Dengan ragu, Riri menempelkan sedikit bokongnya di bibir tempat tidur. Bersebelahan dengan Sania. "Berapa lama, kamu sudah tinggal di sini, Ri?""Enam bulan, Budhe ...""Enam bulan itu lama tahu! Bayangkan, berapa duit yang sudah aku keluarkan untuk biaya hidupmu tiap hari?""Makan sehari tiga kali, tidur gratis di kasur, odol, sabun, shampo, gratis semua! Hitung saja, berapa itu semua?""Iya, Budhe ..."Tenggorokan Riri rasanya tercekat. Suaranya parau menahan tangis. Tak menyangka, Budhe Sania akan mengungkit-ungkit semuanya. Bukan kah dulu dia ke sini yang ngajak Pakdhenya, untuk dicarikan kerjaan yang nyatanya zonk hingga kini."Aku tidak akan meminta ganti uang padamu, Ri, ... Meskipun itu kalau dihitung uang,