#Sepupu _dari_Kampung
Bab 3Masalah"Pah, kenapa beberapa hari ini kok Papa jadi lebih pendiam, kenapa? Tanya Sania pada Purwanto Suaminya.Purwanto menghela nafas. Memang akhir-akhir ini, pikirannya tak tenang. Penyebabnya adalah, dia bingung dengan keputusan Pak Hendri yang telah memutuskan kontrak kerja dengannya. Sesuai kontrak kerja yang telah disepakati, apabila perusahaan Purwanto gagal memenuhi deadline, maka dia harus membayar denda dan semua kerugian. Purwanto bingung harus mendapatkan uang dari mana. Utang yang harus dia tanggung, jumlahnya tidak main-main. Puluhan Milyar!"Aku sedang bingung, mah ..." Ucap Purwanto akhirnya. Dia memang harus bicara dengan istrinya."Kenapa?" Sania mendudukkan pantat di tepi tempat tidur, sebelah Suaminya."Perusahaan Pak Hendri memutuskan kontrak. Kita terkena penalti, Ma. Aku harus mengganti semua denda dan kerugian yang terjadi." Ucap Purwanto dengan lesu."Hah! Kok bisa, Pah?" Ujar Sania kaget."Aku tidak bisa menyelesaikan sesuai deadline yang ditentukan, Ma. Itu sebabnya aku terkena penalti dan harus membayar ganti rugi." Purwanto menepuk jidatnya."Kita mau bayar pakai uang apa, Pah?" Sania berteriak panik. Terbayang di benaknya uang milyaran untuk mengganti rugi Pak Hendri."Aku sedang memikirkannya. Tanah di desa sudah aku tawarkan untuk dijual. Tapi, harganya tidak sampai 1 M. Masih kurang banyak. Rencana tanah yang di Bogor juga akan aku jual, Ma.""Wah! Habis dong tanah kita, Pah?" Sania tampak kecewa."Huh, itu pun sepertinya masih kurang, Ma." Gumam Purwanto lirih."Masih kurang? Terus gimana Pah?" Netra Sania melotot melihat Suaminya. Purwanto menatap lurus ke depan."Aku mau minta tolong padamu, Ma ...""Apa?""Kau jual dulu perhiasan emas, permata dan berlian milikmu untuk menutup hutang ini," Purwanto menatap istrinya dengan pandangan memelas. Kembali mata Sania membelalak. Menjual perhiasan emas dan permata miliknya? Yang benar saja! Tentu saja Sania akan menolak mentah-mentah. Perhiasan itu adalah gengsinya, harga dirinya ada di materi yang dikenakannya itu. Apa kata teman-teman hedonnya nanti? Pasti dia akan dicemooh dan dihina kere alias bangkrut. Meski kenyataannya begitu."Ah! Aku tidak mau, Pah!" Sania menggeleng kuat."Tolong lah, Mah. Nanti kalau ada rejeki kita beli lagi."Sania tetap menggeleng. Membuat Purwanto menjadi frustrasi. Bagaimana lagi caranya mendapatkan uang. Istrinya sama sekali tidak mau bekerja sama."Kalau begitu, terpaksa aku akan menjual rumah ini!" Ucap Purwanto sembari menatap Sania."Menjual rumah gimana?! Terus kita mau tinggal di mana? Pakai otak Pah kalau ngomong. Emang kita mau jadi gelandangan?!" Sania mendelik dan marah-marah pada Suaminya. Purwanto terhenyak mendengar omelan istrinya yang tak ada akhlak ini."Kamu ini keterlaluan, Mah! Hanya mau saat aku senang saja. Sekarang aku susah kau tidak mau membantu malah mengomel dan mengataiku nggak punya otak! Apa maksudmu?!" Purwanto terengah-engah. Dia mulai sesak nafas. Lelaki itu memang memiliki riwayat penyakit jantung."Cari cara lain, Pah. Jangan sampai menjual rumah dan perhiasanku pokoknya."Purwanto mengelus dadanya yang terasa nyeri. Ternyata percuma ngomong dengan Sania. Tak ada solusi. Dia tetep harus berpikir sendiri.Drrrrrt drrrrrtPonsel Purwanto berbunyi. Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk mengambil benda pipih itu dari nakas di samping tempat tidur. Tertera nama Pak Arman di layar. Purwanto segera mengangkatnya. Arman adalah sekretaris Pak Hendri."Hallo Pak Arman?""Oh ya, jam berapa, Pak?""Baik, saya akan datang."Setelah itu Purwanto menggenggam ponsel di tangannya. Nafasnya terasa semakin sesak. Barusan Pak Arman menelepon dan memberitahu kalau malam ini, Purwanto dan istrinya dipanggil ke rumah Pak Hendri Susilo."Ada apa, Pak?" Sania mencium gelagat tidak menyenangkan dari raut wajah Suaminya."Pak Hendri mengundang kita ke rumahnya malam ini ..." Purwanto lesu.Jantung Sania pun mendadak berdebar. Pasti mau menagih utang! begitu pikiran Sania.**HuweeeeekHuweeeeekUntuk kesekian kali, Neni muntah-muntah di toilet kamarnya. Beberapa hari ini, dia merasa tak enak badan. Mual, letih dan pusing menderanya.Sudah minum obat flu, tapi tidak reda juga. Neni sudah bercerita pada Ega, tapi pacarnya itu tidak banyak komentar. Dia bilang cuma masuk angin katanya.Ughh, ughhNeni berasa mau muntah lagi tapi nggak bisa keluar. Kepalanya jadi pusing. Dengan terhuyung, Neni kembali ke kamarnya dan berbaring."Kenapa aku ini? Apakah aku hamil?"Kepala Neni menggeleng. Dia berusaha menepis pikirannya sendiri. Tak mungkin dia hamil. Secara dia baru beberapa kali berhubungan badan dengan Ega. Masih bisa dihitung dengan jari.Diambilnya ponsel dari bawah bantal. Neni menelepon Ega, ada yang harus dia tanyakan."Hallo, Ga. Tolong lo ke sini dong. Beliin gua testpack,""Testpack apaan?""Itu lho yang buat tes orang hamil!" Kening Neni mengerut. Nggak tahu kenapa juga, akhir-akhir ini perasaannya juga jadi sensitif."Ooh, emang siapa yang hamil?""Gua mau testpack, Ga! Gua mau tahu hamil atau nggak!" Hihh! Neni jadi geram."Lo hamil?""Mau tes dulu, bego!""Oke, oke."Huh! Dasar dodol! Neni menutup ponsel dengan menggerutu.Satu jam kemudian ..."Sstttt ... Sstttt!"Riri yang sedang menyapu halaman depan menoleh. Seperti mendengar suara orang. Mata Riri mencari-cari."Heh, babu, sini!"Pandangan Riri berhenti pada sosok yang bersembunyi di balik pohon di depan pagar rumah."Itu kan Ega. Ngapain dia sembunyi-sembunyi?"Berjalan pelan, Riri mendekat."Ada apa, Mas?" Tanya Riri dari balik pagar. Ega celingak-celinguk, kemudian keluar dari persembunyiannya."Kasihkan ini sama Neni, cepat!" Ucap Ega dengan menyodok plastik kecil berwarna putih."Apa ini, Mas?""Nggak usah banyak tanya, cepat kasihkan Neni!" Bentak Ega. Riri mengangguk. Segera Ega berlari kecil menjauh. Netra Riri mengikuti ke mana pemuda itu pergi. Ternyata, Ega memarkirkan motor sportnya jauh di sana.Riri meremas plastik kecil dalam genggamannya. "Apa ini, ya?" Dia bergumam. Karena hanya dimasukkan plastik putih, Riri jadi bisa melihat benda itu."Testpack? Buat Mbak Neni?"Bersambung#Sepupu _dari_KampungBab 4Anak gadismuHari menjelang malam. Pakde dan Budhe barusan pergi. Sebuah mobil menjemput mereka. Entah pergi kemana, Riri tidak tahu. Biasanya, Pakde akan berpamitan padanya kalau pergi. Tapi, tadi sepertinya Pakde tergesa.Riri menaiki tangga ke lantai atas. Dia mau ke kamar Neni, menyampaikan pesanan Ega tadi. Pelan, Riri mengetuk pintu kamar Neni. Gadis itu seharian tak keluar kamar. Mungkin Neni lagi sakit ... Atau hamil? Eh!Karena tak ada jawaban, Riri memberanikan diri masuk. Suara air dari kran kamar mandi terdengar. Pantas saja dia nggak denger saat diketuk pintunya. Riri berdiri di ujung dipan, menunggu Neni keluar. Sesaat kemudian, suara air kran mati.HuweeeeekHuweeeeekSuara seperti orang muntah, seketika Riri terdiam. "Apakah benar Neni hamil?" Pikiran Riri jadi kemana-mana. Apalagi dengan testpack yang dia pegang ini. Semakin membuat Riri curiga.Ceklek!Pintu kamar mandi terbuka. Wajah Neni menyembulkan dari dalam. Seketika Neni kaget melih
#Sepupu _dari_KampungBab 5Dijodohkan"Sumpah, Ma ... Itu barang bukan punya Zian!"Hendri dan Anya duduk dan diam. Mendengarkan cerita anaknya yang beru saja bebas, setelah menjalani hukuman di pusat rehabilitasi selama beberapa bulan. "Lalu, kenapa urine-mu positif?" Hendri menatap anaknya. Zian jadi blingsatan, tak bisa menjawab. "Jadi gini, Pah ... Zian ini cuma pemakai. Bukan pecandu, pengedar, apalagi bandar." Zian berusaha mencari celah untuk membela diri. Selama ini, bila Zian terkena kasus, Mama dan Papanya biasa saja, tak pernah semarah ini. Hanya saja, setelah Zian tersandung kasus narkoba, Mama dan Papanya menjadi sangat marah. "Kali ini, Mama sama Papa nggak akan mengampuni kamu lagi, Zian!" Anya mendelik pada anak lelaki satu-satunya itu. Kesal sudah hatinya dengan kelakuan Zian. "Slow, Mah ..." Zian melirik sambil tersenyum pada Mamanya. Zian tahu kelemahan Mamanya. Tinggal menampilkan wajah manis dan senyum saja, Mamanya pasti luluh. "Nggak ada slow! Bila perlu,
#Sepupu _dari_KampungBab 6PositifNeni memejamkan matanya. Dadanya berdebar-debar. Di tangannya ada sebuah testpack yang sudah terpakai. Neni sangat tegang untuk mengetahui hasilnya. Sengaja dia dan pacarnya, Ega, menyewa kamar hotel hanya untuk melakukan tes kehamilan ini. Neni merasa bingung harus melakukan tes di mana. Kalau di rumah, takut ketahuan Ibunya. Kalau di tempat kontrakan Ega, banyak temannya, karena Ega mengontrak rumah patungan dengan beberapa teman kampusnya.Pelan, Neni membuka mata. Sorotnya langsung tertuju pada benda putih yang dia pegang. Nafas Neni memburu, tubuhnya bergetar menatap garis dua terpampang di benda putih itu. "Dua garis ... Positif ..."Lemas badan Neni. Huhuhu gadis itu menangis sesenggukan. Kebingungan menguasai pikiran gadis belia itu. Bagaimana dia harus bilang pada orang tuanya? "Pasti Mama sama Papa marah! Aduh gimana ini?" Neni menggigit bibirnya. "Ega!" Keluar dari toilet, Neni memanggil kekasihnya yang sedang rebahan dan menonton te
#Sepupu _dari_KampungBab 7Fatal"Ini kah tempatnya?""Iya,""Kau yakin?" "Tentu saja, aku sudah bertanya pada temanku." Ega memberhentikan sepeda motornya tidak jauh dari sebuah rumah berpagar besi tinggi. Jendela rumah itu, tertutup korden semua. Halamannya tak terawat. Rumput liar tampak memanjang. Sepintas seperti bukan rumah tinggal. Beberapa sepeda motor terparkir di garasi rumah itu. Ega membuka kancing helm, kemudian mengajak Neni turun. "Ayo!" Ajak Ega pada kekasihnya. Neni tak segera mengikuti Ega. Gadis itu ragu. "Aku takut, Ga!" Wajah Neni menegang. Ega menghampiri gadis cantik berkulit putih itu. "Nggak usah takut, ada aku." Tangan Ega, menarik Neni. Neni pun mengangguk. Dia berusaha menepis rasa takutnya. Fokus pada niatnya kemari, itu saja. Berjalan lurus memasuki garasi itu, mereka melewati sebuah taman. Setelah itu ada pintu ke samping. Ega membukanya. Wow! Ternyata, di dalam ruangan ada beberapa orang yang duduk-duduk di kursi. Menilik dari deretan kursi yan
#Sepupu _dari_KampungBab 8Runyam"Neni belum pulang?" Sania bertanya kepada Rani saat mereka berada di meja makan. Keluarga Purwanto sedang bersiap untuk menikmati santap malam bersama. "Belum, Ma." Gadis abege itu menjawab sembari menggelengkan kepalanya. "Apa nggak telepon kamu?" Purwanto, sang Papa menoleh padanya. Rani menggeleng lagi. "Tumben belum pulang, ya. Sudah setengah tujuh juga," Sania menarik kursi dan duduk di samping Suaminya. "Ya sudah, kita makan duluan saja." Sania menyendok nasi dan diberikan pada piring Suaminya. Tak biasanya Neni pulang terlambat. Biasanya sore hari dia sudah sampai di rumah. Keluarga ini biasa makan malam bersama. Sania dan Purwanto sangat yakin, kedua putrinya adalah anak yang baik. Neni dan Rani rajin ke sekolah. Mereka selalu mendapat ranking dari SD. Pulang sekolah langsung ke rumah. Tidak pernah membolos, berulah negatif, atau mengikuti kebiasaan jelek temannya. Terutama Neni. Purwanto sangat bangga dengan sulungnya itu. Sebentar l
#Sepupu _dari_KampungBab 95000Malam itu, di keluarga Hendri Susilo sedang makan malam. Hendri, istrinya Anya dan putra tunggalnya Zian."Gimana tadi kamu meninjau proyek dengan Pak Anwar, Zi?" Hendri bertanya pada Zian yang sedari tadi diam. Biasanya anak itu cerewet menggoda Mamanya. Semenjak akan dinikahkan, Zian jadi rada pendiam. Mungkin dia tak suka."Bagus."jawab Zian singkat."Bagus gimana, ngerti nggak, kamu?" Kembali Hendri bertanya."Proyeknya lancar, nggak ada kendala. Kualitas bangunan juga bagus," tangan Zian mengambil paha ayam goreng lalu menggigitnya. Anya melirik."Mengerti kan kamu?""Kecik lah, Zian ini Sarjana Tehnik Sipil, Pah. Harusnya langsung jadi Direktur." Zian tertawa. Hendri tersenyum kecil. Biar pun bengal, Zian ini berhasil meraih gelar sarjananya. Hanya saja, sampai saat ini belum pernah mengamalkan ilmunya."Sudah, Pah, kita lihat hasilnya saja nanti." Anya berdiri, dan berjalan ke dapur."Kalau kamu sudah menikah nanti, Papa akan kasih kamu proyek.
#Sepupu _dari_KampungBab 10Masih ada anakDua hari dirawat di rumah sakit, Purwanto sudah diperbolehkan pulang. Dia hanya terkena serangan ringan. Tapi, Neni masih harus tinggal di rumah sakit. "Pah, kita harus segera menikahkan Neni dengan pacarnya itu, kalau tidak, dia nanti kabur!" Sania berbicara dengan emosi. Perempuan paruh baya itu masih syok dengan kenyataan yang menimpa anaknya. "Iya, Ma ... Kemaren, anak itu sudah menelepon orang tuanya di depanku. Mereka akan segera datang ke Jakarta untuk menikahkan anaknya dengan Neni.""Kita kecolongan, Pah!" Wajah Sania ditekuk. Sungguh dia sangat kecewa dengan Neni yang sudah membuat aib keluarga. "Sudah lah, Mah, mau bagaimana lagi? Yang penting, pihak lelaki mau bertanggung jawab. Papa malah kepikiran yang lain ...""Apa itu, Pah?""Tentang perjodohan Neni dengan Zian. Seperti yang diminta Bu Anya." Purwanto menarik nafas panjang. Sania membisu. Kehamilan Neni yang di luar nikah, seperti tamparan baginya. Anak yang dia banggakan
#Sepupu _dari_KampungBab 11Calon pengganti"Siapa, Pah?" Sania masih belum mengerti siapa yang dimaksud Suaminya sebagai 'anak' lain. Jelas saja, selama ini kan Sania tidak pernah menganggap Riri sebagai anaknya. Meskipun dia tahu, Riri adalah gadis yatim piatu. Bahkan, Sania tidak memperlakukan Riri sebagai keponakan. Sehari-hari, Riri dijadikan pembantu, demi menghemat pengeluaran. Kalau ada Riri, kenapa harus ada pembantu? Begitu prinsip Sania. Hendri dan Anya menatap Purwanto tak berkedip. Permainan apa lagi yang akan digelar Purwanto, begitu yang ada dalam benak kedua orang itu. Setahu Anya dan Hendri, anaknya Purwanto itu ya cuma dua. Sekarang dia halu mengatakan masih memiliki satu buah hati lagi. "Apa maksudmu, Pur?" Pak Hendri angkat bicara. Dia tipe orang yang tidak suka bertele-tele. Kalau sampai Purwanto mempermainkan dia, akan dia sita rumahnya saat ini juga. Pun Anya, perempuan cantik ini bergeming, seolah sedang menunggu kalimat berikutnya dari mulut Purwanto."R