#Sepupu _dari_Kampung
Bab 2Rahasia NeniRiri tertegun menatap Rani. Masih berpikir, apakah beneran Rani menyuruhnya memakaikan sepatu?"Cepetan, terlambat aku nanti!" Teriak Rani. Riri segera berjongkok untuk memakaikan sepatu sepupunya itu. Meski perih, Riri berusaha iklas melakukannya."Rani, jangan keterlaluan!" Suara pakdhe Pur terdengar menghardik Rani, anak bungsunya."Biarin, itu hukuman buat dia!" Ucap Rani dengan sinis. Riri diam saja."Kamu tidak berhak menghukum dia. Kalau Riri salah, biar Papa yang menghukum dia!" Pakdhe Pur bersuara tinggi kepada Rani."Papa, kenapa selalu membela Riri. Bisa besar kepala dia nanti!" Budhe Sania nimbrung."Sudah Riri, ke belakang sana!" Titah pakdhe. Riri mengangguk kemudian menghilang ke belakang. Rani menghentakkan kaki di lantai. Kesal dia dengan Riri yang selalu dibela Papanya."Rani, cepat sedikit. Papa antar sekalian ke sekolah." Pakdhe Pur berkata sambil berjalan ke mobil."Ma, kesel Rani sama Riri!""Sudah lah, biar Mama yang urus."**Hari menjelang siang. Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh menit. Riri bergegas naik ke lantai dua untuk membersihkan toilet di kamar-kamar.Rumah dua lantai ini, kalau pagi sampai siang sepi. Hanya ada Riri saja. Pakdhe Pur kerja, Budhe Sania juga jaga toko miliknya. Neni anak sulungnya kuliah dan Rani sekolah SMA.Seperti biasa, Riri membersihkan toilet di kamar utama dulu. Dengan sikat gigi bekas yang dicelup air pemutih, Riri mulai menggosok sela-sela ubin kamar mandi. Semuanya harus putih, bersih dan nggak ada noda. Setelah itu, Riri menggosok closed dan wastafel sampai kinclong. Terakhir menyikat lantai kamar mandi, lalu menyiramnya hingga bersih dan tidak licin.Selesai toilet kamar utama, Riri menuju kamar Neni. Semua kamar di rumah ini ada toiletnya sendiri-sendiri. Setiap hari harus dibersihkan. Membersihkan rumah ini, membutuhkan waktu seharian. Penat badan Riri, tapi dia sabar menjalaninya.Saat Riri sampai di depan pintu kamar Neni, dia terdiam sejenak. Suara cekikikan dan orang bercanda terdengar dari dalam. Huh! Riri menghela nafas. Rupanya Neni sudah pulang.Bukan apa-apa. Neni ini suka mengambil kesempatan. Di saat semua keluarganya nggak ada di rumah, dia pulang dan membawa pacarnya. Riri beberapa kali memergoki Neni mengajak Ega, pacarnya masuk ke kamar.Riri memang lugu. Tapi, untuk urusan begini dia tahu lah. Dua orang dewasa berlainan jenis ada dalam satu kamar lebih dari dua jam ngapain aja. Terkadang, Riri juga sering mendengar suara mendesah manja dari kamar Neni. Riri selalu menjauh bila mendengar suara itu. Dia tidak mau telinganya ternoda dengan suara- suara itu.Sejauh ini, Riri tak pernah buka suara. Dia tidak pernah mengadu pada Pakdhe dan Budhenya. Riri tak mau ada masalah dengan Neni. Lagian, di rumah ini, siapa yang mau percaya omongannya?Riri masih sibuk di dapur saat Neni dan Ega turun. Kepala Riri mendongak, dilihatnya dua sejoli itu bergandengan tangan menuruni tangga. Mereka menuju ke meja makan. Riri sudah menyiapkan makan siang untuk mereka."Heh, babu! Jangan bilang siapa-siapa ya, awas kamu!"Neni, sepupunya, sudah berdiri di samping Riri yang sedang mencuci peralatan bekas masak. Kepala Riri mengangguk."Cuma kamu yang tahu. Kalau sampai bocor, aku sobek mulutmu, ngerti?!" Neni menyenggol kasar lengan Riri. Gadis itu kembali mengangguk, kemudian bergeser menjauh dari Neni. Setelah mencuci tangan, Neni kembali ke meja makan bersama Ega.Riri mencuri pandang pada Neni dan Ega dari pojok dapur. Tak sedikit pun dia ingin kepo dengan urusan Neni. Hidupnya sudah susah, nggak mau cari masalah."Ga, apapun yang terjadi, kamu jangan tinggalin aku, ya?" Suara Neni terdengar dari dapur. Riri terdiam mendengarkan."Iya!" Sahut Ega sambil makan."Kita kan ngelakuinnya suka sama suka ...""Iya!" Jawab Ega lagi.Huh! Bibir Riri mencebik kecil. Laki-laki kok dipercaya, katanya dalam hati.**"Kudengar ada masalah dengan proyek yang sedang kau kerjakan?" Pak Hendri Susilo, Boss besar pemilik perusahaan kontraktor terbesar di kota ini, bertanya pada Purwanto.Perusahaan Purwanto memang sub kontraktor dari perusahaan Pak Hendri. Sengaja Hendri Susilo mengajak Purwanto bermain golf dengannya hari Minggu ini, karena ada yang akan dia tanyakan."Iya, Pak, maaf. Saya akan mengatasinya." Jawab Purwanto tertunduk. Tidak dia sangka, big Boss akan menanyakan hal ini langsung padanya. Perkiraan Purwanto, hanya sekretaris Pak Hendri saja mungkin yang akan mengatasi. Tentu saja hal ini membuat dada Purwanto deg-deg-an tak menentu."Itu kesalahan fatal. Konstruksi jembatan itu tidak kuat sehingga ambruk. Untung belum beroperasi." Pak Hendri melihat Purwanto sebentar sebelum memukul bola ke hole berikutnya."Kau terlalu banyak mengambil keuntungan, Pur! Kau kurangi budget pembelian material, untuk keuntunganmu sendiri."Purwanto hanya bisa diam. Dia tak mampu menjawab. Proyek pembangunan jembatan yang diberikan oleh perusahaan Pak Hendri ambruk saat on progress. Purwanto tak berkutik saat tim audit Pak Hendri memeriksa perusahaanya.Memang Purwanto sering berbuat curang. Dia menggurangi budget belanja material untuk keuntungan pribadinya. Akibatnya properti yang dikerjakan perusahaannya tidak berkualitas bagus. Sering sudah rusak sebelum garansi yang dijanjikan."S_saya janji akan memperbaiki, Pak," ucap Purwanto sambil mengikuti langkah Pak Hendri. Lelaki kaya itu tak menggubrisnya. Dia terus melangkah menuju hole berikutnya bersama para Caddy. Purwanto tetap berusaha mengejar. Jangan sampai proyek ini diputus kontraknya sama Pak Hendri."Memperbaiki bagaimana? Aku tak punya waktu, deadline sudah di depan mata. Sebaiknya, kau siapkan dana untuk membayar penalti karena kegagalanmu!"Setelah mengatakan itu, Pak Hendri Susilo berjalan cepat menuju mobil golf yang menunggunya. Boss besar itu meninggalkan Purwanto sendirian di tengah lapangan golf.Purwanto lunglai seketika. Bagaimana dia harus membayar ganti rugi kepada Pak Susilo? Sedangkan termin yang dia terima sudah habis. Uang perusahaanya pun sudah terpakai untuk membangun jembatan itu. Sebagian lainnya sudah dia gunakan untuk membangun tempat tinggalnya yang super mewah itu. Apa yang harus dia lakukan?Bersambung#Sepupu _dari_KampungBab 3Masalah"Pah, kenapa beberapa hari ini kok Papa jadi lebih pendiam, kenapa? Tanya Sania pada Purwanto Suaminya. Purwanto menghela nafas. Memang akhir-akhir ini, pikirannya tak tenang. Penyebabnya adalah, dia bingung dengan keputusan Pak Hendri yang telah memutuskan kontrak kerja dengannya. Sesuai kontrak kerja yang telah disepakati, apabila perusahaan Purwanto gagal memenuhi deadline, maka dia harus membayar denda dan semua kerugian. Purwanto bingung harus mendapatkan uang dari mana. Utang yang harus dia tanggung, jumlahnya tidak main-main. Puluhan Milyar!"Aku sedang bingung, mah ..." Ucap Purwanto akhirnya. Dia memang harus bicara dengan istrinya. "Kenapa?" Sania mendudukkan pantat di tepi tempat tidur, sebelah Suaminya. "Perusahaan Pak Hendri memutuskan kontrak. Kita terkena penalti, Ma. Aku harus mengganti semua denda dan kerugian yang terjadi." Ucap Purwanto dengan lesu. "Hah! Kok bisa, Pah?" Ujar Sania kaget. "Aku tidak bisa menyelesaikan sesuai
#Sepupu _dari_KampungBab 4Anak gadismuHari menjelang malam. Pakde dan Budhe barusan pergi. Sebuah mobil menjemput mereka. Entah pergi kemana, Riri tidak tahu. Biasanya, Pakde akan berpamitan padanya kalau pergi. Tapi, tadi sepertinya Pakde tergesa.Riri menaiki tangga ke lantai atas. Dia mau ke kamar Neni, menyampaikan pesanan Ega tadi. Pelan, Riri mengetuk pintu kamar Neni. Gadis itu seharian tak keluar kamar. Mungkin Neni lagi sakit ... Atau hamil? Eh!Karena tak ada jawaban, Riri memberanikan diri masuk. Suara air dari kran kamar mandi terdengar. Pantas saja dia nggak denger saat diketuk pintunya. Riri berdiri di ujung dipan, menunggu Neni keluar. Sesaat kemudian, suara air kran mati.HuweeeeekHuweeeeekSuara seperti orang muntah, seketika Riri terdiam. "Apakah benar Neni hamil?" Pikiran Riri jadi kemana-mana. Apalagi dengan testpack yang dia pegang ini. Semakin membuat Riri curiga.Ceklek!Pintu kamar mandi terbuka. Wajah Neni menyembulkan dari dalam. Seketika Neni kaget melih
#Sepupu _dari_KampungBab 5Dijodohkan"Sumpah, Ma ... Itu barang bukan punya Zian!"Hendri dan Anya duduk dan diam. Mendengarkan cerita anaknya yang beru saja bebas, setelah menjalani hukuman di pusat rehabilitasi selama beberapa bulan. "Lalu, kenapa urine-mu positif?" Hendri menatap anaknya. Zian jadi blingsatan, tak bisa menjawab. "Jadi gini, Pah ... Zian ini cuma pemakai. Bukan pecandu, pengedar, apalagi bandar." Zian berusaha mencari celah untuk membela diri. Selama ini, bila Zian terkena kasus, Mama dan Papanya biasa saja, tak pernah semarah ini. Hanya saja, setelah Zian tersandung kasus narkoba, Mama dan Papanya menjadi sangat marah. "Kali ini, Mama sama Papa nggak akan mengampuni kamu lagi, Zian!" Anya mendelik pada anak lelaki satu-satunya itu. Kesal sudah hatinya dengan kelakuan Zian. "Slow, Mah ..." Zian melirik sambil tersenyum pada Mamanya. Zian tahu kelemahan Mamanya. Tinggal menampilkan wajah manis dan senyum saja, Mamanya pasti luluh. "Nggak ada slow! Bila perlu,
#Sepupu _dari_KampungBab 6PositifNeni memejamkan matanya. Dadanya berdebar-debar. Di tangannya ada sebuah testpack yang sudah terpakai. Neni sangat tegang untuk mengetahui hasilnya. Sengaja dia dan pacarnya, Ega, menyewa kamar hotel hanya untuk melakukan tes kehamilan ini. Neni merasa bingung harus melakukan tes di mana. Kalau di rumah, takut ketahuan Ibunya. Kalau di tempat kontrakan Ega, banyak temannya, karena Ega mengontrak rumah patungan dengan beberapa teman kampusnya.Pelan, Neni membuka mata. Sorotnya langsung tertuju pada benda putih yang dia pegang. Nafas Neni memburu, tubuhnya bergetar menatap garis dua terpampang di benda putih itu. "Dua garis ... Positif ..."Lemas badan Neni. Huhuhu gadis itu menangis sesenggukan. Kebingungan menguasai pikiran gadis belia itu. Bagaimana dia harus bilang pada orang tuanya? "Pasti Mama sama Papa marah! Aduh gimana ini?" Neni menggigit bibirnya. "Ega!" Keluar dari toilet, Neni memanggil kekasihnya yang sedang rebahan dan menonton te
#Sepupu _dari_KampungBab 7Fatal"Ini kah tempatnya?""Iya,""Kau yakin?" "Tentu saja, aku sudah bertanya pada temanku." Ega memberhentikan sepeda motornya tidak jauh dari sebuah rumah berpagar besi tinggi. Jendela rumah itu, tertutup korden semua. Halamannya tak terawat. Rumput liar tampak memanjang. Sepintas seperti bukan rumah tinggal. Beberapa sepeda motor terparkir di garasi rumah itu. Ega membuka kancing helm, kemudian mengajak Neni turun. "Ayo!" Ajak Ega pada kekasihnya. Neni tak segera mengikuti Ega. Gadis itu ragu. "Aku takut, Ga!" Wajah Neni menegang. Ega menghampiri gadis cantik berkulit putih itu. "Nggak usah takut, ada aku." Tangan Ega, menarik Neni. Neni pun mengangguk. Dia berusaha menepis rasa takutnya. Fokus pada niatnya kemari, itu saja. Berjalan lurus memasuki garasi itu, mereka melewati sebuah taman. Setelah itu ada pintu ke samping. Ega membukanya. Wow! Ternyata, di dalam ruangan ada beberapa orang yang duduk-duduk di kursi. Menilik dari deretan kursi yan
#Sepupu _dari_KampungBab 8Runyam"Neni belum pulang?" Sania bertanya kepada Rani saat mereka berada di meja makan. Keluarga Purwanto sedang bersiap untuk menikmati santap malam bersama. "Belum, Ma." Gadis abege itu menjawab sembari menggelengkan kepalanya. "Apa nggak telepon kamu?" Purwanto, sang Papa menoleh padanya. Rani menggeleng lagi. "Tumben belum pulang, ya. Sudah setengah tujuh juga," Sania menarik kursi dan duduk di samping Suaminya. "Ya sudah, kita makan duluan saja." Sania menyendok nasi dan diberikan pada piring Suaminya. Tak biasanya Neni pulang terlambat. Biasanya sore hari dia sudah sampai di rumah. Keluarga ini biasa makan malam bersama. Sania dan Purwanto sangat yakin, kedua putrinya adalah anak yang baik. Neni dan Rani rajin ke sekolah. Mereka selalu mendapat ranking dari SD. Pulang sekolah langsung ke rumah. Tidak pernah membolos, berulah negatif, atau mengikuti kebiasaan jelek temannya. Terutama Neni. Purwanto sangat bangga dengan sulungnya itu. Sebentar l
#Sepupu _dari_KampungBab 95000Malam itu, di keluarga Hendri Susilo sedang makan malam. Hendri, istrinya Anya dan putra tunggalnya Zian."Gimana tadi kamu meninjau proyek dengan Pak Anwar, Zi?" Hendri bertanya pada Zian yang sedari tadi diam. Biasanya anak itu cerewet menggoda Mamanya. Semenjak akan dinikahkan, Zian jadi rada pendiam. Mungkin dia tak suka."Bagus."jawab Zian singkat."Bagus gimana, ngerti nggak, kamu?" Kembali Hendri bertanya."Proyeknya lancar, nggak ada kendala. Kualitas bangunan juga bagus," tangan Zian mengambil paha ayam goreng lalu menggigitnya. Anya melirik."Mengerti kan kamu?""Kecik lah, Zian ini Sarjana Tehnik Sipil, Pah. Harusnya langsung jadi Direktur." Zian tertawa. Hendri tersenyum kecil. Biar pun bengal, Zian ini berhasil meraih gelar sarjananya. Hanya saja, sampai saat ini belum pernah mengamalkan ilmunya."Sudah, Pah, kita lihat hasilnya saja nanti." Anya berdiri, dan berjalan ke dapur."Kalau kamu sudah menikah nanti, Papa akan kasih kamu proyek.
#Sepupu _dari_KampungBab 10Masih ada anakDua hari dirawat di rumah sakit, Purwanto sudah diperbolehkan pulang. Dia hanya terkena serangan ringan. Tapi, Neni masih harus tinggal di rumah sakit. "Pah, kita harus segera menikahkan Neni dengan pacarnya itu, kalau tidak, dia nanti kabur!" Sania berbicara dengan emosi. Perempuan paruh baya itu masih syok dengan kenyataan yang menimpa anaknya. "Iya, Ma ... Kemaren, anak itu sudah menelepon orang tuanya di depanku. Mereka akan segera datang ke Jakarta untuk menikahkan anaknya dengan Neni.""Kita kecolongan, Pah!" Wajah Sania ditekuk. Sungguh dia sangat kecewa dengan Neni yang sudah membuat aib keluarga. "Sudah lah, Mah, mau bagaimana lagi? Yang penting, pihak lelaki mau bertanggung jawab. Papa malah kepikiran yang lain ...""Apa itu, Pah?""Tentang perjodohan Neni dengan Zian. Seperti yang diminta Bu Anya." Purwanto menarik nafas panjang. Sania membisu. Kehamilan Neni yang di luar nikah, seperti tamparan baginya. Anak yang dia banggakan