#Sepupu _dari_Kampung
Bab 6PositifNeni memejamkan matanya. Dadanya berdebar-debar. Di tangannya ada sebuah testpack yang sudah terpakai. Neni sangat tegang untuk mengetahui hasilnya.Sengaja dia dan pacarnya, Ega, menyewa kamar hotel hanya untuk melakukan tes kehamilan ini. Neni merasa bingung harus melakukan tes di mana. Kalau di rumah, takut ketahuan Ibunya. Kalau di tempat kontrakan Ega, banyak temannya, karena Ega mengontrak rumah patungan dengan beberapa teman kampusnya.Pelan, Neni membuka mata. Sorotnya langsung tertuju pada benda putih yang dia pegang. Nafas Neni memburu, tubuhnya bergetar menatap garis dua terpampang di benda putih itu."Dua garis ... Positif ..."Lemas badan Neni. Huhuhu gadis itu menangis sesenggukan. Kebingungan menguasai pikiran gadis belia itu. Bagaimana dia harus bilang pada orang tuanya? "Pasti Mama sama Papa marah! Aduh gimana ini?" Neni menggigit bibirnya."Ega!"Keluar dari toilet, Neni memanggil kekasihnya yang sedang rebahan dan menonton televisi. Ega menoleh sekilas, kemudian kembali menatap televisi. Remote control ada di atas perutnya.Neni duduk di tepi ranjang, tepat menghadap Ega. Buk! Tangan Neni memukul paha Ega. Lelaki muda itu meringis, kemudian pindah pada posisi duduk di kasur."Kenapa?" Kening Ega mengerut."Aku hamil, Ga!" Neni menunjukkan testpack dengan dua garis ke muka Ega. Kekasihnya itu melotot pada benda putih di depannya."Kok bisa?!" Ega terkejut."Ya bisa dong! Aku perempuan, kamu laki-laki, kita udah berhubungan badan, gimana sih?" Neni berujar kesal. Ega ini bego atau pura-pura bego? Batinnya jengkel."M_maksudku, kan kita baru beberapa kali melakukannya. Nggak setiap hari juga!" Ega masih sangsi."Mana kutahu! Mungkin saat itu aku sedang subur, dan kondisi kamu lagi fit, Ga!""Terus gimana?" Ega menatap Neni melongo."Ya kamu harus tanggung jawab.""Maksudnya?""Kita menikah, oon!" Neni mendelik.Ega terdiam, pun Neni. Keduanya sedang larut dalam pikiran masing-masing. Ini adalah kesalahan fatal. Mereka belum menikah tapi sudah berhubungan terlalu jauh.Cinta di usia muda menghadirkan hasrat yang menggelora. Kedua insan dimabuk asmara tak berpikir panjang melakukan perbuatan zina. Apa akibat yang akan terjadi, pikir nanti.Seperti Ega dan Neni. Meradukan cinta dalam kehangatan, meski belum saatnya. Sekarang, mereka menuai akibatnya. Sama-sama masih kuliah. Keuangan masih disokong orang tua, bagaimana bila mendadak punya anak?Belum lagi mencari cara untuk berterus terang kepada keluarga. Amarah dan murka orang tua, pasti akan mereka dapatkan. Terutama Neni. Sebagai pihak perempuan, pasti lebih dirugikan.Aib berdua, tapi laki-laki lebih beruntung. Lelaki brengsek, bisa saja kabur setelah mengetahui pasangan non halalnya hamil. Kalau perempuan mau menyembunyikan aib bagaimana? Perut yang membesar, tidak dapat ditutupi. Cemooh akan dia dapat. Mempermalukan keluarga? Sudah jelas!"A_aku belum siap menikah, Nen ..." Ucap Ega lirih. Neni menoleh, dilihatnya Ega tertunduk lesu."Kau pikir aku siap? Aku bingung banget. Aku takut sama Papaku," bibir Neni bergumam. Hening ..."Kita harus cari jalan lain." Ega beringsut mendekat pada Neni, lelaki itu merapatkan tubuh pada kekasihnya. Tangan Ega, melingkar di bahu Neni."Maksudmu?" Suara Neni datar."Sudah berapa lama kamu telat?""Aku lupa pastinya. Mungkin sekitar dua mingguannya," jawab Neni. Gadis itu membaringkan kepalanya di bahu Ega. Air mata Neni menetes. Sepertinya dia sedang menyesali semua yang terjadi."Bagaimana kalau kita gugurkan saja anak itu?" Ucap Ega tak disangka sangka. Neni auto terkejut. Ditariknya kepala menjauh dari bahu Ega. 'ngomong apa Ega ini, kok tega sekali. Ini kan anaknya'"Menggugurkan kandungan? Gila kamu!" Neni mendorong tubuh Ega kuat. Rasa kesalnya memuncak. 'enak sekali dia, mau lepas tanggung jawab!' nggak bisa!"Tenang dulu, Nen ..." Ega menatap lurus kekasihnya. Untuk saat ini, pikiran Ega hanya satu. Bagaimana caranya dia tidak menikahi Neni secepat itu. Ega masih ingin menikmati masa mudanya lebih lama. Usianya baru dua puluh, terlalu muda untuk menjadi seorang ayah."Masalahnya kan ada di situ," Ega menunjuk perut Neni, " kamu telat, Nen. Kalau sudah dukeluarin, kan selesai itu masalah. Kita bisa pacaran lagi, nyelesain kuliah, bekerja, baru menikah. Betul nggak?" Ega menganggukkan kepalanya. Neni masih menatapnya tajam. Gadis itu geram setengah mati rupanya. Mulut Ega ini lemes banget. Menggugurkan kandungan tidak semudah mulut bicara. Salah-salah, nyawa bisa melayang."Kita akan cari cara teraman, Nen. Kamu tidak akan apa-apa, percaya lah. Aku sayang sama kamu ..." Seperti tahu apa yang sedang dipikirkan Neni, Ega berusaha meyakinkan gadisnya. Bahwa semua akan baik-baik saja.Neni berpikir, omongan Ega ada benarnya juga. Kalau dia hamil, masalahnya panjang. Tapi, kalau digugurkan, semuanya selesai. Dia bisa menjalani hidup dengan normal lagi. 'Mama dan Papa tak perlu tahu. Ini rahasia.'Dengan menghela nafas berat, Neni pun mengangguk. Dia setuju dengan usulan Ega. Senyum lega Ega mengembang. Sekali rengkuh, tubuh Neni, kembali dalam dekapannya. Mereka, menghabiskan hari ini di dalam kamar hotel.Memang bejad!Bersambung#Sepupu _dari_KampungBab 7Fatal"Ini kah tempatnya?""Iya,""Kau yakin?" "Tentu saja, aku sudah bertanya pada temanku." Ega memberhentikan sepeda motornya tidak jauh dari sebuah rumah berpagar besi tinggi. Jendela rumah itu, tertutup korden semua. Halamannya tak terawat. Rumput liar tampak memanjang. Sepintas seperti bukan rumah tinggal. Beberapa sepeda motor terparkir di garasi rumah itu. Ega membuka kancing helm, kemudian mengajak Neni turun. "Ayo!" Ajak Ega pada kekasihnya. Neni tak segera mengikuti Ega. Gadis itu ragu. "Aku takut, Ga!" Wajah Neni menegang. Ega menghampiri gadis cantik berkulit putih itu. "Nggak usah takut, ada aku." Tangan Ega, menarik Neni. Neni pun mengangguk. Dia berusaha menepis rasa takutnya. Fokus pada niatnya kemari, itu saja. Berjalan lurus memasuki garasi itu, mereka melewati sebuah taman. Setelah itu ada pintu ke samping. Ega membukanya. Wow! Ternyata, di dalam ruangan ada beberapa orang yang duduk-duduk di kursi. Menilik dari deretan kursi yan
#Sepupu _dari_KampungBab 8Runyam"Neni belum pulang?" Sania bertanya kepada Rani saat mereka berada di meja makan. Keluarga Purwanto sedang bersiap untuk menikmati santap malam bersama. "Belum, Ma." Gadis abege itu menjawab sembari menggelengkan kepalanya. "Apa nggak telepon kamu?" Purwanto, sang Papa menoleh padanya. Rani menggeleng lagi. "Tumben belum pulang, ya. Sudah setengah tujuh juga," Sania menarik kursi dan duduk di samping Suaminya. "Ya sudah, kita makan duluan saja." Sania menyendok nasi dan diberikan pada piring Suaminya. Tak biasanya Neni pulang terlambat. Biasanya sore hari dia sudah sampai di rumah. Keluarga ini biasa makan malam bersama. Sania dan Purwanto sangat yakin, kedua putrinya adalah anak yang baik. Neni dan Rani rajin ke sekolah. Mereka selalu mendapat ranking dari SD. Pulang sekolah langsung ke rumah. Tidak pernah membolos, berulah negatif, atau mengikuti kebiasaan jelek temannya. Terutama Neni. Purwanto sangat bangga dengan sulungnya itu. Sebentar l
#Sepupu _dari_KampungBab 95000Malam itu, di keluarga Hendri Susilo sedang makan malam. Hendri, istrinya Anya dan putra tunggalnya Zian."Gimana tadi kamu meninjau proyek dengan Pak Anwar, Zi?" Hendri bertanya pada Zian yang sedari tadi diam. Biasanya anak itu cerewet menggoda Mamanya. Semenjak akan dinikahkan, Zian jadi rada pendiam. Mungkin dia tak suka."Bagus."jawab Zian singkat."Bagus gimana, ngerti nggak, kamu?" Kembali Hendri bertanya."Proyeknya lancar, nggak ada kendala. Kualitas bangunan juga bagus," tangan Zian mengambil paha ayam goreng lalu menggigitnya. Anya melirik."Mengerti kan kamu?""Kecik lah, Zian ini Sarjana Tehnik Sipil, Pah. Harusnya langsung jadi Direktur." Zian tertawa. Hendri tersenyum kecil. Biar pun bengal, Zian ini berhasil meraih gelar sarjananya. Hanya saja, sampai saat ini belum pernah mengamalkan ilmunya."Sudah, Pah, kita lihat hasilnya saja nanti." Anya berdiri, dan berjalan ke dapur."Kalau kamu sudah menikah nanti, Papa akan kasih kamu proyek.
#Sepupu _dari_KampungBab 10Masih ada anakDua hari dirawat di rumah sakit, Purwanto sudah diperbolehkan pulang. Dia hanya terkena serangan ringan. Tapi, Neni masih harus tinggal di rumah sakit. "Pah, kita harus segera menikahkan Neni dengan pacarnya itu, kalau tidak, dia nanti kabur!" Sania berbicara dengan emosi. Perempuan paruh baya itu masih syok dengan kenyataan yang menimpa anaknya. "Iya, Ma ... Kemaren, anak itu sudah menelepon orang tuanya di depanku. Mereka akan segera datang ke Jakarta untuk menikahkan anaknya dengan Neni.""Kita kecolongan, Pah!" Wajah Sania ditekuk. Sungguh dia sangat kecewa dengan Neni yang sudah membuat aib keluarga. "Sudah lah, Mah, mau bagaimana lagi? Yang penting, pihak lelaki mau bertanggung jawab. Papa malah kepikiran yang lain ...""Apa itu, Pah?""Tentang perjodohan Neni dengan Zian. Seperti yang diminta Bu Anya." Purwanto menarik nafas panjang. Sania membisu. Kehamilan Neni yang di luar nikah, seperti tamparan baginya. Anak yang dia banggakan
#Sepupu _dari_KampungBab 11Calon pengganti"Siapa, Pah?" Sania masih belum mengerti siapa yang dimaksud Suaminya sebagai 'anak' lain. Jelas saja, selama ini kan Sania tidak pernah menganggap Riri sebagai anaknya. Meskipun dia tahu, Riri adalah gadis yatim piatu. Bahkan, Sania tidak memperlakukan Riri sebagai keponakan. Sehari-hari, Riri dijadikan pembantu, demi menghemat pengeluaran. Kalau ada Riri, kenapa harus ada pembantu? Begitu prinsip Sania. Hendri dan Anya menatap Purwanto tak berkedip. Permainan apa lagi yang akan digelar Purwanto, begitu yang ada dalam benak kedua orang itu. Setahu Anya dan Hendri, anaknya Purwanto itu ya cuma dua. Sekarang dia halu mengatakan masih memiliki satu buah hati lagi. "Apa maksudmu, Pur?" Pak Hendri angkat bicara. Dia tipe orang yang tidak suka bertele-tele. Kalau sampai Purwanto mempermainkan dia, akan dia sita rumahnya saat ini juga. Pun Anya, perempuan cantik ini bergeming, seolah sedang menunggu kalimat berikutnya dari mulut Purwanto."R
#Sepupu _dari_KampungBab 12Balas budi"B_balas budi bagaimana, Budhe?" Riri berdiri mematung. Dadanya berdegup lebih cepat. Maksud Budhe Sania apa, Riri tidak tahu. Riri hanya takut diusir. Perasaan Riri bilang dia tidak pernah membuat kesalahan. "Duduk!" Titah Sania. Dengan ragu, Riri menempelkan sedikit bokongnya di bibir tempat tidur. Bersebelahan dengan Sania. "Berapa lama, kamu sudah tinggal di sini, Ri?""Enam bulan, Budhe ...""Enam bulan itu lama tahu! Bayangkan, berapa duit yang sudah aku keluarkan untuk biaya hidupmu tiap hari?""Makan sehari tiga kali, tidur gratis di kasur, odol, sabun, shampo, gratis semua! Hitung saja, berapa itu semua?""Iya, Budhe ..."Tenggorokan Riri rasanya tercekat. Suaranya parau menahan tangis. Tak menyangka, Budhe Sania akan mengungkit-ungkit semuanya. Bukan kah dulu dia ke sini yang ngajak Pakdhenya, untuk dicarikan kerjaan yang nyatanya zonk hingga kini."Aku tidak akan meminta ganti uang padamu, Ri, ... Meskipun itu kalau dihitung uang,
#Sepupu _dari_KampungBab 13Orang gila?"Benar kau akan menikah?"Zian terdiam menatap bibir tipis merah jambu perempuan di hadapannya. Entah dari mana Vivian tahu kalau dia akan menikah. Zian mengangguk. "Siapa perempuan itu?""Aku tidak tahu, Mama dan Papaku yang mencarikan jodoh untukku," Zian berucap pelan. "Kenapa kau tidak menolak?" Jemari lentik Vivian menyentuh pipi dan mengusap bibir Zian. Lelaki itu memundurkan kepalanya. Zian memang bengal, tapi dia bukan player. Sekian lama berhubungan dengan Vivian, Zian berhasil menjaga kehormatan gadis itu. Meski Vivian sering berlaku vulgar bila sedang berduaan. "Aku tidak bisa menolak atau membatalkan pernikahan ini, demi rasa hormatku pada orang tua. Tapi aku bisa mengakhirinya dengan cepat!" Zian tersenyum separo. Bibir Vivian melepas senyum. Kekasihnya ini cerdas juga. Sejatinya, Vivian ini tidak peduli Zian menikah atau tidak. Baginya yang penting Zian masih di sisinya dan selalu ada untuknya. Menjadi teman dekat Zian membuat
#Sepupu _dari_KampungBab 14Ratu SehariTing TongBel kamar berbunyi. Riri yang barusan mandi, menoleh. "Siapa yang datang?" Pikirnya. Dengan cepat, Riri memakai bajunya. Riri memilih setelan babydoll two piece berlengan dengan celana kulot. Hanya baju ini yang terlihat paling sopan modelnya. Gadis itu berjalan mendekat. Melalui lobang pengintai, Riri melihat dua perempuan berdiri di depan pintu kamar. Kening Riri berkerut, "siapa mereka, aku tidak mengenalnya."Drrrrrt drrrrrtBunyi ponsel Riri. Gegas perempuan berambut hitam lebat itu berlari mengambil. "Nomor siapa ini?" Tak ada nomor kontak itu di ponsel Riri."Hallo?" Sapa Riri. "Mbak Riri, tolong buka pintunya. Dua orang perempuan itu akan memberikan treatment buat Mbak." Suara laki-laki terdengar. "Treatment apa?" Riri tak mengerti. "Treatment calon pengantin. Dah bukain aja!" "Ini siapa?""Arman."Riri menutup sambungan telepon. Dua orang perempuan muda itu tersenyum pada Riri. "Hallo, mbak, apa kabar?" Tanya salah sat