Sepupu dari Kampung
Bab 1Gratisan"Riri, mulai sekarang, Bik Siti sudah tidak bekerja di sini lagi. Kamu bantu budhe ya?""Iya, Budhe." Gadis manis bernama Riri itu tersenyum. Belum genap seminggu dia datang dari kampung."Ini catatan jadwal kerja kamu!" Kata Sania, Budhenya. Riri menerima sehelai kertas folio yang ada tulisannya bolak-balik. Ini tulisan tangan Budhenya.Di situ tertulis semua pekerjaan yang harus dia jalani setiap harinya.1. Bangun pagi cuci mobil 22. Bikin sarapan3. Nyuci, ngepel, bersih-bersih rumah, kamar-kamar, dan halaman.4. Belanja5. Ngosek toilet 46. Gosok baju7. Masak buat makan malam8. Cuci piring, bersihkan dapur9. Mijitin Budhe (jam 9_10 malam)10. Istirahat."Mengerti?""Mengerti, Budhe." Gadis itu mengangguk. Nggak masalah buat Riri membantu pekerjaan rumah Budhenya. Toh, dia sudah diperbolehkan tinggal gratis di sini. Pakdhenya juga berjanji, nanti kalau ada lowongan pekerjaan di kantor, Riri akan dimasukkan. Riri adalah seorang lulusan SMA."Kalau Minggu, ada tambahan pekerjaan,""Apa, Budhe?" Riri masih tetap tersenyum."Vakum mobil, vakum rumah, bersihin lampu gantung, ventilasi AC dan siapkan peralatan golf Pakdhemu!""Oh iya, Budhe." Angguk Riri.**"Riri!!"Suara teriakan Rani, sepupunya terdengar nyaring pagi itu, saat Riri sedang memasukkan baju kotor ke masin cuci."Kenapa, Ran?""Maaf, Ran. Kemaren seharian nggak ada panas, jadi nggak bisa kujemur."Bugh!Tiba-tiba sebelah sepatu sudah melayang ke tubuh Riri. Gadis itu mengaduh. Matanya membulat, menatap tak percaya pada sepupunya itu."Terus aku pakai sepatu apa?!" Gadis berseragam putih abu-abu itu membentak."Kamu kan punya banyak sepatu, Ran. Pakai yang lain dulu." Riri menjawab sabar. Meskipun lengannya terasa sakit akibat lemparan sepatu tadi."Aku mau yang itu!" Rani melotot."Ada apa ini, pagi-pagi sudah ribut?" Sania datang menengahi."Ini, Ma. Sepatuku tidak dijemur sama Riri. Tuh, nggak kering jadinya," Rani mengadu."B_bukan begitu, Budhe ...""Riri! Kamu ini selalu buat masalah! Padahal keluarga ini sudah baik sekali sama kamu. Makan, tidur gratis, masih tak tahu diri!"Riri terdiam. Kepalanya menunduk. Sudah berulang kali, Budhenya mengatainya makan tidur gratis. Sakit hati Riri sebetulnya. Tiga bulan di sini, dia diperlakukan seperti pembantu yang tidak dibayar.Budhe dan anak-anaknya sering berlaku kasar padanya. Tak jarang, mereka memukul, menjambak atau menoyor kepala Riri. Tentu saja saat Pakdhenya tidak ada di rumah.Riri sudah tidak betah. Tapi, dia harus ke mana? Kedua orang tuanya di kampung sudah meninggal. Pakde Pur, adalah kerabat terdekat Bapaknya. Dia adalah kakak kandung Bapaknya Riri. Karena itu, Riri mau saja, saat Pakdhenya mengajak tinggal di Jakarta.Pakde Pur berjanji akan mencarikan pekerjaan untuk Riri. Tapi, sampai sekarang, belum juga dapat. Riri mau tanya takut."Cariin sepatu yang lain, cepat! Aku tunggu di depan!" Kata Rani sambil berjalan menjauh. Sania, mamanya juga pergi, setelah mendengus kesal pada Riri."Ini, Ran, sepatunya," kata Riri sambil menaruh sepasang sepatu berwarna hitam di dekat kaki Rani yang duduk di sofa. Rani menatap sinis."Pakaiin!" Kata gadis abege itu dengan menjulurkan kakinya.#Sepupu _dari_KampungBab 2Rahasia NeniRiri tertegun menatap Rani. Masih berpikir, apakah beneran Rani menyuruhnya memakaikan sepatu?"Cepetan, terlambat aku nanti!" Teriak Rani. Riri segera berjongkok untuk memakaikan sepatu sepupunya itu. Meski perih, Riri berusaha iklas melakukannya. "Rani, jangan keterlaluan!" Suara pakdhe Pur terdengar menghardik Rani, anak bungsunya. "Biarin, itu hukuman buat dia!" Ucap Rani dengan sinis. Riri diam saja. "Kamu tidak berhak menghukum dia. Kalau Riri salah, biar Papa yang menghukum dia!" Pakdhe Pur bersuara tinggi kepada Rani. "Papa, kenapa selalu membela Riri. Bisa besar kepala dia nanti!" Budhe Sania nimbrung. "Sudah Riri, ke belakang sana!" Titah pakdhe. Riri mengangguk kemudian menghilang ke belakang. Rani menghentakkan kaki di lantai. Kesal dia dengan Riri yang selalu dibela Papanya. "Rani, cepat sedikit. Papa antar sekalian ke sekolah." Pakdhe Pur berkata sambil berjalan ke mobil."Ma, kesel Rani sama Riri!""Sudah lah, biar Mama yan
#Sepupu _dari_KampungBab 3Masalah"Pah, kenapa beberapa hari ini kok Papa jadi lebih pendiam, kenapa? Tanya Sania pada Purwanto Suaminya. Purwanto menghela nafas. Memang akhir-akhir ini, pikirannya tak tenang. Penyebabnya adalah, dia bingung dengan keputusan Pak Hendri yang telah memutuskan kontrak kerja dengannya. Sesuai kontrak kerja yang telah disepakati, apabila perusahaan Purwanto gagal memenuhi deadline, maka dia harus membayar denda dan semua kerugian. Purwanto bingung harus mendapatkan uang dari mana. Utang yang harus dia tanggung, jumlahnya tidak main-main. Puluhan Milyar!"Aku sedang bingung, mah ..." Ucap Purwanto akhirnya. Dia memang harus bicara dengan istrinya. "Kenapa?" Sania mendudukkan pantat di tepi tempat tidur, sebelah Suaminya. "Perusahaan Pak Hendri memutuskan kontrak. Kita terkena penalti, Ma. Aku harus mengganti semua denda dan kerugian yang terjadi." Ucap Purwanto dengan lesu. "Hah! Kok bisa, Pah?" Ujar Sania kaget. "Aku tidak bisa menyelesaikan sesuai
#Sepupu _dari_KampungBab 4Anak gadismuHari menjelang malam. Pakde dan Budhe barusan pergi. Sebuah mobil menjemput mereka. Entah pergi kemana, Riri tidak tahu. Biasanya, Pakde akan berpamitan padanya kalau pergi. Tapi, tadi sepertinya Pakde tergesa.Riri menaiki tangga ke lantai atas. Dia mau ke kamar Neni, menyampaikan pesanan Ega tadi. Pelan, Riri mengetuk pintu kamar Neni. Gadis itu seharian tak keluar kamar. Mungkin Neni lagi sakit ... Atau hamil? Eh!Karena tak ada jawaban, Riri memberanikan diri masuk. Suara air dari kran kamar mandi terdengar. Pantas saja dia nggak denger saat diketuk pintunya. Riri berdiri di ujung dipan, menunggu Neni keluar. Sesaat kemudian, suara air kran mati.HuweeeeekHuweeeeekSuara seperti orang muntah, seketika Riri terdiam. "Apakah benar Neni hamil?" Pikiran Riri jadi kemana-mana. Apalagi dengan testpack yang dia pegang ini. Semakin membuat Riri curiga.Ceklek!Pintu kamar mandi terbuka. Wajah Neni menyembulkan dari dalam. Seketika Neni kaget melih
#Sepupu _dari_KampungBab 5Dijodohkan"Sumpah, Ma ... Itu barang bukan punya Zian!"Hendri dan Anya duduk dan diam. Mendengarkan cerita anaknya yang beru saja bebas, setelah menjalani hukuman di pusat rehabilitasi selama beberapa bulan. "Lalu, kenapa urine-mu positif?" Hendri menatap anaknya. Zian jadi blingsatan, tak bisa menjawab. "Jadi gini, Pah ... Zian ini cuma pemakai. Bukan pecandu, pengedar, apalagi bandar." Zian berusaha mencari celah untuk membela diri. Selama ini, bila Zian terkena kasus, Mama dan Papanya biasa saja, tak pernah semarah ini. Hanya saja, setelah Zian tersandung kasus narkoba, Mama dan Papanya menjadi sangat marah. "Kali ini, Mama sama Papa nggak akan mengampuni kamu lagi, Zian!" Anya mendelik pada anak lelaki satu-satunya itu. Kesal sudah hatinya dengan kelakuan Zian. "Slow, Mah ..." Zian melirik sambil tersenyum pada Mamanya. Zian tahu kelemahan Mamanya. Tinggal menampilkan wajah manis dan senyum saja, Mamanya pasti luluh. "Nggak ada slow! Bila perlu,
#Sepupu _dari_KampungBab 6PositifNeni memejamkan matanya. Dadanya berdebar-debar. Di tangannya ada sebuah testpack yang sudah terpakai. Neni sangat tegang untuk mengetahui hasilnya. Sengaja dia dan pacarnya, Ega, menyewa kamar hotel hanya untuk melakukan tes kehamilan ini. Neni merasa bingung harus melakukan tes di mana. Kalau di rumah, takut ketahuan Ibunya. Kalau di tempat kontrakan Ega, banyak temannya, karena Ega mengontrak rumah patungan dengan beberapa teman kampusnya.Pelan, Neni membuka mata. Sorotnya langsung tertuju pada benda putih yang dia pegang. Nafas Neni memburu, tubuhnya bergetar menatap garis dua terpampang di benda putih itu. "Dua garis ... Positif ..."Lemas badan Neni. Huhuhu gadis itu menangis sesenggukan. Kebingungan menguasai pikiran gadis belia itu. Bagaimana dia harus bilang pada orang tuanya? "Pasti Mama sama Papa marah! Aduh gimana ini?" Neni menggigit bibirnya. "Ega!" Keluar dari toilet, Neni memanggil kekasihnya yang sedang rebahan dan menonton te
#Sepupu _dari_KampungBab 7Fatal"Ini kah tempatnya?""Iya,""Kau yakin?" "Tentu saja, aku sudah bertanya pada temanku." Ega memberhentikan sepeda motornya tidak jauh dari sebuah rumah berpagar besi tinggi. Jendela rumah itu, tertutup korden semua. Halamannya tak terawat. Rumput liar tampak memanjang. Sepintas seperti bukan rumah tinggal. Beberapa sepeda motor terparkir di garasi rumah itu. Ega membuka kancing helm, kemudian mengajak Neni turun. "Ayo!" Ajak Ega pada kekasihnya. Neni tak segera mengikuti Ega. Gadis itu ragu. "Aku takut, Ga!" Wajah Neni menegang. Ega menghampiri gadis cantik berkulit putih itu. "Nggak usah takut, ada aku." Tangan Ega, menarik Neni. Neni pun mengangguk. Dia berusaha menepis rasa takutnya. Fokus pada niatnya kemari, itu saja. Berjalan lurus memasuki garasi itu, mereka melewati sebuah taman. Setelah itu ada pintu ke samping. Ega membukanya. Wow! Ternyata, di dalam ruangan ada beberapa orang yang duduk-duduk di kursi. Menilik dari deretan kursi yan
#Sepupu _dari_KampungBab 8Runyam"Neni belum pulang?" Sania bertanya kepada Rani saat mereka berada di meja makan. Keluarga Purwanto sedang bersiap untuk menikmati santap malam bersama. "Belum, Ma." Gadis abege itu menjawab sembari menggelengkan kepalanya. "Apa nggak telepon kamu?" Purwanto, sang Papa menoleh padanya. Rani menggeleng lagi. "Tumben belum pulang, ya. Sudah setengah tujuh juga," Sania menarik kursi dan duduk di samping Suaminya. "Ya sudah, kita makan duluan saja." Sania menyendok nasi dan diberikan pada piring Suaminya. Tak biasanya Neni pulang terlambat. Biasanya sore hari dia sudah sampai di rumah. Keluarga ini biasa makan malam bersama. Sania dan Purwanto sangat yakin, kedua putrinya adalah anak yang baik. Neni dan Rani rajin ke sekolah. Mereka selalu mendapat ranking dari SD. Pulang sekolah langsung ke rumah. Tidak pernah membolos, berulah negatif, atau mengikuti kebiasaan jelek temannya. Terutama Neni. Purwanto sangat bangga dengan sulungnya itu. Sebentar l
#Sepupu _dari_KampungBab 95000Malam itu, di keluarga Hendri Susilo sedang makan malam. Hendri, istrinya Anya dan putra tunggalnya Zian."Gimana tadi kamu meninjau proyek dengan Pak Anwar, Zi?" Hendri bertanya pada Zian yang sedari tadi diam. Biasanya anak itu cerewet menggoda Mamanya. Semenjak akan dinikahkan, Zian jadi rada pendiam. Mungkin dia tak suka."Bagus."jawab Zian singkat."Bagus gimana, ngerti nggak, kamu?" Kembali Hendri bertanya."Proyeknya lancar, nggak ada kendala. Kualitas bangunan juga bagus," tangan Zian mengambil paha ayam goreng lalu menggigitnya. Anya melirik."Mengerti kan kamu?""Kecik lah, Zian ini Sarjana Tehnik Sipil, Pah. Harusnya langsung jadi Direktur." Zian tertawa. Hendri tersenyum kecil. Biar pun bengal, Zian ini berhasil meraih gelar sarjananya. Hanya saja, sampai saat ini belum pernah mengamalkan ilmunya."Sudah, Pah, kita lihat hasilnya saja nanti." Anya berdiri, dan berjalan ke dapur."Kalau kamu sudah menikah nanti, Papa akan kasih kamu proyek.