Brak ....Suara benda yang dibanting terdengar dengan jelas di telinga Kaluna, mata Kaluna yang tadinya menutup seketika itu juga terbuka dengan cepat. Saat itu juga wajah Pamungkas berubah menjadi wajah Emma yang menatapnya dengan tatapan waswas."I-Ibu? I-Ibu?" bisik Kaluna tidak percaya dengan penglihatannya. Ia mencoba meraih wajah Emma untuk memastikan keberadaan Emma, ia menjerit keras saat merasakan rasa hangat di ujung-ujung jarinya saat menyentuh pipi Emma."Ibu, Ayah! Ayah! Ayah," jerit Kaluna dengan suara pilu. Jantungnya berdebar lebih cepat dan emosinya meledak, Kaluna spontan memeluk tubuh Ibunya."Pergi! Kaluna, pergi!" teriak Emma sambil mengambil celana Kaluna dan menjejalkan ke tangan Kaluna. Matanya menatap Kaluna ketakutan sambil sesekali melirik ke arah Pamungkas yang terkapar di ujung ruangan sedang mengaduh karena tubuhnya dipukul kursi kayu oleh Emma."Bu ... ayo, ayo ... pergi," bisik Kaluna sambil berdiri dan mengambil barang-barangnya secara random. Mencoba m
"Lari Kaluna!" Kaluna menahan napasnya saat mendengar teriakkan Emma di balik pintu dan beberapa kali Kaluna mendengar suara gebrakan pintu yang terasa menyayat hatinya karena dia tahu kalau saat itu yang sedang beradu dengan pintu adalah tubuh Emma. "Ibu," teriak Kaluna keras sambil menggedor pintu rumahnya dan beberapa kali mencoba membuka pintu dengan menggerakkan gagang pintu ke atas dan ke bawah berkali-kali namun nihil, pintu rumahnya itu sudah terkunci dan berbeda dengan pintu yang ada di dalam rumah, di mana terbuat dari kayu tipis semacam tripleks. Pintu luar rumah Kaluna terbuat dari kayu jati yang sangat keras. Brak ... brak ... brak .... "Ayah! Stop! Ibu ... Ibu ... Ibu ...," teriak Kaluna sekeras mungkin hingga suaranya hampir hilang dan telapak tangannya terasa sakit dan memerah karena Kaluna terus menggedor pintunya sekeras mungkin. "Lari Kaluna! Lari!" Terdengar teriakkan perintah dari Emma meminta Kaluna untuk pergi dari sana dan menyelamatkan dirinya. "Ibu!!!" j
Kring ... kring ... kring ....Jonathan yang sedang asyik mengerjakan tugasnya di ruang tengah dengan malas beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah telepon."Iya," ucap Jonathan setelah mengangkat teleponnya."Jo, Sayang ... Mamih sama Papih nggak bisa pulang, yah ... kita di rumah sakit nungguin Eyang. Nggak apa-apa, kan? " tanya Pipit."Ah ... ya udah, nggak apa-apa," sahut Jonathan. Ia tidak berkeberatan tinggal di rumah sendirian dan lagi dia sudah besar bukan anak TK lagi. "kabari Jojo kalau ada apa-apa ya, Mih.""Iya, kamu hati-hati dan kunci pintu yang bener, kalau udah kerjain PR kamu jangan begadang," ucap Pipit yang tahu kalau anak semata wayangnya itu sangat suka begadang sambil menelepon pacarnya."Nggak usah teleponan sama Kaluna sampe subuh, nanti di sekolah juga kamu ketemu dia lagi. Emang nggak bosen apa?" goda Pipit dan langsung tertawa saat mendengar dengusan keras dari Jonathan."Tenang, Kaluna nggak bakal ilang kok besok," goda Pipit lagi."Udah ah, Mih ... Joj
"Yang, ya ampun, aku ... aku ....""Jo, aku kayanya hina banget, Jo ... aku udah nggak bagus lagi dan yang bikin aku gini adalah orang yang seharusnya sayang sama aku, ini ... ini ...." Lagi-lagi Kaluna tersedak ludahnya sendiri saat kembali membayangkan apa yang baru saja terjadi beberapa jam yang lalu.Sebuah kejadian yang membuat dirinya hancur sehancur-hancurnya, dan sialnya yang membuat itu semua terjadi adalah Pamungkas, ayahnya sendiri."Ayah ... di—""Nggak usah panggil dia ayah! Nggak ada ayah yang seperti itu kelakuannya! Bejat, jangan pernah panggil dia ayah lagi, Yang! Dia iblis!" sentak Jonathan sambil menarik handuk dan membungkus tubuh Kaluna serapat mungkin.Rasa sakit dan amarah bercampur menjadi satu hingga membuat Jonathan mengepalkan kedua tangannya. Ingin sekali Jonathan mencari Pamungkas dan menghajarnya, ia sama sekali tidak takut dengan lelaki yang menyandang gelar Ayah bagi Kaluna karena menurut Jonathan manusia macam itu tidak pantas menyandangnya! Sinting!
Kaluna menahan napasnya saat Jonathan menciumnya dengan lembut dan dalam, beberapa kali Kaluna mendesah pelan saat lidah Jonathan masuk ke mulutnya dan menggoda dirinya untuk membalas ciumannya. Tangan Jonathan bergerak membelai garis tubuh Kaluna yang hanya terbalut handuk sambil terus mencium bibir Kaluna sedalam mungkin, lidahnya bergerak mengabsen gigi Kaluna dan menggelitik setiap jengkal bagian dalam mulut Kaluna, menggelitiknya dan menggoda wanita itu untuk terus membalas ciumannya. Erangan-erangan dari bibir Kaluna terdengar sensual di kuping Jonathan seolah mencambuk birahi remajanya tanpa ampun. Jemari Jonathan berada diujung tepian handuk yang masih melingkar ditubuh Kaluna, menutupi bagian dada Kaluna. Telunjuk Jonathan dikaitkan di bagian tepian handuk Kaluna dan dengan cepat ia menariknya hingga handuk itu jatuh ke bawah. Jonathan mundur beberapa langkah dan melepaskan pagutan bibirnya, matanya melihat tubuh telanjang Kaluna. Gairah remajanya dengan cepat meledak karen
"Maaf," bisik Kaluna sambil menempelkan perban ke lengan Jonathan."Nggak apa-apa, nggak sakit juga," dusta Jonathan sambil menunjukkan wajah seorang lelaki kuat padahal hatinya sedang meringis akibat menahan rasa sakit karena lukanya baru saja mendapatkan obat merah dilukanya.Kaluna tertawa sambil mengecup perban yang ada di lengan Jonathan, "Kalau ada bekasnya gimana?" tanya Kaluna."Yah, nggak papa, kan keren jadi kaya cowo-cowo maco gitu," kekeh Jonathan yang langsung mendapatkan pukulan di bahunya."Nah ... gitu ketawa," bisik Jonathan sambil mengusap pucuk rambut Kaluna, "aku paling nggak suka kamu nangis."Kaluna tersipu sambil mengambil tangan Jonathan dan mengusapkan pipinya ke telapak tangan Jonathan seolah lelaki itu sedang membelainya."Maaf tadi, aku ....""Yang," bisik Jonathan sambil mendekatkan tubuhnya lalu memeluk Kaluna seerat mungkin, sesekali Jonathan mengecup bahu Kaluna sambil mengisap aroma tubuh khas wanita itu."Hmm ....""Mulai sekarang kamu nggak usah inge
"Ibu ... Ibu," isak Kaluna sambil berlari ke arah Emma tangisnya pecah saat melihat wajah Ibunya yang lebam dan penuh dengan darah yang sudah mengering di pelipis dan ujung bibirnya.Kaluna dengan cepat memeluk Emma dan menangis hingga suaranya habis, rasa bersalah dengan cepat langsung mendera Kaluna karena meninggalkan Emma sendirian di rumah bersama Pamungkas."Ibu ... maaf, maaf Kaluna ninggalin Ibu, maaf, Bu ... maafin Kaluna," isak Kaluna sambil terus memeluk Emma dengan tubuh yang bergetar akibat luapan emosi rasa sedih dan sesal yang mendera Kaluna.Tulang Kaluna seolah lemas dan hilang dari tubuhnya hingga tanpa sadar tubuhnya merosot dan terduduk di depan tubuh Emma. Kaluna membungkuk dan bersimpuh di kaki Emma dan terus menangis akibat rasa sesal."Maaf, Bu ... maaf," bisik Kaluna sambil terus memeluk Emma"Nggak apa-apa, Lun ... nggak apa-apa," isak Emma sambil berusaha mengangkat tubuh Kaluna agar bisa memeluk anak semata wayangnya itu."Ampun Bu, maafin Kaluna yang ningg
"Emma."Panggilan itu membuat Emma dan Kaluna menengadah, "Om Bekti," bisik Kaluna kaget karena mendapati adik ibunya berdiri di ambang pintu karena setahunya Om-nya itu tinggal di Bandung.Om Bekti tersenyum dan memeluk Kaluna dan juga Emma, "Semuanya sudah aku urus, kita pergi sekarang." Bekti membantu Kaluna dan Emma untuk berdiri, "Mana ponsel kalian, aku udah urus semuanya dan Pamungkas sekarang sedang dijemput oleh pihak kepolisian di rumahnya atas perbuatan KDRT dan aku sudah hubungi pengacara aku untuk urus semua berkas perceraian.""P-pergi? Pergi ke mana?" tanya Kaluna bingung sambil menyerahkan ponselnya ke tangan Bekti dan makin kaget saat Bekti melemparkan ponselnya itu ke tong sampah seolah benda itu tak berharga."Om, jangan dibuang aku nggak nanti nggak bisa hubungi teman aku," bisik Kaluna."Kaluna ...." Bekti menatap manik mata Kaluna dengan tatapan serius seolah ingin memberitahukan pada Kaluna kalau saat ini mereka harus berburu dengan waktu."Kaluna dengar, mulai