"cieee … yang gugup ketemu Mama mertua, tangannya dingin," canda Ziea, membuat Kanza menganga tetapi semakin nervous– merah pipinya karena ucapan Ziea. Deg deg deg 'Buset!! Ini beneran Mamanya Pak Razie? Lucu banget, Cuk. Mana cantik banget lagi.' batin Ziea, senyum kaku karena gugup pada Ziea. "Kapan nikah?" tanya Ziea setelah melepas tautan tangannya dengan Kanza, masih tersenyum lembut– terus menatap senang pada perempuan yang akan menjadi menantunya tersebut. "Ka--kapan-kapan, Tante. Ehehe … calonnya saja belum ada, Tan," canda Kanza, berusaha mencairkan suasana. Tetapi malah-- Beku!Atmosfer terasa beku, semakin dingin dan mencekam. Seseorang di sebelahnya– pria yang menjulang tinggi, hampir dua meter tersebut, terasa menguarkan aura mengancam. Kanza dibuat kikuk, tak nyaman dengan hawa dari pria mengerikan tersebut. 'Ini orang kayak dukun santet deh. Auranya mengerikan banget!' batin Kanza, mengusap tengkuk sembari melirik-lirik ke arah Razie. "Loh, kan calonnya ada di seb
"Wah … Razie!!" Ziea melotot galak pada putranya, berkacak pinggang dengan napas yang menggebu-gebu. Razie menatap ke arah sang Mommy. "Mommy salah paham," ucapnya pelan. Ziea mengibas tangan secara malas di depan wajah, duduk di sebelah Kanza kemudian mengajak calon menantunya tersebut untuk mengobrol. Karena merasa tidak dianggap, Razie segera beranjak dari sana– memilih bergabung dengan Daddynya serta putranya. "Tante meminta maaf untuk kejadian tujuh tahun yah, Sayang," ucap Ziea tiba-tiba, di tengah obrolan mereka. Dari bercanda, suana berubah menjadi lebih serius. Kanza terdiam sesaat, menatap Ziea dengan manik sendu. Lalu tak lama dia mengangukkan kepala, tersenyum lembut ke arah wanita paru baya yang sangat cantik tersebut. Semakin cantik di mata Kanza karena sosok ini sangat baik dan menyenangkan. Visualnya sudah sangat cantik, lalu ditambah dengan pribadinya-- bagi Kanza, wanita ini luar biasa cantik. Luar dalam! "Iya, Tante. Pak Razie sudah menjelaskan kejadian tujuh
Reigha menoleh datar pada Razie. "Daddy tidak bertanya padamu," ucapnya tanpa nada. "Cukup tahu, Daddy," decak Razie sedikit dongkol. Lihat?! Posisinya tergantikan sebagai kesayangan orang tuanya. Untung putranya yang menggantikan posisi itu. Jika tidak …-Damn it! "Ken juga suka buah jeruk, Kakek." Kendrick menjawab sedikit antusias. Ternyata dia banyak kesamaan dengan Daddynya. "Granddad tidak terlalu suka buah, tetapi karena Grandma-mu suka buah terutama buah jeruk, Granddad jadi suka jeruk," ucap Reigha, lagi-lagi tersenyum ketika melihat wajah cucunya. Karakter wajahnya mirip dengannya, tetapi tatapannya sangat mirip pada Razie. Ketika kecil, Razie sering menatapnya seperti ini. Ah, sekarang putranya itu sudah besar, kadang dia merindukan tatapan polos Razie dan Zira. Tetapi tidak apa-apa, Reigha masih bisa merasakannya lewat tatapan Kendrick. Ada diri Razie dalam putranya ini! Reigha bisa melihat serta merasakannya. "Granddad lebih menyukai Grandma daripada jeruk," celutuk
"Ja--jangan mesumi aku, Pak. Ja-jangan!" lirih Kanza, spontan menyilangkan tangan di depan dada ketika Razie mencondongkan tubuh ke arah Kanza. Jantung Kanza sudah berdebar kencang, dadanya naik turun– karena napasnya yang bergemuruh, takut jika Razie akan melakukan hal buruk padanya. Srett'Razie meraih bantal kemudian menjauh dari tubuh Kanza. Tanpa mengatakan apa-apa, Razie berjalan ke arah sofa, melempar bantal ke sudut sopa kemudian berbaring di sana. Kanza mengangkat kepala, menatap Razie panik. Namun hanya sejenak. Dia memilih mengatur napas, lalu duduk untuk melihat lebih jelas apa yang tengah pria itu lakukan padanya. "Pak Razie?" ucap Kanza, mencicit pelan karena sisa dari rasa takut yang masih menyelingkup dalam dirinya. "Humm?" Razie berdehem singkat, tetap memejamkan mata dan menutupinya dengan tangan. Dia berbaring menghadap langit kamar, tak menoleh sedikitpun pada Kanza. Shit! Kejadian tadi membuatnya … gerrrrrr! Dia menginginkan Kanza!"Kenapa Pak Razie tidur d
Hari terus berganti, Razie dan putranya belum pulang dari Paris sedangkan Kanza menjalani hidup seperti biasa. Bedanya, ada perasaan kehilangan yang hadir di sepanjang waktu. Ini pertama kalinya Kanza berpisah dengan putranya, Kanza merindukan Kendrick. Saat ini Kanza berada di galeri, ruangannya dan sedang membuat sebuah lukisan untuk dikirim ke luar kota– lukisan yang dipesan oleh seorang pengusaha. "Seperti biasa, lukisanmu selalu bagus dan penuh makna." Kanza yang sedang dalam tahap pengeringan, menoleh ke arah Gara. Seminggu ini Gara sering mendatanginya ke ruangan ini. Entah pria ini hanya sekedar menontonnya atau kadang mengajaknya mengobrol. "Terimakasih, Pak Gara," ujar Kanza, tersenyum simpul ke arah Gara kemudian kembali fokus mengeringkan lukisannya. "Ouh iya, Saya ingin menanyakan satu hal padamu. Mungkin ini sangat privasi. Tetapi saya ingin kamu jujur, Kanza." Kanza mematikan kipas, memutar tubuhnya untuk duduk menghadap sepenuhnya pada Gara. Pria itu menggeser ku
"Humm?" Razie berdehem singkat, menatap Kanza lamat, "jadi jika dia izin kau akan membiarkannya mengelus kepalamu?" dingin Razie. Kanza menggeleng kuat, melototkan mata secara horor. "Bukan begitu, Pak Razie. A--aku bisa menghindar semisal Pak Gara izin, atau menolak. Tetapi ini kan tidak."Razie tiba-tiba meraih dagu Kanza, menghapitnya dengan ibu jari; semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Kanza. "Pak--Pak Razie mau ngapain?" panik Kanza, mencicit pelan– takut jika Razie nekat melakukan sesuatu padanya. "Me--menjauh, Pak," ucapnya kembali, nadanya berbisik karena suaranya seperti terjepit di tenggorokan. Tatapan Kanza gelisah, berusaha membaca apa yang akan Razie lakukan padanya. Namun sayang, wajah pria ini terlalu datar. Kanza tidak bisa menebak. Kanza mendorong pundak Razie. "Pak!" peringat Kanza, "jangan seperti ini!!""Jadi kita harus seperti apa? Berada di atas ranjang dan …-" Razie menaikkan sebelah alis, menyunggingkan smirk tipis dengan menatap tepat pada manik indah Kan
Kanza tersentak kaget, buru-buru memalingkan wajah– memilih menatap keluar jendela. Kanza hanya diam, tidak mengatakan apa-apa karena-- apa yang ingin dia katakan? Razie benar! Wajah pria ini sangat tampan. Sialnya Razie menyadari ketampanannya, harusnya tidak!***"Grandma, Granddad," panggil Razie, sengaja agar Kakek neneknya tersebut menoleh ke arahnya. Sebab, Razie berniat memperkenalkan Kanza pada keduanya. "Mama …." Anak kecil yang tengah duduk di depan Satiya serta Gabriel tersebut langsung turun dari sofa, berlari ke arah perempuan di sebelah Razie lalu langsung memeluknya erat. "Mama …," lirih Kendrick, memeluk erat kaki Kanza. Dia mendongak dengan melayangkan tatapan sendu dan berkaca-kaca pada Kanza. Kendrick sangat merindukan Mamanya. Sangat! Kanza melepas pelukan Kendrick, memilih berjongkok agar sejajar dengan putranya tersebut. Kemudian dia membawa Kendrick dalam pelukannya– menyalurkan rasa rindu serta kehangatan pada putranya tersebut. "Mama, Ken merindukan Mama,"
"KANZA!" Mendengar suara bentakan tersebut Kanza langsung menjauh dari Mita. Laki-laki paru baya serta seorang perempuan paru baya menghampiri Mita yang telah tergeletak tak sadarkan diri di lantai. "Kamu apakan putriku, Hah?!" marah perempuan itu sembari menatap nyalang dan murkah pada Kanza. Kanza hanya diam, mengamati perempuan paru baya tersebut dengan air muka datar. Sekarang lihatlah? Mereka semua mengelilingi Kanza, menyudutkan Kanza-- hanya karena membela dirinya sendiri. "Kalau terjadi apa-apa pada putriku, kau …-" Gigi pria itu bergemelutuk, menatap marah ke arah Kanza. "Ada apa ini?" tanya Rafael, muncul bersama seorang perempuan di sebelahnya. "Wanita ini-- dia memukul putriku hingga tidak sadarkan diri, El," jelas Arga, menatap Rafael sekilas kemudian kembali melayangkan tatapan marah pada Kanza. "Kau siapa?" Rafael berkata dingin, melayangkan tatapan tajam pada Kanza. "Kanza calon istriku, Uncle," jawab Razie, menyahut dari tempatnya dan berjalan untuk menghampi