"Wah … Razie!!" Ziea melotot galak pada putranya, berkacak pinggang dengan napas yang menggebu-gebu. Razie menatap ke arah sang Mommy. "Mommy salah paham," ucapnya pelan. Ziea mengibas tangan secara malas di depan wajah, duduk di sebelah Kanza kemudian mengajak calon menantunya tersebut untuk mengobrol. Karena merasa tidak dianggap, Razie segera beranjak dari sana– memilih bergabung dengan Daddynya serta putranya. "Tante meminta maaf untuk kejadian tujuh tahun yah, Sayang," ucap Ziea tiba-tiba, di tengah obrolan mereka. Dari bercanda, suana berubah menjadi lebih serius. Kanza terdiam sesaat, menatap Ziea dengan manik sendu. Lalu tak lama dia mengangukkan kepala, tersenyum lembut ke arah wanita paru baya yang sangat cantik tersebut. Semakin cantik di mata Kanza karena sosok ini sangat baik dan menyenangkan. Visualnya sudah sangat cantik, lalu ditambah dengan pribadinya-- bagi Kanza, wanita ini luar biasa cantik. Luar dalam! "Iya, Tante. Pak Razie sudah menjelaskan kejadian tujuh
Reigha menoleh datar pada Razie. "Daddy tidak bertanya padamu," ucapnya tanpa nada. "Cukup tahu, Daddy," decak Razie sedikit dongkol. Lihat?! Posisinya tergantikan sebagai kesayangan orang tuanya. Untung putranya yang menggantikan posisi itu. Jika tidak …-Damn it! "Ken juga suka buah jeruk, Kakek." Kendrick menjawab sedikit antusias. Ternyata dia banyak kesamaan dengan Daddynya. "Granddad tidak terlalu suka buah, tetapi karena Grandma-mu suka buah terutama buah jeruk, Granddad jadi suka jeruk," ucap Reigha, lagi-lagi tersenyum ketika melihat wajah cucunya. Karakter wajahnya mirip dengannya, tetapi tatapannya sangat mirip pada Razie. Ketika kecil, Razie sering menatapnya seperti ini. Ah, sekarang putranya itu sudah besar, kadang dia merindukan tatapan polos Razie dan Zira. Tetapi tidak apa-apa, Reigha masih bisa merasakannya lewat tatapan Kendrick. Ada diri Razie dalam putranya ini! Reigha bisa melihat serta merasakannya. "Granddad lebih menyukai Grandma daripada jeruk," celutuk
"Ja--jangan mesumi aku, Pak. Ja-jangan!" lirih Kanza, spontan menyilangkan tangan di depan dada ketika Razie mencondongkan tubuh ke arah Kanza. Jantung Kanza sudah berdebar kencang, dadanya naik turun– karena napasnya yang bergemuruh, takut jika Razie akan melakukan hal buruk padanya. Srett'Razie meraih bantal kemudian menjauh dari tubuh Kanza. Tanpa mengatakan apa-apa, Razie berjalan ke arah sofa, melempar bantal ke sudut sopa kemudian berbaring di sana. Kanza mengangkat kepala, menatap Razie panik. Namun hanya sejenak. Dia memilih mengatur napas, lalu duduk untuk melihat lebih jelas apa yang tengah pria itu lakukan padanya. "Pak Razie?" ucap Kanza, mencicit pelan karena sisa dari rasa takut yang masih menyelingkup dalam dirinya. "Humm?" Razie berdehem singkat, tetap memejamkan mata dan menutupinya dengan tangan. Dia berbaring menghadap langit kamar, tak menoleh sedikitpun pada Kanza. Shit! Kejadian tadi membuatnya … gerrrrrr! Dia menginginkan Kanza!"Kenapa Pak Razie tidur d
Hari terus berganti, Razie dan putranya belum pulang dari Paris sedangkan Kanza menjalani hidup seperti biasa. Bedanya, ada perasaan kehilangan yang hadir di sepanjang waktu. Ini pertama kalinya Kanza berpisah dengan putranya, Kanza merindukan Kendrick. Saat ini Kanza berada di galeri, ruangannya dan sedang membuat sebuah lukisan untuk dikirim ke luar kota– lukisan yang dipesan oleh seorang pengusaha. "Seperti biasa, lukisanmu selalu bagus dan penuh makna." Kanza yang sedang dalam tahap pengeringan, menoleh ke arah Gara. Seminggu ini Gara sering mendatanginya ke ruangan ini. Entah pria ini hanya sekedar menontonnya atau kadang mengajaknya mengobrol. "Terimakasih, Pak Gara," ujar Kanza, tersenyum simpul ke arah Gara kemudian kembali fokus mengeringkan lukisannya. "Ouh iya, Saya ingin menanyakan satu hal padamu. Mungkin ini sangat privasi. Tetapi saya ingin kamu jujur, Kanza." Kanza mematikan kipas, memutar tubuhnya untuk duduk menghadap sepenuhnya pada Gara. Pria itu menggeser ku
"Humm?" Razie berdehem singkat, menatap Kanza lamat, "jadi jika dia izin kau akan membiarkannya mengelus kepalamu?" dingin Razie. Kanza menggeleng kuat, melototkan mata secara horor. "Bukan begitu, Pak Razie. A--aku bisa menghindar semisal Pak Gara izin, atau menolak. Tetapi ini kan tidak."Razie tiba-tiba meraih dagu Kanza, menghapitnya dengan ibu jari; semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Kanza. "Pak--Pak Razie mau ngapain?" panik Kanza, mencicit pelan– takut jika Razie nekat melakukan sesuatu padanya. "Me--menjauh, Pak," ucapnya kembali, nadanya berbisik karena suaranya seperti terjepit di tenggorokan. Tatapan Kanza gelisah, berusaha membaca apa yang akan Razie lakukan padanya. Namun sayang, wajah pria ini terlalu datar. Kanza tidak bisa menebak. Kanza mendorong pundak Razie. "Pak!" peringat Kanza, "jangan seperti ini!!""Jadi kita harus seperti apa? Berada di atas ranjang dan …-" Razie menaikkan sebelah alis, menyunggingkan smirk tipis dengan menatap tepat pada manik indah Kan
Kanza tersentak kaget, buru-buru memalingkan wajah– memilih menatap keluar jendela. Kanza hanya diam, tidak mengatakan apa-apa karena-- apa yang ingin dia katakan? Razie benar! Wajah pria ini sangat tampan. Sialnya Razie menyadari ketampanannya, harusnya tidak!***"Grandma, Granddad," panggil Razie, sengaja agar Kakek neneknya tersebut menoleh ke arahnya. Sebab, Razie berniat memperkenalkan Kanza pada keduanya. "Mama …." Anak kecil yang tengah duduk di depan Satiya serta Gabriel tersebut langsung turun dari sofa, berlari ke arah perempuan di sebelah Razie lalu langsung memeluknya erat. "Mama …," lirih Kendrick, memeluk erat kaki Kanza. Dia mendongak dengan melayangkan tatapan sendu dan berkaca-kaca pada Kanza. Kendrick sangat merindukan Mamanya. Sangat! Kanza melepas pelukan Kendrick, memilih berjongkok agar sejajar dengan putranya tersebut. Kemudian dia membawa Kendrick dalam pelukannya– menyalurkan rasa rindu serta kehangatan pada putranya tersebut. "Mama, Ken merindukan Mama,"
"KANZA!" Mendengar suara bentakan tersebut Kanza langsung menjauh dari Mita. Laki-laki paru baya serta seorang perempuan paru baya menghampiri Mita yang telah tergeletak tak sadarkan diri di lantai. "Kamu apakan putriku, Hah?!" marah perempuan itu sembari menatap nyalang dan murkah pada Kanza. Kanza hanya diam, mengamati perempuan paru baya tersebut dengan air muka datar. Sekarang lihatlah? Mereka semua mengelilingi Kanza, menyudutkan Kanza-- hanya karena membela dirinya sendiri. "Kalau terjadi apa-apa pada putriku, kau …-" Gigi pria itu bergemelutuk, menatap marah ke arah Kanza. "Ada apa ini?" tanya Rafael, muncul bersama seorang perempuan di sebelahnya. "Wanita ini-- dia memukul putriku hingga tidak sadarkan diri, El," jelas Arga, menatap Rafael sekilas kemudian kembali melayangkan tatapan marah pada Kanza. "Kau siapa?" Rafael berkata dingin, melayangkan tatapan tajam pada Kanza. "Kanza calon istriku, Uncle," jawab Razie, menyahut dari tempatnya dan berjalan untuk menghampi
"Ngapain Bapak ke sini?" tanya Kanza yang saat ini sedang berhadapan dengan Razie. Pria itu langsung berdiri dari sofa, mendekati Kanza lalu dengan cepat meraih pergelangan tangan Kanza. "Pulang denganku." Kanza menggelengkan kepala. "Kemana? Ini tempatku untuk pulang. Lebih baik Pak Razie pergi dari sini.""Aku memintamu secara baik-baik," dingin Razie, "atau kau ingin kuseret dari sini, humm?!" ucap Razie kembali, nadanya memang tenang dan pelan, tetapi terasa mencekam– membuat bulu kuduk Kanza meremang takut. "Kita bicara di rumah," ucap Razie, sebelum Kanza mengeluarkan kalimat bantahan. Dengan gerakan tak terbaca, dia menggendong Kanza– membopongnya seperti karung beras dan membawanya keluar dari rumah tersebut. Klek'Razie membuka mobil, memasukkan Kanza secara kasar ke dalam lalu menutup pintu mobil. Satu lagi, putranya masih di dalam. Bug' bug bug "Pak!!" pekik Kanza dalam mobil, memukul-mukul jendela mobil dengan kuat. Namun, itu terasa percuma! Yang ada tangannya yang
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming