"Ngapain Bapak ke sini?" tanya Kanza yang saat ini sedang berhadapan dengan Razie. Pria itu langsung berdiri dari sofa, mendekati Kanza lalu dengan cepat meraih pergelangan tangan Kanza. "Pulang denganku." Kanza menggelengkan kepala. "Kemana? Ini tempatku untuk pulang. Lebih baik Pak Razie pergi dari sini.""Aku memintamu secara baik-baik," dingin Razie, "atau kau ingin kuseret dari sini, humm?!" ucap Razie kembali, nadanya memang tenang dan pelan, tetapi terasa mencekam– membuat bulu kuduk Kanza meremang takut. "Kita bicara di rumah," ucap Razie, sebelum Kanza mengeluarkan kalimat bantahan. Dengan gerakan tak terbaca, dia menggendong Kanza– membopongnya seperti karung beras dan membawanya keluar dari rumah tersebut. Klek'Razie membuka mobil, memasukkan Kanza secara kasar ke dalam lalu menutup pintu mobil. Satu lagi, putranya masih di dalam. Bug' bug bug "Pak!!" pekik Kanza dalam mobil, memukul-mukul jendela mobil dengan kuat. Namun, itu terasa percuma! Yang ada tangannya yang
"Itu … Pak Razie duda yah?" tanya Kanza, entah kenapa tiba-tiba teringat perkataan Gara padanya mengenai Razie. "Humm." Razie berdehem pelan, lalu menaikkan sebelah alis sembari menatap intens pada Kanza yang masih betah duduk di sudut sofa, "ada yang salah?" Kanza menggelengkan kepala. "Aku hanya penasaran saja kenapa Pak Razie bercerai. Eh, bu--bukan ingin sok tahu, takutnya Bapak seperti Pak Antonio saja." "Maksudmu berselingkuh?" Kanza menganggukkan kepala. "Aku menceraikannya karena dia menipuku," jawab Razie, menjeda sejenak. Tiba-tiba dia berdiri– Kanza pikir Razie akan pergi, ternyata pria itu berdiri untuk pindah tempat duduk di sebelahnya. Lebih tepatnya duduk dengan merapat dan berdempetan dengan Kanza. Wajah Kanza muram, menciut di sudut sofa dan kembali menyilangkan tangan di depan dada. 'Ngapain dia dekat-dekat denganku sih?! Cik!' batin Kanza, resah dan gelisah sendiri. "Kau meninggalkanku malam itu, dan dia menjemputku– memanfaatkan ketidak sadaranku lalu menjeb
"Mama kenapa murung?" Kanza menoleh ke arah putranya yang entah sejak kapan duduk di sebelahnya. Kanza sudah pulang dari tempat kerjanya, saat ini sedang merenung-- duduk di salah satu kursi santai pada outdoor rumah Razie. Tempat ini sangat nyaman, tetapi entah kenapa itu tidak bisa membuat Kanza merasa tenang. Hah, harus kemana dia mencari uang lima miliyar? Apalagi waktunya hanya dalam satu hari. Kemana Kanza akan meminjam uang sebanyak itu? "Mama tidak murung," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala putranya lalu tersenyum lembut, "Mama hanya kecapean. Sedikit," tambahnya sembari menyengir lebar pada Kendrick. Kendrick terdiam sejenak, menatap Mamanya secara lamat. Setalah itu, anak tersebut mengeluarkan suara. "Kenapa Mama masih bekerja? Daddy bukan pemabuk yang seperti Mama katakan pada Kendrick. Daddy punya perusahaan dan rumah Daddy banyak. Dady juga banyak uang untuk Mama dan Kendrick. Jadi-- alasan Mama bekerja untuk apa?" Kanza menatap sepenuhnya pada Kendrick, dia mengerja
"Kau ingin pamer tubuh pada siapa, humm?" Deg deg deg Kanza menoleh cepat dan gugup ke arah suara dingin tersebut. Tubuhnya terlonjak kaget ketika melihat Razie sudah berada di sebelahnya, Kanza buru-buru turun dari ranjang lalu menjaga jarak dengan menghindari dari Razie. "Kau ingin memamerkan tubuhmu pada siapa?" ulang Razie, nadanya rendah namun menusuk dan dingin; membuat Kanza meremang takut kala mendengarnya. Kanza menggelengkan kepala secara kuat, mundur beberapa langkah ketika Razie mendekatinya. Untungnya pria ini sudah mengenakan pakaian, jadi Kanza tidak harus merasakan gugup secara kuadrat. Ingin pingsan? Sedikit! Karena pria ini habis mandi, Razie terlihat sangat-sangat tampan. "Pak Razie bicara apa? Aku tidak ingin pamer pada siapapun, Pak," elak Kanza, berusaha untuk tidak gugup meskipun jantungnya sudah jedag jedug dalam sana. Razie diam, menatap tajam dan begitu lamat ke arah Kanza. Dia mengamati perempuan itu dari atas hingga bawah lalu kembali menatapnya tepa
"Harus seperti ini baru kau jujur padaku, Nona Kanza Adiba?" ucap Razie tiba-tiba, melilitkan tangannya di pinggang Kanza. Persetan jika Kanza menolak dan memberontak. Razie tidak peduli! "Aku menunggumu seharian untuk mengatakan ini, Kanza. Aku menunggumu untuk menemuiku," ucap Razie serak, merunduk untuk bisa menatap wajah cantik Kanza-nya. Satu tangannya yang bebas, terangkat ke arah wajah Kanza– jemarinya membelai lembut pipi perempuan itu, menyingkirkan anakan rambut yang menghalangi kemudian menyelipkannya di belakang daun telinga perempuan itu. "Kenapa? Kenapa sangat lama bagimu untuk terbuka? Karena aku tidak meyakinkanmu, humm?""Pa--Pak …," cicit Kanza pelan, kurang nyaman dengan perlakuan Razie padanya. Bukan ingin munafik, tetapi dia dan Razie belum menikah. Hal-hal seperti ini harusnya tak terjadi. "Aku tahu dia menjebakmu, aku tahu dia memanfaatkan kesalahan orang lain untuk mendapatkanmu. Aku tahu tanpa kau harus mengatakannya," bisik Razie serak, mendekatkan wajahny
"Maaf, tapi kau tidak jauh berbeda dariku, Razie. Kau juga menjebak Kanza. Kau lebih buruk! Lihat, bahkan Kanza tidak bersuara, dia ketakutan karena mu! Itu artinya aku lebih baik," ucap Gara, meluapkan emosinya pada Razie. Razie sudah keterlaluan, dia yakin Razie melakukan hal yang lebih licik darinya. Oleh sebab itu Razie bisa mendapatkan perusahaan ini dan bisa mendapatkan Kanza sekaligus. 'Aku yakin dia mengancam Kanza. Cih, lihat saja, Razie. Aku tidak akan menyerah. Baik untuk perusahaan ini maupun Kanza,' batin Gara.Razie menoleh ke arah Kanza yang berada di pangkuannya. "Kanza-ku diam bukan karena ketakutan, tetapi karena kaget melihat sisi Gara yang bodoh," ucap Razie, kembali menatap Gara dengan smirk tipis di bibir. "Kau masih bisa bekerja di sini, di bawah naunganku. Mulai sekarang aku bos-mu, Big Brother," ucap Razie dengan suara rendah, namun terkesan dingin– menyepelekan serta menjatuhkan. Dia berdiri, otomatis membuat Kanza yang sejak tadi hanya diam di pangkuannya
"Tapi Razie serakah. Aku menginginkan perusahaan itu tetapi dia mengambilnya." Gara berkata lirih. "Itu kesalahanmu karena mengusik miliknya, Nak. Sudah tabiat keturunan Kakek Gabriel seperti itu– akan melakukan apapun untuk menyingkirkan sesuatu yang berniat merampas milik mereka. Itu memang sifat buruk, tetapi … mau bagaimana lagi?" Prince mengacungkan pundak pada akhir kalimat, "Razie tidak benar-benar menginginkan perusahaan itu, berdamai dengannya dan meminta maaf secara baik-baik padanya. Daddy yakin Razie akan mengembalikannya padamu.""Cih, tidak mungkin!" Gara berdecis pelan. Baik sekali Razie jika mengembalikan perusahaan itu padanya. Itu tidak akan pernah terjadi! "Padahal Granddad sudah menceritakannya, tetapi kau tidak memahaminya." "Maksud Daddy?" Gara menaikkan sebelah alis. "Razie itu sangat persis dengan Kakek Gabriel dan Daddynya, selain masalah wanita yang mereka cintai, keduanya tidak akan egois dan serakah. Percaya pada Granddad. Rasa persaudaraan yang mereka
'AJG lah! Terpaksa aku manggil Pak Razie dengan embel-embel Mas biar si monyet ini makin kepanasan. Aaaaa … semoga Pak Razie tidak marah!! Mati mati mati!!' batin Kanza, di mana di luar dia terlihat santai dan datar. Namun, di dalam dia was-was, takut Razie marah karena dipanggil mas olehnya. 'Mana lancang manggil Mas sayang lagi. Cari perkara kamu, Kanza!'"Mas?" Gio mengerutkan kening, menatap Kanza kebingungan. Dia sangat mengenal keluarga perempuan ini, dan Kanza tidak punya sepupu laki-laki. Kedua orang tua Kanza merupakan anak tunggal dari keluarga masing-masing, begitu juga dengan Kanza yang terlahir sebagai anak tunggal. Meskipun setelah ibunya meninggal, Kanza mendapatkan saudara tiri karena ayahnya kembali. "Kamu tidak punya sepupu atau saudara laki-laki, jadi dia siapa, Kanza?""Orang asing sepertimu tidak pantas menanyakan itu," ketus Kanza, kemudian menoleh ke arah Razie– tersenyum tipis pada pria itu, merupakan bagian dari akting, "ayo, Mas, kita pergi. Buang-buang waktu