"KANZA!" Mendengar suara bentakan tersebut Kanza langsung menjauh dari Mita. Laki-laki paru baya serta seorang perempuan paru baya menghampiri Mita yang telah tergeletak tak sadarkan diri di lantai. "Kamu apakan putriku, Hah?!" marah perempuan itu sembari menatap nyalang dan murkah pada Kanza. Kanza hanya diam, mengamati perempuan paru baya tersebut dengan air muka datar. Sekarang lihatlah? Mereka semua mengelilingi Kanza, menyudutkan Kanza-- hanya karena membela dirinya sendiri. "Kalau terjadi apa-apa pada putriku, kau …-" Gigi pria itu bergemelutuk, menatap marah ke arah Kanza. "Ada apa ini?" tanya Rafael, muncul bersama seorang perempuan di sebelahnya. "Wanita ini-- dia memukul putriku hingga tidak sadarkan diri, El," jelas Arga, menatap Rafael sekilas kemudian kembali melayangkan tatapan marah pada Kanza. "Kau siapa?" Rafael berkata dingin, melayangkan tatapan tajam pada Kanza. "Kanza calon istriku, Uncle," jawab Razie, menyahut dari tempatnya dan berjalan untuk menghampi
"Ngapain Bapak ke sini?" tanya Kanza yang saat ini sedang berhadapan dengan Razie. Pria itu langsung berdiri dari sofa, mendekati Kanza lalu dengan cepat meraih pergelangan tangan Kanza. "Pulang denganku." Kanza menggelengkan kepala. "Kemana? Ini tempatku untuk pulang. Lebih baik Pak Razie pergi dari sini.""Aku memintamu secara baik-baik," dingin Razie, "atau kau ingin kuseret dari sini, humm?!" ucap Razie kembali, nadanya memang tenang dan pelan, tetapi terasa mencekam– membuat bulu kuduk Kanza meremang takut. "Kita bicara di rumah," ucap Razie, sebelum Kanza mengeluarkan kalimat bantahan. Dengan gerakan tak terbaca, dia menggendong Kanza– membopongnya seperti karung beras dan membawanya keluar dari rumah tersebut. Klek'Razie membuka mobil, memasukkan Kanza secara kasar ke dalam lalu menutup pintu mobil. Satu lagi, putranya masih di dalam. Bug' bug bug "Pak!!" pekik Kanza dalam mobil, memukul-mukul jendela mobil dengan kuat. Namun, itu terasa percuma! Yang ada tangannya yang
"Itu … Pak Razie duda yah?" tanya Kanza, entah kenapa tiba-tiba teringat perkataan Gara padanya mengenai Razie. "Humm." Razie berdehem pelan, lalu menaikkan sebelah alis sembari menatap intens pada Kanza yang masih betah duduk di sudut sofa, "ada yang salah?" Kanza menggelengkan kepala. "Aku hanya penasaran saja kenapa Pak Razie bercerai. Eh, bu--bukan ingin sok tahu, takutnya Bapak seperti Pak Antonio saja." "Maksudmu berselingkuh?" Kanza menganggukkan kepala. "Aku menceraikannya karena dia menipuku," jawab Razie, menjeda sejenak. Tiba-tiba dia berdiri– Kanza pikir Razie akan pergi, ternyata pria itu berdiri untuk pindah tempat duduk di sebelahnya. Lebih tepatnya duduk dengan merapat dan berdempetan dengan Kanza. Wajah Kanza muram, menciut di sudut sofa dan kembali menyilangkan tangan di depan dada. 'Ngapain dia dekat-dekat denganku sih?! Cik!' batin Kanza, resah dan gelisah sendiri. "Kau meninggalkanku malam itu, dan dia menjemputku– memanfaatkan ketidak sadaranku lalu menjeb
"Mama kenapa murung?" Kanza menoleh ke arah putranya yang entah sejak kapan duduk di sebelahnya. Kanza sudah pulang dari tempat kerjanya, saat ini sedang merenung-- duduk di salah satu kursi santai pada outdoor rumah Razie. Tempat ini sangat nyaman, tetapi entah kenapa itu tidak bisa membuat Kanza merasa tenang. Hah, harus kemana dia mencari uang lima miliyar? Apalagi waktunya hanya dalam satu hari. Kemana Kanza akan meminjam uang sebanyak itu? "Mama tidak murung," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala putranya lalu tersenyum lembut, "Mama hanya kecapean. Sedikit," tambahnya sembari menyengir lebar pada Kendrick. Kendrick terdiam sejenak, menatap Mamanya secara lamat. Setalah itu, anak tersebut mengeluarkan suara. "Kenapa Mama masih bekerja? Daddy bukan pemabuk yang seperti Mama katakan pada Kendrick. Daddy punya perusahaan dan rumah Daddy banyak. Dady juga banyak uang untuk Mama dan Kendrick. Jadi-- alasan Mama bekerja untuk apa?" Kanza menatap sepenuhnya pada Kendrick, dia mengerja
"Kau ingin pamer tubuh pada siapa, humm?" Deg deg deg Kanza menoleh cepat dan gugup ke arah suara dingin tersebut. Tubuhnya terlonjak kaget ketika melihat Razie sudah berada di sebelahnya, Kanza buru-buru turun dari ranjang lalu menjaga jarak dengan menghindari dari Razie. "Kau ingin memamerkan tubuhmu pada siapa?" ulang Razie, nadanya rendah namun menusuk dan dingin; membuat Kanza meremang takut kala mendengarnya. Kanza menggelengkan kepala secara kuat, mundur beberapa langkah ketika Razie mendekatinya. Untungnya pria ini sudah mengenakan pakaian, jadi Kanza tidak harus merasakan gugup secara kuadrat. Ingin pingsan? Sedikit! Karena pria ini habis mandi, Razie terlihat sangat-sangat tampan. "Pak Razie bicara apa? Aku tidak ingin pamer pada siapapun, Pak," elak Kanza, berusaha untuk tidak gugup meskipun jantungnya sudah jedag jedug dalam sana. Razie diam, menatap tajam dan begitu lamat ke arah Kanza. Dia mengamati perempuan itu dari atas hingga bawah lalu kembali menatapnya tepa
"Harus seperti ini baru kau jujur padaku, Nona Kanza Adiba?" ucap Razie tiba-tiba, melilitkan tangannya di pinggang Kanza. Persetan jika Kanza menolak dan memberontak. Razie tidak peduli! "Aku menunggumu seharian untuk mengatakan ini, Kanza. Aku menunggumu untuk menemuiku," ucap Razie serak, merunduk untuk bisa menatap wajah cantik Kanza-nya. Satu tangannya yang bebas, terangkat ke arah wajah Kanza– jemarinya membelai lembut pipi perempuan itu, menyingkirkan anakan rambut yang menghalangi kemudian menyelipkannya di belakang daun telinga perempuan itu. "Kenapa? Kenapa sangat lama bagimu untuk terbuka? Karena aku tidak meyakinkanmu, humm?""Pa--Pak …," cicit Kanza pelan, kurang nyaman dengan perlakuan Razie padanya. Bukan ingin munafik, tetapi dia dan Razie belum menikah. Hal-hal seperti ini harusnya tak terjadi. "Aku tahu dia menjebakmu, aku tahu dia memanfaatkan kesalahan orang lain untuk mendapatkanmu. Aku tahu tanpa kau harus mengatakannya," bisik Razie serak, mendekatkan wajahny
"Maaf, tapi kau tidak jauh berbeda dariku, Razie. Kau juga menjebak Kanza. Kau lebih buruk! Lihat, bahkan Kanza tidak bersuara, dia ketakutan karena mu! Itu artinya aku lebih baik," ucap Gara, meluapkan emosinya pada Razie. Razie sudah keterlaluan, dia yakin Razie melakukan hal yang lebih licik darinya. Oleh sebab itu Razie bisa mendapatkan perusahaan ini dan bisa mendapatkan Kanza sekaligus. 'Aku yakin dia mengancam Kanza. Cih, lihat saja, Razie. Aku tidak akan menyerah. Baik untuk perusahaan ini maupun Kanza,' batin Gara.Razie menoleh ke arah Kanza yang berada di pangkuannya. "Kanza-ku diam bukan karena ketakutan, tetapi karena kaget melihat sisi Gara yang bodoh," ucap Razie, kembali menatap Gara dengan smirk tipis di bibir. "Kau masih bisa bekerja di sini, di bawah naunganku. Mulai sekarang aku bos-mu, Big Brother," ucap Razie dengan suara rendah, namun terkesan dingin– menyepelekan serta menjatuhkan. Dia berdiri, otomatis membuat Kanza yang sejak tadi hanya diam di pangkuannya
"Tapi Razie serakah. Aku menginginkan perusahaan itu tetapi dia mengambilnya." Gara berkata lirih. "Itu kesalahanmu karena mengusik miliknya, Nak. Sudah tabiat keturunan Kakek Gabriel seperti itu– akan melakukan apapun untuk menyingkirkan sesuatu yang berniat merampas milik mereka. Itu memang sifat buruk, tetapi … mau bagaimana lagi?" Prince mengacungkan pundak pada akhir kalimat, "Razie tidak benar-benar menginginkan perusahaan itu, berdamai dengannya dan meminta maaf secara baik-baik padanya. Daddy yakin Razie akan mengembalikannya padamu.""Cih, tidak mungkin!" Gara berdecis pelan. Baik sekali Razie jika mengembalikan perusahaan itu padanya. Itu tidak akan pernah terjadi! "Padahal Granddad sudah menceritakannya, tetapi kau tidak memahaminya." "Maksud Daddy?" Gara menaikkan sebelah alis. "Razie itu sangat persis dengan Kakek Gabriel dan Daddynya, selain masalah wanita yang mereka cintai, keduanya tidak akan egois dan serakah. Percaya pada Granddad. Rasa persaudaraan yang mereka
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming