Ceklek'Ziea menoleh ke arah pintu, menatap seorang pria yang masuk begitu saja dalam kamarnya. Ziea kemudian mengalihkan perhatiannya, kembali menatap televisi yang menyala. 'Roman-romannya Mas Rei masih marah sepertinya. Cik, aku harus gimana yah biar bisa terhindar dari kemarahan Mas Reigha?' batin Ziea, mengusap tengkuk– merasa merinding dan panas di tengkuknya. 'Ini orang seperti hantu, ada aura-aura mistisnya.' Dewi batin Ziea ketika merasa jika Reigha berjalan menuju ke arahnya. Pria itu berjalan ke arah Ziea, meraih remot TV lalu mematikan televisi– Ziea hanya bisa memasang air muka pucat pias, muram dan kaku.Reigha mendekatinya, berdiri tepat di depan Ziea yang sudah menyender lesu di sofa– mendongak menatap takut-takut pada suaminya tersebut. "Bagas begitu tampan, heh?" sindir Reigha, berkata dengan nada dingin dan rendah– menatap tajam dan mematikan ke arah istrinya. Ziea menggelengkan kepala secara kuat. "Mas Rei yang tampan," jawabnya dengan mencicit pelan, bagai ana
"Mas Reigha, aku bantu?" tawar Ziea dengan langsung menghampiri suminya– berniat membantu Reigha memasang dasi. Namun, Reigha dengan cepat menghindar. Dia buru-buru meraih jas, kemudian segera beranjak dari sana tanpa mengatakan apa-apa pada Ziea. "Mas …-" panggil Ziea, sama sekali tak digubris oleh Reigha. "Cik, dari semalam!! Diamin aku cuma gara-gara Bagas. Kocak! Aku dan suamiku bertengkar gara-gara Bagas, sedangkan Bagas di seberang sana sedang bahagia dengan kehidupannya. Ahahaha! Badut, badut, badut!" ucap Ziea, kesal, frustasi dan dongkol dengan Reigha. Oke, hukumannya adalah didiami oleh suaminya tersebut. ***"Rei, kau dan Ziea ada masalah? Dia mengantarmu tadi pagi tetapi kau tidak merespon sama sekali." Reigha menatap ke arah Aesya, hanya sekilas. "Hanya perasaanmu saja," jawab Reigha, fokus pada layar komputer di meja kerja.Dia sudah sampai di kantor, tengah sibuk dengan tumpukan pekerjaan. Aesya dan Matheo berada di ruangannya, membantu Reigha menyelesaikan pekerja
"Mulai sekarang kamu harus memanggilku Yang Mulai Kakak ipar!" angkuh Lea sembari menatap Ziea dengan air muka antagonis dan arogan. "Kenapa? Kumat lagi yah kamu? Cik, move on dong, Sayang." Ziea memutar bola mata dengan jengah. "Lagian Bagas juga bersedia untuk nikah dengan kamu. Ngapain lagi kamu berharap sama Kak Deden?""Adik ipar lucknat, jaga bicaramu. Atau-- aku kutuk kamu jadi batu!" Lea berucap dramatis, bernada dan tegas– masih menatap Ziea dengan air muka arogan. "Lihat ini--" Dia mengulurkan, memperlihatkan gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. "Gelang dari Babang tampan Haiden. Semalam, Beibeb melamarku.""Hah? Ikan Mas ikan hiu, demi apa?" ucap Ziea, antara syok dan tak percaya. "Pantunmu nggak nyambung. Pas belajar B.Indo pasti kamu tidur yah makanya nggak tahu kalau pantun itu harus bersajak ab-ab." Lea menatap nanar ke arah Ziea. "Kalau kamu nggak percaya tanya saja sama Kak Dedenmu itu. Kalau nggak yakin nanya Kak Dedenmu, coba tanya Mas Batu nisanmu. Kar
Ziea menghela napas sejenak, lalu menceritakan suatu rahasia yang diam-diam ia amati sendiri. Orang tidak ada yang menyadarinya, tetapi Ziea sadar. "Dan saat lebah mulai menyebar, mengejar kalian– di situ kamu lari ke arah berlawanan dari team kalian, bukan?" Lea menganggukkan kepala, membenarkan perkataan Ziea. Betul sekali, dia memang lari ke arah jalan yang salah karena terlalu panik dikejar oleh segerombolan lebah liar. "Kak Deden sebenarnya ingin ke jalan yang satunya, ke tempat Kak Nanda dan Melodi lari. Tetapi karena melihatmu salah jalan, Kak Deden balik dan memilih untuk menyusul kamu. Dari situ saja sudah jelas kalau Kak Deden ada perasaan ke kamu," ucap Ziea. Lea senyum-senyum salah tingkah, mengibas tangan di depan wajah karena ge'er mendengar ucapan Ziea. "Ta--tapi belum tentu kali, Ziea. Orang kami satu team. Bisa saja kan itu cuma perasaan ke-leader-an Babang Haiden makanya dia balik arah untuk menyusulku. Yang namanya ketua kan harus bertanggung jawab sepenuhnya
'Lama tidak jumpa, dia semakin cantik.' batin pria itu sembari menatap Lea dan Ziea secara bergantian. "Hal--" Belum sempat pria itu bersuara, tiba-tiba suara pria dewasa yang bariton lebih dulu menyela. "Brigen," panggil Haiden, tiba-tiba muncul entah dari mana. Pria tersebut sontak menoleh ke arah Haiden. "Oh, Haiden. Hai, Dude," sapa pria itu, langsung menghampiri Haiden untuk saling bersalaman. "Kau sepertinya tidak sabar tiba di sini. Jadwal mu datang, harusnya besok. Tetapi … hebat, bisa lebih cepat sehari. Siapa yang kau incar, Heh? Aesya?" Haiden berucap santai, menyunggingkan smirk tipis ke arah Brigen. "Ah. Masih rahasia, Den." Brigen terkekeh pelan. "Reigha di mana? Yang lainnya juga di mana?" tanyanya kemudian. Sebenarnya itu hanya sekedar basa-basi. "Rei masih bekerja. Begitu juga dengan Aesya," jawab Haiden, menoleh secara tiba-tiba ke arah adiknya dan … ah, calon istrinya. "Masuk!" titahnya pada Ziea dan Lea. Ziea mengerutkan kening, menatap Kakaknya dengan dongk
"Anara tahu, Aunty. Tapi …-" Anara memajukan tangan ke arah Ziea dengan jari telunjuk yang berdiri, sikapnya sangat menggemaskan. "Paman Ega yang bilang sendiri ke Anara, Xander dan Samuel, agar kami memanggil Aunty dengan sebutan Aunty Ega. Begitu, Aunty."Lea yang mendengar celutukan anak tersebut, terkekeh pelan. Lucu dan menggemaskan. Sedangkan Ziea terlihat tertekan dan frustasi. Istri pajangan? Tidak. Nama pajangan? Nah, itu baru benar. 'Agak kasihan ke Daddy. Udah cape-cape ngasih nama ke putrinya, sampai bikin pengajian dan ini itulah. Eh, menantunya seenak jidat ganti-ganti nama putrinya.' batin Ziea, menampilkan raut muka dongkol dan masam. "Sebenarnya, Anara sangat ingin sekali Aunty Ega ikut jalan-jalan dengan kami, tadi. Tapi … Mommy bilang Aunty Ziea-- eh maksudnya Aunty Ega sedang hamil, jadi tidak boleh jalan-jalan oleh Paman Ega. Betul yah, Aunty?" celutuk anak kecil tersebut dengan nada yang berubah-ubah, kadang senang dan kadang cemberut. "Iya, Sayang." Ziea me
Setelah selesai makan malam, di mana mereka satu persatu meninggalkan ruangan tersebut– Matheo masih terus memperhatikan Aesya. Dia melangkah lamat dan pelan, tak jauh dari belakang Aesya dan Brigan yang berjalan beriringan. 'Aku cemburu!' batinnya, menatap punggung Aesya secara tajam. Tangannya mengepal kuat dan raut mukanya begitu dingin serta kaku. Namun ketika mengingat posisinya, kepalan tangannya melonggar serta air mukanya berubah sendu. 'Aku hanya pesuruh, tidak pantas menaruh perasaan pada Nona Aesya. Pria itu lebih pantas karena mereka dari kalangan yang sama, dan Tuan Reigha merestui mereka.' "Pak Sekretaris." Merasa dirinya yang dipanggil, Matheo berhenti melangkah. Dia menoleh ke arah Nyonya-nya; di mana Nyonya-nya tersebut lah yang memanggilnya. "Ini … gelangmu yah?" ucap Ziea sembari memperlihatkan sebuah gelang yang terbuat dari tali satin berwarna hitam, di mana ditengah gelang ada batu berlian berwarna merah menyala– disangkar oleh lilitan logam seperti naga. Si
"Sayang sekali! Padahal jika Nona bersedia menikah denganku, Nona bisa mendapatkan anak secara gratis dariku. Mau mirip Nona atau mirip denganku, kita bisa kompromi terlebih dahulu jika Nona mau," ucap Matheo dengan santai, mendapat tatapan horor dari Aesya. "Hah." Aesya menghela napas secara panjang, "berbicara denganmu hanya membuatku sakit kepala," ucap Aesya, menatap datar ke arah Matheo kemudian segera beranjak dari sana. Matheo tersenyum tipis, menatap kepergian perempuan yang ia sukai tersebut dengan tatapan sendu dan sayup. Dia terus menatap punggung Aesya, dan setelan perempuan itu benar-benar menghilang dari pandangannya barulah dia beranjak dari sana. "Nona Cemburu? Cih, aku terlalu berharap." Matheo berdecis pelan, berjalan santai dari sana. ***"Kau ingin mendekati seseorang karena itu kau tiba lebih awal kemari?" tanya Reigha pada Brigan, di mana saat ini dia dan para saudaranya yang lain sedang berkumpul di ruang kerja Reigha sendiri. Setelah kejadian kemarin, di
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming