"Mulai sekarang kamu harus memanggilku Yang Mulai Kakak ipar!" angkuh Lea sembari menatap Ziea dengan air muka antagonis dan arogan. "Kenapa? Kumat lagi yah kamu? Cik, move on dong, Sayang." Ziea memutar bola mata dengan jengah. "Lagian Bagas juga bersedia untuk nikah dengan kamu. Ngapain lagi kamu berharap sama Kak Deden?""Adik ipar lucknat, jaga bicaramu. Atau-- aku kutuk kamu jadi batu!" Lea berucap dramatis, bernada dan tegas– masih menatap Ziea dengan air muka arogan. "Lihat ini--" Dia mengulurkan, memperlihatkan gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. "Gelang dari Babang tampan Haiden. Semalam, Beibeb melamarku.""Hah? Ikan Mas ikan hiu, demi apa?" ucap Ziea, antara syok dan tak percaya. "Pantunmu nggak nyambung. Pas belajar B.Indo pasti kamu tidur yah makanya nggak tahu kalau pantun itu harus bersajak ab-ab." Lea menatap nanar ke arah Ziea. "Kalau kamu nggak percaya tanya saja sama Kak Dedenmu itu. Kalau nggak yakin nanya Kak Dedenmu, coba tanya Mas Batu nisanmu. Kar
Ziea menghela napas sejenak, lalu menceritakan suatu rahasia yang diam-diam ia amati sendiri. Orang tidak ada yang menyadarinya, tetapi Ziea sadar. "Dan saat lebah mulai menyebar, mengejar kalian– di situ kamu lari ke arah berlawanan dari team kalian, bukan?" Lea menganggukkan kepala, membenarkan perkataan Ziea. Betul sekali, dia memang lari ke arah jalan yang salah karena terlalu panik dikejar oleh segerombolan lebah liar. "Kak Deden sebenarnya ingin ke jalan yang satunya, ke tempat Kak Nanda dan Melodi lari. Tetapi karena melihatmu salah jalan, Kak Deden balik dan memilih untuk menyusul kamu. Dari situ saja sudah jelas kalau Kak Deden ada perasaan ke kamu," ucap Ziea. Lea senyum-senyum salah tingkah, mengibas tangan di depan wajah karena ge'er mendengar ucapan Ziea. "Ta--tapi belum tentu kali, Ziea. Orang kami satu team. Bisa saja kan itu cuma perasaan ke-leader-an Babang Haiden makanya dia balik arah untuk menyusulku. Yang namanya ketua kan harus bertanggung jawab sepenuhnya
'Lama tidak jumpa, dia semakin cantik.' batin pria itu sembari menatap Lea dan Ziea secara bergantian. "Hal--" Belum sempat pria itu bersuara, tiba-tiba suara pria dewasa yang bariton lebih dulu menyela. "Brigen," panggil Haiden, tiba-tiba muncul entah dari mana. Pria tersebut sontak menoleh ke arah Haiden. "Oh, Haiden. Hai, Dude," sapa pria itu, langsung menghampiri Haiden untuk saling bersalaman. "Kau sepertinya tidak sabar tiba di sini. Jadwal mu datang, harusnya besok. Tetapi … hebat, bisa lebih cepat sehari. Siapa yang kau incar, Heh? Aesya?" Haiden berucap santai, menyunggingkan smirk tipis ke arah Brigen. "Ah. Masih rahasia, Den." Brigen terkekeh pelan. "Reigha di mana? Yang lainnya juga di mana?" tanyanya kemudian. Sebenarnya itu hanya sekedar basa-basi. "Rei masih bekerja. Begitu juga dengan Aesya," jawab Haiden, menoleh secara tiba-tiba ke arah adiknya dan … ah, calon istrinya. "Masuk!" titahnya pada Ziea dan Lea. Ziea mengerutkan kening, menatap Kakaknya dengan dongk
"Anara tahu, Aunty. Tapi …-" Anara memajukan tangan ke arah Ziea dengan jari telunjuk yang berdiri, sikapnya sangat menggemaskan. "Paman Ega yang bilang sendiri ke Anara, Xander dan Samuel, agar kami memanggil Aunty dengan sebutan Aunty Ega. Begitu, Aunty."Lea yang mendengar celutukan anak tersebut, terkekeh pelan. Lucu dan menggemaskan. Sedangkan Ziea terlihat tertekan dan frustasi. Istri pajangan? Tidak. Nama pajangan? Nah, itu baru benar. 'Agak kasihan ke Daddy. Udah cape-cape ngasih nama ke putrinya, sampai bikin pengajian dan ini itulah. Eh, menantunya seenak jidat ganti-ganti nama putrinya.' batin Ziea, menampilkan raut muka dongkol dan masam. "Sebenarnya, Anara sangat ingin sekali Aunty Ega ikut jalan-jalan dengan kami, tadi. Tapi … Mommy bilang Aunty Ziea-- eh maksudnya Aunty Ega sedang hamil, jadi tidak boleh jalan-jalan oleh Paman Ega. Betul yah, Aunty?" celutuk anak kecil tersebut dengan nada yang berubah-ubah, kadang senang dan kadang cemberut. "Iya, Sayang." Ziea me
Setelah selesai makan malam, di mana mereka satu persatu meninggalkan ruangan tersebut– Matheo masih terus memperhatikan Aesya. Dia melangkah lamat dan pelan, tak jauh dari belakang Aesya dan Brigan yang berjalan beriringan. 'Aku cemburu!' batinnya, menatap punggung Aesya secara tajam. Tangannya mengepal kuat dan raut mukanya begitu dingin serta kaku. Namun ketika mengingat posisinya, kepalan tangannya melonggar serta air mukanya berubah sendu. 'Aku hanya pesuruh, tidak pantas menaruh perasaan pada Nona Aesya. Pria itu lebih pantas karena mereka dari kalangan yang sama, dan Tuan Reigha merestui mereka.' "Pak Sekretaris." Merasa dirinya yang dipanggil, Matheo berhenti melangkah. Dia menoleh ke arah Nyonya-nya; di mana Nyonya-nya tersebut lah yang memanggilnya. "Ini … gelangmu yah?" ucap Ziea sembari memperlihatkan sebuah gelang yang terbuat dari tali satin berwarna hitam, di mana ditengah gelang ada batu berlian berwarna merah menyala– disangkar oleh lilitan logam seperti naga. Si
"Sayang sekali! Padahal jika Nona bersedia menikah denganku, Nona bisa mendapatkan anak secara gratis dariku. Mau mirip Nona atau mirip denganku, kita bisa kompromi terlebih dahulu jika Nona mau," ucap Matheo dengan santai, mendapat tatapan horor dari Aesya. "Hah." Aesya menghela napas secara panjang, "berbicara denganmu hanya membuatku sakit kepala," ucap Aesya, menatap datar ke arah Matheo kemudian segera beranjak dari sana. Matheo tersenyum tipis, menatap kepergian perempuan yang ia sukai tersebut dengan tatapan sendu dan sayup. Dia terus menatap punggung Aesya, dan setelan perempuan itu benar-benar menghilang dari pandangannya barulah dia beranjak dari sana. "Nona Cemburu? Cih, aku terlalu berharap." Matheo berdecis pelan, berjalan santai dari sana. ***"Kau ingin mendekati seseorang karena itu kau tiba lebih awal kemari?" tanya Reigha pada Brigan, di mana saat ini dia dan para saudaranya yang lain sedang berkumpul di ruang kerja Reigha sendiri. Setelah kejadian kemarin, di
Tiba-tiba saja HP Aesya berdering. 'Ziea?' Aesya dengan cepat mengangkat telpon dari Kakak ipar rasa adik kandung-nya tersebut. "Halo, Ziea, ada apa?" sapa-nya pelan dengan suara hangat dan lembut, membuat Matheo kembali memperhatikannya secara diam-diam. Di sisi lain, Reigha mengalihkan perhatiannya dari buku– sejenak menatap Aesya karena merasa terpanggil ketika kembarannya itu menyebut nama istrinya. 'Ini Aayara, Kak,' ucap seorang dari belakang sana. Aesya sedikit terkejut, mendadak khawatir karena takut terjadi sesuatu pada Ziea. Ke--kenapa handphone Ziea ada pada Aayara? "Yara? Kok bisa HP Ziea ada sama kamu?" tanya Aesya dengan nada sedikit panik. Kini Maxim yang menoleh, nama istrinya disebut! 'Dikasih sama orangnya langsung.'"Trus Ziea di mana? Ziea baik-baik saja kan?" tanya Aesya pelan dan hati-hati– takut di dengar oleh Reigha.'Super baik, Kak. Ini-- orangnya lagi kesurupan. Ketawa-ketawa bareng yang lain. Makanya sini cepat, kita lagi nonton drama …- Woi, nama dr
"Apa?" Pada pria di sana– minus Fauzan dan Matheo, sama-sama menyeru kata 'apa. Mereka sama-sama penasaran sebab Aesya sempat menyebut nama Ziea dan Aayara. "Aku sedang bertanya," ucap Reigha kembali, menyunggingkan smirk tipis dan kembali membaca buku– hal tersebut membuat wajah saudaranya muram dan menahan kesal. "Sialan kau, Ega! Aku sudah serius!" ketus Rafael, Reigha hanya diam– tak terusik sama sekali sembari fokus membaca bukunya. "Kau semakin mirip dengan Zebra. Menyebalkan!" dengkus Haiden. "Kenapa kalian tidak periksa sendiri? Siapa tahu mereka sedang berkumpul di satu tempat," ucap Reigha santai. Tanpa mengatakan apa-apa, Maxim seketika beranjak dari sana. Di susul oleh Rafael dan juga Haiden. Sedangkan Brigan, karena Reigha hanya diam dan memilih fokus pada buku tebalnya, Brigan memilih beranjak dari sana. Untuk apa dia bertahan di sana, menonton Reigha yang sedang membaca buku? Cih, lebih baik dia kembali di kamarnya dan memilih menonton tembok di kamar. Setidaknya