"Tiara ... bangun, udah subuh, anak gadis nggak boleh males, ayo cepetan." Ibu menyentuh lembut pipi Tiara.
"Loh, badan kamu panas, Tiara, kamu sakit?" tanya Ibu khawatir.
"Emmhhh ...," Tiara menggeliat kemudian mengucek mata,"nggak kok Bu, cuma pusing dikit." Tiara duduk, sambil memijit kedua pelipisnya.
"Ya udah, sana, ambil wudhu terus sholat. Kalau pusing, nanti nggak usah bantu Ibu, tidur lagi aja." kata Ibu sambil berjalan keluar kamar. Tiara mengikuti langkah Ibunya.
Sampai di dapur, Ibu membuat teh dan menyiapkan sarapan untuk Ayah. Sedangkan Tiara ke kamar mandi untuk berwudhu.
Sebenarnya sehabis sholat, Tiara ingin tiduran lagi, seperti pesan Ibunya tadi. Rasa pusingnya belum juga reda. Tapi, Tiara juga tidak tega kalau membiarkan Ibu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Akhirnya Tiara memutuskan untuk membantu Ibunya.
"Tumben Bapak belum sarapan, Bu?" Tiara bertanya pada Ibunya yang sedang membersihkan ikan.
"Hari ini Bapak nggak ke kebun, nanti akan ada tamu yang datang," jawab Ibunya tanpa menoleh," Loh, katanya pusing? udah istirahat aja di kamar, biar Ibu yang memasak dan beberes."
"Udah agak mendingan, Bu, tadi aku minum obat yang biasa Ibu kasih itu." Tiara mengambil tempat di depan ibunya untuk membantu membersihkan ikan.
"E ... nggak usah bantu ini, sana kamu buat bumbunya aja, tamu kita nanti suka banget Lo sama pepes." Ibunya berkata dengan mimik wajah menggoda.
"Emang siapa sih Bu, tamu Bapak? kok sampai bela-belain masak sebanyak ini? kayak mau nyambut orang se RT aja."
Tiara memandang belanjaan didepannya. Ada daging, sayuran, beraneka jenis buah, belum lagi ikan yang sedang dibersihkan Ibunya.
"Sudah jangan banyak tanya, nanti juga kamu bakalan tau, sekarang cepat buat bumbu pepesnya." perintah Ibu.
Dengan cekatan Tiara memilih dan menakar bumbu, sebagai gadis desa, Tiara memang pandai sekali memasak. Meski dia terlahir di keluarga yang terpandang, tapi orangtuanya tak memanjakannya. Tiara tetap dididik untuk mandiri. "Untuk bekal Nanti" begitu kata-kata Ibu yang selalu diingatnya.
Selesai membuat bumbu pepes, Tiara segera membuat bumbu untuk masakan lainnya. Ibunya yang membungkus pepes dan memasak rendang.
Hampir tiga jam, Tiara dan ibunya berkutat di dapur. Akhirnya selesai sudah semua masakan. Tiara segera menatanya dimeja makan. Ibunya membersihkan perkakas yang digunakan untuk memasak.
"Sudah selesai semua, kan, Nak?" Ibu bertanya.
"Sudah Bu, ini tinggal membersihkan meja dari kuah yang tercecer," jawab Tiara yang sedang mengelap meja.
"Kalau sudah, cepetan mandi, pakai baju yang pantas ya Nak, jangan lupa dandan juga ya," pinta Ibunya.
"Duh ... siapa sih tamunya, jadi penasaran ... ya udah, Tiara mandi dulu ya, Bu," jawab Tiara sambil berlalu.
******
Tepat pukul sebelas, mobil berwarna hitam memasuki halaman rumah. Ayah dan Ibu Tiara segera menuju ke halaman untuk menyambut tamu tersebut.
Tiara masih di kamar saat mobil itu sampai. Dia mengintip dari jendela kamar. Tampaklah Om Wisnu dan Tante Mirna keluar dari mobil, dan itu ... ada Nanta juga, "ternyata dia sudah pulang" gumam Tiara.
Diruang tamu, dengan ramah Ibu Asih, ibunya Tiara mempersilahkan tamunya.
"Monggo, Mbak Mirna, Mas Wisnu, silahkan duduk."
"Iya, makasih ya, Jeng." jawab Tante Mirna dengan sumringah.
"Eh ... ini Nak Nanta, ya, sudah pulang? bukankah dulu katanya tiga tahun baru pulang, udah selesai kuliahnya?" tanya Ibu Asih saat melihat pria tampan berlesung Pipit itu.
"Iya Tante, kebetulan lagi libur jadi Nanta pulang, kangen sama Papa Mama." Nanta kemudian menyalami Ayah dan Ibu Tiara.
"Hmm ... kangen Papa Mama, atau kangen sama Tiara." Gurau Pak Wisnu.
"Apaan sih Pa." jawab Nanta malu-malu.
"Iya nih Jeng, sok-sokan mau pulang setelah lulus, kayak kuliahnya di luar negeri aja, e ... nggak taunya baru setahun juga udah kangen berat." ibunya Nanta menimpali.
"Sudah-sudah, jangan menggoda Nak Nanta lagi, kasihan." Ayah Tiara yang sedari tadi diam, ikut bicara karena melihat Nanta yang salah tingkah digoda oleh mereka.
"Loh, Tiara mana, kok dari tadi nggak kelihatan?" tanya Tante Mirna saat menyadari tidak ada Tiara di sana.
"Oh ... mungkin lagi buatin minuman untuk Nak Nanta." Ibu Asih menggoda lagi, " sebentar ya, saya panggil Tiara dulu."
Bu Asih berjalan ke dapur, tapi tak dilihatnya Tiara di sana. Bu Asih mencari Tiara di kamarnya.
"Lo ... kok masih di sini, ayo cepetan buatin minum untuk tamu kita,Tiara."
"Ternyata tamunya Nanta dan Orangtuanya, ya, Bu, apa ini soal perjodohan yang waktu itu Bapak bicarakan?" tanya Tiara tak bersemangat.
"Bukan sayang, ini cuma silaturahmi biasa aja kok, dari dulu kan memang sering begitu." Bu Asih meyakinkan Tiara.
"Ayo, buatin minum dan temui tamu kita, jangan sampai Bapak malu karena kamu terkesan tidak menyukai kedatangan mereka." kata Ibu Asih sambil membelai rambut Tiara.
Akhirnya Tiara pun menuruti kata-kata ibunya. Meski dengan sedikit terpaksa, dia mengantar minuman dan beraneka camilan untuk Nanta dan orangtuanya.
"Wah ... lama nggak bertemu, Tante pangling, Tiara, kamu cantik sekali." puji mamanya Nanta.
"Ah Tante bisa saja, Tante apa kabar?" Tiara menyalami dan memeluk mamanya Nanta.
"Kabar baik sayang." jawab mamanya Nanta.
"Om Wisnu apa kabar?" Tiara menyalami dan mencium tangan papanya Nanta.
"Kabar baik, Tiara," jawab papanya Nanta," kita memang tidak salah memilih calon menantu, ya, Ma ... sudah baik, cantik, sopan lagi." kata Om Wisnu memuji Tiara.
"Iya Pa ... pantesan aja Nanta nggak betah lama-lama ninggalin Tiara." Tante Mirna berkata sambil melirik Nanta.
"Loh kok Nanta gak di tanyain kabarnya sayang." tanya Tante Mirna saat melihat Tiara duduk disamping ibunya tanpa menyalami Nanta.
"Apaan sih Ma, kita kan sering komunikasi jadi nggak perlulah tanya kabar." Nanta membela Tiara yang salah tingkah oleh pertanyaan mamanya.
Pertemuan hari ini sungguh sangat membahagiakan untuk orangtua Nanta dan Tiara. Mereka saling bercerita dan bercanda.
Tak terasa tibalah waktu makan siang. Bu Asih mempersilahkan tamunya untuk menikmati hidangan yang sudah dipersiapkan.
"Mari Mbak, Mas, dan Nak Nanta, kita makan siang dulu, Tiara sudah menyiapkan masakan kesukaan Nanta Lo."
"Kamu masih ingat masakan kesukaan Nanta, sayang? duh ... ternyata selain calon menantu yang baik, kamu juga calon istri idaman." puji Tante Mirna.
Tiara hanya menanggapinya dengan senyuman. Acara makan siang berlangsung ramai, Orangtua Nanta tak henti memuji semua masakan yang dimasak oleh Ibu Asih dan Tiara. Bapak dan Nanta lebih banyak diam.
Selesai acara makan siang, Tiara segera membereskan meja makan dan membersihkan piring dan gelas yang kotor.
Didepan terdengar pembicaraan mereka tentang rencana untuk melihat kebun sawit yang baru saja ditanam. Ya ... orang tua Tiara dan Nanta memang bekerja sama diperkebunan sawit.
Mereka bersiap untuk berangkat saat jam menunjukkan pukul tiga sore.
"Ayo Tiara, kamu ikutkan ke kebun?" tanya Nanta yang tiba-tiba sudah ada disamping Tiara yang duduk di teras belakang.
"Oh ... eh ... maaf Nanta, aku nggak ikut, kepalaku agak pusing." jawab Tiara sedikit tergagap karena tak menyangka Nanta akan menyusulnya kesini.
"Kamu sakit, sudah minum obat? atau mau saya antar kedokter?" tanya Nanda bernada khawatir.
"Oh gak usah Nanta, tadi udah minum obat kok, bentar lagi juga sembuh," jawab Tiara, " kamu temani orangtua kita aja, bilangin aku nggak bisa ikut." kata Tiara lagi.
"Kamu nggak pa-pa kan ditinggal sendiri, atau kita batalin aja rencana untuk pergi ke kebun."
" Jangan Nanta, kasihan Tante Mirna dan Om Wisnu, tujuan mereka kesini kan untuk melihat kebun baru mereka, aku nggak pa-pa kok, ayo gih, temani mereka." Kata Tiara menyakinkan Nanta.
Tiara ikut kedepan bersama Nanta. Nanta yang bicara kalau Tiara tidak ikut serta. Mereka memakluminya saat Ibu Asih membenarkan penjelasan Nanta.
Tiara memandangi mobil hitam itu sampai tak terlihat lagi. Sebenarnya bukan karena sakit kepala yang membuatnya tak ikut dalam mobil itu. Tapi ada ritual rutin yang tak mungkin ditinggalkannya selama satu tahun ini.
"Tiara ... bangun, udah subuh, anak gadis nggak boleh males, ayo cepetan." Ibu menyentuh lembut pipi Tiara.
"Loh, badan kamu panas, Tiara, kamu sakit?" tanya Ibu khawatir.
"Emmhhh ...," Tiara menggeliat kemudian mengucek mata,"nggak kok Bu, cuma pusing dikit." Tiara duduk, sambil memijit kedua pelipisnya.
"Ya udah, sana, ambil wudhu terus sholat. Kalau pusing, nanti nggak usah bantu Ibu, tidur lagi aja." kata Ibu sambil berjalan keluar kamar. Tiara mengikuti langkah Ibunya.
Sampai di dapur, Ibu membuat teh dan menyiapkan sarapan untuk Ayah. Sedangkan Tiara ke kamar mandi untuk berwudhu.
Sebenarnya sehabis sholat, Tiara ingin tiduran lagi, seperti pesan Ibunya tadi. Rasa pusingnya belum juga reda. Tapi, Tiara juga tidak tega kalau membiarkan Ibu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Akhirnya Tiara memutuskan untuk membantu Ibunya.
"Tumben Bapak belum sarapan, Bu?" Tiara bertanya pada Ibunya yang sedang membersihkan ikan.
"Hari ini Bapak nggak ke kebun, nanti akan ada tamu yang datang," jawab Ibunya tanpa menoleh," Loh, katanya pusing? udah istirahat aja di kamar, biar Ibu yang memasak dan beberes."
"Udah agak mendingan, Bu, tadi aku minum obat yang biasa Ibu kasih itu." Tiara mengambil tempat di depan ibunya untuk membantu membersihkan ikan.
"E ... nggak usah bantu ini, sana kamu buat bumbunya aja, tamu kita nanti suka banget Lo sama pepes." Ibunya berkata dengan mimik wajah menggoda.
"Emang siapa sih Bu, tamu Bapak? kok sampai bela-belain masak sebanyak ini? kayak mau nyambut orang se RT aja."Tiara memandang belanjaan didepannya. Ada daging, sayuran, beraneka jenis buah, belum lagi ikan yang sedang dibersihkan Ibunya.
"Sudah jangan banyak tanya, nanti juga kamu bakalan tau, sekarang cepat buat bumbu pepesnya." perintah Ibu.
Dengan cekatan Tiara memilih dan menakar bumbu, sebagai gadis desa, Tiara memang pandai sekali memasak. Meski dia terlahir di keluarga yang terpandang, tapi orangtuanya tak memanjakannya. Tiara tetap dididik untuk mandiri. "Untuk bekal Nanti" begitu kata-kata Ibu yang selalu diingatnya.
Selesai membuat bumbu pepes, Tiara segera membuat bumbu untuk masakan lainnya. Ibunya yang membungkus pepes dan memasak rendang.
Hampir tiga jam, Tiara dan ibunya berkutat di dapur. Akhirnya selesai sudah semua masakan. Tiara segera menatanya dimeja makan. Ibunya membersihkan perkakas yang digunakan untuk memasak.
"Sudah selesai semua, kan, Nak?" Ibu bertanya.
"Sudah Bu, ini tinggal membersihkan meja dari kuah yang tercecer," jawab Tiara yang sedang mengelap meja.
"Kalau sudah, cepetan mandi, pakai baju yang pantas ya Nak, jangan lupa dandan juga ya," pinta Ibunya.
"Duh ... siapa sih tamunya, jadi penasaran ... ya udah, Tiara mandi dulu ya, Bu," jawab Tiara sambil berlalu.
******
Tepat pukul sebelas, mobil berwarna hitam memasuki halaman rumah. Ayah dan Ibu Tiara segera menuju ke halaman untuk menyambut tamu tersebut.
Tiara masih di kamar saat mobil itu sampai. Dia mengintip dari jendela kamar. Tampaklah Om Wisnu dan Tante Mirna keluar dari mobil, dan itu ... ada Nanta juga, "ternyata dia sudah pulang" gumam Tiara.
Diruang tamu, dengan ramah Ibu Asih, ibunya Tiara mempersilahkan tamunya.
"Monggo, Mbak Mirna, Mas Wisnu, silahkan duduk."
"Iya, makasih ya, Jeng." jawab Tante Mirna dengan sumringah.
"Eh ... ini Nak Nanta, ya, sudah pulang? bukankah dulu katanya tiga tahun baru pulang, udah selesai kuliahnya?" tanya Ibu Asih saat melihat pria tampan berlesung Pipit itu.
"Iya Tante, kebetulan lagi libur jadi Nanta pulang, kangen sama Papa Mama." Nanta kemudian menyalami Ayah dan Ibu Tiara.
"Hmm ... kangen Papa Mama, atau kangen sama Tiara." Gurau Pak Wisnu.
"Apaan sih Pa." jawab Nanta malu-malu.
"Iya nih Jeng, sok-sokan mau pulang setelah lulus, kayak kuliahnya di luar negeri aja, e ... nggak taunya baru setahun juga udah kangen berat." ibunya Nanta menimpali.
"Sudah-sudah, jangan menggoda Nak Nanta lagi, kasihan." Ayah Tiara yang sedari tadi diam, ikut bicara karena melihat Nanta yang salah tingkah digoda oleh mereka.
"Loh, Tiara mana, kok dari tadi nggak kelihatan?" tanya Tante Mirna saat menyadari tidak ada Tiara di sana.
"Oh ... mungkin lagi buatin minuman untuk Nak Nanta." Ibu Asih menggoda lagi, " sebentar ya, saya panggil Tiara dulu."
Bu Asih berjalan ke dapur, tapi tak dilihatnya Tiara di sana. Bu Asih mencari Tiara di kamarnya.
"Lo ... kok masih di sini, ayo cepetan buatin minum untuk tamu kita,Tiara."
"Ternyata tamunya Nanta dan Orangtuanya, ya, Bu, apa ini soal perjodohan yang waktu itu Bapak bicarakan?" tanya Tiara tak bersemangat.
"Bukan sayang, ini cuma silaturahmi biasa aja kok, dari dulu kan memang sering begitu." Bu Asih meyakinkan Tiara.
"Ayo, buatin minum dan temui tamu kita, jangan sampai Bapak malu karena kamu terkesan tidak menyukai kedatangan mereka." kata Ibu Asih sambil membelai rambut Tiara.Akhirnya Tiara pun menuruti kata-kata ibunya. Meski dengan sedikit terpaksa, dia mengantar minuman dan beraneka camilan untuk Nanta dan orangtuanya.
"Wah ... lama nggak bertemu, Tante pangling, Tiara, kamu cantik sekali." puji mamanya Nanta.
"Ah Tante bisa saja, Tante apa kabar?" Tiara menyalami dan memeluk mamanya Nanta.
"Kabar baik sayang." jawab mamanya Nanta.
"Om Wisnu apa kabar?" Tiara menyalami dan mencium tangan papanya Nanta.
"Kabar baik, Tiara," jawab papanya Nanta," kita memang tidak salah memilih calon menantu, ya, Ma ... sudah baik, cantik, sopan lagi." kata Om Wisnu memuji Tiara.
"Iya Pa ... pantesan aja Nanta nggak betah lama-lama ninggalin Tiara." Tante Mirna berkata sambil melirik Nanta.
"Loh kok Nanta gak di tanyain kabarnya sayang." tanya Tante Mirna saat melihat Tiara duduk disamping ibunya tanpa menyalami Nanta.
"Apaan sih Ma, kita kan sering komunikasi jadi nggak perlulah tanya kabar." Nanta membela Tiara yang salah tingkah oleh pertanyaan mamanya.
Pertemuan hari ini sungguh sangat membahagiakan untuk orangtua Nanta dan Tiara. Mereka saling bercerita dan bercanda.
Tak terasa tibalah waktu makan siang. Bu Asih mempersilahkan tamunya untuk menikmati hidangan yang sudah dipersiapkan.
"Mari Mbak, Mas, dan Nak Nanta, kita makan siang dulu, Tiara sudah menyiapkan masakan kesukaan Nanta Lo."
"Kamu masih ingat masakan kesukaan Nanta, sayang? duh ... ternyata selain calon menantu yang baik, kamu juga calon istri idaman." puji Tante Mirna.
Tiara hanya menanggapinya dengan senyuman. Acara makan siang berlangsung ramai, Orangtua Nanta tak henti memuji semua masakan yang dimasak oleh Ibu Asih dan Tiara. Bapak dan Nanta lebih banyak diam.
Selesai acara makan siang, Tiara segera membereskan meja makan dan membersihkan piring dan gelas yang kotor.
Didepan terdengar pembicaraan mereka tentang rencana untuk melihat kebun sawit yang baru saja ditanam. Ya ... orang tua Tiara dan Nanta memang bekerja sama diperkebunan sawit.
Mereka bersiap untuk berangkat saat jam menunjukkan pukul tiga sore.
"Ayo Tiara, kamu ikutkan ke kebun?" tanya Nanta yang tiba-tiba sudah ada disamping Tiara yang duduk di teras belakang.
"Oh ... eh ... maaf Nanta, aku nggak ikut, kepalaku agak pusing." jawab Tiara sedikit tergagap karena tak menyangka Nanta akan menyusulnya kesini.
"Kamu sakit, sudah minum obat? atau mau saya antar kedokter?" tanya Nanda bernada khawatir.
"Oh gak usah Nanta, tadi udah minum obat kok, bentar lagi juga sembuh," jawab Tiara, " kamu temani orangtua kita aja, bilangin aku nggak bisa ikut." kata Tiara lagi.
"Kamu nggak pa-pa kan ditinggal sendiri, atau kita batalin aja rencana untuk pergi ke kebun."
" Jangan Nanta, kasihan Tante Mirna dan Om Wisnu, tujuan mereka kesini kan untuk melihat kebun baru mereka, aku nggak pa-pa kok, ayo gih, temani mereka." Kata Tiara menyakinkan Nanta.
Tiara ikut kedepan bersama Nanta. Nanta yang bicara kalau Tiara tidak ikut serta. Mereka memakluminya saat Ibu Asih membenarkan penjelasan Nanta.
Tiara memandangi mobil hitam itu sampai tak terlihat lagi. Sebenarnya bukan karena sakit kepala yang membuatnya tak ikut dalam mobil itu. Tapi ada ritual rutin yang tak mungkin ditinggalkannya selama satu tahun ini.
#Bab : 3 Pasir putih di hadapan Tiara penuh dengan coretan. Diantara begitu banyak coretan tak bermakna, ada satu nama yang tergores di sana, Arka. Hanya nama itu yang tertulis. Di alam bawah sadarnya pun, nama Arka telah terpatri begitu kuatnya. "Kamu masih setia menunggunya, Tiara?" tanya Nanta, yang tanpa disadari, sudah berdiri di samping Tiara. "Aku akan selalu menunggunya, Nanta. Karena aku yakin, Arka akan menepati janjinya," jawab Tiara. "Bahkan ketika dia menghilang begitu saja, tanpa sekalipun memberi kabar padamu?" tanya Nanta dengan nada mengejek. "Dari mana kamu tau kalau Arka tak pernah memberi kabar?" tanya Tiara keheranan. Karena selama ini, setiap Nanta bertanya tentang Arka, dia selalu berbohong dengan mengatakan hubungannya den
Seminggu yang lalu ... "Bro, nanti datang kan ke pesta ulang tahun Anggita?" Anto menepuk punggung Nanta. Nanta yang sedang fokus ke layar ponsel sedikit tersentak. Segera dia menutup ponsel. Namun, sepertinya Anto sudah melihatnya. "Eh, tunggu ... tunggu ... siapa foto gadis cantik tadi?" tanya Anto berusaha merebut ponsel Nanta. "Bukan siapa-siapa. Oh ya, tadi kamu ngomong apa?" ujar Nanta berusaha mengalihkan pembicaraan. " kamu ikut kepesta ulang tahun Anggita, kan? pestanya di pantai." jawab Anto. Nanta tidak menjawab pertanyaan sahabatnya. Sebenarnya ia malas datang kepesta itu. "Buk ... bakso dan es teh ya
Arka menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, setelah melempar jasnya ke sofa. Sungguh, hari ini, ia sangat lelah sekali. Setelah seharian meeting bersama rekan bisnis, ia harus menuju ke pantai untuk menghadiri pesta ulang tahun Anggita, putri Pak Hadi Winata, pejabat sekaligus pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Meski tak menolak perjodohan yang ditawarkan Pak Hadi, tapi dia tak menyangka, di pestanya tadi, Anggita mengumumkan dirinya sebagai calon suami. Bukankah baru seminggu yang lalu, pertemuannya dengan Anggita terjadi. Saat itu, Arka yang sedang berbicara dengan Pak Hadi, dikejutkan dengan kedatangan gadis cantik yang tiba-tiba masuk ke ruang kerja Pak Hadi. "Pa ... aku mau pesta ulangtahunku besok dirayakan di pantai," kata Anggita tanpa memperdulikan Arka yang sedang berbicara dengan papanya.&nbs
Setelah pembicaraan dengan Nanta pagi tadi, Tiara jadi enggan bertemu dengan Nanta. Dia marah, kenapa Nanta harus berandai-andai tentang sesuatu yang buruk soal hubungannya dengan Arka. Bahkan, dia pun tak cukup baik mengenal Arka. Hanya bertemu beberapa kali, itupun secara tak sengaja, saat Nanta bertamu kerumahnya, dan kebetulan Tiara dan Arka baru pulang dari pantai. Waktu makan siang tiba, Bapak, Ibu, Tiara dan Nanta makan bersama. Disepanjang acara makan itu, tak sekalipun Tiara membuka suara, ia hanya fokus pada makanan yang ada dihadapannya. Menyuap dengan cepat, agar dia bisa segera meninggalkan meja makan. Nanta tampak sedikit canggung, mungkin merasa tidak enak dengan sikap Tiara. Dia menyendok makanan dengan pelan sekali. Ibu yang melihat itu, kemudian bertanya pada Nanta. "Apa makanannya tidak enak, Nak Nan
Hari telah petang, ketika Nanta tiba di kosannya. Perjalanan yang lumayan jauh, membuatnya sangat lelah. Mandi adalah hal pertama yang ingin dilakukannya saat sampai di kamar. Gemericik air dari dalam kamar mandi, terdengar, setelah beberapa menit Nanta memasuki kamar kost nya. Sekitar lima belas menit, Nanta berada di kamar mandi. Rasanya ingin berlama-lama disana, mengingat cuaca panas yang seharian dia rasakan ko sepanjang perjalanan dari rumah Tiara. Dering ponsel membuat Nanta terpaksa menyudahi aktivitas mandinya.Dengan badan yang hanya dililit handuk, dia segera menjawab panggilan dari mamanya. "Halo, asalamualaikum, Ma." "Waalaikumsalam, kamu sudah sampai, sayang?" tanya mamanya. "Sudah Ma, mungkin s
Malam itu, Tiara tidur dengan gelisah, berulang kali dia terbangun karena mimpi buruk. Yang terakhir, dia bermimpi, Bapak sedang berdiri, meminta tolong dari kepungan api yang berkobar. Tiara tak dapat berbuat apa-apa. Mimpi itu seperti nyata. Tak henti-hentinya Tiara beristighfar, semoga mimpi tadi hanyalah bunga tidur belaka. Karena mata yang sepertinya enggan lagi terpejam. Tiara memutuskan untuk Sholat dan berdoa meminta pertolongan dan keselamatan kepada Allah SWT.***** "Bu ... Bu Asih ... Bapak ... Bapak, Bu!" Pak Dirman lari tergopoh-gopoh menemui Bu Asih dan Tiara yang sedang merawat bunga di halaman. "Tenang dulu, Pak ... ini, diminum dulu." Ibu menyodorkan segelas air putih.&
Semburat jingga terlukis indah di ufuk barat. Semilir angin menyapu lembut wajah Tiara yang tak henti mengagumi ciptaan sang Pencipta. Perlahan, dia menyusuri pantai yang penuh kenangan ini. Sesekali berhenti untuk memungut kerang yang kadang terlihat saat tersapu ombak. Ah ... berada di sini seakan memaksa Tiara untuk kembali ke masa yang lampau. Saat dengan begitu erat Arka menggenggam tangannya, dan berjanji akan setia. Berdua, mereka tertawa, berlarian di atas pasir putih yang terhampar di sepanjang bibir pantai. Bermain ayunan yang bertiangkan dua pohon kelapa yang berjejer. Tiara akan menjerit ketakutan saat Arka dengan sengaja mendorong ayunan itu sedikit kuat. Kemudian Tiara pura-pura marah dan mendiamkan Arka. Tak lama Arka menyodorkan kelapa muda sambil memohon maaf. "Sebagai permintaan maaf ... kupe
Malam itu, Tiara tidur dengan gelisah, berulang kali dia terbangun karena mimpi buruk. Yang terakhir, dia bermimpi, Bapak sedang berdiri, meminta tolong dari kepungan api yang berkobar. Tiara tak dapat berbuat apa-apa. Mimpi itu seperti nyata. Tak henti-hentinya Tiara beristighfar, semoga mimpi tadi hanyalah bunga tidur belaka. Karena mata yang sepertinya enggan lagi terpejam. Tiara memutuskan untuk Sholat dan berdoa meminta pertolongan dan keselamatan kepada Allah SWT.***** "Bu ... Bu Asih ... Bapak ... Bapak, Bu!" Pak Dirman lari tergopoh-gopoh menemui Bu Asih dan Tiara yang sedang merawat bunga di halaman. "Tenang dulu, Pak ... ini, diminum dulu." Ibu menyodorkan segelas air putih.&
Hari telah petang, ketika Nanta tiba di kosannya. Perjalanan yang lumayan jauh, membuatnya sangat lelah. Mandi adalah hal pertama yang ingin dilakukannya saat sampai di kamar. Gemericik air dari dalam kamar mandi, terdengar, setelah beberapa menit Nanta memasuki kamar kost nya. Sekitar lima belas menit, Nanta berada di kamar mandi. Rasanya ingin berlama-lama disana, mengingat cuaca panas yang seharian dia rasakan ko sepanjang perjalanan dari rumah Tiara. Dering ponsel membuat Nanta terpaksa menyudahi aktivitas mandinya.Dengan badan yang hanya dililit handuk, dia segera menjawab panggilan dari mamanya. "Halo, asalamualaikum, Ma." "Waalaikumsalam, kamu sudah sampai, sayang?" tanya mamanya. "Sudah Ma, mungkin s
Setelah pembicaraan dengan Nanta pagi tadi, Tiara jadi enggan bertemu dengan Nanta. Dia marah, kenapa Nanta harus berandai-andai tentang sesuatu yang buruk soal hubungannya dengan Arka. Bahkan, dia pun tak cukup baik mengenal Arka. Hanya bertemu beberapa kali, itupun secara tak sengaja, saat Nanta bertamu kerumahnya, dan kebetulan Tiara dan Arka baru pulang dari pantai. Waktu makan siang tiba, Bapak, Ibu, Tiara dan Nanta makan bersama. Disepanjang acara makan itu, tak sekalipun Tiara membuka suara, ia hanya fokus pada makanan yang ada dihadapannya. Menyuap dengan cepat, agar dia bisa segera meninggalkan meja makan. Nanta tampak sedikit canggung, mungkin merasa tidak enak dengan sikap Tiara. Dia menyendok makanan dengan pelan sekali. Ibu yang melihat itu, kemudian bertanya pada Nanta. "Apa makanannya tidak enak, Nak Nan
Arka menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, setelah melempar jasnya ke sofa. Sungguh, hari ini, ia sangat lelah sekali. Setelah seharian meeting bersama rekan bisnis, ia harus menuju ke pantai untuk menghadiri pesta ulang tahun Anggita, putri Pak Hadi Winata, pejabat sekaligus pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Meski tak menolak perjodohan yang ditawarkan Pak Hadi, tapi dia tak menyangka, di pestanya tadi, Anggita mengumumkan dirinya sebagai calon suami. Bukankah baru seminggu yang lalu, pertemuannya dengan Anggita terjadi. Saat itu, Arka yang sedang berbicara dengan Pak Hadi, dikejutkan dengan kedatangan gadis cantik yang tiba-tiba masuk ke ruang kerja Pak Hadi. "Pa ... aku mau pesta ulangtahunku besok dirayakan di pantai," kata Anggita tanpa memperdulikan Arka yang sedang berbicara dengan papanya.&nbs
Seminggu yang lalu ... "Bro, nanti datang kan ke pesta ulang tahun Anggita?" Anto menepuk punggung Nanta. Nanta yang sedang fokus ke layar ponsel sedikit tersentak. Segera dia menutup ponsel. Namun, sepertinya Anto sudah melihatnya. "Eh, tunggu ... tunggu ... siapa foto gadis cantik tadi?" tanya Anto berusaha merebut ponsel Nanta. "Bukan siapa-siapa. Oh ya, tadi kamu ngomong apa?" ujar Nanta berusaha mengalihkan pembicaraan. " kamu ikut kepesta ulang tahun Anggita, kan? pestanya di pantai." jawab Anto. Nanta tidak menjawab pertanyaan sahabatnya. Sebenarnya ia malas datang kepesta itu. "Buk ... bakso dan es teh ya
#Bab : 3 Pasir putih di hadapan Tiara penuh dengan coretan. Diantara begitu banyak coretan tak bermakna, ada satu nama yang tergores di sana, Arka. Hanya nama itu yang tertulis. Di alam bawah sadarnya pun, nama Arka telah terpatri begitu kuatnya. "Kamu masih setia menunggunya, Tiara?" tanya Nanta, yang tanpa disadari, sudah berdiri di samping Tiara. "Aku akan selalu menunggunya, Nanta. Karena aku yakin, Arka akan menepati janjinya," jawab Tiara. "Bahkan ketika dia menghilang begitu saja, tanpa sekalipun memberi kabar padamu?" tanya Nanta dengan nada mengejek. "Dari mana kamu tau kalau Arka tak pernah memberi kabar?" tanya Tiara keheranan. Karena selama ini, setiap Nanta bertanya tentang Arka, dia selalu berbohong dengan mengatakan hubungannya den
"Tiara ... bangun, udah subuh, anak gadis nggak boleh males, ayo cepetan." Ibu menyentuh lembut pipi Tiara. "Loh, badan kamu panas, Tiara, kamu sakit?" tanya Ibu khawatir. "Emmhhh ...," Tiara menggeliat kemudian mengucek mata,"nggak kok Bu, cuma pusing dikit." Tiara duduk, sambil memijit kedua pelipisnya. "Ya udah, sana, ambil wudhu terus sholat. Kalau pusing, nanti nggak usah bantu Ibu, tidur lagi aja." kata Ibu sambil berjalan keluar kamar. Tiara mengikuti langkah Ibunya. Sampai di dapur, Ibu membuat teh dan menyiapkan sarapan untuk Ayah. Sedangkan Tiara ke kamar mandi untuk berwudhu. Sebenarnya sehabis sholat, Tiara ingin tiduran lagi, seperti pesan Ibunya tadi. Rasa pusingnya belum juga reda. Tapi, Tiara juga tidak tega kalau membiarkan Ibu menge
Semburat jingga terlukis indah di ufuk barat. Semilir angin menyapu lembut wajah Tiara yang tak henti mengagumi ciptaan sang Pencipta. Perlahan, dia menyusuri pantai yang penuh kenangan ini. Sesekali berhenti untuk memungut kerang yang kadang terlihat saat tersapu ombak. Ah ... berada di sini seakan memaksa Tiara untuk kembali ke masa yang lampau. Saat dengan begitu erat Arka menggenggam tangannya, dan berjanji akan setia. Berdua, mereka tertawa, berlarian di atas pasir putih yang terhampar di sepanjang bibir pantai. Bermain ayunan yang bertiangkan dua pohon kelapa yang berjejer. Tiara akan menjerit ketakutan saat Arka dengan sengaja mendorong ayunan itu sedikit kuat. Kemudian Tiara pura-pura marah dan mendiamkan Arka. Tak lama Arka menyodorkan kelapa muda sambil memohon maaf. "Sebagai permintaan maaf ... kupe