Semburat jingga terlukis indah di ufuk barat. Semilir angin menyapu lembut wajah Tiara yang tak henti mengagumi ciptaan sang Pencipta. Perlahan, dia menyusuri pantai yang penuh kenangan ini. Sesekali berhenti untuk memungut kerang yang kadang terlihat saat tersapu ombak.
Ah ... berada di sini seakan memaksa Tiara untuk kembali ke masa yang lampau. Saat dengan begitu erat Arka menggenggam tangannya, dan berjanji akan setia. Berdua, mereka tertawa, berlarian di atas pasir putih yang terhampar di sepanjang bibir pantai. Bermain ayunan yang bertiangkan dua pohon kelapa yang berjejer. Tiara akan menjerit ketakutan saat Arka dengan sengaja mendorong ayunan itu sedikit kuat. Kemudian Tiara pura-pura marah dan mendiamkan Arka. Tak lama Arka menyodorkan kelapa muda sambil memohon maaf.
"Sebagai permintaan maaf ... kupersembahkan kelapa muda ini untuk tuan putri, semoga tuan putri bersedia memaafkan hamba," Arka berkata seperti dialog dalam cerita kerajaan, sambil berlutut di depan Tiara.
Tiara pun tak bisa menahan tawanya
"Ih Arka, masa kelapa muda, mbok ya romantis dikit." katanya manja, tapi tak urung dia mengambil kelapa muda itu.
Arka memang tau kalau Tiara suka sekali dengan kelapa muda dan pantai. Tak heran setiap ada waktu, pasti mereka menghabiskannya disini.
"Tiara, aku ingin bicara sama kamu." Arka berkata sambil menuntun Tiara untuk duduk di bangku tak jauh dari ayunan, agar bisa duduk berdampingan.
"Emang dari tadi Arka nyanyi? Dari tadi kan Arka udah bicara, sangat banyak malah," gurau Tiara berusaha menyembunyikan gelisah karena melihat raut wajah serius yang ditunjukkan Arka.
"Iya ... tapi ini pembicaraan serius Tiara." Arka berusaha mencari kata yang tepat agar Tiara bisa menerima apa yang akan diutarakannya.
"Aku akan pergi dari desa ini untuk mencari pekerjaan yang lebih baik di kota, kuharap kamu bisa mengerti, suatu saat aku pasti kembali untuk meminangmu." Arka menggenggam tangan Tiara seperti menguatkan janji itu.
Tiara tak mampu berkata. Tapi, bulir bening itu mulai menetes dipipi. Dia tak menyangka Arka akan meninggalkannya.
"Untuk apa mencari pekerjaan di kota Arka? bukankah dengan bekerja di perkebunan Ayahku sudah lebih dari cukup untukmu, bahkan bila nanti kita menikah, maka sudah dipastikan semuanya akan menjadi milikmu." tanya Tiara disela isak tangisnya.
"Bukan begitu Tiara, aku bukan seseorang yang dengan mudah menerima harta dari orangtuamu, aku ingin lepas dari bayang bayang kekayaan orangtuamu," tegas Arka.
"Kumohon ... percayalah padaku Tiara, jika nanti aku sudah berhasil, kupastikan, aku akan menemuimu disini, saat senja mulai datang dengan semburat jingga yang menawan, seperti yang kau suka." lagi lagi Arka meyakinkan Tiara.
"Baiklah kalau itu sudah menjadi tekadmu Arka, Kuhanya ingin engkau tau disini ada gadis penyuka senja yang setia menunggumu," sendu suara Tiara mengikhlaskan kepergian kekasih hati.
Air mata Tiara selalu menetes mengingat saat itu. Cinta yang sedang bersemi seakan dipaksa untuk layu. Meskipun Arka telah berjanji untuk selalu mengabari dan setia pada cinta mereka, tapi itu tinggallah kata tak bermakna. Nyatanya tak pernah sekalipun Arka menelponnya, atau paling tidak berkirim pesan padanya. Bahkan di bulan pertama kepergian Arka, nomer handphonenya sudah tak bisa dihubungi lagi.
Tiara tak tau harus bertanya pada siapa, tak seorangpun keluarga Arka yang dikenalnya. Dulu, Arka bercerita semua keluarganya tinggal di pulau seberang. Dia merantau untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Sampai akhirnya, tak sengaja Arka bertemu dengan Ayah Tiara. Waktu itu, Arka membantu memperbaiki mobil ayahnya saat mogok di tengah perkebunan.
Akhirnya,karena terkesan akan kebaikan dan ketulusan Arka, Ayah Tiara memberikan pekerjaan sebagai mandor di perkebunannya.
Sudah ada beberapa pemuda yang datang ingin mengisi hati Tiara, bahkan ada yang terang-terangan datang kepada orangtuanya untuk meminang, tak satupun yang diterima. Karena ia yakin suatu saat Arka datang menepati janjinya. Ayah Tiara pun sudah berulang kali meminta untuk menerima pinangan dari Nanta, anak dari sahabatnya. Sebenarnya Tiara tau, Nanta anak yang baik. Mereka sudah berteman dari kecil. Tapi perasaan Tiara tak lebih dari sahabat. Cintanya hanya untuk Arka.
Saat ini tepat tigaratus lima puluh senja setelah perpisahan itu. Tiara masih setia menanti Arka di sini, berharap cowok hitam manis itu tiba tiba datang memeluknya. Membisikkan kata merdu di telinga. Tapi sepertinya itu hanya angan belaka. Nyatanya senja kini tlah berlalu, dan gelap akan segera mengganti waktu.
"Arka ... aku rindu ...," Tiara berteriak menghadap lautan luas, seakan ada Arka diseberang sana.
"Mana janjimu ... aku selalu setia menunggumu disini ... tapi mengapa ... kamu belum juga kembali ...." bersimpuh, kini dia mulai tergugu.
Angin pantai membuat tubuhnya menggigil, matahari kini benar-benar telah meninggalkan hari. Semburatnya pun tak tersisa lagi, tapi Tiara masih setia dengan janji hati. Berharap waktu itu akan datang, meski tidak hari ini, mungkin esok saat senja kembali, Arka menepati janji.
Tiara masih bersimpuh, tak menghiraukan baju yang telah basah oleh ombak. Saat ini, dia hanya ingin disini, untuk membuktikan pada Arka, bahwa Dia setia menunggu tanpa batas waktu.
Tiba-tiba, ada sentuhan lembut dipundaknya.
"Tiara ... ayo kita pulang Nak, ini sudah malam," lembut suara Ibunya membujuk Tiara.
Tiara bergeming, menatap hampa hamparan laut lepas.
"Bu ... apa salahku, mengapa Arka tak juga datang menepati janjinya, Bu?"
"Tidak ada yang salah sayang, Arka anak yang baik, Ibu yakin suatu saat dia pasti menepati janjinya."
"Harus berapa lama lagi aku menunggu, Bu? sudah Beratus senja ku lewati dalam penantian ini, tapi Arka tak kunjung kembali."
"Andai kamu yakin dengan janji Arka, untuk apa ada pertanyaan itu, Tiara?" Ibu berjongkok di samping Tiara,"Tak ada yang sia-sia selama kamu tulus menjalaninya, tapi, kembali lagi, semua atas kuasa sang Pencipta, hanya Dia pemilik takdir hambaNya." Ibu mencoba meyakinkan sekaligus ingin membuka hati Tiara bahwa tak ada yang akan terjadi di dunia tanpa kehendakNya.
"Kadang aku merasa ini semua sia-sia, Bu ..., aku lelah. Tapi disisi lain, aku sangat mencintai Arka dan masih tetap berharap dia kembali untuk menepati janjinya." jawab Tiara.
"Ikuti kata hatimu, Nak ... Ibu selalu mendukungmu."
Ibu membelai rambut Tiara, dan mengusap lembut pipinya.
"Sekarang kita pulang ya Nak, sebentar lagi Bapak sampai dirumah, kamu tidak mau kan Bapak marah dan mengurungmu dikamar seperti waktu itu?"
Tiara menggeleng cepat, Dia tak mau kejadian itu terulang kembali. Bapak marah besar saat sampai malam Tiara belum juga pulang. Dan akhirnya dua senja terlewatkan karena Tiara dikurung di kamarnya sebagai hukuman.
Ibu membantu Tiara bangun, dengan penuh kasih sayang perempuan itu membersihkan pasir yang menempel di baju Tiara. Kemudian menuntunnya pulang.
"Tiara ... bangun, udah subuh, anak gadis nggak boleh males, ayo cepetan." Ibu menyentuh lembut pipi Tiara. "Loh, badan kamu panas, Tiara, kamu sakit?" tanya Ibu khawatir. "Emmhhh ...," Tiara menggeliat kemudian mengucek mata,"nggak kok Bu, cuma pusing dikit." Tiara duduk, sambil memijit kedua pelipisnya. "Ya udah, sana, ambil wudhu terus sholat. Kalau pusing, nanti nggak usah bantu Ibu, tidur lagi aja." kata Ibu sambil berjalan keluar kamar. Tiara mengikuti langkah Ibunya. Sampai di dapur, Ibu membuat teh dan menyiapkan sarapan untuk Ayah. Sedangkan Tiara ke kamar mandi untuk berwudhu. Sebenarnya sehabis sholat, Tiara ingin tiduran lagi, seperti pesan Ibunya tadi. Rasa pusingnya belum juga reda. Tapi, Tiara juga tidak tega kalau membiarkan Ibu menge
#Bab : 3 Pasir putih di hadapan Tiara penuh dengan coretan. Diantara begitu banyak coretan tak bermakna, ada satu nama yang tergores di sana, Arka. Hanya nama itu yang tertulis. Di alam bawah sadarnya pun, nama Arka telah terpatri begitu kuatnya. "Kamu masih setia menunggunya, Tiara?" tanya Nanta, yang tanpa disadari, sudah berdiri di samping Tiara. "Aku akan selalu menunggunya, Nanta. Karena aku yakin, Arka akan menepati janjinya," jawab Tiara. "Bahkan ketika dia menghilang begitu saja, tanpa sekalipun memberi kabar padamu?" tanya Nanta dengan nada mengejek. "Dari mana kamu tau kalau Arka tak pernah memberi kabar?" tanya Tiara keheranan. Karena selama ini, setiap Nanta bertanya tentang Arka, dia selalu berbohong dengan mengatakan hubungannya den
Seminggu yang lalu ... "Bro, nanti datang kan ke pesta ulang tahun Anggita?" Anto menepuk punggung Nanta. Nanta yang sedang fokus ke layar ponsel sedikit tersentak. Segera dia menutup ponsel. Namun, sepertinya Anto sudah melihatnya. "Eh, tunggu ... tunggu ... siapa foto gadis cantik tadi?" tanya Anto berusaha merebut ponsel Nanta. "Bukan siapa-siapa. Oh ya, tadi kamu ngomong apa?" ujar Nanta berusaha mengalihkan pembicaraan. " kamu ikut kepesta ulang tahun Anggita, kan? pestanya di pantai." jawab Anto. Nanta tidak menjawab pertanyaan sahabatnya. Sebenarnya ia malas datang kepesta itu. "Buk ... bakso dan es teh ya
Arka menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, setelah melempar jasnya ke sofa. Sungguh, hari ini, ia sangat lelah sekali. Setelah seharian meeting bersama rekan bisnis, ia harus menuju ke pantai untuk menghadiri pesta ulang tahun Anggita, putri Pak Hadi Winata, pejabat sekaligus pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Meski tak menolak perjodohan yang ditawarkan Pak Hadi, tapi dia tak menyangka, di pestanya tadi, Anggita mengumumkan dirinya sebagai calon suami. Bukankah baru seminggu yang lalu, pertemuannya dengan Anggita terjadi. Saat itu, Arka yang sedang berbicara dengan Pak Hadi, dikejutkan dengan kedatangan gadis cantik yang tiba-tiba masuk ke ruang kerja Pak Hadi. "Pa ... aku mau pesta ulangtahunku besok dirayakan di pantai," kata Anggita tanpa memperdulikan Arka yang sedang berbicara dengan papanya.&nbs
Setelah pembicaraan dengan Nanta pagi tadi, Tiara jadi enggan bertemu dengan Nanta. Dia marah, kenapa Nanta harus berandai-andai tentang sesuatu yang buruk soal hubungannya dengan Arka. Bahkan, dia pun tak cukup baik mengenal Arka. Hanya bertemu beberapa kali, itupun secara tak sengaja, saat Nanta bertamu kerumahnya, dan kebetulan Tiara dan Arka baru pulang dari pantai. Waktu makan siang tiba, Bapak, Ibu, Tiara dan Nanta makan bersama. Disepanjang acara makan itu, tak sekalipun Tiara membuka suara, ia hanya fokus pada makanan yang ada dihadapannya. Menyuap dengan cepat, agar dia bisa segera meninggalkan meja makan. Nanta tampak sedikit canggung, mungkin merasa tidak enak dengan sikap Tiara. Dia menyendok makanan dengan pelan sekali. Ibu yang melihat itu, kemudian bertanya pada Nanta. "Apa makanannya tidak enak, Nak Nan
Hari telah petang, ketika Nanta tiba di kosannya. Perjalanan yang lumayan jauh, membuatnya sangat lelah. Mandi adalah hal pertama yang ingin dilakukannya saat sampai di kamar. Gemericik air dari dalam kamar mandi, terdengar, setelah beberapa menit Nanta memasuki kamar kost nya. Sekitar lima belas menit, Nanta berada di kamar mandi. Rasanya ingin berlama-lama disana, mengingat cuaca panas yang seharian dia rasakan ko sepanjang perjalanan dari rumah Tiara. Dering ponsel membuat Nanta terpaksa menyudahi aktivitas mandinya.Dengan badan yang hanya dililit handuk, dia segera menjawab panggilan dari mamanya. "Halo, asalamualaikum, Ma." "Waalaikumsalam, kamu sudah sampai, sayang?" tanya mamanya. "Sudah Ma, mungkin s
Malam itu, Tiara tidur dengan gelisah, berulang kali dia terbangun karena mimpi buruk. Yang terakhir, dia bermimpi, Bapak sedang berdiri, meminta tolong dari kepungan api yang berkobar. Tiara tak dapat berbuat apa-apa. Mimpi itu seperti nyata. Tak henti-hentinya Tiara beristighfar, semoga mimpi tadi hanyalah bunga tidur belaka. Karena mata yang sepertinya enggan lagi terpejam. Tiara memutuskan untuk Sholat dan berdoa meminta pertolongan dan keselamatan kepada Allah SWT.***** "Bu ... Bu Asih ... Bapak ... Bapak, Bu!" Pak Dirman lari tergopoh-gopoh menemui Bu Asih dan Tiara yang sedang merawat bunga di halaman. "Tenang dulu, Pak ... ini, diminum dulu." Ibu menyodorkan segelas air putih.&
Malam itu, Tiara tidur dengan gelisah, berulang kali dia terbangun karena mimpi buruk. Yang terakhir, dia bermimpi, Bapak sedang berdiri, meminta tolong dari kepungan api yang berkobar. Tiara tak dapat berbuat apa-apa. Mimpi itu seperti nyata. Tak henti-hentinya Tiara beristighfar, semoga mimpi tadi hanyalah bunga tidur belaka. Karena mata yang sepertinya enggan lagi terpejam. Tiara memutuskan untuk Sholat dan berdoa meminta pertolongan dan keselamatan kepada Allah SWT.***** "Bu ... Bu Asih ... Bapak ... Bapak, Bu!" Pak Dirman lari tergopoh-gopoh menemui Bu Asih dan Tiara yang sedang merawat bunga di halaman. "Tenang dulu, Pak ... ini, diminum dulu." Ibu menyodorkan segelas air putih.&
Hari telah petang, ketika Nanta tiba di kosannya. Perjalanan yang lumayan jauh, membuatnya sangat lelah. Mandi adalah hal pertama yang ingin dilakukannya saat sampai di kamar. Gemericik air dari dalam kamar mandi, terdengar, setelah beberapa menit Nanta memasuki kamar kost nya. Sekitar lima belas menit, Nanta berada di kamar mandi. Rasanya ingin berlama-lama disana, mengingat cuaca panas yang seharian dia rasakan ko sepanjang perjalanan dari rumah Tiara. Dering ponsel membuat Nanta terpaksa menyudahi aktivitas mandinya.Dengan badan yang hanya dililit handuk, dia segera menjawab panggilan dari mamanya. "Halo, asalamualaikum, Ma." "Waalaikumsalam, kamu sudah sampai, sayang?" tanya mamanya. "Sudah Ma, mungkin s
Setelah pembicaraan dengan Nanta pagi tadi, Tiara jadi enggan bertemu dengan Nanta. Dia marah, kenapa Nanta harus berandai-andai tentang sesuatu yang buruk soal hubungannya dengan Arka. Bahkan, dia pun tak cukup baik mengenal Arka. Hanya bertemu beberapa kali, itupun secara tak sengaja, saat Nanta bertamu kerumahnya, dan kebetulan Tiara dan Arka baru pulang dari pantai. Waktu makan siang tiba, Bapak, Ibu, Tiara dan Nanta makan bersama. Disepanjang acara makan itu, tak sekalipun Tiara membuka suara, ia hanya fokus pada makanan yang ada dihadapannya. Menyuap dengan cepat, agar dia bisa segera meninggalkan meja makan. Nanta tampak sedikit canggung, mungkin merasa tidak enak dengan sikap Tiara. Dia menyendok makanan dengan pelan sekali. Ibu yang melihat itu, kemudian bertanya pada Nanta. "Apa makanannya tidak enak, Nak Nan
Arka menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, setelah melempar jasnya ke sofa. Sungguh, hari ini, ia sangat lelah sekali. Setelah seharian meeting bersama rekan bisnis, ia harus menuju ke pantai untuk menghadiri pesta ulang tahun Anggita, putri Pak Hadi Winata, pejabat sekaligus pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Meski tak menolak perjodohan yang ditawarkan Pak Hadi, tapi dia tak menyangka, di pestanya tadi, Anggita mengumumkan dirinya sebagai calon suami. Bukankah baru seminggu yang lalu, pertemuannya dengan Anggita terjadi. Saat itu, Arka yang sedang berbicara dengan Pak Hadi, dikejutkan dengan kedatangan gadis cantik yang tiba-tiba masuk ke ruang kerja Pak Hadi. "Pa ... aku mau pesta ulangtahunku besok dirayakan di pantai," kata Anggita tanpa memperdulikan Arka yang sedang berbicara dengan papanya.&nbs
Seminggu yang lalu ... "Bro, nanti datang kan ke pesta ulang tahun Anggita?" Anto menepuk punggung Nanta. Nanta yang sedang fokus ke layar ponsel sedikit tersentak. Segera dia menutup ponsel. Namun, sepertinya Anto sudah melihatnya. "Eh, tunggu ... tunggu ... siapa foto gadis cantik tadi?" tanya Anto berusaha merebut ponsel Nanta. "Bukan siapa-siapa. Oh ya, tadi kamu ngomong apa?" ujar Nanta berusaha mengalihkan pembicaraan. " kamu ikut kepesta ulang tahun Anggita, kan? pestanya di pantai." jawab Anto. Nanta tidak menjawab pertanyaan sahabatnya. Sebenarnya ia malas datang kepesta itu. "Buk ... bakso dan es teh ya
#Bab : 3 Pasir putih di hadapan Tiara penuh dengan coretan. Diantara begitu banyak coretan tak bermakna, ada satu nama yang tergores di sana, Arka. Hanya nama itu yang tertulis. Di alam bawah sadarnya pun, nama Arka telah terpatri begitu kuatnya. "Kamu masih setia menunggunya, Tiara?" tanya Nanta, yang tanpa disadari, sudah berdiri di samping Tiara. "Aku akan selalu menunggunya, Nanta. Karena aku yakin, Arka akan menepati janjinya," jawab Tiara. "Bahkan ketika dia menghilang begitu saja, tanpa sekalipun memberi kabar padamu?" tanya Nanta dengan nada mengejek. "Dari mana kamu tau kalau Arka tak pernah memberi kabar?" tanya Tiara keheranan. Karena selama ini, setiap Nanta bertanya tentang Arka, dia selalu berbohong dengan mengatakan hubungannya den
"Tiara ... bangun, udah subuh, anak gadis nggak boleh males, ayo cepetan." Ibu menyentuh lembut pipi Tiara. "Loh, badan kamu panas, Tiara, kamu sakit?" tanya Ibu khawatir. "Emmhhh ...," Tiara menggeliat kemudian mengucek mata,"nggak kok Bu, cuma pusing dikit." Tiara duduk, sambil memijit kedua pelipisnya. "Ya udah, sana, ambil wudhu terus sholat. Kalau pusing, nanti nggak usah bantu Ibu, tidur lagi aja." kata Ibu sambil berjalan keluar kamar. Tiara mengikuti langkah Ibunya. Sampai di dapur, Ibu membuat teh dan menyiapkan sarapan untuk Ayah. Sedangkan Tiara ke kamar mandi untuk berwudhu. Sebenarnya sehabis sholat, Tiara ingin tiduran lagi, seperti pesan Ibunya tadi. Rasa pusingnya belum juga reda. Tapi, Tiara juga tidak tega kalau membiarkan Ibu menge
Semburat jingga terlukis indah di ufuk barat. Semilir angin menyapu lembut wajah Tiara yang tak henti mengagumi ciptaan sang Pencipta. Perlahan, dia menyusuri pantai yang penuh kenangan ini. Sesekali berhenti untuk memungut kerang yang kadang terlihat saat tersapu ombak. Ah ... berada di sini seakan memaksa Tiara untuk kembali ke masa yang lampau. Saat dengan begitu erat Arka menggenggam tangannya, dan berjanji akan setia. Berdua, mereka tertawa, berlarian di atas pasir putih yang terhampar di sepanjang bibir pantai. Bermain ayunan yang bertiangkan dua pohon kelapa yang berjejer. Tiara akan menjerit ketakutan saat Arka dengan sengaja mendorong ayunan itu sedikit kuat. Kemudian Tiara pura-pura marah dan mendiamkan Arka. Tak lama Arka menyodorkan kelapa muda sambil memohon maaf. "Sebagai permintaan maaf ... kupe