#Bab : 3
Pasir putih di hadapan Tiara penuh dengan coretan. Diantara begitu banyak coretan tak bermakna, ada satu nama yang tergores di sana, Arka. Hanya nama itu yang tertulis. Di alam bawah sadarnya pun, nama Arka telah terpatri begitu kuatnya.
"Kamu masih setia menunggunya, Tiara?" tanya Nanta, yang tanpa disadari, sudah berdiri di samping Tiara.
"Aku akan selalu menunggunya, Nanta. Karena aku yakin, Arka akan menepati janjinya," jawab Tiara.
"Bahkan ketika dia menghilang begitu saja, tanpa sekalipun memberi kabar padamu?" tanya Nanta dengan nada mengejek.
"Dari mana kamu tau kalau Arka tak pernah memberi kabar?" tanya Tiara keheranan. Karena selama ini, setiap Nanta bertanya tentang Arka, dia selalu berbohong dengan mengatakan hubungannya dengan Arka baik-baik saja.
"Ibumu sudah menceritakan semuanya padaku, Tiara. Mau sampai kapan kamu bertahan dalam ketidakpastian ini?" Nanta berjalan mengikuti langkah Tiara.
Tiara berhenti dan duduk di bangku panjang tak jauh dari ayunan.
"Lihatlah bangku ini Nanta. Ayunan itu, warna senja, deburan ombak, semua masih sama. Tak ada yang berubah. Aku yakin begitu juga dengan Arka," tegas Tiara.
Nanta pun tak berkata lagi. Percuma menyadarkan seseorang yang sedang kasmaran. Dia berdiri memandang mentari yang sebentar lagi akan benar benar meninggalkan hari. 'Senja memang indah, seindah orang yang menyukainya' batin Nanta.
Saat matahari benar-benar telah tenggelam, Nanta dan Tiara pulang. Sepanjang perjalanan mereka tak saling bicara, hanya bunyi langkah kaki yang menemani.
Tak sampai lima belas menit, mereka sudah sampai dirumah. Arka ikut nimbrung, ngobrol bersama papanya dan ayahnya Tiara. Sementara Tiara langsung mandi dan sholat Maghrib.
*****
Pagi ini, Tiara bangun dengan wajah segar. Setelah sholat Subuh, dia segera beranjak ke dapur untuk membantu ibunya.
"Kok sepi, Bu? apa Tante Mirna dan Om Wisnu sudah pulang?" Tiara bertanya pada Ibunya yang sedang membuat teh.
"Sudah, semalam orang kepercayaan Om Wisnu telpon, katanya ada dokumen yang harus ditandatangani saat itu juga, jadi mereka langsung pulang, mau pamit sama kamu, kelihatan nyenyak tidurnya, Tante Mirna gak tega bangunin." jelas Ibunya.
"Tolong antar minuman ini ke depan, ada bapakmu dan Nanta di sana."
Ibunya menyodorkan nampan berisi dua cangkir teh dan pisang goreng yang masih mengeluarkan asapnya. Tanpa bertanya lagi, Tiara mengambil nampan itu dan membawanya ke depan.
Di teras, Tiara melihat dua orang laki-laki berbeda generasi tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan. Tiara pun tak ingin mencari tau.
"Tiara ... ajak Nanta keliling kampung, Nanta kemarin bilang ingin sekali menghirup udara pagi di pedesaan." perintah Ayahnya.
"Ayo Nanta, keburu siang, nanti bukan udara segar yang didapat." canda Tiara.
Mereka pun berjalan beriringan. Sesekali Tiara bersenandung kecil, kadang Dia menyapa beberapa penduduk yang berpapasan dengan ramah, membuat Nanta semakin jatuh cinta pada gadis manis itu.
"Tiara, apa kamu tau soal perjodohan kita?" tanya Nanta berhati hati.
Tiara menghentikan langkahnya, dan menatap Nanta. Kemudian berjalan lagi tanpa menjawab pertanyaan Nanta.
Nanta jadi salah tingkah. Seharusnya Ia tadi tak membicarakan perjodohan itu.
Kini, makin lebar jarak antara mereka berdua.
"Maaf, kalau kamu merasa nggak suka dengan pertanyaanku tadi, aku nggak akan bertanya-tanya lagi."
"Nggak pa-pa, aku cuma kaget aja, dan nggak nyangka kamu akan bertanya seperti itu." jawab Tiara." Apa kamu setuju dengan perjodohan kita?" Tiara bertanya balik pada Nanta.
Nanta terdiam sesaat. Memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Tiara.
"Kamu tau Tiara, Aku mencintaimu dari dulu, jauh sebelum Arka hadir dalam hidupmu," Nanta menarik nafas dalam- dalam sebelum meneruskan kalimatnya.
"Tentu, memilikimu adalah harapan dan impianku yang paling besar, tapi aku juga sadar diri, hanya ada Arka dihatimu," jawab Nanta seakan berputus asa.
"Aku tak akan memaksamu untuk menerimaku, nanti suatu saat bila orang tua benar-benar menjodohkan kita, dan rasamu masih tetap sama, aku akan menolaknya," imbuhnya lagi.
"Maafkan aku, Nanta. aku menganggapmu tak lebih dari sahabat. Dari kecil kita telah bersama. Semoga kamu tak membenciku hanya karena aku menolak perjodohan kita," pinta Tiara.
"Aku mengerti Tiara, tapi kumohon kamu jangan berubah, tetaplah jadi Tiara, sahabat kecilku dulu." harap Nanta.
"Dan, satu lagi pintaku, aku mohon kamu jangan pernah menolak perjodohan kita di depan mamaku, beliau punya riwayat penyakit jantung, aku takut beliau kaget, karena setahun ini, beliau taunya kamu pacarku." kata Nanta panjang lebar.
"Maafkan aku, tak membicarakan terlebih dahulu denganmu, karena Mama selalu menanyakan siapa pacarku, aku bingung, maka aku jawab aja kamulah pacarku. Tak disangka, Mama antusias sekali, sampai-sampai langsung membicarakan ini dengan orangtuamu." sambung Nanta lagi.
Tiara tak mampu berkata apa-apa. Ingin rasanya Ia marah pada Nanta yang begitu lancang mengakuinya sebagai pacar. Tapi, disisi lain dia juga tidak mau karena kemarahannya bisa membahayakan kesehatan Tante Mirna.
"Baiklah, untuk saat ini, kita bisa bersandiwara dihadapan orangtua kita, tapi ingat, ini hanya untuk menjaga perasaan mereka, jangan berharap lebih," tegas Tiara.
"Terima kasih Tiara, kamu sudah mau membantuku. Apapun persyaratannya aku akan menerimanya." tanpa sadar Nanta berkata sambil menggenggam tangan Tiara. Tiara segera menarik tangannya.
"Em ... eh ... sudah siang, yuk kita pulang." Tiara berkata dengan gugup.
"Oh ... iya ... maaf." Nanta tak kalah gugupnya.
Tiara berjalan beriringan dengan Nanta. Tapi pikiran keduanya sungguh tak sedekat jarak mereka. Sepanjang perjalanan, Tiara memikirkan, bagaimana jika Arka tau tentang perjodohan ini, akankah dia bisa menerima dan memaklumi dengan alasan Tiara. Bagaimana kalau Arka marah dan membenci Tiara? Begitu besar rasa cinta Tiara, bahkan kepada Arka yang setahun sudah tak memberi kabar padanya, Dia tetap memikirkan perasaan kekasihnya itu.
Disisi lain, Nanta merasa lega telah mengutarakan semua pada Tiara. Sudah seminggu ini, dia terbebani dengan perasaan takut andai Tiara tak mau memenuhi keinginannya. Tapi, dia juga patah untuk kedua kalinya, Tiara tetap menolaknya. Ternyata begitu besar pesona Arka memikat dan mengikat Tiara.
"Tiara, kamu percaya Arka setia sama kamu?" tiba-tiba Nanta bertanya saat perjalanan mereka sudah hampir sampai.
"Apa maksud kamu, Nanta? jangan mentang-mentang aku menerima perjodohan pura-pura kita, kemudian kamu mau merusak hubunganku dengan Arka!" Tiara sedikit meninggikan suaranya.
"Aku nggak bermaksud merusak hubunganmu dengan Arka, tapi, apa ada yang bisa menjamin, Arka di sana akan setia sama kamu? sifat orang bisa saja berubah, Tiara." hati-hati Nanta berbicara.
"Aku nggak suka ya, kamu jelek-jelekin Arka, bukan begitu cara untuk menarik perhatianku, Nanta. Caramu sungguh kampungan, tidak menunjukkan bahwa kamu berpendidikan!"
Tiara berlari meninggalkan Nanta. Sementara Nanta hanya mampu beristighfar, teringat kembali pertemuan Nanta dan Arka seminggu sebelum dia memutuskan untuk pulang.
#Bab : 3 Pasir putih di hadapan Tiara penuh dengan coretan. Diantara begitu banyak coretan tak bermakna, ada satu nama yang tergores di sana, Arka. Hanya nama itu yang tertulis. Di alam bawah sadarnya pun, nama Arka telah terpatri begitu kuatnya.
"Kamu masih setia menunggunya, Tiara?" tanya Nanta, yang tanpa disadari, sudah berdiri di samping Tiara.
"Aku akan selalu menunggunya, Nanta. Karena aku yakin, Arka akan menepati janjinya," jawab Tiara.
"Bahkan ketika dia menghilang begitu saja, tanpa sekalipun memberi kabar padamu?" tanya Nanta dengan nada mengejek.
"Dari mana kamu tau kalau Arka tak pernah memberi kabar?" tanya Tiara keheranan. Karena selama ini, setiap Nanta bertanya tentang Arka, dia selalu berbohong dengan mengatakan hubungannya dengan Arka baik-baik saja.
"Ibumu sudah menceritakan semuanya padaku, Tiara. Mau sampai kapan kamu bertahan dalam ketidakpastian ini?" Nanta berjalan mengikuti langkah Tiara.
Tiara berhenti dan duduk di bangku panjang tak jauh dari ayunan.
"Lihatlah bangku ini Nanta. Ayunan itu, warna senja, deburan ombak, semua masih sama. Tak ada yang berubah. Aku yakin begitu juga dengan Arka," tegas Tiara.
Nanta pun tak berkata lagi. Percuma menyadarkan seseorang yang sedang kasmaran. Dia berdiri memandang mentari yang sebentar lagi akan benar benar meninggalkan hari. 'Senja memang indah, seindah orang yang menyukainya' batin Nanta.
Saat matahari benar-benar telah tenggelam, Nanta dan Tiara pulang. Sepanjang perjalanan mereka tak saling bicara, hanya bunyi langkah kaki yang menemani.
Tak sampai lima belas menit, mereka sudah sampai dirumah. Arka ikut nimbrung, ngobrol bersama papanya dan ayahnya Tiara. Sementara Tiara langsung mandi dan sholat Maghrib.
*****Pagi ini, Tiara bangun dengan wajah segar. Setelah sholat Subuh, dia segera beranjak ke dapur untuk membantu ibunya.
"Kok sepi, Bu? apa Tante Mirna dan Om Wisnu sudah pulang?" Tiara bertanya pada Ibunya yang sedang membuat teh.
"Sudah, semalam orang kepercayaan Om Wisnu telpon, katanya ada dokumen yang harus ditandatangani saat itu juga, jadi mereka langsung pulang, mau pamit sama kamu, kelihatan nyenyak tidurnya, Tante Mirna gak tega bangunin." jelas Ibunya.
"Tolong antar minuman ini ke depan, ada bapakmu dan Nanta di sana."
Ibunya menyodorkan nampan berisi dua cangkir teh dan pisang goreng yang masih mengeluarkan asapnya. Tanpa bertanya lagi, Tiara mengambil nampan itu dan membawanya ke depan.
Di teras, Tiara melihat dua orang laki-laki berbeda generasi tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan. Tiara pun tak ingin mencari tau.
"Tiara ... ajak Nanta keliling kampung, Nanta kemarin bilang ingin sekali menghirup udara pagi di pedesaan." perintah Ayahnya.
"Ayo Nanta, keburu siang, nanti bukan udara segar yang didapat." canda Tiara.
Mereka pun berjalan beriringan. Sesekali Tiara bersenandung kecil, kadang Dia menyapa beberapa penduduk yang berpapasan dengan ramah, membuat Nanta semakin jatuh cinta pada gadis manis itu.
"Tiara, apa kamu tau soal perjodohan kita?" tanya Nanta berhati hati.
Tiara menghentikan langkahnya, dan menatap Nanta. Kemudian berjalan lagi tanpa menjawab pertanyaan Nanta.
Nanta jadi salah tingkah. Seharusnya Ia tadi tak membicarakan perjodohan itu.
Kini, makin lebar jarak antara mereka berdua."Maaf, kalau kamu merasa nggak suka dengan pertanyaanku tadi, aku nggak akan bertanya-tanya lagi."
"Nggak pa-pa, aku cuma kaget aja, dan nggak nyangka kamu akan bertanya seperti itu." jawab Tiara." Apa kamu setuju dengan perjodohan kita?" Tiara bertanya balik pada Nanta.
Nanta terdiam sesaat. Memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Tiara.
"Kamu tau Tiara, Aku mencintaimu dari dulu, jauh sebelum Arka hadir dalam hidupmu," Nanta menarik nafas dalam- dalam sebelum meneruskan kalimatnya.
"Tentu, memilikimu adalah harapan dan impianku yang paling besar, tapi aku juga sadar diri, hanya ada Arka dihatimu," jawab Nanta seakan berputus asa.
"Aku tak akan memaksamu untuk menerimaku, nanti suatu saat bila orang tua benar-benar menjodohkan kita, dan rasamu masih tetap sama, aku akan menolaknya," imbuhnya lagi.
"Maafkan aku, Nanta. aku menganggapmu tak lebih dari sahabat. Dari kecil kita telah bersama. Semoga kamu tak membenciku hanya karena aku menolak perjodohan kita," pinta Tiara.
"Aku mengerti Tiara, tapi kumohon kamu jangan berubah, tetaplah jadi Tiara, sahabat kecilku dulu." harap Nanta.
"Dan, satu lagi pintaku, aku mohon kamu jangan pernah menolak perjodohan kita di depan mamaku, beliau punya riwayat penyakit jantung, aku takut beliau kaget, karena setahun ini, beliau taunya kamu pacarku." kata Nanta panjang lebar.
"Maafkan aku, tak membicarakan terlebih dahulu denganmu, karena Mama selalu menanyakan siapa pacarku, aku bingung, maka aku jawab aja kamulah pacarku. Tak disangka, Mama antusias sekali, sampai-sampai langsung membicarakan ini dengan orangtuamu." sambung Nanta lagi.
Tiara tak mampu berkata apa-apa. Ingin rasanya Ia marah pada Nanta yang begitu lancang mengakuinya sebagai pacar. Tapi, disisi lain dia juga tidak mau karena kemarahannya bisa membahayakan kesehatan Tante Mirna."Baiklah, untuk saat ini, kita bisa bersandiwara dihadapan orangtua kita, tapi ingat, ini hanya untuk menjaga perasaan mereka, jangan berharap lebih," tegas Tiara.
"Terima kasih Tiara, kamu sudah mau membantuku. Apapun persyaratannya aku akan menerimanya." tanpa sadar Nanta berkata sambil menggenggam tangan Tiara. Tiara segera menarik tangannya.
"Em ... eh ... sudah siang, yuk kita pulang." Tiara berkata dengan gugup.
"Oh ... iya ... maaf." Nanta tak kalah gugupnya.
Tiara berjalan beriringan dengan Nanta. Tapi pikiran keduanya sungguh tak sedekat jarak mereka. Sepanjang perjalanan, Tiara memikirkan, bagaimana jika Arka tau tentang perjodohan ini, akankah dia bisa menerima dan memaklumi dengan alasan Tiara. Bagaimana kalau Arka marah dan membenci Tiara? Begitu besar rasa cinta Tiara, bahkan kepada Arka yang setahun sudah tak memberi kabar padanya, Dia tetap memikirkan perasaan kekasihnya itu.
Disisi lain, Nanta merasa lega telah mengutarakan semua pada Tiara. Sudah seminggu ini, dia terbebani dengan perasaan takut andai Tiara tak mau memenuhi keinginannya. Tapi, dia juga patah untuk kedua kalinya, Tiara tetap menolaknya. Ternyata begitu besar pesona Arka memikat dan mengikat Tiara.
"Tiara, kamu percaya Arka setia sama kamu?" tiba-tiba Nanta bertanya saat perjalanan mereka sudah hampir sampai.
"Apa maksud kamu, Nanta? jangan mentang-mentang aku menerima perjodohan pura-pura kita, kemudian kamu mau merusak hubunganku dengan Arka!" Tiara sedikit meninggikan suaranya.
"Aku nggak bermaksud merusak hubunganmu dengan Arka, tapi, apa ada yang bisa menjamin, Arka di sana akan setia sama kamu? sifat orang bisa saja berubah, Tiara." hati-hati Nanta berbicara.
"Aku nggak suka ya, kamu jelek-jelekin Arka, bukan begitu cara untuk menarik perhatianku, Nanta. Caramu sungguh kampungan, tidak menunjukkan bahwa kamu berpendidikan!"
Tiara berlari meninggalkan Nanta. Sementara Nanta hanya mampu beristighfar, teringat kembali pertemuan Nanta dan Arka seminggu sebelum dia memutuskan untuk pulang.
Seminggu yang lalu ... "Bro, nanti datang kan ke pesta ulang tahun Anggita?" Anto menepuk punggung Nanta. Nanta yang sedang fokus ke layar ponsel sedikit tersentak. Segera dia menutup ponsel. Namun, sepertinya Anto sudah melihatnya. "Eh, tunggu ... tunggu ... siapa foto gadis cantik tadi?" tanya Anto berusaha merebut ponsel Nanta. "Bukan siapa-siapa. Oh ya, tadi kamu ngomong apa?" ujar Nanta berusaha mengalihkan pembicaraan. " kamu ikut kepesta ulang tahun Anggita, kan? pestanya di pantai." jawab Anto. Nanta tidak menjawab pertanyaan sahabatnya. Sebenarnya ia malas datang kepesta itu. "Buk ... bakso dan es teh ya
Arka menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, setelah melempar jasnya ke sofa. Sungguh, hari ini, ia sangat lelah sekali. Setelah seharian meeting bersama rekan bisnis, ia harus menuju ke pantai untuk menghadiri pesta ulang tahun Anggita, putri Pak Hadi Winata, pejabat sekaligus pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Meski tak menolak perjodohan yang ditawarkan Pak Hadi, tapi dia tak menyangka, di pestanya tadi, Anggita mengumumkan dirinya sebagai calon suami. Bukankah baru seminggu yang lalu, pertemuannya dengan Anggita terjadi. Saat itu, Arka yang sedang berbicara dengan Pak Hadi, dikejutkan dengan kedatangan gadis cantik yang tiba-tiba masuk ke ruang kerja Pak Hadi. "Pa ... aku mau pesta ulangtahunku besok dirayakan di pantai," kata Anggita tanpa memperdulikan Arka yang sedang berbicara dengan papanya.&nbs
Setelah pembicaraan dengan Nanta pagi tadi, Tiara jadi enggan bertemu dengan Nanta. Dia marah, kenapa Nanta harus berandai-andai tentang sesuatu yang buruk soal hubungannya dengan Arka. Bahkan, dia pun tak cukup baik mengenal Arka. Hanya bertemu beberapa kali, itupun secara tak sengaja, saat Nanta bertamu kerumahnya, dan kebetulan Tiara dan Arka baru pulang dari pantai. Waktu makan siang tiba, Bapak, Ibu, Tiara dan Nanta makan bersama. Disepanjang acara makan itu, tak sekalipun Tiara membuka suara, ia hanya fokus pada makanan yang ada dihadapannya. Menyuap dengan cepat, agar dia bisa segera meninggalkan meja makan. Nanta tampak sedikit canggung, mungkin merasa tidak enak dengan sikap Tiara. Dia menyendok makanan dengan pelan sekali. Ibu yang melihat itu, kemudian bertanya pada Nanta. "Apa makanannya tidak enak, Nak Nan
Hari telah petang, ketika Nanta tiba di kosannya. Perjalanan yang lumayan jauh, membuatnya sangat lelah. Mandi adalah hal pertama yang ingin dilakukannya saat sampai di kamar. Gemericik air dari dalam kamar mandi, terdengar, setelah beberapa menit Nanta memasuki kamar kost nya. Sekitar lima belas menit, Nanta berada di kamar mandi. Rasanya ingin berlama-lama disana, mengingat cuaca panas yang seharian dia rasakan ko sepanjang perjalanan dari rumah Tiara. Dering ponsel membuat Nanta terpaksa menyudahi aktivitas mandinya.Dengan badan yang hanya dililit handuk, dia segera menjawab panggilan dari mamanya. "Halo, asalamualaikum, Ma." "Waalaikumsalam, kamu sudah sampai, sayang?" tanya mamanya. "Sudah Ma, mungkin s
Malam itu, Tiara tidur dengan gelisah, berulang kali dia terbangun karena mimpi buruk. Yang terakhir, dia bermimpi, Bapak sedang berdiri, meminta tolong dari kepungan api yang berkobar. Tiara tak dapat berbuat apa-apa. Mimpi itu seperti nyata. Tak henti-hentinya Tiara beristighfar, semoga mimpi tadi hanyalah bunga tidur belaka. Karena mata yang sepertinya enggan lagi terpejam. Tiara memutuskan untuk Sholat dan berdoa meminta pertolongan dan keselamatan kepada Allah SWT.***** "Bu ... Bu Asih ... Bapak ... Bapak, Bu!" Pak Dirman lari tergopoh-gopoh menemui Bu Asih dan Tiara yang sedang merawat bunga di halaman. "Tenang dulu, Pak ... ini, diminum dulu." Ibu menyodorkan segelas air putih.&
Semburat jingga terlukis indah di ufuk barat. Semilir angin menyapu lembut wajah Tiara yang tak henti mengagumi ciptaan sang Pencipta. Perlahan, dia menyusuri pantai yang penuh kenangan ini. Sesekali berhenti untuk memungut kerang yang kadang terlihat saat tersapu ombak. Ah ... berada di sini seakan memaksa Tiara untuk kembali ke masa yang lampau. Saat dengan begitu erat Arka menggenggam tangannya, dan berjanji akan setia. Berdua, mereka tertawa, berlarian di atas pasir putih yang terhampar di sepanjang bibir pantai. Bermain ayunan yang bertiangkan dua pohon kelapa yang berjejer. Tiara akan menjerit ketakutan saat Arka dengan sengaja mendorong ayunan itu sedikit kuat. Kemudian Tiara pura-pura marah dan mendiamkan Arka. Tak lama Arka menyodorkan kelapa muda sambil memohon maaf. "Sebagai permintaan maaf ... kupe
"Tiara ... bangun, udah subuh, anak gadis nggak boleh males, ayo cepetan." Ibu menyentuh lembut pipi Tiara. "Loh, badan kamu panas, Tiara, kamu sakit?" tanya Ibu khawatir. "Emmhhh ...," Tiara menggeliat kemudian mengucek mata,"nggak kok Bu, cuma pusing dikit." Tiara duduk, sambil memijit kedua pelipisnya. "Ya udah, sana, ambil wudhu terus sholat. Kalau pusing, nanti nggak usah bantu Ibu, tidur lagi aja." kata Ibu sambil berjalan keluar kamar. Tiara mengikuti langkah Ibunya. Sampai di dapur, Ibu membuat teh dan menyiapkan sarapan untuk Ayah. Sedangkan Tiara ke kamar mandi untuk berwudhu. Sebenarnya sehabis sholat, Tiara ingin tiduran lagi, seperti pesan Ibunya tadi. Rasa pusingnya belum juga reda. Tapi, Tiara juga tidak tega kalau membiarkan Ibu menge
Malam itu, Tiara tidur dengan gelisah, berulang kali dia terbangun karena mimpi buruk. Yang terakhir, dia bermimpi, Bapak sedang berdiri, meminta tolong dari kepungan api yang berkobar. Tiara tak dapat berbuat apa-apa. Mimpi itu seperti nyata. Tak henti-hentinya Tiara beristighfar, semoga mimpi tadi hanyalah bunga tidur belaka. Karena mata yang sepertinya enggan lagi terpejam. Tiara memutuskan untuk Sholat dan berdoa meminta pertolongan dan keselamatan kepada Allah SWT.***** "Bu ... Bu Asih ... Bapak ... Bapak, Bu!" Pak Dirman lari tergopoh-gopoh menemui Bu Asih dan Tiara yang sedang merawat bunga di halaman. "Tenang dulu, Pak ... ini, diminum dulu." Ibu menyodorkan segelas air putih.&
Hari telah petang, ketika Nanta tiba di kosannya. Perjalanan yang lumayan jauh, membuatnya sangat lelah. Mandi adalah hal pertama yang ingin dilakukannya saat sampai di kamar. Gemericik air dari dalam kamar mandi, terdengar, setelah beberapa menit Nanta memasuki kamar kost nya. Sekitar lima belas menit, Nanta berada di kamar mandi. Rasanya ingin berlama-lama disana, mengingat cuaca panas yang seharian dia rasakan ko sepanjang perjalanan dari rumah Tiara. Dering ponsel membuat Nanta terpaksa menyudahi aktivitas mandinya.Dengan badan yang hanya dililit handuk, dia segera menjawab panggilan dari mamanya. "Halo, asalamualaikum, Ma." "Waalaikumsalam, kamu sudah sampai, sayang?" tanya mamanya. "Sudah Ma, mungkin s
Setelah pembicaraan dengan Nanta pagi tadi, Tiara jadi enggan bertemu dengan Nanta. Dia marah, kenapa Nanta harus berandai-andai tentang sesuatu yang buruk soal hubungannya dengan Arka. Bahkan, dia pun tak cukup baik mengenal Arka. Hanya bertemu beberapa kali, itupun secara tak sengaja, saat Nanta bertamu kerumahnya, dan kebetulan Tiara dan Arka baru pulang dari pantai. Waktu makan siang tiba, Bapak, Ibu, Tiara dan Nanta makan bersama. Disepanjang acara makan itu, tak sekalipun Tiara membuka suara, ia hanya fokus pada makanan yang ada dihadapannya. Menyuap dengan cepat, agar dia bisa segera meninggalkan meja makan. Nanta tampak sedikit canggung, mungkin merasa tidak enak dengan sikap Tiara. Dia menyendok makanan dengan pelan sekali. Ibu yang melihat itu, kemudian bertanya pada Nanta. "Apa makanannya tidak enak, Nak Nan
Arka menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, setelah melempar jasnya ke sofa. Sungguh, hari ini, ia sangat lelah sekali. Setelah seharian meeting bersama rekan bisnis, ia harus menuju ke pantai untuk menghadiri pesta ulang tahun Anggita, putri Pak Hadi Winata, pejabat sekaligus pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Meski tak menolak perjodohan yang ditawarkan Pak Hadi, tapi dia tak menyangka, di pestanya tadi, Anggita mengumumkan dirinya sebagai calon suami. Bukankah baru seminggu yang lalu, pertemuannya dengan Anggita terjadi. Saat itu, Arka yang sedang berbicara dengan Pak Hadi, dikejutkan dengan kedatangan gadis cantik yang tiba-tiba masuk ke ruang kerja Pak Hadi. "Pa ... aku mau pesta ulangtahunku besok dirayakan di pantai," kata Anggita tanpa memperdulikan Arka yang sedang berbicara dengan papanya.&nbs
Seminggu yang lalu ... "Bro, nanti datang kan ke pesta ulang tahun Anggita?" Anto menepuk punggung Nanta. Nanta yang sedang fokus ke layar ponsel sedikit tersentak. Segera dia menutup ponsel. Namun, sepertinya Anto sudah melihatnya. "Eh, tunggu ... tunggu ... siapa foto gadis cantik tadi?" tanya Anto berusaha merebut ponsel Nanta. "Bukan siapa-siapa. Oh ya, tadi kamu ngomong apa?" ujar Nanta berusaha mengalihkan pembicaraan. " kamu ikut kepesta ulang tahun Anggita, kan? pestanya di pantai." jawab Anto. Nanta tidak menjawab pertanyaan sahabatnya. Sebenarnya ia malas datang kepesta itu. "Buk ... bakso dan es teh ya
#Bab : 3 Pasir putih di hadapan Tiara penuh dengan coretan. Diantara begitu banyak coretan tak bermakna, ada satu nama yang tergores di sana, Arka. Hanya nama itu yang tertulis. Di alam bawah sadarnya pun, nama Arka telah terpatri begitu kuatnya. "Kamu masih setia menunggunya, Tiara?" tanya Nanta, yang tanpa disadari, sudah berdiri di samping Tiara. "Aku akan selalu menunggunya, Nanta. Karena aku yakin, Arka akan menepati janjinya," jawab Tiara. "Bahkan ketika dia menghilang begitu saja, tanpa sekalipun memberi kabar padamu?" tanya Nanta dengan nada mengejek. "Dari mana kamu tau kalau Arka tak pernah memberi kabar?" tanya Tiara keheranan. Karena selama ini, setiap Nanta bertanya tentang Arka, dia selalu berbohong dengan mengatakan hubungannya den
"Tiara ... bangun, udah subuh, anak gadis nggak boleh males, ayo cepetan." Ibu menyentuh lembut pipi Tiara. "Loh, badan kamu panas, Tiara, kamu sakit?" tanya Ibu khawatir. "Emmhhh ...," Tiara menggeliat kemudian mengucek mata,"nggak kok Bu, cuma pusing dikit." Tiara duduk, sambil memijit kedua pelipisnya. "Ya udah, sana, ambil wudhu terus sholat. Kalau pusing, nanti nggak usah bantu Ibu, tidur lagi aja." kata Ibu sambil berjalan keluar kamar. Tiara mengikuti langkah Ibunya. Sampai di dapur, Ibu membuat teh dan menyiapkan sarapan untuk Ayah. Sedangkan Tiara ke kamar mandi untuk berwudhu. Sebenarnya sehabis sholat, Tiara ingin tiduran lagi, seperti pesan Ibunya tadi. Rasa pusingnya belum juga reda. Tapi, Tiara juga tidak tega kalau membiarkan Ibu menge
Semburat jingga terlukis indah di ufuk barat. Semilir angin menyapu lembut wajah Tiara yang tak henti mengagumi ciptaan sang Pencipta. Perlahan, dia menyusuri pantai yang penuh kenangan ini. Sesekali berhenti untuk memungut kerang yang kadang terlihat saat tersapu ombak. Ah ... berada di sini seakan memaksa Tiara untuk kembali ke masa yang lampau. Saat dengan begitu erat Arka menggenggam tangannya, dan berjanji akan setia. Berdua, mereka tertawa, berlarian di atas pasir putih yang terhampar di sepanjang bibir pantai. Bermain ayunan yang bertiangkan dua pohon kelapa yang berjejer. Tiara akan menjerit ketakutan saat Arka dengan sengaja mendorong ayunan itu sedikit kuat. Kemudian Tiara pura-pura marah dan mendiamkan Arka. Tak lama Arka menyodorkan kelapa muda sambil memohon maaf. "Sebagai permintaan maaf ... kupe