Senin pagi, upacara sekolah berlangsung tertib dan lancar. Matari dan teman-temannya langsung kembali ke kelas karena udara panas, sehingga tak ada yang mau berlama-lama di luar. Bahkan kipas angin yang sudah ada dua buah di kelasnya, tak cukup meredakan hawa panas yang berlangsung.
Ayla masih bersemangat menceritakan pesta Ultah Kak Angela weekend kemarin pada Dinda. Dinda yang selalu menjadi pendengar setia sahabatnya, terus menerus memberi tanggapan yang justru membuat Ayla tak berhenti menceritakan apa yang terjadi.
“Kok lo diem aja? Nggak dateng lo ye?” ledek Praja.
“Kan gue udah bilang, Arai nggak bisa dateng anterin adeknya vaksin,” jawab Matari.
“Ah, coba lo dateng, Ri! Makan annya enak-enak lho! Dan MC nya dong ada Irwansyah, ada LCB juga. Gila kan? cakep-cakep mereka aslinya! Udah gitu, dekornya keren banget. Nih liat aja foto-foto di hp gue!” kata Ayla sambil memberikan HP-nya pada Matari.
Mat
Menuju ke kelas 1-9 yang bersebelahan dengan kelas 1-10, membuat Matari reflek mencari-cari sosok Davi. Namun, cowok itu tak nampak di manapun saat istirahat.“Yeeee, elo tu nyamperin Sandra, bukan nyariin Davi!” ledek Praja yang bisa membaca gerak-gerik Matari. “Gue aduin ke Arai, baru tahu rasa lo!”“Kebiasaan aja sih, hehehe, sorry, sorry!” timpal Matari. “Lagian kenapa sih lo ngajakin gue nyamperin Sora? Nggak berani apa gimana?”“Ya gue agak males sama Marsha and the gank sih, makanya gue ajakin lo. Biar gue malesnya nggak sendirian,” bisik Praja sambil terkekeh.“Hei, ngapain kalian?” sapa Sandra yang muncul dari arah kantin bersama teman sebelahnya, Yasmin.“Sora mana, San?” tanya Praja.“Oh, kirain nyari Pipit. Mereka semua masih di kantin. Tunggu aja atau SMS kek. Atau samperin sono di kantin. Cuma tadi rame banget. Ada yang a
“Ya mungkin mereka punya standar sendiri, dan bukan lo,” kata Arai sambil menyulut rokoknya di depan Matari.Matari bertambah kesal, bukannya menghibur, Arai justru merokok di depannya sambil mengucapkan kata-kata yang tajam. Dulu dia tak berani, namun sekarang, dia bahkan bisa menyulut hingga beberapa putung rokok.“Kenapa?” tanya Arai kemudian menyadari tatapan Matari yang tak suka melihatnya merokok.“Kamu sekarang kalau ngerokok di depan aku udah berani banyak ya. Padahal kamu tahu kan aku nggak suka sama asapnya?” jawab Matari.“Lho kok jadi bahas rokok sih? Kalo emang kamu marah sama Praja, ya ke Praja dong, jangan ke gue!” kata Arai.Matari cuma terdiam, kemudian entah ada keberanian dari mana datangnya, Matari menarik putung rokok itu dan menginjaknya dengan sepatunya. Arai cuma terbengong, tak menyangka Matari akan bersikap seperti itu. Apalagi, batang rokok itu masih panjang, baru dihisapnya
Meskipun nyatanya beberapa kali Matari banyak mendiamkan Arai, lama-kelamaan rasa kesal yang menggerogoti dirinya terasa semakin besar. Dia sudah SMA, bukannya dia ingin bertindak yang macam-macam dalam berpacaran, tapi paling tidak, dia ingin merasakan the real relationship seperti teman-temannya yang lain.Memikirkan untuk bermacam-macam, dia selalu ingat akan Ayahnya dan mendiang Ibunya. Kedua hal itu selalu cukup untuk menahan dirinya agar tidak bertindak lebih jauh.Saat ini dirasakannya hubungannya dengan Arai tidak membaik. Arai semakin jarang menghubunginya. Bahkan pertengkaran kemarin, tak membuat Arai datang untuk minta maaf.Entah karena menghindar, entah karena sibuk dengan geng GWR-nya, Arai sering tak terlihat di manapun. Matari kembali lebih sering pulang sendirian, jikapun ada teman, itu pastinya adalah Sandra.“Lo berantem mulu perasaan?” timpal Praja yang tak tega melihat Matari tampak suntuk ke sekolah akhir-akhir i
Davi sedang mengecek HP-nya untuk melihat apakah ada balasan SMS dari Pauline. Semangat untuk PDKT ke Pauline semakin besar. Berbagai macam cara dilakukannya. Salah satunya, Davi berencana mengajak Pauline makan steak di warung steak kaki lima baru di daerah Radio Dalam yang sedang hits di mana-mana.Davi sudah banyak mencari tahu soal Pauline. Bahkan soal Pauline yang hobi wisata kuliner. Hal yang sama sekali tidak cocok dengan karakteristik fisiknya yang cantik dan kalem. Hal itu pulalah yang membuatnya bersemangat mendekati Pauline karena penasaran. Apalagi si ketua kelas itu luar biasa baik dan ramah pada siapapun. Sifatnya mirip dengan Pipit.Davi sudah lama menyerah dengan Pipit, mengingat dia semakin populer di kalangan para senior. Dia akhirnya memutuskan untuk tetap berteman baik tanpa menyampaikan perasaannya sedikitpun pada Pipit.Dia berharap, kali ini, dia berhasil mendekati Pauline sesuai harapannya yang baru kali ini. Minimal Davi bisa
Hari Rabu yang ditunggu datang. Choki sudah mengganti atasan kemeja seragamnya dengan kaos. Tongkrongan mereka di warung Rambo agak sepi. Tak seperti biasanya, yang selalu ramai.“Pada ke mana? Sepi amat!” tanya Choki sambil menyerahkan selembar uang 10 ribuan rupiah pada Rambo.“Nggak tahu. Udah seminggu ini sepi. Pada persiapan audisi band denger-denger. Lo juga kan?” sahut Rambo sambil memberikan satu batang rokok baru pada Choki tanpa kembaliannya.Rambo tahu, Choki akan mengambil beberapa batang rokok baru lagi atau makanan, sehingga biasanya mereka akan kalkulasi ulang saat Choki mau pulang.“Iya, nih gue lagi nunggu Arai. Tuh dia! Rai, makan di sini dulu ya. Baru kita cabut ke studio,” kata Choki saat melihat Arai muncul sambil membawa tas ranselnya dengan ogah-ogahan.“Mau apa? Nyokap gue ada nasi teri bungkus, ada nasi orek tempe, macem-macem tuh, belum banyak yang beli nasi bungkusnya,&rdquo
Davi baru saja hendak duduk di area tunggu, saat Ayla mendekat ke arahnya.“Dav, udah kelar audisi? Lagi senggang nggak?” bisik Ayla.“Ehhhh, senggang sih. Tapi bentar lagi gue balik. Lagi nungguin Pito beberes sama anak-anak tuh di teras. Kenapa, La?” sahut Davi setengah berbisik.“Oh, oke. Jadi gini, gue mau minta tolong. Ini kan udah gerimis. Terus si Matari lagi nangis. Boleh nggak, gue tumpangin dia di mobil lo dulu sampe tenang. Gue mau nyari Arai dulu nih. Tadi dia kabur begitu aja,” jawab Ayla. “Nggak lama kok, paling cari warung rokok di sekitaran sini! Choki kan belom kelar, dia pasti nungguin Choki juga.”Davi melihat arlojinya yang menunjukkan pukul 4 lewat 15 menit. Pauline harus dia jemput setelah magrib, masih keburu sih kalau jalan jam 5. Semoga saja nggak macet.“Boleh aja,” kata Davi sambil mengangguk.“Ya udah, lo masuk dulu gih ke mobil, buat stand by
Pito mengetuk jendela penumpang dengan hati-hati. Buih-buih hujan menempel di tangannya. Hujan sudah mulai mereda, namun Pito pasrah karena mendapatinya dirinya basah karena gerimis.Dia terkaget-kaget, saat Davi membuka jendela mobilnya, Pito melihat Matari duduk di samping Davi dengan mata sembab.“Eh, elo, Ri. Mmm, aduh jadi lupa gue mau ngomong apa. Itu, Dav, lo boleh cabut. Pengumuman masih 2 minggu lagi kok. Makasih ya udah gantiin Edo. Kata Edo, nanti lo mau ditraktir!” kata Pito.“Lo udah mau cabut?” tanya Davi.“Udah, nih gue mau cabut bareng anak-anak. Kita tadi mikir kalau bakalan dikasih tahu pengumuman lolos enggaknya sekaligus. Eh ternyata enggak. Nunggu ngabisin dulu seluruh band yang audisi selama 2 minggu, baru deh pengumuman,” jawab Pito.“Oh, gitu. Sorry, kayanya gue nggak bisa nebengin pulang. Lo kalo mau duluan, duluan aja gimana?” kata Davi sambil memberi isyarat bahwa ada Matari
Arai tampak dingin saat melihat Matari turun dari mobil Jeep besar di depan rumah Rambo. Mobil itu langsung berlalu pergi. Arai tahu, itu mobil Davi. Entah bagaimana Matari bisa ke sini dengan cowok itu. Pikiran-pikiran negatifnya bermunculan.Hujan sudah berganti dengan gerimis. Arai melihat Matari masuk ke dalam rumah Rambo tampak gemetaran. Di luar, udara memang cukup dingin. Tak tega, Arai memberikan sweater abu-abunya pada Matari.Meski berbau rokok, Matari menerima sweater itu tanpa banyak bicara. Arai enggan membahas soal bagaimana dia diantar Davi. Mungkin Ayla ada sangkut pautnya dengan semua ini. Jadi dia merasa lebih baik fokus pada permasalahan mereka berdua.Matari duduk di sebelahnya sambil meminum air mineral yang dibawanya sejak tadi. Arai kembali bermain PS, meskipun hanya pencet-pencet nggak jelas sana-sini.“Lo main apa sih? Kalah tuh,” komen Matari yang tampak menyadari bahwa Arai sedang tak fokus.Arai tak menjawab.
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”