Arai tampak dingin saat melihat Matari turun dari mobil Jeep besar di depan rumah Rambo. Mobil itu langsung berlalu pergi. Arai tahu, itu mobil Davi. Entah bagaimana Matari bisa ke sini dengan cowok itu. Pikiran-pikiran negatifnya bermunculan.
Hujan sudah berganti dengan gerimis. Arai melihat Matari masuk ke dalam rumah Rambo tampak gemetaran. Di luar, udara memang cukup dingin. Tak tega, Arai memberikan sweater abu-abunya pada Matari.
Meski berbau rokok, Matari menerima sweater itu tanpa banyak bicara. Arai enggan membahas soal bagaimana dia diantar Davi. Mungkin Ayla ada sangkut pautnya dengan semua ini. Jadi dia merasa lebih baik fokus pada permasalahan mereka berdua.
Matari duduk di sebelahnya sambil meminum air mineral yang dibawanya sejak tadi. Arai kembali bermain PS, meskipun hanya pencet-pencet nggak jelas sana-sini.
“Lo main apa sih? Kalah tuh,” komen Matari yang tampak menyadari bahwa Arai sedang tak fokus.
Arai tak menjawab.
Matari membawa copy-an artikel Sejarah, kemudian dengan disket milik Bulan, kakaknya, keluar teras rumah. Praja sedang menghitung uang di dompetnya.“Kenape lo malah ngitung duit? Mau traktir gue?” ledek Matari. “Di sebelah aja yuk copy-nya.”“Rameeee, lagi antri. Males gue. ada fotokopi yang laen nggak deket sini?” tanya Praja.“Ada sih, tapi gue izin dulu ama nyokapnya Sandra.”“Tuh bocah kemana? Nggak ada suaranya?”“Ke rumah temennya kerjain tugas kelompok. Udah arah balik sih.”“Oh, gitu. Ya udah ayok buruan, gue laper nih.”“Iya, iya. Tanteee! Matari mau keluar sama Praja nih, copy tugas. Tempat Bang Fachri rame banget. Jadi mau cari yang lain.”Tante Dina keluar sambil manggut-manggut. “Naik apa kalian?”“Motor, Tan,” kata Praja sambil nyengir, menunjuk motor kakak laki
Warung Steak yang dimaksud Praja, ternyata hari itu tak terlalu ramai. Mungkin karena jam makan malam sudah lewat dan ini termasuk hari kerja biasa. Beberapa meja terisi, namun yang kosong, jauh lebih banyak.Pelayan mengantarkan Matari dan Praja yang memilih di lokasi ber-AC. Udara panas Jakarta malam itu, membuat mereka memilih tempat yang nyaman.“Eh, lo biasa aja ya, tuh di meja tengah, ada si Davi sama Pauline,” kata Praja berbisik di telinga Matari.Matari melihat ke arah yang dimaksud Praja. Tepat saat itu Davi dan Pauline melihat kehadiran mereka dan melambaikan tangan.Sial. Kenapa harus ketemu Davi lagi? Kejadian tadi sore sebenarnya masih cukup membuatnya malu. Namun, dia tak ada pilihan lain selain cuma bisa pasrah.“Haiiii! Kalian berdua ke sini juga?” seru Pauline ramah.Matari cuma tersenyum canggung sambil mengangguk. Praja malah yang lebih supel.“Pau, lo berdua aja?” tanya Praja ak
“Maaf banget ya, Dav. Gue emang nggak boleh balik malem-malem, jadi kita langsung pulang aja,” kata Pauline memulai pembicaraan saat keduanya sudah di dalam mobil.“Santai aja, gue baru tahu kalo nyokap bokap lo straight ama ginian. Ternyata banyak juga ya cewek yang gue kenal, ortunya masih ketat banget,” timpal Davi sambil menyetir menuju ke rumah Pauline.“Ciyeee, emang siapa aja tuh cewe-cewenya? Lo nih playboy juga ya, siapa aja lo deketin?”“Playboy? Hahahah. Sadar diri kali gue, Pau, playboy juga butuh wajah ganteng minimal!”“Hahahaha, ya bagus deh kalo lo sadar diri. Tapi emang banyak yang deket sama lo kan? Jujur! Sepengetahuan gue, bukan cuma gue yang deket sama lo. Ada Pipit, ada Ayla, Matari juga mantan lo kan, masih deket tuh kalian berdua!”“Ya semua deket aja dulu, Pau, nggak tahu ke depannya gimana. Yang pasti gue sih sebisa mungkin sopan sama merek
“To, hari ini sebelahan dong sama gue, gue mau nanya sesuatu sama lo,” kata Davi pada Pito.Kiwil yang baru saja datang, akhirnya pasrah harus duduk di sebelah Edo. Baginya tak masalah duduk di mana saja.Pito duduk dan langsung menyemprot parfumnya pada tubuhnya. Kadang, Davi ingin bertanya apakah Pito harus selalu seperti itu. Maniaknya pada parfum semakin menjadi akhir-akhir ini“Mau nanya apa lo?” tanya Pito sambil bersender. “Sebelum itu, thanks ya, kita semua lolos audisi. Tapi sorry banget lo cuma jadi pengganti karena Edo yang bakalan tampil buat audisi tahap 2 ini. Nggak papa kan?”“Lho bukannya pengumuman 2 minggu lagi?” tanya Kiwil yang langsung menyahut.“Gue udah dapet bocoran dari kakak kelas. Jadi kita bisa langsung siap-siap, biar bisa lolos ke 15 besar. Gosipnya sih, dari jarak pengumuman ke audisi selanjutnya tuh cuma dikasi waktu 2 harian,” kata Pito. &
Debuman suara tim basket di kejauhan tak membuat keramaian di sisi lapangan lain, tempat Davi dan ekskul outdoor lain berkumpul, mengurangi keriuhan mereka sendiri.Beberapa anggota ekskul tampak menunjukkan kebolehannya melakukan flip di sana-sini, termasuk Davi. Hingga akhirnya, Pito yang entah kenapa tiba-tiba tertarik join di club Mapala (Naik Gunung), yang merupakan cabang club di bawah ekskul outdoor, mendekatinya.“Kemarin, lo nanyain soal Gilang ya kalo nggak salah. Tuh doi lagi main basket di lapangan sana. Yang rambutnya dicat cokelat tua atau warna apa sih itu, nggak jelas. Yang pakai kaos warna kuning di dalem seragam,” kata Pito sambil menunjuk.Davi akhirnya memperhatikan cowok yang dimaksud. Setahu Davi, anak kelas 3 tidak diwajibkan ikut ekskul apapun untuk mematangkan persiapan ujian nasional. Jikapun iya, mereka harus bisa membagi waktu dengan baik.Namun melihat kepiawaian cowok b
Arai memarkir motornya di rumah Rambo saat adzan maghrib terdengar di kejauhan. Choki tadi minta dijemput di sini. Arai yang sedang menemani adiknya sebentar karena ayah dan ibunya pergi ke rumah sakit lagi, akhirnya baru bisa datang saat kedua orangtuanya sudah kembali.Rambo sedang duduk-duduk di luar bersama Anton. Dia langsung menyapa Arai dengan sikap gembira yang aneh.“Araaaai, my friend. Mau jemput Choki ya?” tanya Rambo sambil merangkul Arai.Arai tahu, Rambo sedang setengah sadar. Entah mabuk, entah teler. Sudah didengarnya akhir-akhir ini bahwa Rambo mengkonsumsi permen berwarna pink aneh yang beredar diam-diam di antara geng mereka.Arai tahu itu obat-obatan terlarang yang sengaja diedarkan dengan harga kantong pelajar yang pas-pasan. Entah apa kandungan di dalamnya. Yang pasti, mereka akan seperti ini setelah mengkonsumsinya.Anton masih terlihat sepenuhnya sadar dan kondisinya cukup baik, karena dia masih bisa men
“Nggak ngebalesin? Parah tuh cowok! Telp gimana? Nih pake HP gue deh!” seru Ayla kesal menyadari Matari tak mendapatkan balasan apapun saat mengirim SMS pada Arai untuk dijemput.“Mungkin nggak ada pulsa kali, La. Nggak papa gue ada pulsa kok. Coba gue missed call dia dulu, ada balasan nggak,” sahut Matari optimis.Matari me-missed call HP Arai beberapa kali. Setelah menunggu beberapa saat, masih tak ada perubahan yang berarti. Tak ada balasan SMS sedikitpun.“Ri, gue pesenin taksi ya? Udah, ntar gue yang bayar. Ini udah hampir jam 7 malem. Lo bisa diomelin sama Tante Dina nanti, gimana?”“Eh, nggak usah, La. Gue bisa nunggu ojek di pos ojek depan. Pasti nggak akan lama, ada yang dateng.”“Udah malem, Ri. Gue yang khawatir. Nih, gue telepon dia deh. Kalo masih nggak ada balasan juga, gue minta tolong Praja aja deh ya!”****************************************
Matari hanya tersenyum-senyum saat melihat Ayla marah-marah pagi harinya saat menceritakan perihal jawaban Arai di telepon semalam. Matari bahkan tak perlu menjelaskan seperti apa sifat dan karakter Arai selama ini padanya.“Lo yakin mau jalan terus sama Arai, Ri?” tanya Hafis dari belakang.“Kenapa?” tanya Matari smabil menoleh dengan tatapan dingin.Hafis cuma terdiam. Dia seperti ingin berbicara sesuatu, namun diurungkannya. Apalagi Beno tampak menyenggol Hafis untuk tak usah membicarakannya lagi. Praja yang menyadari ada sesuatu, akhirnya menjawab pertanyaan Matari.“Yaaah, enggak sih, nggak papa, Ri. Kita kan cuma iseng tanya aja. Cowok lo tuh emang nggak demen selingkuh, tapi bener kata Ayla, dia harga dirinya tinggi banget. Nggak bisa ngaku ke orang lain kalo dirinya salah. Dia ngerasa bener terus. Nggak mau introspeksi diri. Apa nih yang kira-kira kurang dari hubungan kalian berdua. Meskipun dia sadar kekurangannya pu