“Nggak ngebalesin? Parah tuh cowok! Telp gimana? Nih pake HP gue deh!” seru Ayla kesal menyadari Matari tak mendapatkan balasan apapun saat mengirim SMS pada Arai untuk dijemput.
“Mungkin nggak ada pulsa kali, La. Nggak papa gue ada pulsa kok. Coba gue missed call dia dulu, ada balasan nggak,” sahut Matari optimis.
Matari me-missed call HP Arai beberapa kali. Setelah menunggu beberapa saat, masih tak ada perubahan yang berarti. Tak ada balasan SMS sedikitpun.
“Ri, gue pesenin taksi ya? Udah, ntar gue yang bayar. Ini udah hampir jam 7 malem. Lo bisa diomelin sama Tante Dina nanti, gimana?”
“Eh, nggak usah, La. Gue bisa nunggu ojek di pos ojek depan. Pasti nggak akan lama, ada yang dateng.”
“Udah malem, Ri. Gue yang khawatir. Nih, gue telepon dia deh. Kalo masih nggak ada balasan juga, gue minta tolong Praja aja deh ya!”
****************************************
Matari hanya tersenyum-senyum saat melihat Ayla marah-marah pagi harinya saat menceritakan perihal jawaban Arai di telepon semalam. Matari bahkan tak perlu menjelaskan seperti apa sifat dan karakter Arai selama ini padanya.“Lo yakin mau jalan terus sama Arai, Ri?” tanya Hafis dari belakang.“Kenapa?” tanya Matari smabil menoleh dengan tatapan dingin.Hafis cuma terdiam. Dia seperti ingin berbicara sesuatu, namun diurungkannya. Apalagi Beno tampak menyenggol Hafis untuk tak usah membicarakannya lagi. Praja yang menyadari ada sesuatu, akhirnya menjawab pertanyaan Matari.“Yaaah, enggak sih, nggak papa, Ri. Kita kan cuma iseng tanya aja. Cowok lo tuh emang nggak demen selingkuh, tapi bener kata Ayla, dia harga dirinya tinggi banget. Nggak bisa ngaku ke orang lain kalo dirinya salah. Dia ngerasa bener terus. Nggak mau introspeksi diri. Apa nih yang kira-kira kurang dari hubungan kalian berdua. Meskipun dia sadar kekurangannya pu
Rambo memberitahu Choki dan Arai bahwa Anton dan Desma akhirnya resmi berpacaran. Arai tentu tidak kaget. Mengingat Arai sudah beberapa kali memergoki Anton semakin sering mengantar jemput Desma pergi dan pulang sekolah.“Besok ada traktiran mereka di sini. Dan bakalan ditraktir yang semua kita suka!” seru Rambo bahagia.“Apaan tuh?” tanya Choki.“Lagak lo nggak tahu, Chok! Biasaaaa, permen pink kesayangan kita sama miras 3 krat buat dibagi sama-sama. Lo tahu sendiri Anton tuh uang sakunya banyak. Desma apalagi!” jawab Rambo dengan nada senang.“Wah, serius, Mbo?” tanya Choki.“Serius! Orang si Anton udah bilang ke gue buat nyiapin barangnya. Rai, besok jangan cemen. Besok kan Sabtu, jadi lo bisa pulang sampe pagi kan? Lagian lo kan jarang ngapelin cewek lo tuh.” seru Rambo.“Iya, iya. Besok gue di sini sampe pagi. Tenang aja,” kata Arai.“Apel dulu juga ngg
Arai baru sampai di rumah Rambo, namun rumah itu sudah tampak ramai. Motor-motor berbagai merk terparkir di pinggir jalan dengan rapi sesuai arahan Tuan Rumah.Bagaimanapun juga, depan rumah Rambo adalah jalan utama menuju ke pabrik, dia tak enak jika banyak kendaraan menghalangi truk-truk kecil berlalu-lalang membawa hasil produksi mereka.Meskipun hampir semua sepakat tak membawa pacar masing-masing, nyatanya ada Desma, Kak Angela dan Kak Mirna sedang duduk bertiga di salah satu sisi. Arai pernah dengar, mereka tak akur pada Desma. Namun nyatanya mereka bertiga tampak bercanda dan mengobrol satu sama lain. Mungkin karena Desma sudah menjadi bagian dari GWR juga.“Loh, Rai, Matari mana?” tanya Kak Angela saat melihat Arai datang hanya sendirian.“Nggak ikut, Kak. Titip salam aja, katanya,” sahut Arai sedikit berbohong, mana ada Matari menitip salam.“Yaaaah, sepi dong cewek-ceweknya cuma kita bertiga,” sahut Kak
Arai tersadar saat mendapati jam di rumah Rambo menunjukkan pukul 2 lewat dini hari. Ruangan sudah sepi menyisakan beberapa teman-temannya yang tertidur. Pintu masih terbuka lebar. Alunan radio dini hari terdengar sayup-sayup di luar. Namun tak ada pergerakan manusia selain dirinya sendiri.Dia memutuskan untuk ke toilet. Tepat saat melewati kamar Rambo, tampak Desma dan Anton sedang tertidur bersama dengan selimut seadanya dari sarung milik Rambo.Dia tak mau mengganggu mereka dan berjalan menuju toilet kemudian segera keluar kembali ke ruang utama.Choki masih tertidur di salah satu sudut, meringkuk dengan jaket miliknya sendiri. Sesekali Choki bergumam tak jelas. Tampaknya dia bermimpi entah apa.Arai masih meneguk segelas air di atas meja. Yang akhirnya disadarinya ternyata bukan air putih biasa. Entah milik siapa gelas itu. Namun Arai akhirnya meletakkannya lagi.Dia mencari-cari air putih tersisa, namun yang dia temukan ada di dalam kardus-ka
Arai memarkir motornya dengan hati-hati di pekarangan rumahnya. Saat dia masuk, Ayahnya sudah duduk di ruang utama sambil membaca koran. Dengan sigap, dia meletakkan koran itu dan memperhatikan anak sulungnya. Wajahnya tampak tak enak.“Ayah bolehin pulang jam berapa aja, tapi juga bukan berarti jam segini, Rai. Mestinya kamu pagi pulang dulu, mandi, cek ibumu butuh bantuan apa. Baru kalau kamu mau main lagi, silahkan. Kalau kaya gini, kenapa kamu nggak sekalian tinggal di sana aja?” tanya Ayahnya dengan suara keras.“Maaf, Yah. Arai ketiduran,” sahut Arai pelan.“Ketiduran? Sampai siang? Emangnya kamu ngapain aja semalam? Sudah dzuhur belum? Ayah yakin kamu nggak subuh juga ya?” seru Ayahnya.Arai hanya menunduk sambil bersandar di dinding.“Ya sudah, mandi dulu. Kamu bau banget. Abis gitu sholat, terus makan. Kalau sudah, temui Ayah di sini.”Arai tak berkutik. Itu pertama kalinya ayahnya mar
Pergantian bab, terkadang ada ujian yang diadakan oleh guru pengampu. Termasuk saat itu adalah pelajaran Sejarah. Hapalan demi hapalan diwajibkan untuk dihapal oleh para murid. Termasuk Arai. Dia bahkan meng-copy catatan milik Matari dan menjadikannya kecil-kecil, agar dengan mudah dia bawa ke mana-mana.“Kepala gue pusing!” keluh Choki saat melihat Arai muncul sambil membawa catatannya.“Sama. Kelar ini semua ke rumah Rambo yuk!” ajak Arai.“Tumbennnn ngajak duluan. Ada angin apa nih?” tanya Choki.“Gue mau nyicil bayar utang air mineral ke dia. Kalian nih pada rusuh banget. Gue yang kena imbasnya,” timpal Arai.“Ya lo juga sih. Gue sih nggak ambil botol air mineral sama sekali. Gue denger, anak-anak pada ngambil buat ngeganti isinya pakai alkohol yang tersisa. Jadi ya emang rusuh banget. Cuma pas pagi itu, sebelum gue cabut, emang cuma lo yang ambil dan mereka-mereka belum pada bangun.”
“Jujur gue kaget sih lo juga nanya ke Bang Luigi, lo sekarang suka juga?” tanya Choki saat melihat Arai memasukkan permen pink ke dalam saku jaketnya.“Enggak sih, gue cuma butuh buat bobo aja, kepala gue pusing banget. Gue pengen tidur seharian,” sahut Arai sambil tersenyum tipis.“Iya, beda-beda efeknya ke orang emang bro. Kalo gue kaya nge-fly tipis-tipis gitu. Bener sih pusing jadi ilang. Makanya gue demen.”“Nah itu yang gue cari sih, Chok,” kata Arai. “Tar weekend gue nggak ke mana-mana deh. Bokek juga gini.”“Lo nggak ngapel lagi?”“Nggaklah, ke rumah dia juga butuh bensin kali!”“Hahahahaha. Pokoknya kalau Matari ngambek, bukan salah gue ya.”“Lo nggak usah sok ngasih saran sama gue, Chok. Prihatin sama hidup lo, sekarang lo jarang banget jajan di kantin. Lo nggak laper kan? kita pulang aja udah jam 3 sore lho.”&
“Ri, gue sama Praja mau ngomong sama lo. Nanti sore, bisa nggak lo ikut gue ke rumah?” tanya Hafis. “Sekalian ngerjain tugas Akuntansi, mungkin? Kita satu kelompok kan di tugas buku besar kali ini?”“Iya, satu kelompok, sama Dinda juga,” sahut Matari. “Dinda, lo nanti bisa ke rumah Hafis?”“Bisa, tapi gue agak telat ya. Lo tahu sendiri, gue harus ngejagain adek gue dulu sampai tetangga gue pulang kerja, biar bisa dititipin sama dia. Gimana?” sahut Dinda dari kursinya.“Eh, pada mau ngerjain tugas Akuntansi ya?” tanya Ayla menyerobot pembicaraan. “Ikut dong!”“Emang tugas lo udah? Lo sekelompok sama siapa sih?” tanya Dinda.“Sama Santi, terus lupa 2 cowok laennya. Hahaha,” jawab Ayla tak peduli.“Trus, lo nggak ada rencana mau kapan kerjain tugas sama mereka?” tanya Dinda.“Belum dibahas sih. Nggak tahulah, gue