Arai baru sampai di rumah Rambo, namun rumah itu sudah tampak ramai. Motor-motor berbagai merk terparkir di pinggir jalan dengan rapi sesuai arahan Tuan Rumah.
Bagaimanapun juga, depan rumah Rambo adalah jalan utama menuju ke pabrik, dia tak enak jika banyak kendaraan menghalangi truk-truk kecil berlalu-lalang membawa hasil produksi mereka.
Meskipun hampir semua sepakat tak membawa pacar masing-masing, nyatanya ada Desma, Kak Angela dan Kak Mirna sedang duduk bertiga di salah satu sisi. Arai pernah dengar, mereka tak akur pada Desma. Namun nyatanya mereka bertiga tampak bercanda dan mengobrol satu sama lain. Mungkin karena Desma sudah menjadi bagian dari GWR juga.
“Loh, Rai, Matari mana?” tanya Kak Angela saat melihat Arai datang hanya sendirian.
“Nggak ikut, Kak. Titip salam aja, katanya,” sahut Arai sedikit berbohong, mana ada Matari menitip salam.
“Yaaaah, sepi dong cewek-ceweknya cuma kita bertiga,” sahut Kak
Arai tersadar saat mendapati jam di rumah Rambo menunjukkan pukul 2 lewat dini hari. Ruangan sudah sepi menyisakan beberapa teman-temannya yang tertidur. Pintu masih terbuka lebar. Alunan radio dini hari terdengar sayup-sayup di luar. Namun tak ada pergerakan manusia selain dirinya sendiri.Dia memutuskan untuk ke toilet. Tepat saat melewati kamar Rambo, tampak Desma dan Anton sedang tertidur bersama dengan selimut seadanya dari sarung milik Rambo.Dia tak mau mengganggu mereka dan berjalan menuju toilet kemudian segera keluar kembali ke ruang utama.Choki masih tertidur di salah satu sudut, meringkuk dengan jaket miliknya sendiri. Sesekali Choki bergumam tak jelas. Tampaknya dia bermimpi entah apa.Arai masih meneguk segelas air di atas meja. Yang akhirnya disadarinya ternyata bukan air putih biasa. Entah milik siapa gelas itu. Namun Arai akhirnya meletakkannya lagi.Dia mencari-cari air putih tersisa, namun yang dia temukan ada di dalam kardus-ka
Arai memarkir motornya dengan hati-hati di pekarangan rumahnya. Saat dia masuk, Ayahnya sudah duduk di ruang utama sambil membaca koran. Dengan sigap, dia meletakkan koran itu dan memperhatikan anak sulungnya. Wajahnya tampak tak enak.“Ayah bolehin pulang jam berapa aja, tapi juga bukan berarti jam segini, Rai. Mestinya kamu pagi pulang dulu, mandi, cek ibumu butuh bantuan apa. Baru kalau kamu mau main lagi, silahkan. Kalau kaya gini, kenapa kamu nggak sekalian tinggal di sana aja?” tanya Ayahnya dengan suara keras.“Maaf, Yah. Arai ketiduran,” sahut Arai pelan.“Ketiduran? Sampai siang? Emangnya kamu ngapain aja semalam? Sudah dzuhur belum? Ayah yakin kamu nggak subuh juga ya?” seru Ayahnya.Arai hanya menunduk sambil bersandar di dinding.“Ya sudah, mandi dulu. Kamu bau banget. Abis gitu sholat, terus makan. Kalau sudah, temui Ayah di sini.”Arai tak berkutik. Itu pertama kalinya ayahnya mar
Pergantian bab, terkadang ada ujian yang diadakan oleh guru pengampu. Termasuk saat itu adalah pelajaran Sejarah. Hapalan demi hapalan diwajibkan untuk dihapal oleh para murid. Termasuk Arai. Dia bahkan meng-copy catatan milik Matari dan menjadikannya kecil-kecil, agar dengan mudah dia bawa ke mana-mana.“Kepala gue pusing!” keluh Choki saat melihat Arai muncul sambil membawa catatannya.“Sama. Kelar ini semua ke rumah Rambo yuk!” ajak Arai.“Tumbennnn ngajak duluan. Ada angin apa nih?” tanya Choki.“Gue mau nyicil bayar utang air mineral ke dia. Kalian nih pada rusuh banget. Gue yang kena imbasnya,” timpal Arai.“Ya lo juga sih. Gue sih nggak ambil botol air mineral sama sekali. Gue denger, anak-anak pada ngambil buat ngeganti isinya pakai alkohol yang tersisa. Jadi ya emang rusuh banget. Cuma pas pagi itu, sebelum gue cabut, emang cuma lo yang ambil dan mereka-mereka belum pada bangun.”
“Jujur gue kaget sih lo juga nanya ke Bang Luigi, lo sekarang suka juga?” tanya Choki saat melihat Arai memasukkan permen pink ke dalam saku jaketnya.“Enggak sih, gue cuma butuh buat bobo aja, kepala gue pusing banget. Gue pengen tidur seharian,” sahut Arai sambil tersenyum tipis.“Iya, beda-beda efeknya ke orang emang bro. Kalo gue kaya nge-fly tipis-tipis gitu. Bener sih pusing jadi ilang. Makanya gue demen.”“Nah itu yang gue cari sih, Chok,” kata Arai. “Tar weekend gue nggak ke mana-mana deh. Bokek juga gini.”“Lo nggak ngapel lagi?”“Nggaklah, ke rumah dia juga butuh bensin kali!”“Hahahahaha. Pokoknya kalau Matari ngambek, bukan salah gue ya.”“Lo nggak usah sok ngasih saran sama gue, Chok. Prihatin sama hidup lo, sekarang lo jarang banget jajan di kantin. Lo nggak laper kan? kita pulang aja udah jam 3 sore lho.”&
“Ri, gue sama Praja mau ngomong sama lo. Nanti sore, bisa nggak lo ikut gue ke rumah?” tanya Hafis. “Sekalian ngerjain tugas Akuntansi, mungkin? Kita satu kelompok kan di tugas buku besar kali ini?”“Iya, satu kelompok, sama Dinda juga,” sahut Matari. “Dinda, lo nanti bisa ke rumah Hafis?”“Bisa, tapi gue agak telat ya. Lo tahu sendiri, gue harus ngejagain adek gue dulu sampai tetangga gue pulang kerja, biar bisa dititipin sama dia. Gimana?” sahut Dinda dari kursinya.“Eh, pada mau ngerjain tugas Akuntansi ya?” tanya Ayla menyerobot pembicaraan. “Ikut dong!”“Emang tugas lo udah? Lo sekelompok sama siapa sih?” tanya Dinda.“Sama Santi, terus lupa 2 cowok laennya. Hahaha,” jawab Ayla tak peduli.“Trus, lo nggak ada rencana mau kapan kerjain tugas sama mereka?” tanya Dinda.“Belum dibahas sih. Nggak tahulah, gue
Hafis baru saja selesai mandi saat kembali ke ruang kerja di mana Matari dan Praja masih bekerja bergantian menghitung Akuntansi dengan benar. Wajah keduanya tampak kusut. “Ya ampun, muka kalian, susah bener emangnya?” tanya Hafis. “Nih, coba lo kerjain. Kita udah puyeng. Dinda mana sih?” timpal Praja. “Biar kepalanya yang ngitung nggak 3 orang doang nih.” “Belum jalan. Tetangganya belum balik. Tapi tenaaaang, nanti kita panggil salah satu penjaga rumah gue. Kayanya ada yang anak Akuntansi deh. Bentar ya. Sebelum itu rehat dulu guys, nih snacknya dimakan. Jangan dianggurin!” seru Hafis. “Nah, boleh tuh. Ri, kalem dulu. Gue mau ke toilet juga,” kata Praja sambil beranjak. Matari meletakkan pensilnya kemudian mengucek-ngucek matanya yang pusing dan pening. Seluruh kolom perhitungan belum balance, itu tandanya ada yang salah dari tugas Akuntansi mereka. Hafis akhirnya duduk di dekat Matari, mengecek pekerjaan teman-temannya.
Meskipun tak percaya, ada sisi penasaran yang muncul dalam sisi dirinya yang lain. Dia ingin membuktikan bahwa semua itu tak benar, namun dengan mata kepalanya sendiri. Weekend ini Arai lagi-lagi tak memberi kabar pergi ke mana. Sudah biasa sih, tapi rasanya karena informasi dari Hafis itu, justru membuat Matari berpikir yang tidak-tidak.Untuk meredam rasa penasarannya, akhirnya dia mengirimkan SMS pada Ayla.Matari: “Hai, La. Lagi di mana lo?”Ayla: “Di rumah aja. Kenapa nih? Gue telepon deh.”Belum sempat Matari menjawab, telepon rumahnya berdering. Ayla memang selalu seperti itu jika dia benar-benar menginginkan sesuatu.“Kenapaaaa? Kangen yaaaa????” seru Ayla saat Matari menerima telepon itu.“Enggak, mau nanya doang. Arai di situ nggak?” tanya Matari penasaran.“Tumbeeeen, biasanya nggak diapelin udah anteng aja.”“Cuma pen
Entah bagaimana, Arai merasa tak perlu meminta maaf pada Matari saat bertemu di hari Senin. Dengan kekesalan luar biasa, Matari menghampiri Arai.“Ya gue emang nggak ada pulsa, Ri. Gue juga tidur seharian. Kenapa sih, gitu aja dipermasalahin banget?” timpal Arai saat Matari mengkonfrontasinya,“Kok lo nggak ada pulsa mulu?” tanya Matari. “Gue isiin kalo emang nggak ada pulsa. Kalo cuma marebu, sepuluh ribu juga gue ada.”Arai mengerutkan dahinya. Matari tahu, Arai sedikit tersinggung.“Emangnya duit gue cuma buat pulsa doang?” gerutu Arai.Matari terdiam. Ada rasa curiga yang menggebu dalam hatinya. Meskipun mungkin orang lain jika mendengar pernyataan Arai seperti itu, merasa hal yang wajar. Tapi tidak dengan Matari. Informasi dari Hafislah yang membuat kecurigaannya menguat.Rokok, yah, Arai memang semakin hari semakin tak bisa lepas barang dua jam saja. Bersama gerombolannya, dia akan mencur