Hari Rabu yang ditunggu datang. Choki sudah mengganti atasan kemeja seragamnya dengan kaos. Tongkrongan mereka di warung Rambo agak sepi. Tak seperti biasanya, yang selalu ramai.
“Pada ke mana? Sepi amat!” tanya Choki sambil menyerahkan selembar uang 10 ribuan rupiah pada Rambo.
“Nggak tahu. Udah seminggu ini sepi. Pada persiapan audisi band denger-denger. Lo juga kan?” sahut Rambo sambil memberikan satu batang rokok baru pada Choki tanpa kembaliannya.
Rambo tahu, Choki akan mengambil beberapa batang rokok baru lagi atau makanan, sehingga biasanya mereka akan kalkulasi ulang saat Choki mau pulang.
“Iya, nih gue lagi nunggu Arai. Tuh dia! Rai, makan di sini dulu ya. Baru kita cabut ke studio,” kata Choki saat melihat Arai muncul sambil membawa tas ranselnya dengan ogah-ogahan.
“Mau apa? Nyokap gue ada nasi teri bungkus, ada nasi orek tempe, macem-macem tuh, belum banyak yang beli nasi bungkusnya,&rdquo
Davi baru saja hendak duduk di area tunggu, saat Ayla mendekat ke arahnya.“Dav, udah kelar audisi? Lagi senggang nggak?” bisik Ayla.“Ehhhh, senggang sih. Tapi bentar lagi gue balik. Lagi nungguin Pito beberes sama anak-anak tuh di teras. Kenapa, La?” sahut Davi setengah berbisik.“Oh, oke. Jadi gini, gue mau minta tolong. Ini kan udah gerimis. Terus si Matari lagi nangis. Boleh nggak, gue tumpangin dia di mobil lo dulu sampe tenang. Gue mau nyari Arai dulu nih. Tadi dia kabur begitu aja,” jawab Ayla. “Nggak lama kok, paling cari warung rokok di sekitaran sini! Choki kan belom kelar, dia pasti nungguin Choki juga.”Davi melihat arlojinya yang menunjukkan pukul 4 lewat 15 menit. Pauline harus dia jemput setelah magrib, masih keburu sih kalau jalan jam 5. Semoga saja nggak macet.“Boleh aja,” kata Davi sambil mengangguk.“Ya udah, lo masuk dulu gih ke mobil, buat stand by
Pito mengetuk jendela penumpang dengan hati-hati. Buih-buih hujan menempel di tangannya. Hujan sudah mulai mereda, namun Pito pasrah karena mendapatinya dirinya basah karena gerimis.Dia terkaget-kaget, saat Davi membuka jendela mobilnya, Pito melihat Matari duduk di samping Davi dengan mata sembab.“Eh, elo, Ri. Mmm, aduh jadi lupa gue mau ngomong apa. Itu, Dav, lo boleh cabut. Pengumuman masih 2 minggu lagi kok. Makasih ya udah gantiin Edo. Kata Edo, nanti lo mau ditraktir!” kata Pito.“Lo udah mau cabut?” tanya Davi.“Udah, nih gue mau cabut bareng anak-anak. Kita tadi mikir kalau bakalan dikasih tahu pengumuman lolos enggaknya sekaligus. Eh ternyata enggak. Nunggu ngabisin dulu seluruh band yang audisi selama 2 minggu, baru deh pengumuman,” jawab Pito.“Oh, gitu. Sorry, kayanya gue nggak bisa nebengin pulang. Lo kalo mau duluan, duluan aja gimana?” kata Davi sambil memberi isyarat bahwa ada Matari
Arai tampak dingin saat melihat Matari turun dari mobil Jeep besar di depan rumah Rambo. Mobil itu langsung berlalu pergi. Arai tahu, itu mobil Davi. Entah bagaimana Matari bisa ke sini dengan cowok itu. Pikiran-pikiran negatifnya bermunculan.Hujan sudah berganti dengan gerimis. Arai melihat Matari masuk ke dalam rumah Rambo tampak gemetaran. Di luar, udara memang cukup dingin. Tak tega, Arai memberikan sweater abu-abunya pada Matari.Meski berbau rokok, Matari menerima sweater itu tanpa banyak bicara. Arai enggan membahas soal bagaimana dia diantar Davi. Mungkin Ayla ada sangkut pautnya dengan semua ini. Jadi dia merasa lebih baik fokus pada permasalahan mereka berdua.Matari duduk di sebelahnya sambil meminum air mineral yang dibawanya sejak tadi. Arai kembali bermain PS, meskipun hanya pencet-pencet nggak jelas sana-sini.“Lo main apa sih? Kalah tuh,” komen Matari yang tampak menyadari bahwa Arai sedang tak fokus.Arai tak menjawab.
Matari membawa copy-an artikel Sejarah, kemudian dengan disket milik Bulan, kakaknya, keluar teras rumah. Praja sedang menghitung uang di dompetnya.“Kenape lo malah ngitung duit? Mau traktir gue?” ledek Matari. “Di sebelah aja yuk copy-nya.”“Rameeee, lagi antri. Males gue. ada fotokopi yang laen nggak deket sini?” tanya Praja.“Ada sih, tapi gue izin dulu ama nyokapnya Sandra.”“Tuh bocah kemana? Nggak ada suaranya?”“Ke rumah temennya kerjain tugas kelompok. Udah arah balik sih.”“Oh, gitu. Ya udah ayok buruan, gue laper nih.”“Iya, iya. Tanteee! Matari mau keluar sama Praja nih, copy tugas. Tempat Bang Fachri rame banget. Jadi mau cari yang lain.”Tante Dina keluar sambil manggut-manggut. “Naik apa kalian?”“Motor, Tan,” kata Praja sambil nyengir, menunjuk motor kakak laki
Warung Steak yang dimaksud Praja, ternyata hari itu tak terlalu ramai. Mungkin karena jam makan malam sudah lewat dan ini termasuk hari kerja biasa. Beberapa meja terisi, namun yang kosong, jauh lebih banyak.Pelayan mengantarkan Matari dan Praja yang memilih di lokasi ber-AC. Udara panas Jakarta malam itu, membuat mereka memilih tempat yang nyaman.“Eh, lo biasa aja ya, tuh di meja tengah, ada si Davi sama Pauline,” kata Praja berbisik di telinga Matari.Matari melihat ke arah yang dimaksud Praja. Tepat saat itu Davi dan Pauline melihat kehadiran mereka dan melambaikan tangan.Sial. Kenapa harus ketemu Davi lagi? Kejadian tadi sore sebenarnya masih cukup membuatnya malu. Namun, dia tak ada pilihan lain selain cuma bisa pasrah.“Haiiii! Kalian berdua ke sini juga?” seru Pauline ramah.Matari cuma tersenyum canggung sambil mengangguk. Praja malah yang lebih supel.“Pau, lo berdua aja?” tanya Praja ak
“Maaf banget ya, Dav. Gue emang nggak boleh balik malem-malem, jadi kita langsung pulang aja,” kata Pauline memulai pembicaraan saat keduanya sudah di dalam mobil.“Santai aja, gue baru tahu kalo nyokap bokap lo straight ama ginian. Ternyata banyak juga ya cewek yang gue kenal, ortunya masih ketat banget,” timpal Davi sambil menyetir menuju ke rumah Pauline.“Ciyeee, emang siapa aja tuh cewe-cewenya? Lo nih playboy juga ya, siapa aja lo deketin?”“Playboy? Hahahah. Sadar diri kali gue, Pau, playboy juga butuh wajah ganteng minimal!”“Hahahaha, ya bagus deh kalo lo sadar diri. Tapi emang banyak yang deket sama lo kan? Jujur! Sepengetahuan gue, bukan cuma gue yang deket sama lo. Ada Pipit, ada Ayla, Matari juga mantan lo kan, masih deket tuh kalian berdua!”“Ya semua deket aja dulu, Pau, nggak tahu ke depannya gimana. Yang pasti gue sih sebisa mungkin sopan sama merek
“To, hari ini sebelahan dong sama gue, gue mau nanya sesuatu sama lo,” kata Davi pada Pito.Kiwil yang baru saja datang, akhirnya pasrah harus duduk di sebelah Edo. Baginya tak masalah duduk di mana saja.Pito duduk dan langsung menyemprot parfumnya pada tubuhnya. Kadang, Davi ingin bertanya apakah Pito harus selalu seperti itu. Maniaknya pada parfum semakin menjadi akhir-akhir ini“Mau nanya apa lo?” tanya Pito sambil bersender. “Sebelum itu, thanks ya, kita semua lolos audisi. Tapi sorry banget lo cuma jadi pengganti karena Edo yang bakalan tampil buat audisi tahap 2 ini. Nggak papa kan?”“Lho bukannya pengumuman 2 minggu lagi?” tanya Kiwil yang langsung menyahut.“Gue udah dapet bocoran dari kakak kelas. Jadi kita bisa langsung siap-siap, biar bisa lolos ke 15 besar. Gosipnya sih, dari jarak pengumuman ke audisi selanjutnya tuh cuma dikasi waktu 2 harian,” kata Pito. &
Debuman suara tim basket di kejauhan tak membuat keramaian di sisi lapangan lain, tempat Davi dan ekskul outdoor lain berkumpul, mengurangi keriuhan mereka sendiri.Beberapa anggota ekskul tampak menunjukkan kebolehannya melakukan flip di sana-sini, termasuk Davi. Hingga akhirnya, Pito yang entah kenapa tiba-tiba tertarik join di club Mapala (Naik Gunung), yang merupakan cabang club di bawah ekskul outdoor, mendekatinya.“Kemarin, lo nanyain soal Gilang ya kalo nggak salah. Tuh doi lagi main basket di lapangan sana. Yang rambutnya dicat cokelat tua atau warna apa sih itu, nggak jelas. Yang pakai kaos warna kuning di dalem seragam,” kata Pito sambil menunjuk.Davi akhirnya memperhatikan cowok yang dimaksud. Setahu Davi, anak kelas 3 tidak diwajibkan ikut ekskul apapun untuk mematangkan persiapan ujian nasional. Jikapun iya, mereka harus bisa membagi waktu dengan baik.Namun melihat kepiawaian cowok b