Di hari Senin, Ayla tak masuk sekolah karena dia harus medical check up. Sebuah rutinitas tahunan yang selalu dijalankan oleh seluruh anggota keluarganya. Nggak tanggung-tanggung, medical check-upnya selalu dilakukan di Singapura. Hal itu diungkapkan oleh Dinda, saat Praja bertanya Ayla alasannya.
“Lo nggak bawa boneka dari kita-kita, Ri?” tanya Beno sambil mencolek Matari dari belakang.
“Gila lo ya, buat apaan gue bawa-bawa boneka?” ujar Matari.
“Yaaa buat nemenin lo waktu upacara tadi juga bisa,” sahut Beno garing.
“Apaan sih lo? Betah amat gue duduk depan lo gini?” timpal Matari.
“Ya berarti lo udah gila, sama kaya kita bertiga, hehehe,” sahut Hafis sambil tertawa.
“Ehhhh, apa nih? Nyala-nyala begini? Kaya anak SD lo!” kata Praja saat melihat HP Matari yang menyala-nyala LED-nya.
“Ih, apa sih? Rese lo!” seru Matari sambil mengecek
Keesokan harinya, Ayla masih belum masuk sekolah. Kata Dinda sih, seharusnya dia sudah pulang dari Singapura. Katanya lagi, biasanya kalau medical check up cuma one day trip aja alias pagi pergi, malam hari juga udah sampai di Jakarta. Tapi, mungkin karena masih capek, Ayla memutuskan untuk istirahat di rumah.Pelajaran molekul-molekul kimia, selalu membuat Matari buntu. Dia tak yakin, nilai rapornya akan membaik semester ini. Semester lalu dia tak mendapatkan rangking sama sekali. Berbeda saat SMP, dia selalu mendapat peringkat 3 besar, kali ini saat SMA, mendapat rangking 10 saja susahnya bukan main.Dia harus puas di rangking 13, menyusul Hafis di bawahnya. Beno dan Praja masing-masing ada di rangking 20 dan 21. Sedangkan Dinda, tak lebih baik. Dia berada di rangking 25. Untuk Ayla, dia paling terbawah di antara teman-temannya.Dia berada di peringkat ke 34 dari 40 siswa. Hal yang tak membanggakan memang, tapi nyatanya Ayla tak mempermasalah
Matari melihat-lihat beberapa buku Kimia yang menarik kemudian mengambilnya dari rak. Dibawanya 3 buah buku itu dan kemudian duduk di salah satu sudut terdalam di perpustakaan yang sepi.Bagian lain perpustakaan, terutama bagian tempat baca area depan, ramai oleh siswa-siswi lain yang tampaknya mengisi jam istirahat sekaligus jam kosong mereka seperti Matari.Hera ikut-ikut mengambil buku secara asal dan duduk di depan Matari. Sebenarnya, Matari risih bukan karena Hera pasti akan menanyakan soal Davi padanya.Tapi, selama mengenal Hera, gadis itu selalu bersikap sok imut dan kekanak-kanakan. Sangat kontras dengan sosok tubuhnya yang tinggi besar. Nggak cocok sama sekali.Dari situ, Matari bisa menilai kalau sikap itu hanya buatan saja. Image yang dibangunnya entah untuk tujuan apa.“Ri, kalau sambil ngobrol boleh nggak?” tanya Hera dengan suara yang dibuat-buat seperti anak kecil merengek sesuatu.“Boleh, tapi gue
Matari berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu kedatangan Sandra. Mereka akan pulang naik bajaj, karena tak satupun dari mereka berniat membawa sepeda akhir-akhir ini ke sekolah.Sandra dan Matari terkadang harus pulang sendiri-sendiri, karena keduanya selalu punya jadwal berbeda. Entah tugas sekolah, entah traktiran teman ulangtahun, entah jalan ke mall, dan lain sebagainya.Sandra sudah mulai punya teman-teman dekat lain selain Matari. Hal yang cukup baik karena meskipun Sandra mudah bersosialisasi, tak mudah menarik gadis itu untuk bepergian bersama untuk sekedar nongkrong.“Nungguin siapa lo?” tanya Praja yang muncul di sebelah Matari.“Sandra, lo sendiri?” sahut Matari.“Abang guelah. Gue mau nebeng dia ke persewaan komik.”“Tumben akur.”“Dia mau les. Tempat les sama persewaan komik itu sebelahan.”“Lo sendiri, tumben balik barengan Sandra? Biasanya pada
Hari Jumat pagi, sebuah pengumuman diumumkan oleh pengeras suara tentang berita duka milik salah satu guru pengampu kelas 2. Suami guru tersebut meninggal dunia karena kecelakaan yang terjadi subuh tadi. Para siswa diwajibkan untuk memberikan iuran swadaya yang dikoordinir oleh ketua kelas.Dinda dan Ayla berkeliling untuk mengumpulkan uang iuran di kelas mereka. Dalam waktu singkat, iuran yang sudah terkumpul itu segera dibawa ke ruang Tata Usaha untuk dikumpulkan. Akibat kegiatan dadakan itu, satu sesi mapel terpaksa ditiadakan. Jam belajar resmi dimulai di jam pelajaran kedua.Itu artinya, selama kurang lebih masih ada sisa 20 menit lagi hingga sesi pelajaran kedua. Seluruh isi kelas berhamburan keluar. Ada yang ke kantin, ada yang hanya duduk-duduk di luar kelas. Bahkan beberapa cowok malah mengeluarkan bola mereka untuk bermain sebentar.“Ke kantin yok!” seru Hafis tiba-tiba.“Tumbeeen, biasanya lo diet!” seru Praja meledek.
“Rai, udah semester 2 nih, kapan jadinya?” tanya Choki sambil mengerjakan tugas yang baru saja diberikan oleh Bu Anyelir, untuk mengerjakan tugas sejarah.Arai mengerutkan dahi. “Jadi apaan?”Choki membolak-balik halaman buku paket mapel Sejarah, namun jawaban pertanyaan yang diberikan ada beberapa yang tak ada di sana. “Kampret nih, soal nomor 7 sama 10, nggak ada semua. Lo tahu nggak?”Arai mengangkat bahu sambil menunjuk Akmal, ketua kelas mereka yang duduk di belakang mereka persis. “Coba lo tanya dia. Dia kan pinter.”Choki menoleh ke belakang. Akmal yang sejak tadi mencuri dengar, langsung menggeleng. “Gue juga nggak tahu. Kayaknya tadi gue sempet denger, Bu Anyelir bilang, kita disuruh nyari sendiri pakai referensi yang ada di perpus.”“Trus gimana bisa ngumpulin tugas?” tanya Choki.Akmal mengangkat bahu lagi. “Gue yakin sih dijadiin PR.”Choki
Sandra sedang memeriksa isi ranselnya, memastikan tak ada yang tertinggal saat Ayla masuk ke dalam kelasnya, kelas 1-5. Beberapa orang menyapa Ayla seperti biasa saat berpapasan dengan gadis itu. Tak terkecuali gengnya Marsha.“Sandraaa! Sini dong, gue mau ngomong!” seru Ayla keras.Sandra sedikit merasa malas saat menyadari bahwa itu artinya dia harus melewati geng Marsha yang belum bubar dari kelas mereka.“Iya, bentar. Gue nutup ransel dulu,” sahut Sandra.Sandra melangkahkan kakinya menuju tempat Ayla berdiri. Di situ, geng Marsha masih berkumpul sambil entah mengobrol tentang apa.“Besok weekend, free nggak?” tanya Ayla.“Kenapa emang?” tanya Sandra.Tak hanya Sandra yang ingin tahu. Tampaknya gengnya Marsha bahkan terlihat menebalkan telinga mereka. Lumayan, kalau gosip baru, setidaknya mereka bisa tahu duluan.“Itu, soal, Matari sama Arai.” kata Ayla ya
Malam Minggu yang direncanakan datang. Sandra bersyukur karena saat dia sampai di rumah duluan, Ayah Matari sudah tidur. Eyang Putri juga sudah tertidur di kamarnya. Sedangkan Mamanya tampak sedang memeriksa lembaran-lembaran pekerjaan di teras belakang dibantu Mbok Kalis. Kalo soal Mamanya sih dia yakin nggak ada masalah.Mamanya tak pernah melarang mereka berpacaran. Sejak dari dulu, Mamanya selalu setuju-setuju saja jika siapapun gadis-gadis di rumah ini akan membawa pacar mereka masing-masing.“Lho, sendirian aja? Matari mana?” tanya Mamanya heran.“Sandra mau pup Ma. Matari tadi masih ngebantuin Ayla beresin makanan sisa. Nanti bentar lagi balik kok.”“Yeeee, kok kamu nggak ikut bantu Ayla?”“Ya habis kebelet pup Ma, makanya tadi langsung minta anter salah satu temen buat balik.”“Emang di sana nggak ada WC?”“Ya adaaa, tapi rumah orang kaya kan beda, Ma. Mending p
Sepanjang perjalanan kembali ke rumahnya, Matari menyadari, Arai banyak diam. Biasanya karena sudah akrab, Arai banyak bicara soal macam-macam hal. Malah, Matari yang banyak diam dan hanya menanggapi cerita Arai seperlunya.Maklum, mendengar cerita sambil membonceng motor adalah dua hal yang sulit dilakukan. Suara Arai kadang terdistraksi oleh angin atau suara kendaraan lain.Namun, selepas pergi dari rumah Ayla, Arai banyak diam. Di depan security Andara saja dia banyak diam.Tak terasa, Arai menghentikan motor persis di depan rumah Matari. Pagar rumah Matari yang terbuat dari campuran besi tegak dan tanaman, penuh dengan motor-motor para penghuni warnet Bang Fachri yang tidak cukup menampung di seluruh halaman rumahnya.“Makasih ya, Rai. Habis ini lo langsung balik atau ke Ayla lagi?” tanya Matari sambil turun dari motor Arai.“Baliklah, kan masih ada Choki di sana,” jawab Arai.Matari akhirnya mengangguk mengerti k