“Rai, udah semester 2 nih, kapan jadinya?” tanya Choki sambil mengerjakan tugas yang baru saja diberikan oleh Bu Anyelir, untuk mengerjakan tugas sejarah.
Arai mengerutkan dahi. “Jadi apaan?”
Choki membolak-balik halaman buku paket mapel Sejarah, namun jawaban pertanyaan yang diberikan ada beberapa yang tak ada di sana. “Kampret nih, soal nomor 7 sama 10, nggak ada semua. Lo tahu nggak?”
Arai mengangkat bahu sambil menunjuk Akmal, ketua kelas mereka yang duduk di belakang mereka persis. “Coba lo tanya dia. Dia kan pinter.”
Choki menoleh ke belakang. Akmal yang sejak tadi mencuri dengar, langsung menggeleng. “Gue juga nggak tahu. Kayaknya tadi gue sempet denger, Bu Anyelir bilang, kita disuruh nyari sendiri pakai referensi yang ada di perpus.”
“Trus gimana bisa ngumpulin tugas?” tanya Choki.
Akmal mengangkat bahu lagi. “Gue yakin sih dijadiin PR.”
Choki
Sandra sedang memeriksa isi ranselnya, memastikan tak ada yang tertinggal saat Ayla masuk ke dalam kelasnya, kelas 1-5. Beberapa orang menyapa Ayla seperti biasa saat berpapasan dengan gadis itu. Tak terkecuali gengnya Marsha.“Sandraaa! Sini dong, gue mau ngomong!” seru Ayla keras.Sandra sedikit merasa malas saat menyadari bahwa itu artinya dia harus melewati geng Marsha yang belum bubar dari kelas mereka.“Iya, bentar. Gue nutup ransel dulu,” sahut Sandra.Sandra melangkahkan kakinya menuju tempat Ayla berdiri. Di situ, geng Marsha masih berkumpul sambil entah mengobrol tentang apa.“Besok weekend, free nggak?” tanya Ayla.“Kenapa emang?” tanya Sandra.Tak hanya Sandra yang ingin tahu. Tampaknya gengnya Marsha bahkan terlihat menebalkan telinga mereka. Lumayan, kalau gosip baru, setidaknya mereka bisa tahu duluan.“Itu, soal, Matari sama Arai.” kata Ayla ya
Malam Minggu yang direncanakan datang. Sandra bersyukur karena saat dia sampai di rumah duluan, Ayah Matari sudah tidur. Eyang Putri juga sudah tertidur di kamarnya. Sedangkan Mamanya tampak sedang memeriksa lembaran-lembaran pekerjaan di teras belakang dibantu Mbok Kalis. Kalo soal Mamanya sih dia yakin nggak ada masalah.Mamanya tak pernah melarang mereka berpacaran. Sejak dari dulu, Mamanya selalu setuju-setuju saja jika siapapun gadis-gadis di rumah ini akan membawa pacar mereka masing-masing.“Lho, sendirian aja? Matari mana?” tanya Mamanya heran.“Sandra mau pup Ma. Matari tadi masih ngebantuin Ayla beresin makanan sisa. Nanti bentar lagi balik kok.”“Yeeee, kok kamu nggak ikut bantu Ayla?”“Ya habis kebelet pup Ma, makanya tadi langsung minta anter salah satu temen buat balik.”“Emang di sana nggak ada WC?”“Ya adaaa, tapi rumah orang kaya kan beda, Ma. Mending p
Sepanjang perjalanan kembali ke rumahnya, Matari menyadari, Arai banyak diam. Biasanya karena sudah akrab, Arai banyak bicara soal macam-macam hal. Malah, Matari yang banyak diam dan hanya menanggapi cerita Arai seperlunya.Maklum, mendengar cerita sambil membonceng motor adalah dua hal yang sulit dilakukan. Suara Arai kadang terdistraksi oleh angin atau suara kendaraan lain.Namun, selepas pergi dari rumah Ayla, Arai banyak diam. Di depan security Andara saja dia banyak diam.Tak terasa, Arai menghentikan motor persis di depan rumah Matari. Pagar rumah Matari yang terbuat dari campuran besi tegak dan tanaman, penuh dengan motor-motor para penghuni warnet Bang Fachri yang tidak cukup menampung di seluruh halaman rumahnya.“Makasih ya, Rai. Habis ini lo langsung balik atau ke Ayla lagi?” tanya Matari sambil turun dari motor Arai.“Baliklah, kan masih ada Choki di sana,” jawab Arai.Matari akhirnya mengangguk mengerti k
Arai rasanya ingin teriak karena rasa senang yang luar biasa. Hari itu adalah hari yang membahagiakan baginya. Seorang pelajar yang nggak punya prestasi membanggakan, bisa berhasil mendapatkan seorang cewek yang sudah lama diincarnya.Baginya meskipun itu terkesan picisan, ternyata cinta monyet memberikan efek yang luar biasa. Kali pertama pacaran dan mendapatkan yang sudah lama diinginkannya ternyata begini rasanya.“Anjirrrr! Senyum-senyum sendiri, gue tebak sih berhasil ini, ya nggak, La?” seru Choki saat melihat kedatangan Arai.“100 % tuh gue rasa,” timpal Ayla sambil cengengesan.Arai memarkir motornya dengan sembarangan di pekarangan belakang rumah Ayla. Wajahnya sedikit bersemu merah. Saat datang dia langsung duduk di kursi teras sebelah Choki. Ayla yang memegang cangkir berisi minuman milo hangat rasanya ingin mengguyur kepala bocah itu karena dia tak segera berbicara apa-apa.“Malah duduk, cerita dong!”
Sebulan berselang, Ayla cukup kaget mendengar dari Praja bahwa Arai sama sekali belum pernah pergi berdua dengan Matari. Matari juga tampak sedikit kesal, jika ditanya perihal soal dirinya dan Arai. Setidaknya dia ingin menjalani hubungan yang normal seperti orang-orang lain.Nggak cuma jalan pulang bareng, tapi ke tahap yang lebih seperti jalan bareng ke mall, main bareng dan sebagainya. Bahkan saat mentraktir anak-anak GWR, Matari tak diajak sama sekali. Memang benar hari itu bentrok dengan dia ekskul karate, tapi basa-basi menawarinya pun tidak. Arai benar-benar cuek dan tidak peduli.“Udah, kita nonton bareng yuk. Kan ada Eiffel I'm in Love tuh di bioskop lagi tayang. Siapa tahu kalian bisa makin deket,” kata Ayla.“Lu gimana sih, masa kita nemenin orang pacaran? Gue nggak ikut ah!” jawab
Sesuai yang direncanakan, Arai akhirnya menemani Matari menonton bioskop bersama teman-teman mereka yang lain. Tak disangka, teman-teman yang dikumpulkan Ayla begitu banyak. Bahkan Arai bisa melihat Marsha dan Hera di kejauhan, meski tanpa geng kesayangannya.Semua orang mengantri dengan penuh antusias. Meski sempat rusuh karena ada yang menerobos, akhirnya mereka semua mendapatkan tiket walaupun pasrah menerima dengan terpaksa di tiga deret dari depan.Ayla merasa sedikit bersalah karena orangtuanya lupa membooking-kan tiket untuk teman-temannya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengantri manual dan membayarkan seluruh tiket sekaligus.Kelelahan karena berganti-gantian mengantri, Matari bersandar pada Arai. Sebenarnya dengan jarak sedekat ini, Arai masih merasa deg-degan sekaligus risih. Namun, dia tak punya pilihan. Semua orang tampak lelah mengantri bahkan hanya untuk masuk ke dalam bioskop. Teman-temannya saling bersandar satu sama lain di lorong bioskop
Sebagai anak yang populer, beberapa undangan sweet seventeen senior-senior di sekolah datang ke meja Ayla setiap saat. Seperti biasa pula, Ayla selalu memamerkan undangan-undangannya dengan bangga. Mau bagaimana lagi, cuma hal itu yang bisa dibanggakannya di sekolah.Nilai akademis sudah tentu selalu tak ada yang berani menyebut-nyebutnya. Semua orang tahu, Ayla tak cukup pintar dalam bidang apapun. Bahkan untuk mengarang cerpen atau artikel, dia berani membayar Matari untuk membantu mengerjakannya.Selama ini, Matari sih oke-oke saja. Lumayan tambahan uang jajan. Lagipula Ayla tak selalu membayarnya dengan uang, kadang barang-barang, makanan-makanan mahal bahkan pulsa HP.Urusan Tarik suara di ekskul Padus (Paduan Suara) yang ditekuninya saja dia tak menonjol. Lagipula di sana dia bernyanyi bersama-sama. Suaranya tertutup oleh suara-suara yang lain. Baginya itu tak masalah asalkan bisa jadi masuk ke salah satu ekskul bergengsi di sekolahnya.Pad
Matari mendekati Arai yang sedang duduk makan soto ayam di kantin pada saat istirahat kedua. Ledekan-ledekan kecil terdengar di sana-sini karena mereka termasuk pasangan baru. Tapi karena Matari sudah terbiasa, sehingga hanya tertawa-tawa saja.“Kenapa?” tanya Arai.“Aku dapet undangan ultahnya Kak Angela. Ada nama kamu juga nih di sini?” sahut Matari.Arai mengangguk. Namun dia tak mengatakan apa-apa. Dia tetap asyik dengan soto ayamnya.Matari ingin bertanya apakah dia akan datang atau tidak. Pastinya berita ulangtahun itu sudah sampai duluan sebelum undangannya pada Arai. Apalagi Bang Luigi kan leader geng mereka.“Tapi gue nggak bisa dateng, Ri. Gue mau nemenin nyokap kontrol dokter adek gue paling kecil. Jadwal vaksin sekalian apalah-apalah,” jawab Arai.Mendengar itu, Matari jadi agak kesal pada Arai. Dia tahu Arai memang tipe yang cuek. Apalagi ini adalah pacaran pertama baginya. Kalau tida
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”