"Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan, aku mencintaimu. Apakah sudah puas?" ujar Ethan.
Kata-kata cinta yang tidak tulus dari Ethan membuat Emily semakin marah dan hancur. "Kamu memang bajingan! Bahkan hanya dengan mengatakan kata cinta pun sangat sulit bagimu. Sepertinya kita sudah tidak bisa mempertahankan hubungan kita lagi," ucap Emily dengan suara yang penuh kesedihan dan keputusasaan. Dia merasa bahwa hubungan mereka sudah tidak memiliki harapan lagi."Apa maksudmu?" tanya Ethan bingung, mencoba memahami keputusan Emily."Kita putus saja," ucap Emily dengan mata yang penuh dengan air mata, menatap tajam ke arah Ethan."Putus? Apakah kamu yakin dengan keputusanmu itu?" tanya Ethan kembali, mencoba mempertanyakan keseriusan Emily dalam mengambil keputusan ini."Iya, aku tidak bisa bersama dengan seseorang yang tidak menghargai dan mencintaiku," ucap Emily dengan suara yang penuh keputusan. Dia berdiri, hendak meninggalkan Ethan dan restoran itu."Em, kamu mau ke mana?" teriak Ethan tetapi Emily tidak lagi menghiraukan panggilan itu, dia berjalan cepat agar bisa meninggalkan tempat itu."Emily! Kamu akan segera menyesali keputusanmu," ucap Ethan.***Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Daniel bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Bagi Daniel, tiada ada hari tanpa kata lelah. Tetapi, dia sangat menikmatinya. Baginya, sibuk adalah hal yang biasa. Dia masuk ke dalam mobil dengan seorang sopir yang dengan sopan membukakan pintu untuknya.Daniel melihat arloji mahal yang terhias di pergelangan tangannya. Dia tidak ingin terlambat untuk pergi ke kediaman kakeknya."Agak cepat sedikit, ya," pintanya kepada sang sopir."Baik, Pak," jawab sang sopir dengan ramah.Perjalanan menuju kediaman kakeknya memakan waktu hampir satu jam. Salah satu petugas keamanan dengan ramah membuka pintu pagar rumah yang menjulang tinggi, mempersilahkan mobil Daniel untuk masuk ke dalam kediaman tersebut.Mobil melaju perlahan masuk ke dalam halaman rumah yang luas. Setelah mobil berhenti di depan pintu utama, Daniel turun dengan elegan. Dia disambut oleh seorang pelayan yang mengenali kehadirannya."Selamat datang, Pak Daniel. Kakek Anda sudah menunggu di dalam," ucap pelayan dengan sopan.Daniel mengucapkan terima kasih kepada pelayan dan berjalan menuju pintu masuk rumah.Daniel memasuki rumah kakeknya yang megah bak istana. Bangunan itu begitu memukau, dengan arsitektur klasik yang dipadukan dengan sentuhan modern yang mencolok. Saat Daniel melangkah masuk, lantai marmer yang mengkilap memantulkan cahaya dengan indah, menciptakan efek kilauan yang mempesona. Ia mengikuti jejaknya ke dalam ruangan yang megah, dihiasi dengan tangga spiral yang elegan. Cahaya hangat dari lampu gantung kristal yang indah memancar ke seluruh ruangan, menciptakan atmosfer yang mewah dan memikat.Ia melanjutkan perjalanannya menuju ruang makan utama yang dirancang dengan penuh keanggunan. Meja makan besar yang terbuat dari kayu mewah dan kursi-kursi empuk yang dilapisi dengan kain sutra memberikan kesan kemewahan yang tak terhingga.Daniel merasakan aroma harum makanan lezat yang menggoda indera penciumannya saat ia mendekati meja makan. Semua hidangan telah disiapkan dengan penuh keahlian oleh para koki pribadi kakeknya. Di meja makan sudah duduk kedua paman beserta istrinya dan satu bibinya beserta sang suami. Daniel dengan percaya diri mengambil salah satu tempat dan mendudukinya."CEO perusahaan kita terlambat datang hari ini rupanya. Apakah kamu sangat sibuk?" tanya Bibi Daniel, Sophia Winston dengan nada sindiran."Maafkan saya, Bibi. Tapi ya, banyak sekali tugas di kantor yang harus saya selesaikan," ucap Daniel dengan santai."Kerja terus, kapan lagi kamu akan menikah? Jangan bilang, kamu juga belum memiliki kekasih?" goda Sophia dengan nada sinis.Tetapi Daniel hanya tersenyum. "Saya masih tidak memiliki niat untuk menikah. Saya masih menikmati masa muda saya," jawab Daniel sambil tersenyum, menunjukkan keyakinan dalam pilihan hidupnya.Tiba-tiba, suasana seketika terasa dingin ketika kakek Daniel memasuki ruangan, dan semua orang berdiri dengan hormat sampai kakek Daniel duduk. Meskipun usianya yang sudah tua, kehadiran kakek Daniel tetap memancarkan aura kekuasaan yang membuatnya dihormati oleh semua orang, termasuk anak-anak dan cucunya.Kakek Daniel, yang bernama Jake Winston, adalah seorang pria yang penuh dedikasi dan memiliki visi yang kuat dalam membangun W Company. Sebagai pendiri dan pemilik perusahaan, peran Jake dalam menjadikan perusahaan ini salah satu perusahaan distribusi global terbesar tidak bisa dipandang remeh.Jake langsung memulai pembicaraan dengan memberikan teguran kepada kedua anaknya yang dianggapnya tidak kompeten dalam bekerja."Apa yang terjadi dengan kalian berdua? Aku sangat kecewa dengan kinerja kalian yang tidak kompeten! Aku selalu mendapat laporan bahwa cabang-cabang selalu menghadapi masalah. Kalian bertanggung jawab untuk menyelesaikan semua masalah ini!" suara Jake mulai meninggi."Maafkan kami, Dad. Kami sedang memperbaiki situasi ini," jawab salah satu paman Daniel bernama Robert Winston, mencoba membela diri."Memperbaiki situasi? Itu tidak cukup! Kalian sebagai manajer harus bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan operasional cabang-cabang ini. Aku tidak akan mentolerir kinerja yang buruk!" ucap Jake dengan tegas, menunjukkan ketidakpuasannya terhadap pembelaan anaknya."Lihat Daniel, dia masih muda tetapi dia sangat kompeten, tidak seperti kalian berdua,"ucap Jake kesal dengan anaknya.Daniel melihat kedua pamannya, Robert Winston dan Michael Winston. Ekspresi kedua pamannya terlihat jelas tidak senang ketika Jake memuji kemampuan Daniel lebih dari mereka."Sudahlah, Dad.Sebaiknya kita makan dulu. Tidak baik membahas bisnis di atas meja makan," sela Sophia, mencoba meredakan ketegangan."Sebaiknya kamu diam dan jangan ikut campur dalam pembicaraan kami," ucap Jake dengan tegas, membuat Sophia terdiam."Daniel, kakek ingin kamu bisa segera menikah," ujar Jake dengan suara tegas, tatapannya penuh harap."Maaf, Grandpa. Tapi, aku masih belum memikirkan jauh tentang pernikahan. Aku masih menikmati masa mudaku," jawab Daniel dengan suara lembut, namun tetap teguh pada pendiriannya.Wajah Jake mengekspresikan kekecewaan yang mendalam, namun dia tidak menyerah begitu saja. "Mulai sekarang, coba pikirkan itu. Kakek akan memberikanmu kesempatan dalam waktu satu bulan ini, apabila kamu masih belum mendapatkan calon istri, biar kakek yang mencari calon istrinya untukmu," ucapnya dengan nada yang tidak bisa dibantah.Akhirnya, kakek Daniel mulai menikmati makanan di atas meja, dan semua orang di sekitarnya mulai makan juga. Suasana menjadi sunyi, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu. Tatapan sinis dari paman dan bibi Daniel yang ditujukan untuk Daniel seolah tidak mempengaruhinya sama sekali karena dia sudah terbiasa mendapat tatapan itu sejak kecil.Setelah pulang dari kediaman kakeknya, Daniel merasakan kelelahan yang melanda tubuhnya. Tekanan yang besar dari kakeknya membuatnya merasa terbebani. Dalam hatinya, dia masih belum memikirkan untuk menikah karena dia masih sangat menikmati kesibukannya dan ingin fokus pada karirnya."Tolong berhenti di mini market itu," pinta Daniel kepada sopirnya. Dia merasa perlu untuk membeli minuman segar yang bisa menghilangkan rasa haus yang tiba-tiba menyerangnya."Baik, Pak," jawab sopir dengan sopan.***Di sisi lain, Emily menangis sambil berjalan menyusuri sepanjang jalan, hatinya hancur dan penuh dengan rasa sakit. Dia merasa sangat kesepian dan terluka, tanpa kekuatan untuk melanjutkan perjalanan."Bajingan! Dia bahkan tidak punya perasaan, dia tidak mengejarku sama sekali dan membiarkan aku berjalan kaki seperti ini," gumam Emily sambil menahan rasa sakit di hatinya.Emily terus berjalan dengan mata yang berkabut oleh air mata, tidak menyadari bahwa ada seseorang di hadapannya. Dalam keadaan yang tidak terduga, Emily menabrak orang itu. Minuman yang ada di tangan orang itu terlepas dari genggamannya, dan dengan cepat tumpah di atas aspal jalan, menciptakan coretan basah yang mencolok.Sementara tubuh Emily terhuyung ke belakang, hampir terjatuh namun sebuah tangan yang kuat menahan pinggangnya agar tidak terjatuh. Keduanya saling bertatapan dalam jarak yang begitu dekat, saat kejutan dan kebingungan terpancar dari wajah mereka.Belum sempat pikiran Emily mencerna apa yang terjadi padanya saat ini, sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakang mereka, memecah keheningan yang tercipta."Jadi karena pria ini, kamu memutuskan untuk putus dariku?" desah suara tersebut dengan nada yang penuh emosi.Ketika Emily melangkah keluar dari restoran, Ethan merasakan hembusan nafasnya yang berat. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengatasi kekecewaan yang melanda. Dengan langkah tergesa-gesa, dia keluar dari restoran, berharap bisa mengejar Emily sebelum terlambat.Namun, begitu dia berada di luar, Emily sudah tidak ada di sana. Tanpa ragu, Ethan melangkah di sepanjang jalanan, matanya terus mencari sosok yang begitu akrab baginya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya melihat seseorang yang tampak seperti Emily dari kejauhan.Namun, dia terkejut ketika dia melihat seorang pria memeluk Emily dengan erat. Dari jarak pandangnya, mereka terlihat begitu dekat, dan Ethan merasa mereka seperti sedang berpelukan. Rasa marah membara di hatinya setelah mendapatkan pengkhianatan yang dilakukan oleh kekasihnya."Jadi karena pria ini, kamu memutuskan untuk putus dariku?" desis Ethan dengan penuh kekecewaan.Kesadaran Emily seketika itu juga mulai kembali. Hatinya berdegup kencang, dan dia me
"Dad!" ujar Emily dengan sedikit berbisik, kemudian tersenyum malu ketika melihat Daniel yang sedang memperhatikannya."Tidak, ada tim lain yang ikut. Tetapi mereka sudah pergi terlebih dahulu," jelas Daniel."Oh begitu, jadi bukan hanya berdua saja kan?" tanya Fred kembali memastikan. Emily memberikan isyarat kepada ayahnya untuk tidak bertanya lebih lanjut."Anda tidak perlu khawatir. Saya menghargai Emily sebagai sekretaris saya dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas," tegas Daniel. Fred melihat Daniel dari atas ke bawah, mencoba menilai karakternya. Daniel merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan Fred padanya."Baiklah, bisakah kami pergi sekarang? Kami akan terlambat jika menunda terlalu lama," ucap Daniel. "Oh, iya. Silahkan," ucap Fred pada akhirnya sambil tersenyum.Emily mendorong kopernya yang berat dan hendak meletakkannya di bagasi mobil. Sopir pribadi Daniel datang untuk membantunya
Emily terkejut, takut suaranya tadi terdengar oleh Daniel. Tetapi dia merasa lega saat menyadari Daniel mengeluarkan earphone yang ada di dalam telinganya.Untunglah, dia tidak mendengar apa yang ku katakan tadi, batin Emily sambil menghela nafas lega."Kamu sangat mengganggu saya, Em," ucap Daniel dengan nada ketus. Apa dia mendengar apa yang kukatakan barusan? Bukankah dia sudah memasang earphone di telinganya. Apa dia masih bisa mendengar perkataanku? batin Emily. "Maksudnya apa, Pak?" tanya Emily bingung dengan maksud Daniel. "Dengkuranmu," jawab Daniel dengan sinis, matanya menatap tajam ke arah Emily.Jawaban singkat Daniel membuat Emily harus berpikir beberapa kali untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Apa saya mendengkur?!!" tanya Emily dengan nada meninggi, terkejut, menyadari bahwa dia telah mempermalukan dirinya sendiri di hadapan atasannya. Namun sedetik kemudian, dia segera menutup mulutnya ketika melihat
Mendengar suara Daniel seperti perintah yang sangat sulit untuk dibantah. Emily berusaha mengejar Daniel yang semakin menjauh. Akhirnya, dengan nafas tersengal-sengal, Emily berhasil sampai di tempat Daniel berdiri.Thawatchai, agen perjalanan mereka, menyambut mereka dengan senyuman hangat. "Kita bisa pergi sekarang?" tanyanya dengan penuh semangat, yang hanya dijawab oleh anggukan kecil dari Daniel. Agen perjalanan memberikan beberapa rekomendasi restoran terdekat yang terkenal dengan masakan Thailand yang lezat. Setelah melihat beberapa pilihan, Daniel dan Emily memutuskan untuk mencoba restoran lokal yang disarankan oleh agen perjalanan. Restoran itu terkenal dengan hidangan khas Thailand. Hanya mendengar menu-menu tersebut sudah membuat Emily merasa lapar dan tidak sabar untuk bisa segera mencicipi makanan-makanan lezat itu. Setelah beberapa saat, akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah restoran lokal yang direkomendasikan oleh agen p
"Awas!" teriak Daniel. Tetapi, sudah terlambat karena tubuh Emily tiba-tiba tersambar oleh sosok yang sedang berlari dengan cepat, membuatnya terhempas dengan kekuatan yang besar. Namun, dengan kecepatan refleks, Daniel segera meraih tubuh Emily, menahannya agar tidak jatuh dengan keras. Dalam pelukan Daniel, Emily merasakan kehangatan yang melindunginya. Detak jantung Daniel yang berpacu kencang sejalan dengan detak jantungnya sendiri yang berdebar. Mata mereka saling bertemu, tetapi sesaat kemudian mereka memalingkan wajah ke arah lain. Setelah momen singkat itu, mereka kembali berdiri, tetapi suasana menjadi sedikit canggung. "Terima kasih, Pak," ucap Emily dengan nafas terengah-engah."Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Emily dengan suara khawatir, melihat Daniel berusaha menahan tubuhnya agar tidak terjatuh dengan keras. "Jangan khawatirkan saya, sebaiknya kamu fokus melihat jalan," ujar Daniel. Emily mengangguk, merasa malu kar
"Pak Daniel!" suara samar itu semakin dekat diiringi dengan derap kaki yang semakin mendekat. Emily terkejut melihat Daniel terduduk di lantai. Ia segera mendekatinya dengan kekhawatiran yang mendalam."Pak Daniel, apakah Anda baik-baik saja?" suara Emily terdengar panik dan penuh kekhawatiran. "Pak, apa Bapak bisa mendengar saya? Apa Bapak baik-baik saja?" Emily kembali mengulang pertanyaannya karena tidak mendengar jawaban apapun dari Daniel. Saat Emily hendak meneriakkan tolong, tiba-tiba tangan Daniel menghentikannya. "Saya tidak apa-apa," jawabnya lemah. "Pak, Anda tidak apa-apa?" tanya Emily dengan kekhawatiran yang masih terpancar di wajahnya.Daniel mengangguk lemah sebagai jawaban."Syukurlah, saya takut sekali," ucap Emily dengan suara yang lega kemudian membantu Daniel untuk berdiri.Emily hendak membimbing Daniel berjalan tetapi Daniel menghentikannya. "Saya bisa sendiri."Mereka akhirnya menuju tempat duduk terdekat agar dapat beristirahat sejenak."Tunggu sebentar di
Emily merasa kebingungan saat mendapatkan tawaran dari nenek itu untuk singgah karena pada akhirnya keputusan akhir tetap berada di tangan atasannya, Daniel. "Tunggu sebentar ya, Nek," ucap Emily lalu berlalu mengetuk kaca jendela mobil."Ada apa?" tanya Daniel sambil menurunkan kaca jendelanya."Nenek itu meminta kita untuk singgah sebentar di rumahnya, Pak," jawab Emily dengan gugup.Jemari Daniel mulai memijat pertengahan alisnya yang berkerut. "Tolak saja. Kita harus segera kembali sekarang." ucapnya tegas. "T-tapi, Pak.." sela Emily, suaranya terputus-putus karena keraguan yang melanda dirinya. "Apa lagi?" tanya Daniel dengan raut wajah kesal.Emily merasa takut untuk masuk ke dalam rumah itu, tetapi dia juga merasa tidak enak untuk menolak permintaan nenek itu. Dengan ragu, dia berkata, "Apa tidak sebaiknya kita masuk sebentar untuk menghargai niat baik Nenek itu, Pak? Saya tidak tega menolaknya."Danie
Emily terbangun dengan kepala yang terasa berat dan sakit. Setelah dia perlahan membuka matanya, pandangannya langsung tertuju pada langit-langit sebuah kamar yang sepenuhnya asing baginya. Rasa bingung menyelimuti pikirannya saat dia berusaha keras mengingat apa yang terjadi. Namun, pandangannya masih buram, dan kesadarannya masih belum sepenuhnya kembali. Suasana di sekitar Emily terasa begitu asing. Dia merasa berada di tempat yang jauh dari kenangan terakhirnya. Keadaan ini membuat hatinya berdebar-debar dan kecemasan mulai merayap dalam dirinya.Di mana aku? batin Emily dalam hati, mencoba mencari jawaban atas keadaan yang membingungkannya. Saat Emily mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, langkahnya terasa ragu-ragu di lantai kayu yang berderit. Ruangan itu penuh dengan aroma kuno, tercampur oleh bau lembab dan kehangatan kayu tua yang terpapar sinar matahari melalui jendela retak. Udara dingin menyapu wajahnya, membuatnya semakin sadar akan keadaa