Ketika Emily melangkah keluar dari restoran, Ethan merasakan hembusan nafasnya yang berat. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengatasi kekecewaan yang melanda. Dengan langkah tergesa-gesa, dia keluar dari restoran, berharap bisa mengejar Emily sebelum terlambat.
Namun, begitu dia berada di luar, Emily sudah tidak ada di sana. Tanpa ragu, Ethan melangkah di sepanjang jalanan, matanya terus mencari sosok yang begitu akrab baginya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya melihat seseorang yang tampak seperti Emily dari kejauhan.Namun, dia terkejut ketika dia melihat seorang pria memeluk Emily dengan erat. Dari jarak pandangnya, mereka terlihat begitu dekat, dan Ethan merasa mereka seperti sedang berpelukan. Rasa marah membara di hatinya setelah mendapatkan pengkhianatan yang dilakukan oleh kekasihnya."Jadi karena pria ini, kamu memutuskan untuk putus dariku?" desis Ethan dengan penuh kekecewaan.Kesadaran Emily seketika itu juga mulai kembali. Hatinya berdegup kencang, dan dia merasa terkejut ketika menyadari bahwa tangan atasannya, Daniel, menahan pinggangnya agar tidak terjatuh. Wajahnya memerah, dan dia segera melepaskan diri dari pelukan Daniel.Langkah kaki Ethan mendekat, dan suaranya penuh dengan nada menuduh, "Siapa pria ini? Apa dia yang sudah membuatmu berpaling dan memilih putus dariku?"Emily, yang masih mencoba membenarkan letak kacamatanya, menundukkan kepalanya dengan hormat pada Daniel, mengacuhkan Ethan yang berada di sana. Suaranya bergetar ketika dia menjelaskan, "Maaf Pak. Saya tidak sengaja, apa Bapak terluka? Saya tidak fokus sehingga tidak sengaja menabrak Bapak. Sekali lagi, maafkan saya, Pak."Kemudian dia melihat jas Daniel yang terlihat basah, dan ekspresi khawatir muncul di wajahnya. "Oh, astaga! Jas Anda basah, Pak. Saya.." ucapan Emily terhenti ketika telapak tangan Daniel menghentikannya untuk bicara lebih lanjut.Ethan tidak mengerti dengan situasi yang ada di hadapannya sekarang. Bukankah mereka baru saja berpelukan tadi? Atau, dia hanya salah paham?Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut. Beban di kepalanya terasa berat dengan masalah yang terjadi padanya malam ini. Suara dinginnya terdengar, "Selesaikan saja masalah kalian, jangan pedulikan saya."Daniel langsung membawa langkah kakinya masuk ke dalam mobil yang berada tidak jauh dari minimarket, dengan sopir pribadinya yang membuka pintu untuk mempersilahkannya masuk. Emily menutup wajahnya dengan kedua tangan, merasa malu saat membayangkan kejadian barusan."Siapa dia?" tanya Ethan, masih mencoba mencari kejelasan.Mata Emily langsung memancar sinis saat dia menatap Ethan. "Dia adalah atasanku. Bisa-bisanya kamu menuduhnya seperti itu? Ahh, memalukan sekali.""Maafkan aku, Emily, aku hanya merasa terkhianati olehmu karena kamu terlihat seperti sedang berpelukan mesra dengan pria tadi," ucap Ethan dengan suara yang penuh penyesalan."Aku hampir terjatuh ketika bertabrakan dengan atasanku dan dia hanya membantuku," jawab Emily dengan raut wajah kesal."Mengapa kamu marah? Aku pikir kamu tidak mencintaiku," jawab Emily sinis."Em," panggil Ethan dengan raut wajah serius, membuat Emily menoleh padanya."Bisakah kamu memikirkan ulang tentang keputusanmu untuk memutuskanku? Tolong berikan aku kesempatan sekali lagi," ucap Ethan membuat hati Emily sedikit luluh.Sebelum Emily menjawab, Ethan kembali menimpali. "Kita sudah berpacaran lama. Bagaimana kalau sampai orang-orang ataupun orang tua kita mengetahui tentang hubungan kita yang kandas? Apa yang harus kita jawab?"Sesaat kemudian, Emily menertawakan kebodohannya karena sempat berpikir ingin memberikan Ethan kesempatan untuk memulai hubungan mereka kembali."Kenapa kamu tertawa, Em? Aku serius," ujar Ethan."Aku sempat berpikir kamu ingin kesempatan untuk memperbaiki kesalahanmu karena kamu benar-benar mencintaiku tetapi nyatanya.." Emily tidak sanggup meneruskan perkataannya lagi dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya."Kamu memang bajingan, Et. Jangan pernah mencariku lagi, kita putus," ucap Emily kemudian pergi meninggalkan Ethan begitu saja."Em, Em," Ethan berusaha mengejar Emily tetapi kebetulan ada taksi yang berada di depan Emily dan dia pun masuk ke dalam taksi itu, meninggalkan Ethan.Dalam perjalanan pulang, Emily duduk di dalam mobil dengan hati yang hancur. Air mata terus mengalir dari matanya tanpa henti. Dia merasa terluka dan kecewa oleh apa yang telah terjadi. Setiap detik, rasa sakit itu semakin dalam, dan dia tidak bisa menghentikan tangisannya.Emily mencoba menghapus air mata yang mengalir di pipinya, tetapi mereka terus datang. Dia merasa terjebak di masa lalu, di mana kehangatan dan kebahagiaan yang pernah mereka rasakan bersama. Tetapi sekarang, semuanya telah berubah menjadi puing-puing yang hancur.***Hari ini adalah hari yang penuh dengan kegelisahan bagi Emily. Dia akan melakukan perjalanan bisnis bersama atasannya, Daniel, namun hatinya masih terluka akibat masalahnya dengan Ethan. Semalaman, dia bergulat dengan pikiran yang tak kunjung reda, membuatnya sulit tidur. Ketika pagi tiba, dia sudah tampak bersiap di ruang tamu rumahnya, menunggu kedatangan Daniel yang akan menjemputnya.Tatapan khawatir terpancar dari wajah Fred, saat dia melihat kondisi putrinya. "Apa yang terjadi padamu, Em?" tanya Fred dengan nada khawatir.Emily mencoba tersenyum palsu, berusaha menyembunyikan perasaannya yang hancur. "Aku tidak apa-apa, Dad," jawabnya dengan suara yang bergetar.Namun, Fred melihat melalui senyum palsu Emily. Dia melihat mata Emily yang bengkak akibat tangisnya semalam. "Matamu bengkak, Em. Apa yang terjadi?" tanya Fred dengan penuh kekhawatiran."Aku sudah putus dari Ethan, Dad," akhirnya Emily mengungkapkan dengan suara yang penuh dengan beban emosional.Fred terdiam sejenak, mencerna kabar yang baru saja didengarnya. Dia bisa melihat betapa hancurnya hati Emily. Dalam diam, dia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur putrinya."Maafkan aku, Dad. Aku tidak bisa melanjutkan lagi hubunganku dengan Ethan," tambah Emily dengan suara yang penuh dengan penyesalan.Fred menghampiri Emily dan duduk di sebelahnya. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di atas bahu Emily, memberikan dukungan yang dia butuhkan. "Em, aku tahu betapa sulitnya keputusan ini bagimu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada di sini untukmu, mendukungmu dalam setiap keputusan yang kamu ambil."Air mata kembali mengalir dari mata Emily saat dia merasakan dukungan dan cinta sejati dari Fred. Dia merasa lega bisa berbagi perasaannya dengan seseorang yang begitu dia percayai.Fred menatap Emily dengan penuh keyakinan. "Em, kamu adalah putriku yang luar biasa dengan hati yang tulus. Cinta sejati akan datang padamu saat kamu paling tidak mengharapkannya. Jangan biarkan kegagalan satu hubungan menghalangimu untuk menemukan kebahagiaan yang sejati."Emily menghela nafas dan mencoba menguatkan dirinya sendiri. "Dad, terima kasih atas dukunganmu," ucap Emily dengan tulus.Fred tersenyum bangga pada putrinya. "Aku tahu kamu kuat, sayang. Percayalah pada dirimu sendiri dan jangan pernah berhenti mencari kebahagiaanmu. Aku selalu ada di sini untukmu."Emily merasakan kehangatan dalam kata-kata Fred. Meskipun perasaannya masih campur aduk, dia merasa sedikit lebih kuat dan siap untuk menghadapi hari ini. "Terima kasih, Dad" ucapnya sambil memeluk Fred dengan begitu erat.Tidak lama setelah itu, sebuah mobil hitam tiba di depan rumah Emily dengan suara mesin yang berhenti. Daniel, atasannya, tidak pernah terlambat, dan kali ini pun tidak terkecuali. Jantung Emily tiba-tiba berdegup begitu kencang saat melihat mobil atasannya yang sudah berada di depan rumah mereka."Dad, atasanku sudah datang. Aku pergi dulu," ucap Emily sambil melambaikan tangannya pada Fred dengan terburu-buru."Hati-hati, kabari aku saat kamu sudah sampai di sana," ujar Fred dengan cemas, mencoba memberikan perhatian pada putrinya."Baik, Dad. Jangan khawatir," jawab Emily dengan senyuman yang mencoba menenangkan hati Fred."Pelan-pelan, nanti kamu terjatuh," ucap Fred yang gelisah melihat putrinya yang tergesa-gesa. Emily bergegas keluar dari rumahnya dengan bantuan Fred yang menarik kopernya yang terlihat berat."Terima kasih, Dad," ucap Emily sambil tersenyum.Namun, karena tergesa-gesa menuju mobil, langkah Emily terhalang oleh sebuah batu yang tersembunyi di depannya, dan dia pun terjatuh dengan keras."Aww," desis Emily sambil memegangi kakinya yang berdarah karena kecerobohannya.Fred segera berlari mendekati Emily dan membantunya untuk berdiri. "Sudah aku katakan untuk pelan-pelan saja. Kakimu berdarah, Em. Sebaiknya kamu obati dulu saja di dalam," ucap Fred dengan kekhawatiran yang jelas terlihat di wajahnya.Daniel membuka kaca jendela mobilnya, menunjukkan kegelisahan dan ketidaksabarannya. "Cepat, Em. Nanti kita terlambat," ucapnya dengan suara tergesa-gesa, menunjukkan bahwa dia ingin segera melanjutkan perjalanan."Apa Anda adalah atasan Emily?" tanya Fred yang mendekat ke arah mobil Daniel, mencoba mengenali orang yang akan mengawasi putrinya selama perjalanan ini."Benar," jawab Daniel dengan nada acuh, lalu dia pun keluar dari mobilnya, menunjukkan sedikit ketidakpedulian terhadap kekhawatiran Fred."Halo, saya adalah Fred. Emily adalah putri saya. Tolong jaga putri saya selama berada di sana ya? Putri saya sedikit ceroboh, harap Anda bisa memakluminya," ucap Fred dengan nada sopan, mencoba memberikan peringatan dan permintaan dengan penuh sopan santun.Emily, yang merasakan kekhawatiran Fred, tak bisa menahan diri untuk menggodanya dengan bisikan kecil di telinganya. "Hari itu Dad bilang akan memukulnya untukku. Kenapa sekarang Dad menjadi sangat sopan pada atasanku?" bisik Emily di telinga Fred.Fred menepuk-nepuk pundak Emily dengan lembut untuk menghentikan pembicaraannya karena takut ketahuan oleh Daniel."Mohon maaf jika saya terlalu lancang bertanya hal ini. Apakah kalian pergi berdua saja?" tanya Fred hati-hati pada Daniel."Dad!" ujar Emily dengan sedikit berbisik, kemudian tersenyum malu ketika melihat Daniel yang sedang memperhatikannya."Tidak, ada tim lain yang ikut. Tetapi mereka sudah pergi terlebih dahulu," jelas Daniel."Oh begitu, jadi bukan hanya berdua saja kan?" tanya Fred kembali memastikan. Emily memberikan isyarat kepada ayahnya untuk tidak bertanya lebih lanjut."Anda tidak perlu khawatir. Saya menghargai Emily sebagai sekretaris saya dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas," tegas Daniel. Fred melihat Daniel dari atas ke bawah, mencoba menilai karakternya. Daniel merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan Fred padanya."Baiklah, bisakah kami pergi sekarang? Kami akan terlambat jika menunda terlalu lama," ucap Daniel. "Oh, iya. Silahkan," ucap Fred pada akhirnya sambil tersenyum.Emily mendorong kopernya yang berat dan hendak meletakkannya di bagasi mobil. Sopir pribadi Daniel datang untuk membantunya
Emily terkejut, takut suaranya tadi terdengar oleh Daniel. Tetapi dia merasa lega saat menyadari Daniel mengeluarkan earphone yang ada di dalam telinganya.Untunglah, dia tidak mendengar apa yang ku katakan tadi, batin Emily sambil menghela nafas lega."Kamu sangat mengganggu saya, Em," ucap Daniel dengan nada ketus. Apa dia mendengar apa yang kukatakan barusan? Bukankah dia sudah memasang earphone di telinganya. Apa dia masih bisa mendengar perkataanku? batin Emily. "Maksudnya apa, Pak?" tanya Emily bingung dengan maksud Daniel. "Dengkuranmu," jawab Daniel dengan sinis, matanya menatap tajam ke arah Emily.Jawaban singkat Daniel membuat Emily harus berpikir beberapa kali untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Apa saya mendengkur?!!" tanya Emily dengan nada meninggi, terkejut, menyadari bahwa dia telah mempermalukan dirinya sendiri di hadapan atasannya. Namun sedetik kemudian, dia segera menutup mulutnya ketika melihat
Mendengar suara Daniel seperti perintah yang sangat sulit untuk dibantah. Emily berusaha mengejar Daniel yang semakin menjauh. Akhirnya, dengan nafas tersengal-sengal, Emily berhasil sampai di tempat Daniel berdiri.Thawatchai, agen perjalanan mereka, menyambut mereka dengan senyuman hangat. "Kita bisa pergi sekarang?" tanyanya dengan penuh semangat, yang hanya dijawab oleh anggukan kecil dari Daniel. Agen perjalanan memberikan beberapa rekomendasi restoran terdekat yang terkenal dengan masakan Thailand yang lezat. Setelah melihat beberapa pilihan, Daniel dan Emily memutuskan untuk mencoba restoran lokal yang disarankan oleh agen perjalanan. Restoran itu terkenal dengan hidangan khas Thailand. Hanya mendengar menu-menu tersebut sudah membuat Emily merasa lapar dan tidak sabar untuk bisa segera mencicipi makanan-makanan lezat itu. Setelah beberapa saat, akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah restoran lokal yang direkomendasikan oleh agen p
"Awas!" teriak Daniel. Tetapi, sudah terlambat karena tubuh Emily tiba-tiba tersambar oleh sosok yang sedang berlari dengan cepat, membuatnya terhempas dengan kekuatan yang besar. Namun, dengan kecepatan refleks, Daniel segera meraih tubuh Emily, menahannya agar tidak jatuh dengan keras. Dalam pelukan Daniel, Emily merasakan kehangatan yang melindunginya. Detak jantung Daniel yang berpacu kencang sejalan dengan detak jantungnya sendiri yang berdebar. Mata mereka saling bertemu, tetapi sesaat kemudian mereka memalingkan wajah ke arah lain. Setelah momen singkat itu, mereka kembali berdiri, tetapi suasana menjadi sedikit canggung. "Terima kasih, Pak," ucap Emily dengan nafas terengah-engah."Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Emily dengan suara khawatir, melihat Daniel berusaha menahan tubuhnya agar tidak terjatuh dengan keras. "Jangan khawatirkan saya, sebaiknya kamu fokus melihat jalan," ujar Daniel. Emily mengangguk, merasa malu kar
"Pak Daniel!" suara samar itu semakin dekat diiringi dengan derap kaki yang semakin mendekat. Emily terkejut melihat Daniel terduduk di lantai. Ia segera mendekatinya dengan kekhawatiran yang mendalam."Pak Daniel, apakah Anda baik-baik saja?" suara Emily terdengar panik dan penuh kekhawatiran. "Pak, apa Bapak bisa mendengar saya? Apa Bapak baik-baik saja?" Emily kembali mengulang pertanyaannya karena tidak mendengar jawaban apapun dari Daniel. Saat Emily hendak meneriakkan tolong, tiba-tiba tangan Daniel menghentikannya. "Saya tidak apa-apa," jawabnya lemah. "Pak, Anda tidak apa-apa?" tanya Emily dengan kekhawatiran yang masih terpancar di wajahnya.Daniel mengangguk lemah sebagai jawaban."Syukurlah, saya takut sekali," ucap Emily dengan suara yang lega kemudian membantu Daniel untuk berdiri.Emily hendak membimbing Daniel berjalan tetapi Daniel menghentikannya. "Saya bisa sendiri."Mereka akhirnya menuju tempat duduk terdekat agar dapat beristirahat sejenak."Tunggu sebentar di
Emily merasa kebingungan saat mendapatkan tawaran dari nenek itu untuk singgah karena pada akhirnya keputusan akhir tetap berada di tangan atasannya, Daniel. "Tunggu sebentar ya, Nek," ucap Emily lalu berlalu mengetuk kaca jendela mobil."Ada apa?" tanya Daniel sambil menurunkan kaca jendelanya."Nenek itu meminta kita untuk singgah sebentar di rumahnya, Pak," jawab Emily dengan gugup.Jemari Daniel mulai memijat pertengahan alisnya yang berkerut. "Tolak saja. Kita harus segera kembali sekarang." ucapnya tegas. "T-tapi, Pak.." sela Emily, suaranya terputus-putus karena keraguan yang melanda dirinya. "Apa lagi?" tanya Daniel dengan raut wajah kesal.Emily merasa takut untuk masuk ke dalam rumah itu, tetapi dia juga merasa tidak enak untuk menolak permintaan nenek itu. Dengan ragu, dia berkata, "Apa tidak sebaiknya kita masuk sebentar untuk menghargai niat baik Nenek itu, Pak? Saya tidak tega menolaknya."Danie
Emily terbangun dengan kepala yang terasa berat dan sakit. Setelah dia perlahan membuka matanya, pandangannya langsung tertuju pada langit-langit sebuah kamar yang sepenuhnya asing baginya. Rasa bingung menyelimuti pikirannya saat dia berusaha keras mengingat apa yang terjadi. Namun, pandangannya masih buram, dan kesadarannya masih belum sepenuhnya kembali. Suasana di sekitar Emily terasa begitu asing. Dia merasa berada di tempat yang jauh dari kenangan terakhirnya. Keadaan ini membuat hatinya berdebar-debar dan kecemasan mulai merayap dalam dirinya.Di mana aku? batin Emily dalam hati, mencoba mencari jawaban atas keadaan yang membingungkannya. Saat Emily mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, langkahnya terasa ragu-ragu di lantai kayu yang berderit. Ruangan itu penuh dengan aroma kuno, tercampur oleh bau lembab dan kehangatan kayu tua yang terpapar sinar matahari melalui jendela retak. Udara dingin menyapu wajahnya, membuatnya semakin sadar akan keadaa
Kepala Daniel berdenyut seiring dengan setiap detak jantungnya yang tidak beraturan. Saat matanya terbuka, cahaya redup ruangan tua itu menyilaukan, dan dia meraih kepalanya yang terasa berat. Meringis, dia mencoba mengenali sekitarnya, tetapi ingatannya terlalu samar, terkubur dalam kabut yang mengepung pikirannya. Dengan tubuh yang masih lemah, Daniel duduk perlahan di atas tempat tidur di ruangan itu. Rumah tua itu seakan menyambutnya dengan aroma kuno yang memenuhi udara. Dia menatap sekeliling dengan tatapan bingung, mencoba memahami bagaimana dia bisa berada di tempat yang begitu asing ini. Ruangannya gelap, hanya diterangi oleh cahaya temaram yang masuk melalui jendela retak. Dinding-dinding usang menyimpan cerita yang belum terungkap. Daniel menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, mencoba meredakan rasa sakit yang menusuk di pelipisnya."Di mana aku?" gumam Daniel, tetapi dia segera menyadari keanehan yang terjadi pada tubuhnya. Jari
"Apa?" Daniel terkesiap, matanya membulat karena terkejut mendengar ucapan Emily tetapi sesaat kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. Dia mendekat, berjongkok di hadapan Emily yang duduk di kursi roda, hingga pandangan mereka bertemu.Daniel menjentikkan jari telunjuknya, menyentuh kening Emily. "Ah, sakit! Apa yang kamu lakukan?" Emily mengerutkan kening, sedikit kesal."Menghukum seseorang yang selalu berpikiran tidak-tidak," jawab Daniel. "Dari mana kamu mendengar bahwa aku telah menikah dengan Alice?" tanya Daniel, tatapan mata birunya yang dalam dan teduh membuat jantung Emily berdebar kencang. Daniel memang sangat tampan, pesonanya tak pernah pudar.Emily terdiam, terpana sesaat. "Ehmm," gumamnya, berusaha membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku mendengarnya ketika Alice mengunjungiku saat itu. Maria memberikan selamat pada Alice atas pernikahannya."Mendengar ucapan Emily, Daniel tertawa begitu lebar, suaranya bergema di ruangan itu. "Kamu berpikir bahwa aku yan
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai saat Emily perlahan membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Perlahan, dia bisa melihat dinding berwarna putih bersih.'Di mana aku? Apa yang terjadi?' batin Emily. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya. Dia merasa kosong, seperti kehilangan sesuatu yang penting. Air mata membasahi pipinya, kesedihan terasa menyesakkannya, tetapi dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak lagi mengingat dirinya yang tersesat di hutan dan bertemu dengan ayah kandungnya, Thomas. Mesin-mesin di samping tempat tidurnya berdengung pelan, bunyi bipnya yang berirama menjadi pengingat konstan akan keadaannya yang rapuh. Grafik di monitor melacak naik turun detak jantungnya. Sebuah infus terpasang di lengannya, cairan bening mengalir perlahan, membantu tubuhnya yang lemah. Alat bantu pernapasan menyertai setiap hela napasnya yang terasa berat. "Selamat atas pernikahanmu, Nyonya Alice,
Entah sudah berapa lama Emily berjalan mengitari hutan itu, tak tentu arah. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Air mata terus membasahi pipi Emily. Dia ingin kembali, ingin mengakhiri semua penderitaan yang terasa menyesakkan di hatinya. Dia kelelahan, tetapi dia terus memaksa dirinya untuk berjalan maju tanpa tujuan. "Emily," suara kasar seorang pria memecah kesunyian. Akhirnya ada yang mengenalnya di hutan itu dan memanggilnya. Emily menoleh, jantungnya berdebar kencang, dan melihat sesosok pria muncul dari balik pepohonan. Mata pria itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Wajahnya, kasar tetapi menyimpan kelembutan yang familiar. Saat mata mereka bertemu, Emily terbelalak tak percaya karena apa yang dilihat di depan matanya tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, Thomas. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Rasa terkejut dan kebingungan berputar-putar di kepala Emily. Dia tak mampu memahami a
Hawa dingin rumah sakit mencengkeram Daniel, menusuknya hingga ke tulang. Sudah berjam-jam Emily terbaring di ruang gawat darurat, menyiksa Daniel dengan ketakutan dan ketidakpastian. Pandangannya tertuju pada pintu ruang gawat darurat, berharap sebuah keajaiban akan muncul dari baliknya. "Aku mohon bertahanlah, Emily," bisik Daniel, suaranya serak menahan kepedihan. "Takdir itu tidak boleh terjadi," gumam Daniel, tangannya mengepal erat. "Kamu tidak boleh meninggalkanku."Bayangan masa depan yang suram menelan Daniel, mencekiknya dengan rasa takut. Tujuh tahun hidup tanpa Emily sudah menjadi siksaan baginya, bagaimana jika dia harus kehilangannya selamanya? Daniel tidak bisa membayangkan itu, sebuah mimpi buruk yang tak ingin dia jalani. Dia terjebak dalam kesedihan dan penyesalan, terhantui oleh kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. "Bagaimana keadaan Emily?" Suara itu, panik dan cemas, mengagetkannya. Daniel mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong.
Anthony dengan keringat dingin yang menetes di pelipisnya, berlari menuju pintu belakang. Dia berhasil mencapai mobil yang sudah disiapkan, jantungnya berdebar kencang. Dia langsung melompat masuk dan menghidupkan mesin mobil. Mobil itu melesat meninggalkan gudang yang kini dipenuhi asap dan teriakan. Mobil polisi dengan lampu merah-biru berkedip-kedip seperti mata predator, mengejarnya dari belakang. Sirene meraung-raung, mengiris keheningan."Sial!" desis Anthony, tangannya menggenggam setir erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia menginjak pedal gas, mobilnya meraung, melaju kencang di jalan yang lumayan ramai. Anthony melirik spion, melihat mobil polisi yang mengejarnya semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, namun dia harus mengendalikan dirinya agar tidak panik. Dia harus lolos. Matahari sore menyinari jalanan, membuat bayangan panjang di aspal. Anthony meliuk-liuk di jalanan, menghindari mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan normal.Setelah beberap
"Bos!" teriak salah satu anak buah Anthony, wajahnya pucat pasi setelah menerima telepon dan mendengar suara di seberang yang terdengar panik, memberitahukan tentang penangkapan operasi mereka. "Barang-barang kita... polisi sudah mengamankan semuanya!""Sialan!" Anthony menggeram.Tatapan Anthony lurus menusuk ke arah Daniel yang berdiri tenang di hadapannya, senyum kemenangan jelas terukir di bibirnya. "Apakah ini juga kerjaanmu?" desis Anthony, suaranya bergetar menahan amarah yang siap meledak. Daniel mengangkat bahu, senyumnya tipis, sebuah ejekan dingin yang terukir di bibirnya. Tindakannya, penuh penghinaan, seolah membenarkan bahwa dia adalah dalang di balik kehancuran rencana Anthony. "Kamu sebaiknya pensiun dari bisnis gelapmu. Beristirahatlah dan terima hukumanmu sekarang."Anthony mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menonjol. Kebencian membara di matanya, menggerogoti sisa-sisa kesabarannya.Sementara itu, di luar gudang, petugas polisi, bersenjata senapan dan p
Sean mengangkat kayu itu, matanya berkilat dengan amarah. Dia menyerbu ke arah Daniel, kayu itu mengarah ke tubuhnya. Bunyi gedebuk menggelegar menggema di ruangan itu saat kayu itu menghantam Daniel, tubuhnya terbanting ke lantai. Pandangan Daniel berputar, dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menusuk tulang rusuknya, membuat setiap ototnya bergetar. "Sean, hentikan!" teriak Emily, suaranya terputus-putus. "Aku mohon, jangan lakukan ini!""Diam!" raungan pria berpakaian hitam itu menggema di ruangan. Pisaunya yang mengkilap dan dingin semakin menempel lekat di leher Emily, membuat Emily terdiam. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi kulitnya, dan napasnya terengah-engah. Anthony menyeringai, matanya berkilat jahat. "Pukul lagi!" teriaknya, suaranya dingin dan penuh ancaman. Mendengar perintah Anthony, Sean kembali mengayunkan kayu itu ke arah Daniel, memukulnya berkali-kali. Sementara air mata Emily mengalir deras di pipinya, tub
Emily diseret hingga dipaksa berlutut, kakinya lemas di bawah tekanan. Tangannya terikat, tergantung tak berdaya. Rahang Daniel mengeras, amarah membara dalam dadanya. Salah satu pria berpakaian hitam, mengeluarkan pisau yang berkilauan. Pisau itu menempel mengancam di leher Emily yang halus."Hentikan! Jangan sakiti dia!" raung Daniel, suaranya serak karena keputusasaan. "Aku akan membunuhmu," Sean menggeram, tubuhnya memberontak dalam cengkeraman para pria berpakaian hitam. Daniel menatap Anthony dengan tatapan dingin. "Lepaskan dia," katanya, suaranya penuh otoritas, "Atau kau akan menyesalinya."Air mata mengalir di pipi Emily, meskipun dia berusaha menahannya. Dia tampak begitu ketakutan tetapi berusaha tampak tegar. "Menarik sekali," Anthony mencibir, senyumnya merekah seperti pisau tajam. "Dua pria mencintai wanita yang sama." "Melihat ini," Anthony berkata, senyumnya mengejek, "mengingatkanku pada masa lalu. Bukan begitu, Sophia?" Sophia mengerutkan kening. "Apa maksudmu?
"Richard, bajingan itu kembali. Dia masih hidup. Jika terjadi sesuatu padaku, tolong lakukan seperti yang kita bicarakan. Tolong lindungi Grace dan Emily." Kata-kata Daniel masih bergema di kepala Richard. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut merayap di dalam dirinya. Hilangnya Emily terasa aneh, seperti ada kaitannya dengan mantan sopir Daniel. Richard menginjak pedal gas, mobilnya melaju cepat di jalanan. Dia harus segera sampai ke rumah sakit. Dia harus tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Emily menghilang begitu mendadak. Beberapa saat kemudian, rumah sakit tampak di depan matanya. Richard memarkirkan mobilnya dengan perasaan tidak karuan.Richard melangkah cepat ke ruang rawat inap Emily, jantungnya berdebar kencang. Di sana, dia melihat Maria, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran. Beberapa perawat berdiri di dekatnya, berbisik dengan serius, tidak ada yang menyadari kehadiran Richard. "Apa yang terjadi?" tanya Richard. "Pak Richard, Nyonya Emily... dia menghilang," u