Anthony dengan keringat dingin yang menetes di pelipisnya, berlari menuju pintu belakang. Dia berhasil mencapai mobil yang sudah disiapkan, jantungnya berdebar kencang. Dia langsung melompat masuk dan menghidupkan mesin mobil. Mobil itu melesat meninggalkan gudang yang kini dipenuhi asap dan teriakan. Mobil polisi dengan lampu merah-biru berkedip-kedip seperti mata predator, mengejarnya dari belakang. Sirene meraung-raung, mengiris keheningan."Sial!" desis Anthony, tangannya menggenggam setir erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia menginjak pedal gas, mobilnya meraung, melaju kencang di jalan yang lumayan ramai. Anthony melirik spion, melihat mobil polisi yang mengejarnya semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, namun dia harus mengendalikan dirinya agar tidak panik. Dia harus lolos. Matahari sore menyinari jalanan, membuat bayangan panjang di aspal. Anthony meliuk-liuk di jalanan, menghindari mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan normal.Setelah beberap
Hawa dingin rumah sakit mencengkeram Daniel, menusuknya hingga ke tulang. Sudah berjam-jam Emily terbaring di ruang gawat darurat, menyiksa Daniel dengan ketakutan dan ketidakpastian. Pandangannya tertuju pada pintu ruang gawat darurat, berharap sebuah keajaiban akan muncul dari baliknya. "Aku mohon bertahanlah, Emily," bisik Daniel, suaranya serak menahan kepedihan. "Takdir itu tidak boleh terjadi," gumam Daniel, tangannya mengepal erat. "Kamu tidak boleh meninggalkanku."Bayangan masa depan yang suram menelan Daniel, mencekiknya dengan rasa takut. Tujuh tahun hidup tanpa Emily sudah menjadi siksaan baginya, bagaimana jika dia harus kehilangannya selamanya? Daniel tidak bisa membayangkan itu, sebuah mimpi buruk yang tak ingin dia jalani. Dia terjebak dalam kesedihan dan penyesalan, terhantui oleh kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. "Bagaimana keadaan Emily?" Suara itu, panik dan cemas, mengagetkannya. Daniel mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong.
Entah sudah berapa lama Emily berjalan mengitari hutan itu, tak tentu arah. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Air mata terus membasahi pipi Emily. Dia ingin kembali, ingin mengakhiri semua penderitaan yang terasa menyesakkan di hatinya. Dia kelelahan, tetapi dia terus memaksa dirinya untuk berjalan maju tanpa tujuan. "Emily," suara kasar seorang pria memecah kesunyian. Akhirnya ada yang mengenalnya di hutan itu dan memanggilnya. Emily menoleh, jantungnya berdebar kencang, dan melihat sesosok pria muncul dari balik pepohonan. Mata pria itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Wajahnya, kasar tetapi menyimpan kelembutan yang familiar. Saat mata mereka bertemu, Emily terbelalak tak percaya karena apa yang dilihat di depan matanya tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, Thomas. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Rasa terkejut dan kebingungan berputar-putar di kepala Emily. Dia tak mampu memahami a
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai saat Emily perlahan membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Perlahan, dia bisa melihat dinding berwarna putih bersih.'Di mana aku? Apa yang terjadi?' batin Emily. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya. Dia merasa kosong, seperti kehilangan sesuatu yang penting. Air mata membasahi pipinya, kesedihan terasa menyesakkannya, tetapi dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak lagi mengingat dirinya yang tersesat di hutan dan bertemu dengan ayah kandungnya, Thomas. Mesin-mesin di samping tempat tidurnya berdengung pelan, bunyi bipnya yang berirama menjadi pengingat konstan akan keadaannya yang rapuh. Grafik di monitor melacak naik turun detak jantungnya. Sebuah infus terpasang di lengannya, cairan bening mengalir perlahan, membantu tubuhnya yang lemah. Alat bantu pernapasan menyertai setiap hela napasnya yang terasa berat. "Selamat atas pernikahanmu, Nyonya Alice,
"Apa?" Daniel terkesiap, matanya membulat karena terkejut mendengar ucapan Emily tetapi sesaat kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. Dia mendekat, berjongkok di hadapan Emily yang duduk di kursi roda, hingga pandangan mereka bertemu.Daniel menjentikkan jari telunjuknya, menyentuh kening Emily. "Ah, sakit! Apa yang kamu lakukan?" Emily mengerutkan kening, sedikit kesal."Menghukum seseorang yang selalu berpikiran tidak-tidak," jawab Daniel. "Dari mana kamu mendengar bahwa aku telah menikah dengan Alice?" tanya Daniel, tatapan mata birunya yang dalam dan teduh membuat jantung Emily berdebar kencang. Daniel memang sangat tampan, pesonanya tak pernah pudar.Emily terdiam, terpana sesaat. "Ehmm," gumamnya, berusaha membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku mendengarnya ketika Alice mengunjungiku saat itu. Maria memberikan selamat pada Alice atas pernikahannya."Mendengar ucapan Emily, Daniel tertawa begitu lebar, suaranya bergema di ruangan itu. "Kamu berpikir bahwa aku yan
Emily terlihat duduk di kursi kerjanya yang berada di salah satu sudut perkantoran yang berlokasi di salah satu distrik bisnis, New York. Dari jendela kaca yang besar di sisi ruangannya, terlihat pemandangan kota New York yang megah, dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi.Matanya sesekali melirik ke arah ponselnya, menunggu balasan dari kekasihnya yang sudah dua minggu terakhir ini menghilang tanpa kabar. Emily, dengan rambutnya yang selalu terikat rapi dalam satu kuncir, dan kacamata yang selalu setia menghiasi kedua bola matanya membuat penampilannya terlihat cupu. Meskipun berpenampilan seperti itu, dia sudah memiliki seorang kekasih dan memiliki rencana untuk menikah."Dia bahkan tidak ada kabar lagi hari ini. Apa dia juga melupakan hari ulangtahunku?" gumam Emily sambil menghela nafas panjang. Bahkan, ayahnya juga tidak lupa untuk mengucapkan 'selamat ulang tahun' padanya sebelum dia pergi ke kantor. Bagaimana mungkin kekasihnya bisa melupakan hari ulangtahun
"Baiklah, sudah benar," ucap Daniel singkat dengan nada yang lebih lunak.Emily merasa lega mendengar kata-kata tersebut. Meskipun dia masih merasakan sedikit kegugupan, dia merasa bangga karena berhasil mengatasi tantangan tersebut."Apa saja jadwal saya hari ini?" tanya Daniel."Pada pagi ini pukul 10.30, Anda memiliki panggilan konferensi dengan klien besar dari luar negeri. Selanjutnya, pada pukul 12.00 Bapak memiliki jadwal makan siang dengan mitra potensial di restoran XYZ. Setelah itu, pukul 14.00, Bapak memiliki pertemuan dengan tim penjualan untuk membahas strategi peningkatan promosi produk dan layanan di ruang konferensi A.." ucap Emily sambil terus menjelaskan semua detail jadwal Daniel. "Baik, pastikan semua materi presentasi sudah siap dan tersedia. Juga, pastikan bahwa ruang pertemuan juga sudah disiapkan dengan baik untuk setiap acara yang dijadwalkan" "Baik, Pak. Saya akan memastikan bahwa semua materi presentasi siap dan ruang pertemuan sudah disiapkan dengan baik
"Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan, aku mencintaimu. Apakah sudah puas?" ujar Ethan.Kata-kata cinta yang tidak tulus dari Ethan membuat Emily semakin marah dan hancur. "Kamu memang bajingan! Bahkan hanya dengan mengatakan kata cinta pun sangat sulit bagimu. Sepertinya kita sudah tidak bisa mempertahankan hubungan kita lagi," ucap Emily dengan suara yang penuh kesedihan dan keputusasaan. Dia merasa bahwa hubungan mereka sudah tidak memiliki harapan lagi."Apa maksudmu?" tanya Ethan bingung, mencoba memahami keputusan Emily."Kita putus saja," ucap Emily dengan mata yang penuh dengan air mata, menatap tajam ke arah Ethan."Putus? Apakah kamu yakin dengan keputusanmu itu?" tanya Ethan kembali, mencoba mempertanyakan keseriusan Emily dalam mengambil keputusan ini."Iya, aku tidak bisa bersama dengan seseorang yang tidak menghargai dan mencintaiku," ucap Emily dengan suara yang penuh keputusan. Dia berdiri, hendak meninggalkan Ethan dan restoran itu."Em, kamu mau ke mana?" teriak Eth