Emily terlihat duduk di kursi kerjanya yang berada di salah satu sudut perkantoran yang berlokasi di salah satu distrik bisnis, New York. Dari jendela kaca yang besar di sisi ruangannya, terlihat pemandangan kota New York yang megah, dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi.
Matanya sesekali melirik ke arah ponselnya, menunggu balasan dari kekasihnya yang sudah dua minggu terakhir ini menghilang tanpa kabar. Emily, dengan rambutnya yang selalu terikat rapi dalam satu kuncir, dan kacamata yang selalu setia menghiasi kedua bola matanya membuat penampilannya terlihat cupu. Meskipun berpenampilan seperti itu, dia sudah memiliki seorang kekasih dan memiliki rencana untuk menikah."Dia bahkan tidak ada kabar lagi hari ini. Apa dia juga melupakan hari ulangtahunku?" gumam Emily sambil menghela nafas panjang. Bahkan, ayahnya juga tidak lupa untuk mengucapkan 'selamat ulang tahun' padanya sebelum dia pergi ke kantor. Bagaimana mungkin kekasihnya bisa melupakan hari ulangtahunnya.Emily berusaha mengabaikan perasaannya dengan terus berkutat mengetik di komputernya ketika tiba-tiba ponselnya berdering dan dia melihat tulisan 'pacarku' di layar."Ethan? Selama dua minggu ini, kamu ke mana saja?" tanya Emily dengan rasa kesal."Maafkan aku, Emily. Aku berlibur dengan temanku ke luar negeri jadi aku mengambil cuti," ucap Ethan dengan nada sedikit bersalah."Berlibur? Seharusnya kamu bisa memberikan kabar padaku. Aku khawatir sekali padamu," ucap Emily dengan rasa kekecewaan."Aku lupa mengabarimu karena belakangan aku sangat sibuk dengan pekerjaanku sebelum berlibur bersama mereka. Oh ya, aku ingin mengatakan padamu bahwa malam ini aku memiliki rencana reuni bersama teman sekolahku, jadi kita tidak bisa bertemu," ucap Ethan, yang membuat Emily semakin kesal."Lupa mengabariku?" Emily menjeda pertanyaannya dengan mata yang mulai berkaca sebelum melanjutkan. "Apa kamu juga lupa hari apa ini?" tanya Emily dengan nada yang mulai meninggi."Tentu saja, ini hari rabu. Ada apa, Emily?" jawab Ethan dengan kebingungan.Wajah Emily mulai memerah, menahan emosi yang ada di dalam hatinya. Rasa kecewa dan kesal yang dia rasakan semakin membesar. Dia merasa diabaikan dan tidak dihargai oleh Ethan, terutama pada hari ulang tahunnya yang seharusnya menjadi momen istimewa."Hari ini adalah hari ulang tahunku. Kenapa kamu bisa sampai melupakannya?" tanya Emily dengan nada sedih.Ethan terkejut, dia segera memastikan tanggal di hadapannya dan menepuk jidatnya perlahan karena telah melupakan hari istimewa pacarnya."Maafkan aku, Emily. Aku sampai melupakan hari ulang tahunmu. Sungguh, aku tidak bermaksud menyakitimu," ucap Ethan dengan suara yang penuh penyesalan."Kenapa kamu berubah? Kamu semakin tidak ada waktu untukku. Padahal kita sudah mau menikah" ucap Emily dengan rasa kekecewaan.Ethan mulai merasa kesal dengan sikap Emily. Dia merasa bahwa dia telah memberikan penjelasan dan berharap Emily bisa memahaminya."Apa yang berubah dariku? Sudahlah, aku tidak ingin bertengkar denganmu," ucap Ethan dengan nada sedikit frustasi."Tentu saja kamu berubah, kamu bahkan tidak mengabari aku saat kamu pergi berlibur. Aku merasa kamu tidak pernah menganggap aku ada padahal aku sudah berusaha mengerti kamu selama ini. Aku merasa bahwa hubungan kita tidak lagi penuh dengan cinta dan kehangatan seperti dulu. Aku merasa kamu semakin jauh dariku," ucap Emily dengan suara yang penuh kehampaan."Em, aku tidak memiliki waktu untuk bertengkar denganmu sekarang. Aku sangat sibuk, aku akan menghubungimu lagi nanti," ucap Ethan dengan tergesa-gesa sebelum memutuskan sambungan telepon.Emily merasa kecewa dan terluka dengan sikap Ethan yang terkesan acuh tak acuh. Air matanya jatuh membasahi pipi. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan mencoba memfokuskan diri pada tugas-tugasnya. Tetapi, pikirannya sangat sulit untuk fokus sekarang.Namun, dalam keheningan lamunan itu, suara langkah kaki tegas mendekat. Emily berdiri, menyambut kedatangan lelaki yang tak lain adalah CEO-nya, sosok yang selalu menyiratkan dinginnya es. Perawakan tegapnya sungguh menakjubkan, membuatnya dihormati oleh seluruh karyawan dan rekan bisnis.Walaupun usianya masih muda, ia mampu mengguncang persepsi orang tentang arti usia. Kepemimpinannya membawa perusahaan ini berkembang pesat, membuktikan bahwa usia hanyalah angka.Dia adalah Daniel Winston, seorang CEO muda berusia 32 tahun. Pekerjaan adalah segalanya baginya. Banyak yang menyebutnya 'ice prince' karena sifatnya yang dingin, namun kehadirannya memancarkan pesona seorang pangeran.Di usianya yang sudah berkepala tiga, ia tetap hidup sendiri tanpa keinginan untuk mencari pasangan atau menikah."Selamat pagi, Pak," sapa Emily dengan suara lembut, menahan nafas ketika melihat atasannya yang telah tiba, ditemani oleh asisten pribadinya yang setia di sampingnya. Daniel bahkan tidak menggubris sapaan basa-basi Emily dan memilih untuk segera masuk ke dalam ruangannya. Sementara asisten pribadi Daniel tersenyum kepada Emily sekilas sebelum mengikuti Daniel masuk ke dalam.Dingin.. itulah yang dirasakan Emily saat ini. Seperti angin musim dingin yang menusuk tulang, suasana di sekitarnya terasa beku. Emily segera bergegas ke dapur, meracik secangkir kopi tanpa gula dengan hati-hati. Setetes demi setetes, aroma kopi yang harum memenuhi ruangan, mencoba menghangatkan suasana yang terasa tegang.Emily menghampiri ruangan Daniel dengan hati-hati, membawa secangkir kopi yang masih mengeluarkan uap hangat. Dengan langkah pelan, ia mengetuk pintu dan memasuki ruangan dengan penuh rasa hormat."Maaf mengganggu, Pak," ucap Emily dengan suara yang lembut. Dia meletakkan secangkir kopi itu dengan hati-hati di atas meja. Matanya fokus pada cangkir yang ia pegang, memastikan agar tidak ada tetesan yang jatuh atau cangkir yang tergelincir dari tangannya.Setelah meletakkannya, Emily pamit undur diri dari ruangan itu. Namun, suara dingin dari Daniel menghentikan langkah kakinya untuk pergi lebih jauh. "Emily," panggilnya."Ya, ada apa pak?" tanya Emily dengan hati-hati."Apakah kamu sudah menyelesaikan dokumen itu?" tanya Daniel dengan tegas."Su-sudah pak.. Sa-saya akan mengambilnya, tunggu sebentar, Pak," ucap Emily terbata-bata. Dia selalu merasa gugup ketika berada di dekat atasannya, karena Daniel selalu bersikap tegas dan tidak mentoleransi kesalahan sedikit pun.Emily meninggalkan ruangan dengan sopan, memastikan untuk menutup pintu dengan lembut. Setelah menemukan dokumen yang diminta di mejanya, dia kembali mengetuk pintu dan mendengar Daniel yang sedang berbicara dengan asisten pribadinya perihal pekerjaan. Setelah pembicaraan mereka selesai, asisten pribadi Daniel pun undur diri untuk keluar dari ruangan itu."Mana?" tanya Daniel ketika melihat Emily yang sudah berada di hadapannya sekarang."I-ini pak," jawab Emily gugup sambil meletakkan dokumen itu di hadapan Daniel.Daniel memeriksa setiap kata dalam dokumen itu dengan cermat sebelum menutup dan sedikit membanting dokumen itu di atas meja. Terdengar helaan nafas dari atasannya itu membuat Emily semakin gugup. Apa lagi kesalahannya kali ini? Itulah yang dipikirkan olehnya sekarang."Ulang!" hanya satu kata itu yang terucap dari mulut Daniel, memenuhi ruangan dengan kekuatan dan ketegasan yang tak terbantahkan. Suara itu seakan menggema di telinga Emily, menusuk hatinya dengan kekecewaan yang mendalam."Maaf pak, apakah ada yang salah dari dokumen yang saya buat?" tanya Emily mencoba memastikan kesalahan apa yang sudah diperbuat olehnya."Begitu banyak kesalahan pengetikan di dalamnya! Apakah kamu serius dengan pekerjaanmu?"Emily kembali mencoba memastikan dokumen yang sudah dibuatnya itu dan akhirnya menyadari kesalahannya."Maafkan saya, Pak. Saya tidak menyadari adanya kesalahan tersebut. Saya akan segera memperbaikinya." ucap Emily sambil sedikit menundukkan kepalanya."Kesalahan pengetikan seperti ini dapat merusak reputasi perusahaan dan mengirimkan informasi yang salah kepada klien kita. Sebagai seorang sekretaris, kamu harus paham tentang hal ini.""Maaf Pak.""Pergilah, ulangi semua dokumen itu dan selesaikan hari ini juga!" titah Daniel.Setelah kembali ke meja kerjanya, dia menyadari bahwa dia harus fokus pada pekerjaannya saat ini dan menyelesaikan tugas dengan baik. Dia mengambil nafas dalam-dalam, menghapus air mata yang hampir jatuh, dan memulai ulang pekerjaannya dengan tekad yang kuat.Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Emily kembali mengetuk pintu dan menunjukkan bahwa dia telah menyelesaikan tugasnya. Daniel melihat Emily yang memegang dokumen tadi, dan menyimpulkan bahwa dia telah menyelesaikan pekerjaannya."Baiklah, berikan dokumen itu pada saya," kata Daniel dengan suara yang lebih tenang kali ini.Emily menyerahkan dokumen itu kepada Daniel, berharap bahwa hasil perbaikannya akan memenuhi harapannya. Dia merasa lega karena telah menyelesaikan tugas dengan baik, meskipun masih ada rasa tegang dalam hatinya.Daniel memeriksa dokumen tersebut dengan seksama, kali ini tanpa menunjukkan ekspresi yang jelas. Setelah beberapa saat, dia menarik nafas dalam-dalam. Tangan Emily semakin dingin seiring menunggu jawaban dari Daniel."Apa ada yang salah lagi, Pak?" Emily memberanikan diri untuk bertanya."Baiklah, sudah benar," ucap Daniel singkat dengan nada yang lebih lunak.Emily merasa lega mendengar kata-kata tersebut. Meskipun dia masih merasakan sedikit kegugupan, dia merasa bangga karena berhasil mengatasi tantangan tersebut."Apa saja jadwal saya hari ini?" tanya Daniel."Pada pagi ini pukul 10.30, Anda memiliki panggilan konferensi dengan klien besar dari luar negeri. Selanjutnya, pada pukul 12.00 Bapak memiliki jadwal makan siang dengan mitra potensial di restoran XYZ. Setelah itu, pukul 14.00, Bapak memiliki pertemuan dengan tim penjualan untuk membahas strategi peningkatan promosi produk dan layanan di ruang konferensi A.." ucap Emily sambil terus menjelaskan semua detail jadwal Daniel. "Baik, pastikan semua materi presentasi sudah siap dan tersedia. Juga, pastikan bahwa ruang pertemuan juga sudah disiapkan dengan baik untuk setiap acara yang dijadwalkan" "Baik, Pak. Saya akan memastikan bahwa semua materi presentasi siap dan ruang pertemuan sudah disiapkan dengan baik
"Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan, aku mencintaimu. Apakah sudah puas?" ujar Ethan.Kata-kata cinta yang tidak tulus dari Ethan membuat Emily semakin marah dan hancur. "Kamu memang bajingan! Bahkan hanya dengan mengatakan kata cinta pun sangat sulit bagimu. Sepertinya kita sudah tidak bisa mempertahankan hubungan kita lagi," ucap Emily dengan suara yang penuh kesedihan dan keputusasaan. Dia merasa bahwa hubungan mereka sudah tidak memiliki harapan lagi."Apa maksudmu?" tanya Ethan bingung, mencoba memahami keputusan Emily."Kita putus saja," ucap Emily dengan mata yang penuh dengan air mata, menatap tajam ke arah Ethan."Putus? Apakah kamu yakin dengan keputusanmu itu?" tanya Ethan kembali, mencoba mempertanyakan keseriusan Emily dalam mengambil keputusan ini."Iya, aku tidak bisa bersama dengan seseorang yang tidak menghargai dan mencintaiku," ucap Emily dengan suara yang penuh keputusan. Dia berdiri, hendak meninggalkan Ethan dan restoran itu."Em, kamu mau ke mana?" teriak Eth
Ketika Emily melangkah keluar dari restoran, Ethan merasakan hembusan nafasnya yang berat. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengatasi kekecewaan yang melanda. Dengan langkah tergesa-gesa, dia keluar dari restoran, berharap bisa mengejar Emily sebelum terlambat.Namun, begitu dia berada di luar, Emily sudah tidak ada di sana. Tanpa ragu, Ethan melangkah di sepanjang jalanan, matanya terus mencari sosok yang begitu akrab baginya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya melihat seseorang yang tampak seperti Emily dari kejauhan.Namun, dia terkejut ketika dia melihat seorang pria memeluk Emily dengan erat. Dari jarak pandangnya, mereka terlihat begitu dekat, dan Ethan merasa mereka seperti sedang berpelukan. Rasa marah membara di hatinya setelah mendapatkan pengkhianatan yang dilakukan oleh kekasihnya."Jadi karena pria ini, kamu memutuskan untuk putus dariku?" desis Ethan dengan penuh kekecewaan.Kesadaran Emily seketika itu juga mulai kembali. Hatinya berdegup kencang, dan dia me
"Dad!" ujar Emily dengan sedikit berbisik, kemudian tersenyum malu ketika melihat Daniel yang sedang memperhatikannya."Tidak, ada tim lain yang ikut. Tetapi mereka sudah pergi terlebih dahulu," jelas Daniel."Oh begitu, jadi bukan hanya berdua saja kan?" tanya Fred kembali memastikan. Emily memberikan isyarat kepada ayahnya untuk tidak bertanya lebih lanjut."Anda tidak perlu khawatir. Saya menghargai Emily sebagai sekretaris saya dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas," tegas Daniel. Fred melihat Daniel dari atas ke bawah, mencoba menilai karakternya. Daniel merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan Fred padanya."Baiklah, bisakah kami pergi sekarang? Kami akan terlambat jika menunda terlalu lama," ucap Daniel. "Oh, iya. Silahkan," ucap Fred pada akhirnya sambil tersenyum.Emily mendorong kopernya yang berat dan hendak meletakkannya di bagasi mobil. Sopir pribadi Daniel datang untuk membantunya
Emily terkejut, takut suaranya tadi terdengar oleh Daniel. Tetapi dia merasa lega saat menyadari Daniel mengeluarkan earphone yang ada di dalam telinganya.Untunglah, dia tidak mendengar apa yang ku katakan tadi, batin Emily sambil menghela nafas lega."Kamu sangat mengganggu saya, Em," ucap Daniel dengan nada ketus. Apa dia mendengar apa yang kukatakan barusan? Bukankah dia sudah memasang earphone di telinganya. Apa dia masih bisa mendengar perkataanku? batin Emily. "Maksudnya apa, Pak?" tanya Emily bingung dengan maksud Daniel. "Dengkuranmu," jawab Daniel dengan sinis, matanya menatap tajam ke arah Emily.Jawaban singkat Daniel membuat Emily harus berpikir beberapa kali untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Apa saya mendengkur?!!" tanya Emily dengan nada meninggi, terkejut, menyadari bahwa dia telah mempermalukan dirinya sendiri di hadapan atasannya. Namun sedetik kemudian, dia segera menutup mulutnya ketika melihat
Mendengar suara Daniel seperti perintah yang sangat sulit untuk dibantah. Emily berusaha mengejar Daniel yang semakin menjauh. Akhirnya, dengan nafas tersengal-sengal, Emily berhasil sampai di tempat Daniel berdiri.Thawatchai, agen perjalanan mereka, menyambut mereka dengan senyuman hangat. "Kita bisa pergi sekarang?" tanyanya dengan penuh semangat, yang hanya dijawab oleh anggukan kecil dari Daniel. Agen perjalanan memberikan beberapa rekomendasi restoran terdekat yang terkenal dengan masakan Thailand yang lezat. Setelah melihat beberapa pilihan, Daniel dan Emily memutuskan untuk mencoba restoran lokal yang disarankan oleh agen perjalanan. Restoran itu terkenal dengan hidangan khas Thailand. Hanya mendengar menu-menu tersebut sudah membuat Emily merasa lapar dan tidak sabar untuk bisa segera mencicipi makanan-makanan lezat itu. Setelah beberapa saat, akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah restoran lokal yang direkomendasikan oleh agen p
"Awas!" teriak Daniel. Tetapi, sudah terlambat karena tubuh Emily tiba-tiba tersambar oleh sosok yang sedang berlari dengan cepat, membuatnya terhempas dengan kekuatan yang besar. Namun, dengan kecepatan refleks, Daniel segera meraih tubuh Emily, menahannya agar tidak jatuh dengan keras. Dalam pelukan Daniel, Emily merasakan kehangatan yang melindunginya. Detak jantung Daniel yang berpacu kencang sejalan dengan detak jantungnya sendiri yang berdebar. Mata mereka saling bertemu, tetapi sesaat kemudian mereka memalingkan wajah ke arah lain. Setelah momen singkat itu, mereka kembali berdiri, tetapi suasana menjadi sedikit canggung. "Terima kasih, Pak," ucap Emily dengan nafas terengah-engah."Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Emily dengan suara khawatir, melihat Daniel berusaha menahan tubuhnya agar tidak terjatuh dengan keras. "Jangan khawatirkan saya, sebaiknya kamu fokus melihat jalan," ujar Daniel. Emily mengangguk, merasa malu kar
"Pak Daniel!" suara samar itu semakin dekat diiringi dengan derap kaki yang semakin mendekat. Emily terkejut melihat Daniel terduduk di lantai. Ia segera mendekatinya dengan kekhawatiran yang mendalam."Pak Daniel, apakah Anda baik-baik saja?" suara Emily terdengar panik dan penuh kekhawatiran. "Pak, apa Bapak bisa mendengar saya? Apa Bapak baik-baik saja?" Emily kembali mengulang pertanyaannya karena tidak mendengar jawaban apapun dari Daniel. Saat Emily hendak meneriakkan tolong, tiba-tiba tangan Daniel menghentikannya. "Saya tidak apa-apa," jawabnya lemah. "Pak, Anda tidak apa-apa?" tanya Emily dengan kekhawatiran yang masih terpancar di wajahnya.Daniel mengangguk lemah sebagai jawaban."Syukurlah, saya takut sekali," ucap Emily dengan suara yang lega kemudian membantu Daniel untuk berdiri.Emily hendak membimbing Daniel berjalan tetapi Daniel menghentikannya. "Saya bisa sendiri."Mereka akhirnya menuju tempat duduk terdekat agar dapat beristirahat sejenak."Tunggu sebentar di