"Baiklah, sudah benar," ucap Daniel singkat dengan nada yang lebih lunak.
Emily merasa lega mendengar kata-kata tersebut. Meskipun dia masih merasakan sedikit kegugupan, dia merasa bangga karena berhasil mengatasi tantangan tersebut."Apa saja jadwal saya hari ini?" tanya Daniel."Pada pagi ini pukul 10.30, Anda memiliki panggilan konferensi dengan klien besar dari luar negeri. Selanjutnya, pada pukul 12.00 Bapak memiliki jadwal makan siang dengan mitra potensial di restoran XYZ. Setelah itu, pukul 14.00, Bapak memiliki pertemuan dengan tim penjualan untuk membahas strategi peningkatan promosi produk dan layanan di ruang konferensi A.." ucap Emily sambil terus menjelaskan semua detail jadwal Daniel."Baik, pastikan semua materi presentasi sudah siap dan tersedia. Juga, pastikan bahwa ruang pertemuan juga sudah disiapkan dengan baik untuk setiap acara yang dijadwalkan""Baik, Pak. Saya akan memastikan bahwa semua materi presentasi siap dan ruang pertemuan sudah disiapkan dengan baik sesuai kebutuhan.""Saya juga butuh semua informasi yang diperlukan sebelum panggilan konferensi dengan klien besar dari luar negeri," ujar Daniel dengan ketegasan."Baik, Pak. Saya akan segera menyiapkan semua informasi yang diperlukan untuk panggilan konferensi tersebut." jawab Emily sambil menundukkan kepalanya dengan hormat sebelum melangkah pergi untuk menyelesaikan tugas yang diperintahkan oleh atasannya.Namun, tiba-tiba Daniel memanggilnya kembali, membuat jantung Emily berdetak kencang. "Tunggu, Emily.""Saya ingin kamu menemani saya dalam perjalanan menemui mitra bisnis besok di Thailand," perintah Daniel dengan tegas."Apa, Pak?" tanya Emily, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Biasanya, Daniel selalu melakukan perjalanan bisnis dengan asisten pribadinya."Apa perkataan saya kurang jelas bagimu?" tanya Daniel sambil menghela nafas, terlihat agak malas untuk mengulanginya."Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud begitu. Maksud saya.. Itu.." ucap Emily terbata-bata saat mencoba menjelaskan."Kamu harus menemani saya besok dalam perjalanan untuk menemui mitra bisnis di Thailand. Apa ini sudah jelas?" ucap Daniel perlahan-lahan, berusaha agar tidak perlu mengulang perkataannya kembali."B-baik, Pak," jawab Emily tetapi raut ragu sangat terlihat jelas dari wajahnya."Kenapa? Apa kamu takut melakukan perjalanan bisnis dengan saya? Apa saya terlihat seperti seseorang yang akan melakukan sesuatu kepadamu?" tanya Daniel."Tentu saja tidak, Pak. Saya hanya bingung karena biasa Pak Richard yang menemani Bapak," ucap Emily sedikit gugup."Richard tidak bisa menemani saya dalam perjalanan kali ini karena dia harus cuti besok," jelas Daniel."Baik, Pak. Saya akan menemani Bapak," ucap Emily sambil masih tetap berdiri di hadapan Daniel karena takut atasannya akan mengatakan sesuatu lagi. Tetapi setelah cukup lama menunggu, nyatanya Daniel malah tidak mengatakan apapun lagi kepadanya."Kenapa kamu masih di sini?" tanya Daniel, melihat Emily yang masih berdiri di hadapannya."Eh? Ma-maaf Pak," ucap Emily, hendak keluar dari ruangan Daniel, namun karena kurang hati-hati, dia tersandung dan terjatuh. Suara Emily yang terjatuh membuat Daniel langsung menoleh ke arahnya."Apa yang terjadi padamu?" tanya Daniel dengan wajah kesal."Ti-tidak apa-apa, Pak. Maafkan saya," ucap Emily sambil berdiri dan bergegas keluar dari ruangan Daniel.Daniel menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sekretarisnya dan menghembuskan nafasnya kasar. Setelah itu, ia kembali fokus pada dokumen-dokumen di atas mejanya."Auhhh, lutut ku sakit," desis Emily sambil meringis kesakitan dan mengelus lututnya yang terantuk tadi."Apa aku harus benar-benar pergi dengannya dalam perjalanan bisnis kali ini? Dia begitu dingin dan menakutkan," gumam Emily."Belum lagi dengan sikapnya yang begitu arogan, kenapa aku harus berakhir menjadi sekretarisnya?" gumam Emily pelan, merutuki nasib sialnya.Emily mengeluarkan ponselnya, kemudian mengetikkan pesan untuk dikirim kepada Ethan.Setelah kamu selesai dengan acara reunimu, temui aku. Tidak ada alasan.Jam berlalu dengan cepat, dan akhirnya tiba saatnya bagi Emily untuk pulang ke rumah setelah menyelesaikan semua tugas harian sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Dia menutup komputernya dan bergerak menuju lift. Di sepanjang koridor, Emily melihat bahwa Daniel Winston belum kembali ke ruangannya, mungkin karena jadwal yang padat. Emily kembali melihat ponselnya dan ada notifikasi pesan yang masuk.Nanti aku akan menemuimu tetapi agak malam, setelah acara reuniku berakhir.Setelah masuk ke dalam mobilnya, Emily segera memulai mesin dan melaju ke jalanan. Tepat pada saat Emily pergi, Daniel tiba di perusahaan dengan asisten pribadinya. Dia bergegas menuju lift dan menekan nomor lantai di mana kantornya berada."Pak, tadi ada pesan bahwa Ketua mengundang Anda untuk makan malam di kediamannya malam ini," ucap asisten pribadi Daniel sambil menyampaikan pesan tersebut."Baiklah, aku akan ke sana nanti," ucap Daniel sambil menghela nafasnya."Baik, Pak," jawab asisten pribadinya.Daniel berjalan menuju ruang kantornya setelah lift berhenti tepat di lantai yang ingin dituju.***Setelah Emily sampai di rumah, dia melihat ayahnya sudah pulang dari kantor."Bagaimana harimu, Em?" tanya ayahnya."Buruk, Dad," jawab Emily."Siapa yang telah memperlakukan putriku dengan buruk hari ini? Aku akan melawannya untukmu," ucap Fred."Apakah kamu akan melawan bosku juga untukku?" tanya Emily sambil tersenyum."Tentu saja aku akan melakukannya dengan senang hati untukmu," ucap Fred, membuat Emily tertawa."Dad, apakah Dad tidak ingin menikah lagi?" tanya Emily, berharap ayahnya bisa mencari pengganti ibunya."Apakah kamu ingin mengusirku dari rumah ini?" tanya Fred kepada putrinya dengan nada bercanda."Benar. Aku hendak mengusir Dad dari rumah ini," ucap Emily sambil tertawa."Aku tidak akan menikah sebelum mengantarmu di altar menuju calon suamimu di pernikahan nanti. Aku harus melihat putriku bahagia terlebih dahulu," ucap Fred dengan tulus.Mendengar ucapan Fred, membuat Emily terdiam. Dia merasa terharu dengan kebaikan hati ayahnya yang begitu mencintainya. Sejenak, dia merenung tentang hubungannya dengan Ethan dan merasa bahwa segala rasa cinta yang diberikan Ethan padanya sudah terasa sangat berbeda."Em, ada apa denganmu? Kenapa kamu terlihat sedih seperti itu? Bukankah seharusnya kamu bahagia karena hari ini adalah hari ulang tahunmu?" tanya Fred dengan kekhawatiran."Entahlah, Dad," jawab Emily dengan suara lemah."Apakah kamu tidak memiliki acara apa pun dengan Ethan hari ini?" tanya Fred dengan rasa ingin tahu."Mungkin agak malam," jawab Emily.Akhirnya, sesuai dengan janji Ethan, dia pun datang menemui Emily agak malam setelah acara reuni dengan teman-temannya berakhir."Halo, Ethan. Apa kabar?" tanya Fred."Baik, Uncle. Saya mau menjemput Emily" ucap Ethan meminta izin kepada Fred.Setelah meminta izin, mereka pun langsung pergi dari rumah."Aku pergi dulu ya, Dad." ucap Emily."Hati-hati di jalan ya?""Kalau begitu, kami permisi dulu ya, Uncle," ucap Ethan yang hanya dijawab senyuman oleh Fred.Ketika masuk ke dalam mobil Ethan, Emily tampak lebih banyak terdiam. Dia masih sangat kesal dengan Ethan.Setelah beberapa saat akhirnya mereka tiba di sebuah restoran. Emily dan Ethan duduk di restoran, suasana tegang terasa di antara mereka."Apa kamu masih marah padaku?" tanya Ethan dengan hati-hati memulai percakapan."Tentu saja," jawab Emily dengan nada ketus. Rasa sakit dan kekecewaan terlihat jelas di matanya.Ethan menghela nafas, mencoba mencari cara untuk menjelaskan dirinya. "Em.." ucapnya pelan, membuat Emily menoleh padanya."Aku kecewa padamu karena kamu seperti tidak menganggapku sebagai kekasihmu. Selama dua minggu ini, aku menunggu kabar darimu. Aku khawatir sekali karena kamu menghilang begitu saja. Bahkan di hari ulang tahunku hari ini, kamu juga melupakannya," ucap Emily dengan ekspresi kesal.Ethan terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. "Apa kita harus bertengkar hanya karena hal kecil seperti ini?" tanyanya."Hal kecil? Kamu menghilang tanpa kabar selama dua minggu dan itu merupakan hal kecil untukmu? Sementara aku sudah sangat khawatir padamu," Emily menatap Ethan dengan ekspresi tidak percaya."Tolong jujur padaku, apakah kamu pernah mencintaiku? Mengapa aku merasa seperti aku adalah satu-satunya yang berharap kehadiranmu, sedangkan kamu tidak," ucap Emily dengan suara yang tercekat. Air matanya mulai mengalir di pipinya. Dia merasa marah dan kesal dengan sikap acuh Ethan terhadapnya selama ini.Ethan terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia melihat ke meja mereka, di mana seorang pelayan baru saja menghidangkan minuman mereka. Suasana menjadi hening, tidak ada sepatah kata pun yang terucap."Kenapa kamu diam? Apakah kamu pernah mencintaiku?" tanya Emily mengulang pertanyaannya."Aku tahu aku yang mencintaimu untuk pertama kalinya. Aku yang memberanikan diri menyatakan perasaan padamu. Tapi selama ini, aku pikir perasaanku dibalas olehmu karena kamu terlihat seperti mulai mencintaiku. Tapi, apakah aku salah dalam penafsiran itu? Apakah kamu tidak pernah mencintaiku?" tanya Emily."Sudahlah, kamu terlalu banyak memikirkan yang tidak-tidak," ucap Ethan terlihat masa bodoh dan mulai menyeruput minuman di hadapannya.Emily menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya mengungkapkan perasaannya dengan tegas, "Aku terlalu lelah dengan hubungan ini. Bisakah kamu memberikan aku kejelasan tentang hubungan kita? Aku tidak ingin menikah dengan seseorang yang hatinya tidak pernah berdebar untukku," ucapnya dengan suara yang bergetar."Kejelasan apa lagi yang kamu inginkan, Em? Kamu tahu aku bukan orang yang pandai merangkai kata indah. Hanya dengan kebersamaan kita selama beberapa tahun, seharusnya sudah cukup menjelaskan keseriusanku padamu," ucap Ethan dengan nada yang tegas.Emily merasakan kekecewaan yang semakin dalam di hatinya. Dia ingin mendengar kata-kata cinta dari Ethan, bukan hanya penjelasan yang datar. "Aku menginginkan jawaban atas pertanyaanku tadi, Et! Apakah kamu mencintaiku?" tanya Emily bersikeras ingin mendengar jawaban yang tulus dari Ethan."Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan, aku mencintaimu. Apakah sudah puas?" ujar Ethan.Kata-kata cinta yang tidak tulus dari Ethan membuat Emily semakin marah dan hancur. "Kamu memang bajingan! Bahkan hanya dengan mengatakan kata cinta pun sangat sulit bagimu. Sepertinya kita sudah tidak bisa mempertahankan hubungan kita lagi," ucap Emily dengan suara yang penuh kesedihan dan keputusasaan. Dia merasa bahwa hubungan mereka sudah tidak memiliki harapan lagi."Apa maksudmu?" tanya Ethan bingung, mencoba memahami keputusan Emily."Kita putus saja," ucap Emily dengan mata yang penuh dengan air mata, menatap tajam ke arah Ethan."Putus? Apakah kamu yakin dengan keputusanmu itu?" tanya Ethan kembali, mencoba mempertanyakan keseriusan Emily dalam mengambil keputusan ini."Iya, aku tidak bisa bersama dengan seseorang yang tidak menghargai dan mencintaiku," ucap Emily dengan suara yang penuh keputusan. Dia berdiri, hendak meninggalkan Ethan dan restoran itu."Em, kamu mau ke mana?" teriak Eth
Ketika Emily melangkah keluar dari restoran, Ethan merasakan hembusan nafasnya yang berat. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengatasi kekecewaan yang melanda. Dengan langkah tergesa-gesa, dia keluar dari restoran, berharap bisa mengejar Emily sebelum terlambat.Namun, begitu dia berada di luar, Emily sudah tidak ada di sana. Tanpa ragu, Ethan melangkah di sepanjang jalanan, matanya terus mencari sosok yang begitu akrab baginya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya melihat seseorang yang tampak seperti Emily dari kejauhan.Namun, dia terkejut ketika dia melihat seorang pria memeluk Emily dengan erat. Dari jarak pandangnya, mereka terlihat begitu dekat, dan Ethan merasa mereka seperti sedang berpelukan. Rasa marah membara di hatinya setelah mendapatkan pengkhianatan yang dilakukan oleh kekasihnya."Jadi karena pria ini, kamu memutuskan untuk putus dariku?" desis Ethan dengan penuh kekecewaan.Kesadaran Emily seketika itu juga mulai kembali. Hatinya berdegup kencang, dan dia me
"Dad!" ujar Emily dengan sedikit berbisik, kemudian tersenyum malu ketika melihat Daniel yang sedang memperhatikannya."Tidak, ada tim lain yang ikut. Tetapi mereka sudah pergi terlebih dahulu," jelas Daniel."Oh begitu, jadi bukan hanya berdua saja kan?" tanya Fred kembali memastikan. Emily memberikan isyarat kepada ayahnya untuk tidak bertanya lebih lanjut."Anda tidak perlu khawatir. Saya menghargai Emily sebagai sekretaris saya dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas," tegas Daniel. Fred melihat Daniel dari atas ke bawah, mencoba menilai karakternya. Daniel merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan Fred padanya."Baiklah, bisakah kami pergi sekarang? Kami akan terlambat jika menunda terlalu lama," ucap Daniel. "Oh, iya. Silahkan," ucap Fred pada akhirnya sambil tersenyum.Emily mendorong kopernya yang berat dan hendak meletakkannya di bagasi mobil. Sopir pribadi Daniel datang untuk membantunya
Emily terkejut, takut suaranya tadi terdengar oleh Daniel. Tetapi dia merasa lega saat menyadari Daniel mengeluarkan earphone yang ada di dalam telinganya.Untunglah, dia tidak mendengar apa yang ku katakan tadi, batin Emily sambil menghela nafas lega."Kamu sangat mengganggu saya, Em," ucap Daniel dengan nada ketus. Apa dia mendengar apa yang kukatakan barusan? Bukankah dia sudah memasang earphone di telinganya. Apa dia masih bisa mendengar perkataanku? batin Emily. "Maksudnya apa, Pak?" tanya Emily bingung dengan maksud Daniel. "Dengkuranmu," jawab Daniel dengan sinis, matanya menatap tajam ke arah Emily.Jawaban singkat Daniel membuat Emily harus berpikir beberapa kali untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Apa saya mendengkur?!!" tanya Emily dengan nada meninggi, terkejut, menyadari bahwa dia telah mempermalukan dirinya sendiri di hadapan atasannya. Namun sedetik kemudian, dia segera menutup mulutnya ketika melihat
Mendengar suara Daniel seperti perintah yang sangat sulit untuk dibantah. Emily berusaha mengejar Daniel yang semakin menjauh. Akhirnya, dengan nafas tersengal-sengal, Emily berhasil sampai di tempat Daniel berdiri.Thawatchai, agen perjalanan mereka, menyambut mereka dengan senyuman hangat. "Kita bisa pergi sekarang?" tanyanya dengan penuh semangat, yang hanya dijawab oleh anggukan kecil dari Daniel. Agen perjalanan memberikan beberapa rekomendasi restoran terdekat yang terkenal dengan masakan Thailand yang lezat. Setelah melihat beberapa pilihan, Daniel dan Emily memutuskan untuk mencoba restoran lokal yang disarankan oleh agen perjalanan. Restoran itu terkenal dengan hidangan khas Thailand. Hanya mendengar menu-menu tersebut sudah membuat Emily merasa lapar dan tidak sabar untuk bisa segera mencicipi makanan-makanan lezat itu. Setelah beberapa saat, akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah restoran lokal yang direkomendasikan oleh agen p
"Awas!" teriak Daniel. Tetapi, sudah terlambat karena tubuh Emily tiba-tiba tersambar oleh sosok yang sedang berlari dengan cepat, membuatnya terhempas dengan kekuatan yang besar. Namun, dengan kecepatan refleks, Daniel segera meraih tubuh Emily, menahannya agar tidak jatuh dengan keras. Dalam pelukan Daniel, Emily merasakan kehangatan yang melindunginya. Detak jantung Daniel yang berpacu kencang sejalan dengan detak jantungnya sendiri yang berdebar. Mata mereka saling bertemu, tetapi sesaat kemudian mereka memalingkan wajah ke arah lain. Setelah momen singkat itu, mereka kembali berdiri, tetapi suasana menjadi sedikit canggung. "Terima kasih, Pak," ucap Emily dengan nafas terengah-engah."Apakah Bapak baik-baik saja?" tanya Emily dengan suara khawatir, melihat Daniel berusaha menahan tubuhnya agar tidak terjatuh dengan keras. "Jangan khawatirkan saya, sebaiknya kamu fokus melihat jalan," ujar Daniel. Emily mengangguk, merasa malu kar
"Pak Daniel!" suara samar itu semakin dekat diiringi dengan derap kaki yang semakin mendekat. Emily terkejut melihat Daniel terduduk di lantai. Ia segera mendekatinya dengan kekhawatiran yang mendalam."Pak Daniel, apakah Anda baik-baik saja?" suara Emily terdengar panik dan penuh kekhawatiran. "Pak, apa Bapak bisa mendengar saya? Apa Bapak baik-baik saja?" Emily kembali mengulang pertanyaannya karena tidak mendengar jawaban apapun dari Daniel. Saat Emily hendak meneriakkan tolong, tiba-tiba tangan Daniel menghentikannya. "Saya tidak apa-apa," jawabnya lemah. "Pak, Anda tidak apa-apa?" tanya Emily dengan kekhawatiran yang masih terpancar di wajahnya.Daniel mengangguk lemah sebagai jawaban."Syukurlah, saya takut sekali," ucap Emily dengan suara yang lega kemudian membantu Daniel untuk berdiri.Emily hendak membimbing Daniel berjalan tetapi Daniel menghentikannya. "Saya bisa sendiri."Mereka akhirnya menuju tempat duduk terdekat agar dapat beristirahat sejenak."Tunggu sebentar di
Emily merasa kebingungan saat mendapatkan tawaran dari nenek itu untuk singgah karena pada akhirnya keputusan akhir tetap berada di tangan atasannya, Daniel. "Tunggu sebentar ya, Nek," ucap Emily lalu berlalu mengetuk kaca jendela mobil."Ada apa?" tanya Daniel sambil menurunkan kaca jendelanya."Nenek itu meminta kita untuk singgah sebentar di rumahnya, Pak," jawab Emily dengan gugup.Jemari Daniel mulai memijat pertengahan alisnya yang berkerut. "Tolak saja. Kita harus segera kembali sekarang." ucapnya tegas. "T-tapi, Pak.." sela Emily, suaranya terputus-putus karena keraguan yang melanda dirinya. "Apa lagi?" tanya Daniel dengan raut wajah kesal.Emily merasa takut untuk masuk ke dalam rumah itu, tetapi dia juga merasa tidak enak untuk menolak permintaan nenek itu. Dengan ragu, dia berkata, "Apa tidak sebaiknya kita masuk sebentar untuk menghargai niat baik Nenek itu, Pak? Saya tidak tega menolaknya."Danie
"Apa?" Daniel terkesiap, matanya membulat karena terkejut mendengar ucapan Emily tetapi sesaat kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. Dia mendekat, berjongkok di hadapan Emily yang duduk di kursi roda, hingga pandangan mereka bertemu.Daniel menjentikkan jari telunjuknya, menyentuh kening Emily. "Ah, sakit! Apa yang kamu lakukan?" Emily mengerutkan kening, sedikit kesal."Menghukum seseorang yang selalu berpikiran tidak-tidak," jawab Daniel. "Dari mana kamu mendengar bahwa aku telah menikah dengan Alice?" tanya Daniel, tatapan mata birunya yang dalam dan teduh membuat jantung Emily berdebar kencang. Daniel memang sangat tampan, pesonanya tak pernah pudar.Emily terdiam, terpana sesaat. "Ehmm," gumamnya, berusaha membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku mendengarnya ketika Alice mengunjungiku saat itu. Maria memberikan selamat pada Alice atas pernikahannya."Mendengar ucapan Emily, Daniel tertawa begitu lebar, suaranya bergema di ruangan itu. "Kamu berpikir bahwa aku yan
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai saat Emily perlahan membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Perlahan, dia bisa melihat dinding berwarna putih bersih.'Di mana aku? Apa yang terjadi?' batin Emily. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya. Dia merasa kosong, seperti kehilangan sesuatu yang penting. Air mata membasahi pipinya, kesedihan terasa menyesakkannya, tetapi dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak lagi mengingat dirinya yang tersesat di hutan dan bertemu dengan ayah kandungnya, Thomas. Mesin-mesin di samping tempat tidurnya berdengung pelan, bunyi bipnya yang berirama menjadi pengingat konstan akan keadaannya yang rapuh. Grafik di monitor melacak naik turun detak jantungnya. Sebuah infus terpasang di lengannya, cairan bening mengalir perlahan, membantu tubuhnya yang lemah. Alat bantu pernapasan menyertai setiap hela napasnya yang terasa berat. "Selamat atas pernikahanmu, Nyonya Alice,
Entah sudah berapa lama Emily berjalan mengitari hutan itu, tak tentu arah. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Air mata terus membasahi pipi Emily. Dia ingin kembali, ingin mengakhiri semua penderitaan yang terasa menyesakkan di hatinya. Dia kelelahan, tetapi dia terus memaksa dirinya untuk berjalan maju tanpa tujuan. "Emily," suara kasar seorang pria memecah kesunyian. Akhirnya ada yang mengenalnya di hutan itu dan memanggilnya. Emily menoleh, jantungnya berdebar kencang, dan melihat sesosok pria muncul dari balik pepohonan. Mata pria itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Wajahnya, kasar tetapi menyimpan kelembutan yang familiar. Saat mata mereka bertemu, Emily terbelalak tak percaya karena apa yang dilihat di depan matanya tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, Thomas. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Rasa terkejut dan kebingungan berputar-putar di kepala Emily. Dia tak mampu memahami a
Hawa dingin rumah sakit mencengkeram Daniel, menusuknya hingga ke tulang. Sudah berjam-jam Emily terbaring di ruang gawat darurat, menyiksa Daniel dengan ketakutan dan ketidakpastian. Pandangannya tertuju pada pintu ruang gawat darurat, berharap sebuah keajaiban akan muncul dari baliknya. "Aku mohon bertahanlah, Emily," bisik Daniel, suaranya serak menahan kepedihan. "Takdir itu tidak boleh terjadi," gumam Daniel, tangannya mengepal erat. "Kamu tidak boleh meninggalkanku."Bayangan masa depan yang suram menelan Daniel, mencekiknya dengan rasa takut. Tujuh tahun hidup tanpa Emily sudah menjadi siksaan baginya, bagaimana jika dia harus kehilangannya selamanya? Daniel tidak bisa membayangkan itu, sebuah mimpi buruk yang tak ingin dia jalani. Dia terjebak dalam kesedihan dan penyesalan, terhantui oleh kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. "Bagaimana keadaan Emily?" Suara itu, panik dan cemas, mengagetkannya. Daniel mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong.
Anthony dengan keringat dingin yang menetes di pelipisnya, berlari menuju pintu belakang. Dia berhasil mencapai mobil yang sudah disiapkan, jantungnya berdebar kencang. Dia langsung melompat masuk dan menghidupkan mesin mobil. Mobil itu melesat meninggalkan gudang yang kini dipenuhi asap dan teriakan. Mobil polisi dengan lampu merah-biru berkedip-kedip seperti mata predator, mengejarnya dari belakang. Sirene meraung-raung, mengiris keheningan."Sial!" desis Anthony, tangannya menggenggam setir erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia menginjak pedal gas, mobilnya meraung, melaju kencang di jalan yang lumayan ramai. Anthony melirik spion, melihat mobil polisi yang mengejarnya semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, namun dia harus mengendalikan dirinya agar tidak panik. Dia harus lolos. Matahari sore menyinari jalanan, membuat bayangan panjang di aspal. Anthony meliuk-liuk di jalanan, menghindari mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan normal.Setelah beberap
"Bos!" teriak salah satu anak buah Anthony, wajahnya pucat pasi setelah menerima telepon dan mendengar suara di seberang yang terdengar panik, memberitahukan tentang penangkapan operasi mereka. "Barang-barang kita... polisi sudah mengamankan semuanya!""Sialan!" Anthony menggeram.Tatapan Anthony lurus menusuk ke arah Daniel yang berdiri tenang di hadapannya, senyum kemenangan jelas terukir di bibirnya. "Apakah ini juga kerjaanmu?" desis Anthony, suaranya bergetar menahan amarah yang siap meledak. Daniel mengangkat bahu, senyumnya tipis, sebuah ejekan dingin yang terukir di bibirnya. Tindakannya, penuh penghinaan, seolah membenarkan bahwa dia adalah dalang di balik kehancuran rencana Anthony. "Kamu sebaiknya pensiun dari bisnis gelapmu. Beristirahatlah dan terima hukumanmu sekarang."Anthony mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menonjol. Kebencian membara di matanya, menggerogoti sisa-sisa kesabarannya.Sementara itu, di luar gudang, petugas polisi, bersenjata senapan dan p
Sean mengangkat kayu itu, matanya berkilat dengan amarah. Dia menyerbu ke arah Daniel, kayu itu mengarah ke tubuhnya. Bunyi gedebuk menggelegar menggema di ruangan itu saat kayu itu menghantam Daniel, tubuhnya terbanting ke lantai. Pandangan Daniel berputar, dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menusuk tulang rusuknya, membuat setiap ototnya bergetar. "Sean, hentikan!" teriak Emily, suaranya terputus-putus. "Aku mohon, jangan lakukan ini!""Diam!" raungan pria berpakaian hitam itu menggema di ruangan. Pisaunya yang mengkilap dan dingin semakin menempel lekat di leher Emily, membuat Emily terdiam. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi kulitnya, dan napasnya terengah-engah. Anthony menyeringai, matanya berkilat jahat. "Pukul lagi!" teriaknya, suaranya dingin dan penuh ancaman. Mendengar perintah Anthony, Sean kembali mengayunkan kayu itu ke arah Daniel, memukulnya berkali-kali. Sementara air mata Emily mengalir deras di pipinya, tub
Emily diseret hingga dipaksa berlutut, kakinya lemas di bawah tekanan. Tangannya terikat, tergantung tak berdaya. Rahang Daniel mengeras, amarah membara dalam dadanya. Salah satu pria berpakaian hitam, mengeluarkan pisau yang berkilauan. Pisau itu menempel mengancam di leher Emily yang halus."Hentikan! Jangan sakiti dia!" raung Daniel, suaranya serak karena keputusasaan. "Aku akan membunuhmu," Sean menggeram, tubuhnya memberontak dalam cengkeraman para pria berpakaian hitam. Daniel menatap Anthony dengan tatapan dingin. "Lepaskan dia," katanya, suaranya penuh otoritas, "Atau kau akan menyesalinya."Air mata mengalir di pipi Emily, meskipun dia berusaha menahannya. Dia tampak begitu ketakutan tetapi berusaha tampak tegar. "Menarik sekali," Anthony mencibir, senyumnya merekah seperti pisau tajam. "Dua pria mencintai wanita yang sama." "Melihat ini," Anthony berkata, senyumnya mengejek, "mengingatkanku pada masa lalu. Bukan begitu, Sophia?" Sophia mengerutkan kening. "Apa maksudmu?
"Richard, bajingan itu kembali. Dia masih hidup. Jika terjadi sesuatu padaku, tolong lakukan seperti yang kita bicarakan. Tolong lindungi Grace dan Emily." Kata-kata Daniel masih bergema di kepala Richard. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut merayap di dalam dirinya. Hilangnya Emily terasa aneh, seperti ada kaitannya dengan mantan sopir Daniel. Richard menginjak pedal gas, mobilnya melaju cepat di jalanan. Dia harus segera sampai ke rumah sakit. Dia harus tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Emily menghilang begitu mendadak. Beberapa saat kemudian, rumah sakit tampak di depan matanya. Richard memarkirkan mobilnya dengan perasaan tidak karuan.Richard melangkah cepat ke ruang rawat inap Emily, jantungnya berdebar kencang. Di sana, dia melihat Maria, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran. Beberapa perawat berdiri di dekatnya, berbisik dengan serius, tidak ada yang menyadari kehadiran Richard. "Apa yang terjadi?" tanya Richard. "Pak Richard, Nyonya Emily... dia menghilang," u