Emily merasa kebingungan saat mendapatkan tawaran dari nenek itu untuk singgah karena pada akhirnya keputusan akhir tetap berada di tangan atasannya, Daniel.
"Tunggu sebentar ya, Nek," ucap Emily lalu berlalu mengetuk kaca jendela mobil."Ada apa?" tanya Daniel sambil menurunkan kaca jendelanya."Nenek itu meminta kita untuk singgah sebentar di rumahnya, Pak," jawab Emily dengan gugup.Jemari Daniel mulai memijat pertengahan alisnya yang berkerut. "Tolak saja. Kita harus segera kembali sekarang." ucapnya tegas."T-tapi, Pak.." sela Emily, suaranya terputus-putus karena keraguan yang melanda dirinya."Apa lagi?" tanya Daniel dengan raut wajah kesal.Emily merasa takut untuk masuk ke dalam rumah itu, tetapi dia juga merasa tidak enak untuk menolak permintaan nenek itu. Dengan ragu, dia berkata, "Apa tidak sebaiknya kita masuk sebentar untuk menghargai niat baik Nenek itu, Pak? Saya tidak tega menolaknya."DanieEmily terbangun dengan kepala yang terasa berat dan sakit. Setelah dia perlahan membuka matanya, pandangannya langsung tertuju pada langit-langit sebuah kamar yang sepenuhnya asing baginya. Rasa bingung menyelimuti pikirannya saat dia berusaha keras mengingat apa yang terjadi. Namun, pandangannya masih buram, dan kesadarannya masih belum sepenuhnya kembali. Suasana di sekitar Emily terasa begitu asing. Dia merasa berada di tempat yang jauh dari kenangan terakhirnya. Keadaan ini membuat hatinya berdebar-debar dan kecemasan mulai merayap dalam dirinya.Di mana aku? batin Emily dalam hati, mencoba mencari jawaban atas keadaan yang membingungkannya. Saat Emily mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, langkahnya terasa ragu-ragu di lantai kayu yang berderit. Ruangan itu penuh dengan aroma kuno, tercampur oleh bau lembab dan kehangatan kayu tua yang terpapar sinar matahari melalui jendela retak. Udara dingin menyapu wajahnya, membuatnya semakin sadar akan keadaa
Kepala Daniel berdenyut seiring dengan setiap detak jantungnya yang tidak beraturan. Saat matanya terbuka, cahaya redup ruangan tua itu menyilaukan, dan dia meraih kepalanya yang terasa berat. Meringis, dia mencoba mengenali sekitarnya, tetapi ingatannya terlalu samar, terkubur dalam kabut yang mengepung pikirannya. Dengan tubuh yang masih lemah, Daniel duduk perlahan di atas tempat tidur di ruangan itu. Rumah tua itu seakan menyambutnya dengan aroma kuno yang memenuhi udara. Dia menatap sekeliling dengan tatapan bingung, mencoba memahami bagaimana dia bisa berada di tempat yang begitu asing ini. Ruangannya gelap, hanya diterangi oleh cahaya temaram yang masuk melalui jendela retak. Dinding-dinding usang menyimpan cerita yang belum terungkap. Daniel menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, mencoba meredakan rasa sakit yang menusuk di pelipisnya."Di mana aku?" gumam Daniel, tetapi dia segera menyadari keanehan yang terjadi pada tubuhnya. Jari
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pak? tanya Emily dengan suara bergetar, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Apakah kita akan terjebak lagi di sini sampai malam?" "Tenanglah, Em," seru Daniel kesal.Daniel merenung sejenak, mencoba mencari solusi dalam keadaan yang sulit ini. Pandangannya mengarah ke arah kursi yang ada di ruang tamu. Dalam keputusasaan, Daniel menyadari bahwa kursi tersebut mungkin bisa menjadi alat yang berguna untuk membuka pintu. Dengan cepat, Daniel mengambil kursi tersebut dan membawanya ke depan pintu. "Apa yang akan Bapak lakukan?" tanya Emily dengan rasa penasaran. Tetapi Daniel memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Emily, agar dia bisa tetap fokus pada tugas yang ada di hadapannya. Dengan hati-hati, Daniel mencoba mengangkat kursi itu dengan susah payah dan mendekatkannya ke pintu. Ia memposisikan kursi sedemikian rupa agar memudahkan usahanya mendobrak pintu.Daniel berusaha mendoron
Saat Daniel berbalik hendak pergi dari tepi sungai, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara air yang memercik keras seperti ada yang terjatuh di dalamnya. Dalam sekejap, dia menyadari bahwa Emily telah terjatuh ke dalam aliran sungai yang mengalir. "Emily!!" seru Daniel dengan teriakan panik, melihat kejadian itu."To-long.." Emily berjuang untuk tetap mengapung di atas sungai itu, berusaha berteriak dengan keputusasaan. Air yang mengalir membuatnya kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan. Tanpa ragu, Daniel yang kini berada dalam tubuh Emily langsung melompat ke dalam sungai. Meskipun dia merasakan kesulitan untuk beradaptasi dengan tubuh Emily, dia tetap berenang dengan cepat menuju Emily yang berjuang untuk tetap mengapung. Daniel berusaha mencapai Emily dan meraih tangannya.Dalam momen yang tegang dan penuh ketidakpastian, Daniel berhasil mencapai Emily. Dia memeluknya erat, mencoba menjaga keduanya tetap di permukaan air. Dengan perjuangan
Mendengar suara asing di pagi hari, mata Daniel perlahan terbuka sementara Emily tampak menggeliat sebelum membuka matanya. Keduanya terkejut ketika melihat seorang pria paruh baya yang mereka yakini adalah salah satu penduduk lokal, sedang memperhatikan mereka yang sedang tertidur.Emily dan Daniel terbangun dari tidur mereka, masih penuh dengan kantuk. Mereka saling menatap, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar. Tetapi rasa heran dan kebingungan meliputi pikiran mereka saat mereka memandang satu sama lain. Emily melihat wajahnya sendiri terpantul di mata Daniel, begitu juga Daniel melihat wajahnya sendiri di cermin mata Emily. Mereka terkejut saat menyadari bahwa jiwa mereka telah tertukar kembali. Mata mereka membulat sempurna karena kejutan yang tak terduga, tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi lagi dan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.Pria paruh baya itu melihat kebingungan yang terpancar dari wajah mereka, ia mendekati me
Daniel mengulum bibir Emily dengan begitu lembut, menciptakan keintiman yang mendalam di antara mereka. Setelah beberapa saat, Daniel perlahan melepaskan ciuman mereka. Jantung keduanya berdetak kencang, dan nafas mereka terengah-engah. Dalam keadaan yang penuh kejutan bagi Emily, Daniel perlahan menjauhkan wajahnya dari Emily, menciptakan jarak di antara mereka. Tatapan mereka saling bertemu, dan alis Daniel berkerut, menunjukkan kegelisahan dalam hatinya. Dia menantikan apakah tindakannya kali ini berhasil mengembalikan jiwa mereka. "Sial! Ini tidak berhasil!" ujar Daniel setelah menunggu cukup lama dan melihat tidak ada perubahan apapun pada mereka. Emily mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengembalikan ritme detakan jantungnya agar kembali normal. Tanpa di sadari oleh Emily, Daniel meraih handuk dan dengan lembut menyelimutinya di tubuh Emily. "Kamu sudah basah, sebaiknya kamu mandi di sini," ucap Daniel sambil melihat tubuh Emily yang sudah basa
Emily menggigit bibir bawahnya, ragu untuk mengungkapkan hal ini karena takut Daniel akan marah padanya atau bahkan memecatnya. Rasa takut itu semakin membesar saat Daniel menatapnya dengan tatapan tajam yang seperti ingin memangsa dirinya. "Sebaiknya kamu katakan dengan cepat. Jangan membuat saya semakin penasaran," ujar Daniel dengan nada tegas.Meskipun ragu, Emily menghela nafas dan berusaha mengatasi ketakutannya. "Tapi, Bapak janji tidak akan marah atau memecat saya, kan? Ini hanya perkiraan saya saja," ucapnya dengan ragu."Tergantung apa yang ingin kamu bicarakan," jawab Daniel dengan nada penasaran.Emily merasa semakin terjepit dan akhirnya mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan. "Kalau begitu, sebaiknya lupakan saja," ucap Emily sambil berbalik dan menghadap pintu kamar mandi."Cepat katakan, jangan menarik ulur pembicaraan ini," tegur Daniel dengan tegas. "A-apakah Bapak tidak tertarik pada wanita?" tanya Emily
"Apakah itu Emily? Bisakah kamu memberikan telepon ini padanya?" Fred memohon dengan nada yang penuh harap."Saya akan segera menghubungi Anda lagi," jawab Emily kemudian memutuskan panggilan telepon itu. "Kenapa wajahmu begitu panik? Apa yang terjadi?" tanya Daniel. "Pak, tolong saya," bisik Emily dengan nada memohon. Dia kemudian memberikan ponselnya kepada Daniel, matanya memohon agar Daniel bisa membantunya. "Apakah Bapak bisa memberi tahu Dad dan mengatakan bahwa saya baik-baik saja? Sepertinya Dad khawatir dengan keadaanku tetapi saya tidak mungkin menjawabnya dalam keadaan seperti ini," ucap Emily dengan penuh harap."Saya mohon, Pak."Daniel menarik nafas panjang, merasakan berat permintaan Emily. Namun, akhirnya dia menyetujui permintaan Emily. Dia segera menekan tombol hijau pada ponsel Emily."Halo," terdengar suara Fred dari ujung telepon. "Ya, halo," sahut Daniel."Tunggu sebentar. Aku
"Apa?" Daniel terkesiap, matanya membulat karena terkejut mendengar ucapan Emily tetapi sesaat kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. Dia mendekat, berjongkok di hadapan Emily yang duduk di kursi roda, hingga pandangan mereka bertemu.Daniel menjentikkan jari telunjuknya, menyentuh kening Emily. "Ah, sakit! Apa yang kamu lakukan?" Emily mengerutkan kening, sedikit kesal."Menghukum seseorang yang selalu berpikiran tidak-tidak," jawab Daniel. "Dari mana kamu mendengar bahwa aku telah menikah dengan Alice?" tanya Daniel, tatapan mata birunya yang dalam dan teduh membuat jantung Emily berdebar kencang. Daniel memang sangat tampan, pesonanya tak pernah pudar.Emily terdiam, terpana sesaat. "Ehmm," gumamnya, berusaha membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku mendengarnya ketika Alice mengunjungiku saat itu. Maria memberikan selamat pada Alice atas pernikahannya."Mendengar ucapan Emily, Daniel tertawa begitu lebar, suaranya bergema di ruangan itu. "Kamu berpikir bahwa aku yan
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai saat Emily perlahan membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Perlahan, dia bisa melihat dinding berwarna putih bersih.'Di mana aku? Apa yang terjadi?' batin Emily. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya. Dia merasa kosong, seperti kehilangan sesuatu yang penting. Air mata membasahi pipinya, kesedihan terasa menyesakkannya, tetapi dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak lagi mengingat dirinya yang tersesat di hutan dan bertemu dengan ayah kandungnya, Thomas. Mesin-mesin di samping tempat tidurnya berdengung pelan, bunyi bipnya yang berirama menjadi pengingat konstan akan keadaannya yang rapuh. Grafik di monitor melacak naik turun detak jantungnya. Sebuah infus terpasang di lengannya, cairan bening mengalir perlahan, membantu tubuhnya yang lemah. Alat bantu pernapasan menyertai setiap hela napasnya yang terasa berat. "Selamat atas pernikahanmu, Nyonya Alice,
Entah sudah berapa lama Emily berjalan mengitari hutan itu, tak tentu arah. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Air mata terus membasahi pipi Emily. Dia ingin kembali, ingin mengakhiri semua penderitaan yang terasa menyesakkan di hatinya. Dia kelelahan, tetapi dia terus memaksa dirinya untuk berjalan maju tanpa tujuan. "Emily," suara kasar seorang pria memecah kesunyian. Akhirnya ada yang mengenalnya di hutan itu dan memanggilnya. Emily menoleh, jantungnya berdebar kencang, dan melihat sesosok pria muncul dari balik pepohonan. Mata pria itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Wajahnya, kasar tetapi menyimpan kelembutan yang familiar. Saat mata mereka bertemu, Emily terbelalak tak percaya karena apa yang dilihat di depan matanya tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, Thomas. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Rasa terkejut dan kebingungan berputar-putar di kepala Emily. Dia tak mampu memahami a
Hawa dingin rumah sakit mencengkeram Daniel, menusuknya hingga ke tulang. Sudah berjam-jam Emily terbaring di ruang gawat darurat, menyiksa Daniel dengan ketakutan dan ketidakpastian. Pandangannya tertuju pada pintu ruang gawat darurat, berharap sebuah keajaiban akan muncul dari baliknya. "Aku mohon bertahanlah, Emily," bisik Daniel, suaranya serak menahan kepedihan. "Takdir itu tidak boleh terjadi," gumam Daniel, tangannya mengepal erat. "Kamu tidak boleh meninggalkanku."Bayangan masa depan yang suram menelan Daniel, mencekiknya dengan rasa takut. Tujuh tahun hidup tanpa Emily sudah menjadi siksaan baginya, bagaimana jika dia harus kehilangannya selamanya? Daniel tidak bisa membayangkan itu, sebuah mimpi buruk yang tak ingin dia jalani. Dia terjebak dalam kesedihan dan penyesalan, terhantui oleh kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. "Bagaimana keadaan Emily?" Suara itu, panik dan cemas, mengagetkannya. Daniel mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong.
Anthony dengan keringat dingin yang menetes di pelipisnya, berlari menuju pintu belakang. Dia berhasil mencapai mobil yang sudah disiapkan, jantungnya berdebar kencang. Dia langsung melompat masuk dan menghidupkan mesin mobil. Mobil itu melesat meninggalkan gudang yang kini dipenuhi asap dan teriakan. Mobil polisi dengan lampu merah-biru berkedip-kedip seperti mata predator, mengejarnya dari belakang. Sirene meraung-raung, mengiris keheningan."Sial!" desis Anthony, tangannya menggenggam setir erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia menginjak pedal gas, mobilnya meraung, melaju kencang di jalan yang lumayan ramai. Anthony melirik spion, melihat mobil polisi yang mengejarnya semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, namun dia harus mengendalikan dirinya agar tidak panik. Dia harus lolos. Matahari sore menyinari jalanan, membuat bayangan panjang di aspal. Anthony meliuk-liuk di jalanan, menghindari mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan normal.Setelah beberap
"Bos!" teriak salah satu anak buah Anthony, wajahnya pucat pasi setelah menerima telepon dan mendengar suara di seberang yang terdengar panik, memberitahukan tentang penangkapan operasi mereka. "Barang-barang kita... polisi sudah mengamankan semuanya!""Sialan!" Anthony menggeram.Tatapan Anthony lurus menusuk ke arah Daniel yang berdiri tenang di hadapannya, senyum kemenangan jelas terukir di bibirnya. "Apakah ini juga kerjaanmu?" desis Anthony, suaranya bergetar menahan amarah yang siap meledak. Daniel mengangkat bahu, senyumnya tipis, sebuah ejekan dingin yang terukir di bibirnya. Tindakannya, penuh penghinaan, seolah membenarkan bahwa dia adalah dalang di balik kehancuran rencana Anthony. "Kamu sebaiknya pensiun dari bisnis gelapmu. Beristirahatlah dan terima hukumanmu sekarang."Anthony mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menonjol. Kebencian membara di matanya, menggerogoti sisa-sisa kesabarannya.Sementara itu, di luar gudang, petugas polisi, bersenjata senapan dan p
Sean mengangkat kayu itu, matanya berkilat dengan amarah. Dia menyerbu ke arah Daniel, kayu itu mengarah ke tubuhnya. Bunyi gedebuk menggelegar menggema di ruangan itu saat kayu itu menghantam Daniel, tubuhnya terbanting ke lantai. Pandangan Daniel berputar, dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menusuk tulang rusuknya, membuat setiap ototnya bergetar. "Sean, hentikan!" teriak Emily, suaranya terputus-putus. "Aku mohon, jangan lakukan ini!""Diam!" raungan pria berpakaian hitam itu menggema di ruangan. Pisaunya yang mengkilap dan dingin semakin menempel lekat di leher Emily, membuat Emily terdiam. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi kulitnya, dan napasnya terengah-engah. Anthony menyeringai, matanya berkilat jahat. "Pukul lagi!" teriaknya, suaranya dingin dan penuh ancaman. Mendengar perintah Anthony, Sean kembali mengayunkan kayu itu ke arah Daniel, memukulnya berkali-kali. Sementara air mata Emily mengalir deras di pipinya, tub
Emily diseret hingga dipaksa berlutut, kakinya lemas di bawah tekanan. Tangannya terikat, tergantung tak berdaya. Rahang Daniel mengeras, amarah membara dalam dadanya. Salah satu pria berpakaian hitam, mengeluarkan pisau yang berkilauan. Pisau itu menempel mengancam di leher Emily yang halus."Hentikan! Jangan sakiti dia!" raung Daniel, suaranya serak karena keputusasaan. "Aku akan membunuhmu," Sean menggeram, tubuhnya memberontak dalam cengkeraman para pria berpakaian hitam. Daniel menatap Anthony dengan tatapan dingin. "Lepaskan dia," katanya, suaranya penuh otoritas, "Atau kau akan menyesalinya."Air mata mengalir di pipi Emily, meskipun dia berusaha menahannya. Dia tampak begitu ketakutan tetapi berusaha tampak tegar. "Menarik sekali," Anthony mencibir, senyumnya merekah seperti pisau tajam. "Dua pria mencintai wanita yang sama." "Melihat ini," Anthony berkata, senyumnya mengejek, "mengingatkanku pada masa lalu. Bukan begitu, Sophia?" Sophia mengerutkan kening. "Apa maksudmu?
"Richard, bajingan itu kembali. Dia masih hidup. Jika terjadi sesuatu padaku, tolong lakukan seperti yang kita bicarakan. Tolong lindungi Grace dan Emily." Kata-kata Daniel masih bergema di kepala Richard. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut merayap di dalam dirinya. Hilangnya Emily terasa aneh, seperti ada kaitannya dengan mantan sopir Daniel. Richard menginjak pedal gas, mobilnya melaju cepat di jalanan. Dia harus segera sampai ke rumah sakit. Dia harus tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Emily menghilang begitu mendadak. Beberapa saat kemudian, rumah sakit tampak di depan matanya. Richard memarkirkan mobilnya dengan perasaan tidak karuan.Richard melangkah cepat ke ruang rawat inap Emily, jantungnya berdebar kencang. Di sana, dia melihat Maria, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran. Beberapa perawat berdiri di dekatnya, berbisik dengan serius, tidak ada yang menyadari kehadiran Richard. "Apa yang terjadi?" tanya Richard. "Pak Richard, Nyonya Emily... dia menghilang," u